Pasang Iklan Di Sini

Friday, March 13, 2015

Ceramah Dhamma (15) : KEBUDAYAAN TIONGHOA, CHENG BENG BERKENAAN DENGAN DHAMMA

KEBUDAYAAN TIONGHOA, CHENG BENG BERKENAAN DENGAN DHAMMA

Tirokuddesu titthanti Sandhisinghatakesu ca Dvarabahasu titthanti Agantvana sakam gharam. Pahute annapanamhi Khajjabhojje upatthite Na tesam koci sarati Sattanam kammapaccaya. (Bait ke-1 dan ke-2)
Para mendiang datang ke rumah mereka masing-masing , berdiri di luar dinding rumah, di perempatan jalan, di pertigaan jalan dan di dekat daun pintu. Ketika makanan minunman, camilan dan penganan yang banyak disiapkan oleh para sanak keluarga, tiada seorang pun mengingat para mendiang karena (kegelapan) perbuatannya.
(Tirokudda Sutta, Khuddakanikaya; Khuddakapatha).

      Pada bulan ini, bulan April, tentu kita masih ingat kan ? Apa yang terjadi pada bulan April, khususnya orang Tionghoa ? Tidak lain yaitu ziarah ke makam ataupun ke perabuan. Bagi masyarakat China ataupun orang keturunan Chinese, pada umumnya mengenal tradisi Cheng Beng. Cheng Beng itu sendiri terdiri dari dua suku kata, yang kedua kata ini apabila dipisah memiliki makna yang berbeda yaitu Cheng yang artinya bersih / cerah sedangkan Beng memiliki arti terang. Bahasa ini diambil dari dialek Tio Ciu adalah Ceng Meng, mandarin Qing Ming, yang membedakan dari itu semua adalah intonasi dalam penyebutannya saja, sesungguhnya makna dari itu adalah hal yang sama.

      Pada umumnya berlangsung selama 20 hari, terhitung sejak 10 hari sebelum dan sesudah tanggal 5 April, sama halnya dengan tradisi di Jawa (Nyadran), masyarakat Tionghoa juga mengenal istilah nyekar atau ziarah ke makam keluarga yang telah meninggal dunia. Hanya pelaksanaannya sekali dalam setahun, tepatnya tanggal 4-5 April, dalam penanggalan Indonesia karena perhitungannya berdasarkan kalender Masehi, berbeda dengan tradisi Tionghoa lainnya yang menggunakan penanggalan lunar untuk menentukan waktu peringatan, dalam penanggalan Imlek adalah (SA GWEE CAP IT / bulan 3, tanggal 11) oleh warga suku Tionghoa. Tradisi nyekar ini biasa disebut sebagai peringatan Cheng Beng, warga Tionghoa akan berdatangan ke makam untuk menggelar perayaan Cheng Beng / berziarah ke makam orangtua maupun para leluhur keluarga mereka yang telah meninggal, Cheng Beng adalah untuk mengingat segala jasa-jasa para mendiang yang telah tiada. Sesuai dengan inti peringatan untuk menghormati leluhur dan mempererat kembali tali persaudaraan, dengan bertemunya satu sama lain. Pada biasanya di hari Cheng Beng semua sanak keluarga pulang ke kampong halamannya (daerah asalnya) untuk berkumpul dan melaksanakan pembersihan makam secara bersama-sama. Inti dari Cheng Beng adalah suatu bentuk sikap bakti anak kepada orangtuanya yang telah meninggal atau bakti keluarga kepada sanak leluhur yang telah meninggal dengan cara menghormat degan melakukan pembersihan makam serta memberikan persembahan, berdoa ataupun sembahyang sesuai dengan kepercayaannya masing-masing yang dilakukan sanak keluarga mendiang.

Tradisi cheng Beng jika ditinjau dari sudut pandang Dhamma
      Tradisi Cheng Beng dipandang secara perspektif agama Buddha, seperti di dalam Digha Nikaya sutta ke-31 (Sigalovada Sutta). Dengan diceritakan ada seorang pemuda yang bernama Sigala, anak saudagar kaya di Rajagaha. Ketika pemuda itu melakukan penghormatan ke berbagai arah seperti timur, barat, utara , selatan, atas, dan bawah dengan rambut dan pakaian yang basah seraya mengangkat kedua tangannya yang dirangkapkan dan saat itu Sang Buddha sedang berpindapata (berjalan dengan membawa mangkuk untuk menerima makanan dari umat). Singkat kata, Sigala bertemu dengan Sang Buddha dan terjadilah percakapan. Sang Buddha bertanya kepada pemuda tersebut, “Mengapa dengan rambut dan pakaian yang basah kamu menyembah ke berbagai arah bumi dan langit ? “ Sigala pun menjawab “Hal ini saya lakukan karena pesan / amanat dari Ayah saya sebelum meninggal, sebagai rasa baktiku terhadapnya”. Sang Buddha memberikan penjelasan dengan detail kepada Sigala berkenaan dengan cara menghormat sesuai Dhamma yaitu:
-          Ayah dan Ibu sebagai arah timur
-          Guru sebagai arah selatan
-          Istri dan anak sebagai arah barat
-          Sahabat dan kenalan sebagai arah utara
-          Para pertapa sebagai arah atas
-          Para pelayan dan bawahan sebagai arah bawah

