Pasang Iklan Di Sini

Friday, December 25, 2015

MEMBANGUN BUDAYA SANTUN DALAM AGAMA BUDDHA

MEMBANGUN BUDAYA SANTUN DALAM AGAMA BUDDHA

Sukarani asadhuni, attano ahitani ca
Yam ve hitan ca saddhun ca, tam ve paramadukkaram.

Sungguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat, tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat.
(Dhammapada Atta-Vagga; 163)

      Secara umum banyak orang telah melupakan nilai-nilai keluhuran yang telah diajarkan dalam ilmu perilaku yang dikenal dengan sebutan “Agama”. Nilai keluhuran tertuang dalam norma budaya dengan istilah budaya santun. Budaya santun meruapakan ajaran yang telah diwariskan oleh para leluhur. Budaya santun secara buddhos juga telah diajarkan oleh Buddha dalam Dhamma yang dikenal dengan etika atau moralitas. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia arti dari santun adalah (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan;  (2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong.

      Terkait dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa satun merupakan suatu ilmu yang mengajarkan seseorang untuk menjadi lebih halus lemah lembut. Pernyataan ini telah Buddha jelaskan dalam bait Mangala Sutta yaitu “terlatih baik dalam tata susila”. Manusia pada umumnya wajar melakukan tindakan kesalahan,akan tetapi menjadi tidak wajar apabila selalu melakukan keburukan tanpa adanya tindakan untuk menyadari perbuatan buruknya.

      Perbuatan buruk merupakan kebiasaan (budaya0 yang sering dilakukan dari tiga pintu indria, yaitu pikiran, ucapan, dan perilaku badan jasmani. Budaya santun akan terbentuk apabila seseorang dapat menjalankan isi dari Mangala Sutta yang ebrbunyi sbeagai berikut :
Bahusaccanca sippanca
Vinayo ca susikkhito
Subhasita cay a vaca
Etammangalamuttamanti
Berpengetahuan luas, berketerampilan, terlatih baik dalam tata susila, dan bertutur kata dengan baik, itulah Berkah Utama.

a.       Santun Berpikir
Keburukan yang dilakukan dari pikiran seering terjadi dengan berpikir buruk terhadap orang lain, berpikir keliru, memiliki pandangan salah. Hal-hal tersebut sudah menjadi budaya yang tidak baik dalam diri seseorang yang seharusnya mampu berpikir jernih. Santun dalam berpikir akan terbentuk apabila seseorang memiliki pengetahuan dalam berpikir yang ditembus dalam pengembanagn meditasi, yaitu mengetahui dengan jelas pikiran baik dan buruk yang sedang muncul. Secara bijaksana seseorang memotong pikiran buruknya dengan kesadaran, perhatian dan kewaspadaan. Selanjutnya adalah  memiliki keterampilan dalam berpikir, yaitu mampu terampil dalam menata pikiran, disamping seseorang terampil dalam segi kerajinan tangan. Keterampilan yang sesuai dengan Dhamma merupakan bagian dari seni yang juga dipuji oleh Sang Buddha. Orang yang tidak terampil dalam emnata pikiran , maka ia akan dengan serampangan berpikir hal-hal yang buruk dan tidak bermanfaat dengan mudah. Terkait pikiran, tertuang dalam Dhammapada Yamaka – vagga, 1; pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu. Pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk”. Bila seseorang berbicara dan berperilaku dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki pikiran, ucapan, dan perilaku  yang murni, maka perbuatan baiknya akan mengikuti seperti baying-bayang yang tidak pernah mengikuti bendanya.

b.      Santun Bertutur Kata
Ucapan yang tidak baik terkadang seseorang melakukannya dengan sengaja. Hal ini merupakan tindakan dari keburukan yang sering dilakukan. Terkadang orang mengucapkan istilah salam “Namo Buddhaya”, akan tetapi kelanjutan dari rentetan pembicaraannya berisikan ucapan yang buruk dan tidak bermanfaat. Umat Buddha yang terkadang sering ke vihara justru menjadi pelaku dalam ucapan yang tidak baik, seperti memarahi orang dengan kata kata kasar, gossip dan memfitnah. Hal-hal ini tidak sesuai dengan isi Mangala Sutta yaitu bertutur kata dengan baik (vinayo ca susikkhito)”. Santun dalam berucap adalah seseorang dengan pengetahuannya dapat mengendalikan ucapannya untuk tidak melontarkan kata-kata yang buruk dan tidak bermanfaat. Sehingga perasaan orang lain terluka karenanya.

c.       Santun Berperilaku
Perilaku yang dilakukan oleh badan jasmani dituntut untuk diwaspadai. Banyak orang yang melupakan budaya santun dalam berperilaku. Erperilaku dapat dikategorikan dalam ebberapa bagian, yaitu berperilaku dalam tindakan dan berperilaku dalam berbusana. Realita yang dapat dilihat apabila melakukan perbandingan umat Buddha di daerah , desa, pedalaman jauh lebih santun dalam berperilaku dalam tindakan , seperti contoh mereka ke vihara selalu memberi salam Anjali pada sahabat-sahabatnya, memberikan perhatian di kala sakit, membantu pada saat ada kegiatan, tahu malu pada saat di vihara dengan mendengarkan ceramah Dhamma secara serius, tidak berbicara sendiri, tidak bermain handphone, tahu batas ukuran makan, sebagai intinya rasa toleransi masih terpelihara dengan baik.

