MATA
PENCAHARIAN YANG BENAR
Anavajjani
kammani Etammangalamuttamam
Tidak
Melakukan Pekerjaan Tercela Itulah Berkah Utama.
(Mangala
Sutta, Khuddakanikaya, Khuddakapatha)
Dalam era serba modern ini tentu hidup
dan kehidupan tidak akan bisa terlepas dari yang namanya usaha (pekerjaan)
untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya
adalah pangan (makanan).
Karena banyaknya macam dan aragam jenis
pekerjaan maka ada hal-hal yang harus jadi pertimbangan buat kita agar
pekerjaan itu tidak bertentangan dengan hukum (terutama hukum Dhamma).
Dalam hal ini berkaitan erat dengan Jalan
Mulia Beruas Delapan yaitu salah satunya Samma Ajiva (penghidupan atau
pencaharian Benar). Sebab apabila suatu pekerjaan dilakukan melanggar Dhamma
akan menyebabkan suatu persoalan di kemudian hari serta membawa pada
penderitaan.
Di dalam Maha-Cattarisaka Sutta (MN
117.28) disebutkan bahwa Pandangan Benar tetap menjadi dasar dalam memahami
satu Penghidupan apakah benar atau salah. Disebutkan bahwa seseorang harus
memahami dengan jelas apa itu Penghidupan Benar dan apa itu Penghidupan Salah.
Berkaitan dengan Usaha Benar dan Perhatian Benar (unsur ke-6 dari Jalan Mulia
Berunsur Delapan), Sang Buddha menagatakan , “Seseorang melakuakn usaha untuk
meinggalkan penghidupan salah dan memasuki penghidupan benar, inilah Usaha
Benar seseorang”.
Dengan waspada / perhatian penuh dia
meninggalkan penghidupan salah, dengan wasspada atau penuh perhatian ia masuk
dan berdiam di dalam penghidupan benar; inilah Perhatian Benar seseorang.
Demikianlah tiga keadaan ini bergerak dan berputar di sekeliling. Penghidupan
Benar, yaitu Pandangan Benar, Usaha Benar, dan Perhatian Benar”. (Maha-Cattarisaka Sutta, MN 117.33).
Penghidupan Benar adalah penghidupan yang meninggalkan Penghidupan Salah,
mempertahankan kehidupannya dengan penghidupan yang benar. (Vibhanga Sutta, Magga Vibhanga Suttam, SN 45.8). Penghidupan
harus dilakukan dengan cara-cara yang legal, bukan illegal, diperoleh dengan
damai, tanpa paksaan atau kekerasan; diperoleh dengan jujur, tidak dengan
penipuan dan kebohongan; serta diperoleh dengan cara-cara yang tidak
menimbulkan bahaya dan penderitaan bagi orang lain. (AN 4:62; AN 5:42, AN 8:54).
Sang Buddha menganjurkan umat awam
menghindari lima macam penghidupan salah (AN III, 207), yaitu:
1. Menjual
senjata, senjata di sini artinya segla jenis senjata yang digunakan untuk
berperang, berkelahi atau membunuh mahluk hidup;
2. Perdagangan
mahluk hidup (termasuk membesarkan binatang untuk disembelih, termasuk juga
perdagangan budak dan prostitusi);
3. Menjual
daging atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk – mahluk
hidup;
4. Menjual
racun;
5. Menjual
barang-barnag yang memabukkan (dan yang membuat ketagihan dan melemahkan
kesadaran).
6. Selain
itu, Sang Buddha menyebutkan bahwa penghidupan salah dapat terjadi apabila
dilakukan dengan cara sebagai berikut : (Maha-Cattarisaka
Sutta, MN 117) Kebohongan (berhubungan dengan kata-kata) maknanya adalah
melakukan suatu pekerjaan dengan tidak jujur. Contohnya berdusta dengan
mengatakan secara berlebih-lebihan kualitas barang yang tidak tepat.
1.
Penghianatan / ketidaksetiaan : artinya
pekerjaan dilakukan dengan melanggar janji , tidak sesuai dengan kesepakatan.
2.
Peramalan / penujuman : pekerjaan yang
berkaitan dengan ramalan-ramalan dan ketidakpastian.
3.
Penipuan / kecurangan (berhubungan
dengan tindakan mengelabui / menipu) : Suatu pekerjaan dilakukan dengan menipu
atau berbagai bentuk tipuan atau hal-hal curang lainnya.
4.
Lintah Darat : Pekerjaan dilakukan dengan
mencari keuntungan tidak wajar dan sangat berlebih-lebihan.
Dengan berpedoman pada Dhamma hendaknya
kita melakukan suatu usaha atau pekerjana yang baik dan tidak melanggar Dhamma.
Apabila hal-hal ini dijalankan dengan baik, maka seseorang akan terhindar dari
praktik / pekerjaan yang tidak benar. Inilah makna luas dari sila kedua
Pancasila Buddhis bahwa ia bertekad untuk tidak mengambil barang yang tidak
diberikan. Karena kurangnya pemahaman, maka kadang ada yang mau menjadikan alas
an bahwa dalam Pancasila Buddhis itu tidak ada larangan berjudi, berarti boleh
dong berjudi ? Pemikiran seperti ini juga harus diluruskan, karena kalau
mengartikan Dhamma secara sempit itu sangat berbahaya.
Di jaman Sang Buddha pun ada seorang
bhikkhu yang mengartikan Dhamma secara sempit, sehingga Sang Buddha menegur
bhikkhu tersebut bahwa praktik Dhamma ini apabila salah mengartikan dan
mempraktikannya maka sama seperti menangkap seekor ular pada ekornya, yang mana
ular tersebut akan mematuk dan orang tersebut akan meninggal karenanya
(Alagaddupama Sutta, Majjhima Nikaya). Demikian juga dalam sila ke-dua memang
tidak ditulis aku bertekad melatih diri untuk tidak berjudi.
Tetapi dalam Dhamma (Parabhava Sutta) ada disebutkan oleh Sang Buddha bahwa hal tersebut
merupakan sebab kemeresotan atau keruntuhan bagi seseorang. Maka kita harus
memiliki pengertian yang benar (kebijaksanaan) dalam mempelajari Dhamma agar
tidak keliru dalam mengartikannya sehingga bukannya kita mempraktikkan Dhamma
tetapi malah sebaliknya. Dengan demikian maka sila ke-dua dari Pancasila
Buddhis telah dipraktikkan dengan baik.
Sabbe
Satta Bhavantu Sukhitatta.
Ceramah
Oleh Bhikkhu Medhaviro tanggal 23 Februari 2014.
Sumber
: Berita Dhammacakka No. 1022 tanggal 23 Februari 2014.
No comments:
Post a Comment