KEBUDAYAAN
TIONGHOA, CHENG BENG BERKENAAN DENGAN DHAMMA
Tirokuddesu
titthanti Sandhisinghatakesu ca Dvarabahasu titthanti Agantvana sakam gharam.
Pahute annapanamhi Khajjabhojje upatthite Na tesam koci sarati Sattanam
kammapaccaya. (Bait ke-1 dan ke-2)
Para
mendiang datang ke rumah mereka masing-masing , berdiri di luar dinding rumah,
di perempatan jalan, di pertigaan jalan dan di dekat daun pintu. Ketika makanan
minunman, camilan dan penganan yang banyak disiapkan oleh para sanak keluarga,
tiada seorang pun mengingat para mendiang karena (kegelapan) perbuatannya.
(Tirokudda
Sutta, Khuddakanikaya; Khuddakapatha).
Pada bulan ini, bulan April, tentu kita
masih ingat kan ? Apa yang terjadi pada bulan April, khususnya orang Tionghoa ?
Tidak lain yaitu ziarah ke makam ataupun ke perabuan. Bagi masyarakat China
ataupun orang keturunan Chinese, pada umumnya mengenal tradisi Cheng Beng.
Cheng Beng itu sendiri terdiri dari dua suku kata, yang kedua kata ini apabila
dipisah memiliki makna yang berbeda yaitu Cheng yang artinya bersih / cerah
sedangkan Beng memiliki arti terang. Bahasa ini diambil dari dialek Tio Ciu
adalah Ceng Meng, mandarin Qing Ming, yang membedakan dari itu semua adalah
intonasi dalam penyebutannya saja, sesungguhnya makna dari itu adalah hal yang sama.
Pada umumnya berlangsung selama 20 hari,
terhitung sejak 10 hari sebelum dan sesudah tanggal 5 April, sama halnya dengan
tradisi di Jawa (Nyadran), masyarakat Tionghoa juga mengenal istilah nyekar
atau ziarah ke makam keluarga yang telah meninggal dunia. Hanya pelaksanaannya
sekali dalam setahun, tepatnya tanggal 4-5 April, dalam penanggalan Indonesia
karena perhitungannya berdasarkan kalender Masehi, berbeda dengan tradisi
Tionghoa lainnya yang menggunakan penanggalan lunar untuk menentukan waktu
peringatan, dalam penanggalan Imlek adalah (SA GWEE CAP IT / bulan 3, tanggal
11) oleh warga suku Tionghoa. Tradisi nyekar ini biasa disebut sebagai
peringatan Cheng Beng, warga Tionghoa akan berdatangan ke makam untuk menggelar
perayaan Cheng Beng / berziarah ke makam orangtua maupun para leluhur keluarga
mereka yang telah meninggal, Cheng Beng adalah untuk mengingat segala jasa-jasa
para mendiang yang telah tiada. Sesuai dengan inti peringatan untuk menghormati
leluhur dan mempererat kembali tali persaudaraan, dengan bertemunya satu sama
lain. Pada biasanya di hari Cheng Beng semua sanak keluarga pulang ke kampong
halamannya (daerah asalnya) untuk berkumpul dan melaksanakan pembersihan makam
secara bersama-sama. Inti dari Cheng Beng adalah suatu bentuk sikap bakti anak
kepada orangtuanya yang telah meninggal atau bakti keluarga kepada sanak
leluhur yang telah meninggal dengan cara menghormat degan melakukan pembersihan
makam serta memberikan persembahan, berdoa ataupun sembahyang sesuai dengan
kepercayaannya masing-masing yang dilakukan sanak keluarga mendiang.
Tradisi
cheng Beng jika ditinjau dari sudut pandang Dhamma
Tradisi Cheng Beng dipandang secara
perspektif agama Buddha, seperti di dalam Digha Nikaya sutta ke-31 (Sigalovada
Sutta). Dengan diceritakan ada seorang pemuda yang bernama Sigala, anak
saudagar kaya di Rajagaha. Ketika pemuda itu melakukan penghormatan ke berbagai
arah seperti timur, barat, utara , selatan, atas, dan bawah dengan rambut dan
pakaian yang basah seraya mengangkat kedua tangannya yang dirangkapkan dan saat
itu Sang Buddha sedang berpindapata (berjalan dengan membawa mangkuk untuk
menerima makanan dari umat). Singkat kata, Sigala bertemu dengan Sang Buddha
dan terjadilah percakapan. Sang Buddha bertanya kepada pemuda tersebut, “Mengapa
dengan rambut dan pakaian yang basah kamu menyembah ke berbagai arah bumi dan
langit ? “ Sigala pun menjawab “Hal ini saya lakukan karena pesan / amanat dari
Ayah saya sebelum meninggal, sebagai rasa baktiku terhadapnya”. Sang Buddha
memberikan penjelasan dengan detail kepada Sigala berkenaan dengan cara
menghormat sesuai Dhamma yaitu:
-
Ayah dan Ibu sebagai arah timur
-
Guru sebagai arah selatan
-
Istri dan anak sebagai arah barat
-
Sahabat dan kenalan sebagai arah utara
-
Para pertapa sebagai arah atas
-
Para pelayan dan bawahan sebagai arah
bawah
Ke-enam arah ini dijelaskan secara
terperinci, pada tulisan ini penulis hanya ingin membahas lebih dalam tentang Sigalovada Sutta khususnya penghormatan
ke arah timur. Dengan lima cara seorang anak memperlakukan orangtuanya sebagai
arah timur :
1.