      Selain itu berbudaya santun dalam berpakaian, semua serba tertutup dalam berpakaian, punya rasa enggan ke vihara dengan busana yang serba kekurangan. Kalau dibandingkan dengan umat Buddha di kota, meskipun tidak semuanya. Akan tetapi ada diantara mereka ke vihara tidak beretika dalam berbusana, hal ini juga kurang terampil dalam memilih pakaian. Selain itu juga perasaan malu dalam menyapa orang yang ditemui dengan bersikap Anjali. Budaya Anjali seolah-olah bukan tradisi Buddhis, sehingga malu untuk melakukannya. Buddha juga menjelaskan dalam Mangala Sutta :
Attasamapanidhi ca
Etammangalamuttamam
(membimbing diri dengan benar, merupakan bagian dari berkah utama).

Apabila seseorang semasa hidupnya tidak membimbing diri dengan benar, justru menjerumuskan duru ke dalam liang derita, maka dalam waktu yang panjang pula penderitaan yang dirasakan pada dirinya. Berbuat buruk dan hal yang tidak bermanfaat adalah suatu hal yang mudah dan sulit bagi mereka yang mau berbuat baik dan hal yang bermanfaat.

Hidup seseorang akan bermanfaat, bahagia, tenteram, damai, apabila mampu menerapkan budaya santun dalam berpikir, berucap dan berperilaku. Hal ini telah dijelaskan oelh Sang Buddha dalam Anguttara Nikaya III; 50, yaitu : “Mahluk apapun yang berperilaku benar lewat tubuh, ucapan, dan pikiran. Sepanjang pagi, siang, dan malam, maka sepanjang itupula mereka akan bahagia dan kebahagiaan itu akan menjadi milik mereka”.

Ceramah Dhamma oleh : Bhikkhu Uggaseno tanggal 24 Mei 2015

Sumber : Berita Dhammacakka no. 1089 tanggal 24 Mei 2015 

MENGHADAPI KEGELISAHAN DAN KETAKUTAN DALAM HIDUP

MENGHADAPI KEGELISAHAN DAN KETAKUTAN DALAM HIDUP

Ratiya jayati soko, ratiya jayati bhayam
Ratiya vippamuttassa, natthi soko kuto bhayam

Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan
Bagi orang yang telah terbebas dari kemelekatan
Tiada lagi kesedihan maupun ketakutan (Dhammapada ; 214)

      Dalam menjalani kehidupan sehari hhari, banyak cara yang ditempuh orang untuk memperoleh kedamaian. Apapun yang dilakukan demi mencapai keinginannya tersebut, tetapi pada kenyataannya tidak semua keinginan itu dapat terpenuhi. Sebaliknya kegelisahan dan ketakutan dalam hiduplah yang didapat akibat dari ketidakmampuan membedakan dengan jelas, apakah yang dijalaninya itu benar-benar menghasilkan kedamaian atau malah sebaliknya mendatangkan kegelisahan dan ketakutan. Dalam hal ini seseorang harus berjuang untuk mempertahankan kehidupannya agar kegelisahan dan ketakutan dapat teratasi. Mempunyai materi yang cukup atau bahkan berlebihan dan tidak menjamin bahwa hidupnya selalu damai. Apalagi yang kekurangan materi, mungkin merasa beban hidupnya semakin bertambah sehingga kegelisahan dan ketakutan menjadi bagian dan hidupnya. Kita sebagai manusia yang belum terbebas dari belenggu kekotoran batin tentunya tidak bisa terhindar sepenuhnya dari kegelisahan dan ketakutan.

      Kegelisahan dan ketakutan sesungguhnya bersumber dari pikiran kita sendiri. Dalam Anguttara Nikaya 184, terdapat empat sebab munculnya kegelisahan dan kettakutan:
1.       Kemelekatan terhadap nafsu kesenangan indera.
Setiap orang tentu mendambakan kesenangan kesenangan duniawi, seperti melihat hal-hal yang indah atau menyenangkan, mendengarkan suara yang merdu, mencium aroma yang wangi, makan makanan enak, memiliki rumah yang bagus, pakaian yang indah, alat tranpsortasi yang bagus, serta memiliki keluarga yang harmonis. Kesenangan indera tersebut merupakan kesenangan yang menyimpan derita, karena banyak orang yang tidak bisa melepas kesenangan-kesenangan tersebut.