      Ke-enam arah ini dijelaskan secara terperinci, pada tulisan ini penulis hanya ingin membahas lebih dalam tentang Sigalovada Sutta khususnya penghormatan ke arah timur. Dengan lima cara seorang anak memperlakukan orangtuanya sebagai arah timur :

1.      Dahulu saya dirawat dan dibesarkan oleh mereka maka saya sekarang akan menunjang orangtua.
Seorang anak hendaknya dapat merawat Ayah dan Ibunya (Orangtuanya) meskipun orangtua tidak meminta pertolongan apapun dari anaknya. Anak-anak harus menerima kedatangan ketika orangtua berkunjung ke rumahnya, menyediakan tempat tinggal, bukan sebaliknya menolak kedatangannya. Anak-anak tidak patut saling lempar tanggung jawab di antara sesame saudara kandung dalam hal merawat serta menunjang hidup orangtuanya. Terlebih lagi ketika menjelang usia tua, anak-anak harus merawat serta menunjang hidupnya dengan baik. Menanyakan bagaimana kesehatannya ? Jika sakit, anak-anaknya seyogianya mengajak orangtuanya berobat ke dokter, membantu meminumkan obat untuknya dari resep dokter, melayaninya hal makanan; pakaian; mandi serta kebersihan tempat tidur ataupun tubuhnya bila orangtua sudah tiadk mampu mandiri lagi, menghiburnya, serta menyempatkan diri untuk menemaninya ataupun mengajak ke vihara / rekreasi lainnya. Anak yang berbakti tinggi tidak akan menitipkan orangtuanya ke Panti Jompo dan tidak berpikiran bahwa merawat orangtua adalah menambah beban bagi keluarganya.

2.      Saya akan melakukan kewajiban sebagai anak yang berbakti (membantunya).
Setiap mahluk (termasuk manusia) yang hidup di dunia ini tentu saja akan mengalami berbagai masalah, termasuk orangtua kita (baik hal keuangan / perekonomian, pendidikan anak-anaknya, bersosial, keluarga, dsb). Anak-anak bisa membantu orangtuanya sesuai dengan kemampuannya, misalnya membersihkan rumah, mencuci pakaian / piring yang sudah kotor ataupun yang telah dipakai. Sepatutnya anak-anak menanyakan permasalahan yang dihadapi oleh orangtuanya dengan lemah lembut dan tanyakanlah pada saat yang suasana yang tepat kemudian berusaha untuk membebaskan dari permasalahan tersebut secara bersama-sama dengan prinsip semua masalah pasti akan berlalu (semua permasalahan ada jalan keluarnya) serta memberikan semangat untuk terus berjuang, meskipun anak tidak dapat membantu untuk menyelesaikan permasalahannya paling tidak anak-anak tidak menambah permasalahan yang lainnya.

3.      Saya akan menjaga nama baik kehormatan keluarga.
Seorang anak sepatutnya menjaga tingkah laku (moralitas), bersikap sopan santun dan selalu berperilaku baik di manapun dan kepada siapapun baik teman, saudara, kerabat ataupun tetangga sehingga dipandang baik oleh masyarakat luas. Dengan begitu, orangtuapun akan merasa bangga karena mempunyai anak yang baik. Jangan menjadi anak yang nakal atau menjadi narapidana dari aksi tindakan kriminalitas hal itu membuat orangtuapun akan malu dan dianggap gagal dalam mendidik anak.

4.      Saya akan menjaga nama baik warisan harta benda keluarga.
Hasil jerih payah orangtua selama ini merupakan harta warisan yang perlu dijaga agar dapat membawa manfaat bagi baik keluarga maupun orang lain. Seorang anak hendaknya dapat mempertahankan kekayaan orangtuanya, mengelola warisan orangtua dengan baik, tidak digunakan untuk berfoya-foya ataupun dihambur-hamburkan yang tidak membawa manfaat bagi keluarga.