Dahulu saya dirawat dan dibesarkan oleh
mereka maka saya sekarang akan menunjang orangtua.
Seorang
anak hendaknya dapat merawat Ayah dan Ibunya (Orangtuanya) meskipun orangtua
tidak meminta pertolongan apapun dari anaknya. Anak-anak harus menerima
kedatangan ketika orangtua berkunjung ke rumahnya, menyediakan tempat tinggal,
bukan sebaliknya menolak kedatangannya. Anak-anak tidak patut saling lempar
tanggung jawab di antara sesame saudara kandung dalam hal merawat serta
menunjang hidup orangtuanya. Terlebih lagi ketika menjelang usia tua, anak-anak
harus merawat serta menunjang hidupnya dengan baik. Menanyakan bagaimana
kesehatannya ? Jika sakit, anak-anaknya seyogianya mengajak orangtuanya berobat
ke dokter, membantu meminumkan obat untuknya dari resep dokter, melayaninya hal
makanan; pakaian; mandi serta kebersihan tempat tidur ataupun tubuhnya bila
orangtua sudah tiadk mampu mandiri lagi, menghiburnya, serta menyempatkan diri
untuk menemaninya ataupun mengajak ke vihara / rekreasi lainnya. Anak yang
berbakti tinggi tidak akan menitipkan orangtuanya ke Panti Jompo dan tidak
berpikiran bahwa merawat orangtua adalah menambah beban bagi keluarganya.
2.
Saya akan melakukan kewajiban sebagai
anak yang berbakti (membantunya).
Setiap
mahluk (termasuk manusia) yang hidup di dunia ini tentu saja akan mengalami
berbagai masalah, termasuk orangtua kita (baik hal keuangan / perekonomian,
pendidikan anak-anaknya, bersosial, keluarga, dsb). Anak-anak bisa membantu
orangtuanya sesuai dengan kemampuannya, misalnya membersihkan rumah, mencuci
pakaian / piring yang sudah kotor ataupun yang telah dipakai. Sepatutnya
anak-anak menanyakan permasalahan yang dihadapi oleh orangtuanya dengan lemah
lembut dan tanyakanlah pada saat yang suasana yang tepat kemudian berusaha
untuk membebaskan dari permasalahan tersebut secara bersama-sama dengan prinsip
semua masalah pasti akan berlalu (semua permasalahan ada jalan keluarnya) serta
memberikan semangat untuk terus berjuang, meskipun anak tidak dapat membantu
untuk menyelesaikan permasalahannya paling tidak anak-anak tidak menambah
permasalahan yang lainnya.
3.
Saya akan menjaga nama baik kehormatan
keluarga.
Seorang
anak sepatutnya menjaga tingkah laku (moralitas), bersikap sopan santun dan
selalu berperilaku baik di manapun dan kepada siapapun baik teman, saudara,
kerabat ataupun tetangga sehingga dipandang baik oleh masyarakat luas. Dengan
begitu, orangtuapun akan merasa bangga karena mempunyai anak yang baik. Jangan
menjadi anak yang nakal atau menjadi narapidana dari aksi tindakan kriminalitas
hal itu membuat orangtuapun akan malu dan dianggap gagal dalam mendidik anak.
4.
Saya akan menjaga nama baik warisan
harta benda keluarga.
Hasil
jerih payah orangtua selama ini merupakan harta warisan yang perlu dijaga agar
dapat membawa manfaat bagi baik keluarga maupun orang lain. Seorang anak
hendaknya dapat mempertahankan kekayaan orangtuanya, mengelola warisan orangtua
dengan baik, tidak digunakan untuk berfoya-foya ataupun dihambur-hamburkan yang
tidak membawa manfaat bagi keluarga.
5.