2.       Kemelekatan terhadap tubuh
Tubuh yang sehat adalah dambaan setiap orang. Namun, tubuh pun akan berproses sesuai dengan sifatnya yaitu akan mengalami perubahan. Apabila kita tidak menyadari perubahan dari tubuh maka melekat pada keindahan tubuh akan memunculkan kegelisahan dan ketakutan.

3.       Merasa belum melakukan perbuatan bajik dan bermanfaat
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu dikejar oleh kebutuhan hidup, baik yang sudah berumah tangga maupun yang belum berumah tangga. Sehingga apabila kita sibuk mencari ekebutuhan hidup saja da tidak menghiraukan perbuatan bajik dan bermanfat dalam hidup, maka pada saat mengalami sakit yang kritis, kita tidak memiliki bekal kebajikan yang cukup. Sehingga membuat kita gelisah dan takut akan kehidupan selanjutnya.

4.       Masih memiliki keraguan dan kebingungan terhadap Dhamma
Di lingkungan tempat kita tinggal kita sendiri dari berbagai macam suku yang mempunyai tradisi masing masing. Kehidupan kita tidak bisa terlepas dari tradisi. Setiap daerah memiliki tradisinya masing masing. Apabila kita hidup dalam tradisi yang kuat, maka orang yang sering belajar Dhamma dan tidak mempraktikkannya akan mempunyai keyakinan yang lemah. Sehingga kemelekatan pada tradisi inilah yang menyebbakan seseorang mengalami kegelisahan dan ketakutan.

      Sebab-sebab kegelisahan dan ketakutan yang sudah kita ketahui ini bisa kita hadapi dengan lima perenungan yang terdapat dalam Anguttara Nikaya, 57 :

1.       Perenungan terhadap usia tua
Aku wajar mengakami usia tua. Aku takkan mampu menghindari usia tua. Ketika masih muda dengan rambut yang berwarna hitam, kulit yang masih kencang, tenaga yang masih kuat serta indera-indera yang masih normal. Kita sering membuang waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Tetapi bagi kita yang mengerti tentang perenungan terhadap usia tua, maka kita tidak akan membuang-buang waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dan ketika kita mengalami perubahan pada jasmani seperti; rambut menjadi putih, kulit menjadi keriput, tenaga menjadi berkurang serta inderanya sudah tidak berfungsi dengan baik lagi. Kita akan tetap tenang dan tidak gelisah serta tidak takut akan perubahan itu.

2.       Perenungan terhadap penyakit
Aku wajar menyandang penyakit. Aku takkan mampu menghindari penyakit. Terlahir menjadi manusia tidak akan lepas dari sakit. Sakit merupakan bagian dari kehidupan yang akan kita alami. Dengan sering merenungkan bahwa kita tidak akan terhindar dari sakit maka kegelisahan dan ketakutan yang merupakan penyakit pikiran akan bisa teratasi. Sehingga, pada saat sakit fisik datang, kita tidak akan menambah dengan penyakit pikiran.

3.       Perenungan terhadap kematian
Aku wajar mengalami kematian. Aku takkan mampu menghindari kematian. Setiap kelahiran pasti akan diakhiri dengan kematian. DEngan kita merenungkan tentang kematian, kita akan hidup dengan waspada dan hati-hati dalam berpikir, berucap, dan berperilaku, sehingga kegelisahan dan ketakutan bisa kita kurangi.

4.       Perenungan terhadap perubahan
Segala milikku yang kucintai dan kusenangi wajar berubah, wajar berpisah dariku. Manusia dalam menjalani hidup memerlukan kebutuhan hidup seperti apakaian, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Kita juga memiliki orang tua, keluarga, serta teman-teman. Tetapi yang harus kita pahami bahwa suatu saat apa yang kita miliki, cintai, dan senangi akan berubah dan berpisah dengan kita. Oleh karena itu, perenungan tentang perubahan ini mengajarkan kita agar tidak melekat pada apapun yang selama ini kita anggap miliki kita.

5.       Perenungan tentang hukum kamma
Hukum kamma merupakan hukum yang berlaku universal kepada siapa saja, kapan saja, serta dimana saja. Dengan kita merenungkan tentang hukum kamma, maka kita akan lebih berhati-hati lagi dalam bertindak.
Pengertian yang benar tentang Dhamma dan mau mempraktikkannya akan emmbantu kita dalam mengimbangi kesenangan-kesenangan duniawi. Sehingga kemelekatan yang membawa kita pada penderitaan seperti kegelisahan dan ketakutan akan dapat kita kurangi. Semoga kita semua tetap terus mempraktikan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga semua mahluk hidup berbahagia.

Sumber : Berita Dhammacakka No. 1090
Ceramah Dhamma Oleh : Bhikkhu Ratanaviro, Minggu  tanggal 31 Mei 2015