5.      Saya akan melakukan pelimpahan jasa bagi mereka.
Setelah orangtua meninggal dunia, anak-anak patut melakukan pelimpahan jasa dengan melakukan perbuatan berjasa (Pattidana). Jasa kebajikan bisa dilakukan oleh anak-anak, seperti : Berdana, menjalankan moralitas / Sila, membaca Paritta ataupun melepaskan satwa. Perbuatan berjasa yang bajik bukanlah untuk ditransfer atau dikirim untuk mendiang orang tua, kamma tidak bisa dialihkan. Akan tetapi mendiang sendirilah yang melakukan perbuatan bajik dengan pikirannya sendiri karena ikut bermudita citta (ikut senang) ketika anaknya melakukan perbuatan berjasa.

      Inilah lima kewajiban yang sepatutnya yang dilakukan oleh anak kepada orangtua sebagai penghormatan ke arah timur. Jika kita lihat dari lima kewajiban anak terhadap orangtuanya, nomor satu sampai empat, seorang anak berbakti kepada orangtua ketika masih hidup, sedangkan nomor lima ketika orangtua telah meninggal. Tapi pada umumnya saat sekarang, seorang anak hanya mementingkan kewajiban pada nomor lima dengan tradisi Cheng Beng bagi masyarakat orang keturunan. Berbaktilah pada orangtua ketika masih hidup, mengapa demikian ? Karena berbakti ketika orangtua masih hidup, manfaatnya jauh lebih besar jika dibandingkan berbakti dengan cara nomor lima; setelah orangtua tiada. Walaupun kita memasak berbagai aneka masakan dan minuman kesukaannya serta persembahan lainnya di hari upacara Cheng Beng, mendiang orangtua ataupun sanak keluarga yang telah meninggal tidak dapat memakan ataupun meminum bahkan tidak mampu menerima persembahan apapun meskipun berbagai makanan telah disajikan di meja yang sangat besar sekalipun! Inilah lima macam cara seorang anak membalas kebajikan orangtuanya, walaupun belum cukup untuk membalas budi kepada orangtuanya, setidaknya hal itu dapat membuat orangtuanya merasa bangga terhadap anaknya. Istilah mantan hanya berlaku : mantan pacar, bahkan mantan istri / suami ataupun mantan jabatan (presiden, gubernur, dll), tidak ada istilah mantan orangtua, Maka dari itu menjaga dan merawat orangtua adalah suatu kewajiban bagi kita semua.

      Ketika Sang Buddha selesai berkhotbah , Sigala mengerti dan merasa puas serta ia memuji sekaligus berlindung pada Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha). Ia menjadi upasaka dan ia juga mempraktikkannya apa yang diajarkan oleh Sang Bhagava serta menjalankan Pancasila Buddhis. Inilah yang dikatakan Patipati Puja (Penghormatan yang memperaktikkan Dhamma), hal ini sebagai bentuk penghormatan dan bakti kepada orangtua,

      Sedangkan sebagian banyak orang hanya melakukan Amisa Puja (penghormatan dengan pemberian materi) seperti sesajian, membakar uang kertas tiruan dan juga membakar rumah tiruan, mobil tiruan, menebar kertas Kim Cua, dsb.

Penutup
      Jika kita mau mengamati lebih jelas tentang tradisi Tionghoa yaitu Khususnya Cheng Beng merupakan salah satu bentuk Amisa Puja. Sesungguhnya kita harus mengetahui suatu agama apapun tidak dapat terlepas dari tradisi maupun kebudayaannya sendiri dari masyarakat local, karena tradisi muncul lebih dahulu sebelum adanya agama. Tetapi kita harus kritis terhadap tradisi apapun, harus bisa membedakan yang mana tradisi dan yang mana Dhamma. Setiap tradisi akan mempunyai makna yang tersembunyi dan jangan berpandangan yang sempit bahw tradisi adalah salah dan menyimpang dari Dhamma. Paling tidak, kita harus memahami antara tradisi dengan pemahaman Dhamma. Semoga tulisan ini dapat dimengerti secara Agama Buddha tentang tradisi Tionghoa khususnya Cheng Beng. Idam vo natinam hotu Sukhita hontu natayo 3x (Semoga timbunan jasa ini melimpah pada sanak keluarga , semoga sanak keluarga berbahagia.3x) <Sadhu 3x>

Ceramah oleh Bhikkhu Phaladhammo tanggal 27 April 2014.
Sumber : Berita Dhammacakka No. 1033 tanggal 27 April 2014.




No comments:

Post a Comment