MEMUJA
BUKAN MEMINTA
Para
bhikkhu, ada lima kekuatan di dalam diri orang yang menjalankan latihan yang
lebih tinggi.
Lima
hal itu adalah keyakinan, malu, takut, moral, semangat, dan kebijaksanaan.
(Anguttara
Nikaya 5:2)
Pada umumnya orang-orang yang memiliki
identitas dan mengaku sebagai umat Buddha, akan tetapi tidak menjadi umat
Buddha yang sebenarnya. Apabila kita melihat banyak umat Buddha tradisi yang
datang ke vihara hanya membakar dupa (hio) dan meminta-minta kepada Buddha
untuk diberikan karunia, kesehatan, rezeki, jodoh, dll. Hal ini terkadang
membuat umat Buddha meyakini yang ia lakukan sudahlah benar, justru sebenarnya
karena ketidaktahuannya menganggap dengan meminta merupakan tradisi turun
temurun yang dianggap apabila tidak dilakukan maka berkah tidak dapat (tidak
afdol tanpa meminta). Meminta merupakan hal yang dilakukan atas dasar
ketidaktahuan. Hal ini dapat merusak keyakinan terhadap kebenaran Dhamma
sesungguhnya.
Seringkali umat bertanya; “Bhante, boleh
tidak sebagai umat Buddha meminta berkah kepada Buddha, seperti kesehatan, umur
panjang, rezeki ?” Saya menjawab dengan perumapamaan benih padi; “sekarang,
berkah itu ibarat seperti benih padi yang anda tabor di lading yang subur.
Sepanjang siang dan malam terus berdoa dan meminta kepada Buddha untuk besok
pagi panen, apakah bisa ? Padi itu akan panen sesuai kondisi waktu dan
iklimnya, tanpa harus meminta. Sama halnya berkah akan menjadi milik anda,
kalau anda menabur benih kebaikan dalam hidup ini. Meningkatkan keyakinan
dengan sadar malu berbuat jahat, takut akan akibatnya, melaksanakan moralitas
dengan baik, memiliki semangat daam berlatih, dan kebijaksanaan dalam hidup.
Pengetahuan
Dalam Sangarava Sutta Buddha menjelaskan
ada tiga kelompok keyakinan yang mengajarkan ajarannya dengan cara sendiri,
salah satunya adalah kaum tradisionalis (anussavika)
mengajarkan sumber pengetahuan yang tertuang dalam Kalama Sutta yaitu
1.
Anussavena
(tradisi
lokal)
2.
Paramparaya
(tradisi turun temurun)
3.
Itikaraya
(kabar burung)
4.
Pitakasampadaya
(kitab suci)
5.
Bhavyarupataya
(orang yang dianggap baik)
6.
Samano
no garu (perkataan dari gur yang dihormati)
Ada juga kaum yang
kedua adalah kaum rasionalis (Takki
Vimamsi) yang mengajarkan ajarannya berdasarkan Takka-hetu (logika).
1.
Naya-hetu
(kesimpulan)
2.
Akara-parivitakkena
(sesuatu yang sudah direnungkan)
3.
Ditthinijjhanakkhantiya
(sesuatu yang sudah disetujui)
Serta yang ketiga
adalah kaum empiris yang meletakkan pencapaian pengalaman diri, seperti
menyiksa diri sebagai bagian dari pengetahuan. Buddha mengkritik kelompok
tersebut dalam Canki Sutta Majjhima
Nikaya, dan Sandaka Sutta Majjhima
Nikaya, bahwa pengetahuan tersebut tidak membawa pada penembusan
pengetahuan Dhamma (nana).
Menghormat
bukan Menyembah
Sesungguhnya dalam Dhamma dijelaskan
menghormat kepada Tiratana merupakan hal yang mulia. Kemudian itu akan lenyap
apabila umat Buddha menyamakan istilah menghormat dengan menyembah. Buddha bukanlah
tempat menyembah dengan meminta-minta berkah. Buddha juga tidak mengajarkan
siswanya untuk menjadi pengemis spiritual ataupun berkah. Pratima (Rupam)
Buddha emmiliki nilai keagungan seseorang yang telah mencapai kesempurnaan,
sepatutnya umat Buddha menghormat atas keluhuran pencapaian Buddha. Pandangan
umum menilai umat Buddha adalah menyembah patung Buddha dan muncul istilah umat
Buddha adalah “Penyembah Berhala”. Hal ini terjadi karena kesalahan seseorang
yang tidak mau belajar Dhamma yang mulia. Buddha menjelaskan dalam Anguttara
Nikaya IV;21, bahwa “Para Buddha terdahulu, saat ini, maupun yang akan datang
menghormat Dhamma sejati. Itulah hukum alam dari para Buddha. Karena itu orang
yang menginginkan kebaikannya sendiri, harus dengan rendah hati menghormat
Dhamma sejati, dengan mengingat ajaran Buddha”.
Selain itu menghormat (puja) dalam Dhamma dijelaskan ada tiga
macam, yaitu mempelajari Dhamma dengan penyelidikan Dhamma (Dhamma Vicaya),
selanjutnya Dhamma dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah seseorang
mempraktikkan Dhamma, sebagai hasil dari perbuatan (vipaka kamma) umat Buddha dapat menembus Dhamma dengan pengalaman diri
yang bersumber dari pengetahuan (nana)
dan berlandaskan pada kebijaksanaan (panna).
Sehingga umat Buddha sebagai penyembah berhala dapat diluruskan dengan
pencapaian yang diraih.
Berbhakti
bukan pasrah
Umat
Buddha selayaknya meletakkan bhaktinya pada Dhamma dengan tidak pasrah pada
nasib dan takdir. Dalam Dhamma nasib dan takdir adalah kamma sebagai penentu
dari diri sendiri. Karena Buddha bukanlah pencipta yang dapat menghukum
siswanya yang salah , ataupun juru selamat yang dapat menolong umatnya dari
berbuat buruk. Buddha adalah Guru yang mendidik siswanya untuk belajar
bertanggung jawab atas perbuatannya dan mendidik agar mandiri, tidak manja.
Buddha telah meninggalkan ajaran Dhamma yang dapat menuntun kita keluar dari
samsara dengan semangat melaksanakan moralitas, mengembangkan meditasi, malu
berbuat jahat, takut akan akibat dari keburukan. Dengan demikian, maka
pengetahuan Dhamma akan muncul, keyakinan akan meningkat, serta kebijaksanaan
pun akan muncul. Shingga umat Buddha tidak lagi menjadi peminta berkah,
melainkan pelaksana Dhamma.
Inilah lima kekuatan siswa yang berlatih.
Marilah kita berlatih dalam Dhamma sehingga pada akhirnya kita semua dapat
merealisasi pencapaian NIbbana dengan dasar pengetahuan kebijaksanaan.
Sadhu ! Sadhu ! Sadhu !
Ceramah Dhamma oleh :
Bhikkhu Uggaseno tanggal 8 Februari 2015.
Sumber : Berita
Dhammacakka No. 1074 Tanggal 8 Februari 2015.
No comments:
Post a Comment