Saya akan melakukan pelimpahan jasa bagi
mereka.
Setelah
orangtua meninggal dunia, anak-anak patut melakukan pelimpahan jasa dengan
melakukan perbuatan berjasa (Pattidana). Jasa kebajikan bisa dilakukan oleh
anak-anak, seperti : Berdana, menjalankan moralitas / Sila, membaca Paritta
ataupun melepaskan satwa. Perbuatan berjasa yang bajik bukanlah untuk
ditransfer atau dikirim untuk mendiang orang tua, kamma tidak bisa dialihkan.
Akan tetapi mendiang sendirilah yang melakukan perbuatan bajik dengan pikirannya
sendiri karena ikut bermudita citta (ikut senang) ketika anaknya melakukan
perbuatan berjasa.
Inilah lima kewajiban yang sepatutnya
yang dilakukan oleh anak kepada orangtua sebagai penghormatan ke arah timur.
Jika kita lihat dari lima kewajiban anak terhadap orangtuanya, nomor satu
sampai empat, seorang anak berbakti kepada orangtua ketika masih hidup,
sedangkan nomor lima ketika orangtua telah meninggal. Tapi pada umumnya saat
sekarang, seorang anak hanya mementingkan kewajiban pada nomor lima dengan tradisi
Cheng Beng bagi masyarakat orang keturunan. Berbaktilah pada orangtua ketika
masih hidup, mengapa demikian ? Karena berbakti ketika orangtua masih hidup,
manfaatnya jauh lebih besar jika dibandingkan berbakti dengan cara nomor lima;
setelah orangtua tiada. Walaupun kita memasak berbagai aneka masakan dan
minuman kesukaannya serta persembahan lainnya di hari upacara Cheng Beng,
mendiang orangtua ataupun sanak keluarga yang telah meninggal tidak dapat
memakan ataupun meminum bahkan tidak mampu menerima persembahan apapun meskipun
berbagai makanan telah disajikan di meja yang sangat besar sekalipun! Inilah
lima macam cara seorang anak membalas kebajikan orangtuanya, walaupun belum
cukup untuk membalas budi kepada orangtuanya, setidaknya hal itu dapat membuat
orangtuanya merasa bangga terhadap anaknya. Istilah mantan hanya berlaku :
mantan pacar, bahkan mantan istri / suami ataupun mantan jabatan (presiden,
gubernur, dll), tidak ada istilah mantan orangtua, Maka dari itu menjaga dan
merawat orangtua adalah suatu kewajiban bagi kita semua.
Ketika Sang Buddha selesai berkhotbah ,
Sigala mengerti dan merasa puas serta ia memuji sekaligus berlindung pada
Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha). Ia menjadi upasaka dan ia juga
mempraktikkannya apa yang diajarkan oleh Sang Bhagava serta menjalankan
Pancasila Buddhis. Inilah yang dikatakan Patipati Puja (Penghormatan yang
memperaktikkan Dhamma), hal ini sebagai bentuk penghormatan dan bakti kepada
orangtua,
Sedangkan sebagian banyak orang hanya
melakukan Amisa Puja (penghormatan dengan pemberian materi) seperti sesajian,
membakar uang kertas tiruan dan juga membakar rumah tiruan, mobil tiruan,
menebar kertas Kim Cua, dsb.
Penutup
Jika kita mau mengamati lebih jelas
tentang tradisi Tionghoa yaitu Khususnya Cheng Beng merupakan salah satu bentuk
Amisa Puja. Sesungguhnya kita harus mengetahui suatu agama apapun tidak dapat
terlepas dari tradisi maupun kebudayaannya sendiri dari masyarakat local,
karena tradisi muncul lebih dahulu sebelum adanya agama. Tetapi kita harus kritis
terhadap tradisi apapun, harus bisa membedakan yang mana tradisi dan yang mana
Dhamma. Setiap tradisi akan mempunyai makna yang tersembunyi dan jangan
berpandangan yang sempit bahw tradisi adalah salah dan menyimpang dari Dhamma.
Paling tidak, kita harus memahami antara tradisi dengan pemahaman Dhamma.
Semoga tulisan ini dapat dimengerti secara Agama Buddha tentang tradisi
Tionghoa khususnya Cheng Beng. Idam vo natinam hotu Sukhita hontu natayo 3x
(Semoga timbunan jasa ini melimpah pada sanak keluarga , semoga sanak keluarga
berbahagia.3x) <Sadhu 3x>
Ceramah oleh Bhikkhu
Phaladhammo tanggal 27 April 2014.
Sumber : Berita
Dhammacakka No. 1033 tanggal 27 April 2014.
No comments:
Post a Comment