Pasang Iklan Di Sini

Thursday, March 12, 2015

Ceramah Dhamma (7) : PELITA KEBIJAKSANAAN

PELITA KEBIJAKSANAAN

Selo yatha ekaghano, vatena na samirati
Evam nindapasamsasu, na saminjanti pandita

Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh celaan maupun pujian.
(Dhammapada , 81)

      Kemajuan jaman ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi memberikan kemudahan hidup bagi masyarakat yang telah siap sehingga dapat dimanfaatkannya. Di sisi yang lain sesungguhnya ia pun dapat memberikan akibat negative untuk mereka yang belum siap mental menghadapi perubahan lingkungan yang sedemikian cepat. Ada tuntutan-tuntutan jaman dan konflik-konflik yang harus dihadapi seseorang untuk memenuhi tuntutan jaman itu akhirnya dapat menjerumuskan orang yang lemah kebijaksanaannya pada kondisi menderita. Dasar dari kebijaksanaan sebagai bekal yang paling pokok dalam menghadapi dampak negative kemajuan jaman ini adalah memiliki kemampuan melihat hidup sebagaimana adanya, bahwa hidup tidak kekal, dan hanyalah proses belaka. Pengertian ini biasanya telah dimengerti oleh hamper setiap orang secara teoritis, namun pada kenyataannya orang jarang siap mental bila menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya.

      Kebijaksanaan untuk dapat melihat hidup sebagaimana adanya ternyata lebih mudah diucapkan dan dinasehatkan kepada orang lain daripada untuk membantu diri kita sendiri dalam mengatasi kenyataan hidup yang kadang tidak sesuai dengan harapan. Bila menjumpai orang yang sedang menderita, kita akan lebih mudah menjadi penasehat yang tampaknya amat bijaksana untuk membantu orang tersebut agar mampu menerima penderitaan hidup. Sebaliknya, bila tiba giliran kita yang menerima penderitaan akibat perubahan yang tidak diinginkan, kadang nasehat tulus dari seorang kawan dapat dianggap sebagai pelecehan atas kondisi yang sedang kita alami. Untuk meningkatkan kebijaksanaan, Sang Buddha dalam berbagai kesempatan sepanjang hidup Beliau telah membabarkan tentang tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Bila tahapan ini diikuti sungguh-sungguh, maka hasil nyata yang dapat dialami sebagai awal pencapaian adalah hidup bahagia dan bebas dari permasalahan.

      Dalam tahap awal, kebijaksanaan dapat dikembangkan dengan banyak membcaa buku-buku Dhamma dna mendengarkan pembabaran Dhamma (suta-maya –panna). Semakin kita banyak membaca dan mendengarkan Dhamma, maka pengetahuan kita bertambah dan kebijaksanaan pun berkembang. Namun dalam tataran kebijaksanaan ini, kita hanya mampu mengatasi permasalahan-permasalahan hidup yang ringan saja dan ini pun sudah banyak membantu kita dalam menjalani hidup ini. Sebagai contoh, saat kita kehilangan benda yang kita sayangi, maka kita akan mampu mengatasi penderitaan yang muncul dari kehilangan benda tersebut dan kalaupun menderita tiadk akan berkepanjangan.

      Dalam tahap kedua, kebijaksanaan dapat dikembangkan melalui perenungan / kontemplasi (cinta-maya-panna). Di keseharian kita , banyak kejadian-kejadian yang dapat kita jadikan sebagai bahan renungan demi meningkatkan kebijaksanaan. Misalkan saja saat kita menjenguk orang yang sakit parah, ini menjadi bahan renungan tentang keberadaan penyakit tersebut atau saat kita melayat, kita dapat merenungkan tentang kematian yang akan terjadi pada setiap mahluk . Dalam tataran kebijaksanaan ini kita telah mampu mengatasi permasalahan-permasalahan hidup yang lebih tinggi. Sebagai contoh, saat kita mengalami sakit keras, kita mampu mengerti bahwa bukan hanya kita sendiri yang mengalami derita itu, atau saat ada anggota keluarga kita yang kita sayangi meninggal dunia, kita tidak akan mengalami derita berkepanjangan karena berpisah dengan orang yang kita sayangi tersebut.

      Dalam tahap ketiga, kebijaksanaan dapat dikembangkan melalui meditasi (bhavana-maya-panna). Dalam tahap ini tidaklah semua orang mau dan dapat memperolehnya karena harus didorong oleh keinginan dan kemauan yang kuat dan juga harus terus-menerus dilakukan. Jika seseorang mampu meningkatkan kebijaksanaan sampai tahap ini, maka dia akan mampu menghadapi permasalahan hidup yang berat karena dia telah mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya (yatha bhuta nana dasana).

Ada 7 Dhamma yang dimiliki oleh orang mulia atau bijaksana, yaitu :

1.      Dhammannuta: Ia mengetahui sebab-sebab, seperti : “Ini sebab dari sukha” atau “Ini sebab dari dukkha”. Dalam hidup ini, setiap mahluk tidaklah akan terlepas dari apa yang namanya “sukha dan dukkha” yang datangnya silih berganti dan timbul serta tenggelam. Peristiwa suka dan duka, yang datangnya silih berganti ini, tidaklah dapat ditolak atau dihindari. Agar duka tidak begitu kuat membelenggu batin kita, maka yang pertama sekali harus disadari adalah kebenaran yang pasti terjadi di kehidupan ini, hendaknya kemelekatan akan apapun juga, haruslah sesegera mungkin disingkirkan,
2.     
     Atthannuta: Ia memiliki pengetian tentang akibat-akibat, seperti: ” Sukha adalah akibat dari sebab ini”, atau “Dukkha adalah akibat dari sebab ini”, seandainya kemalangan atau kekurang-beruntungan datang, kita tidak akan menyalahkan siapapun atau apapun. Demikian pula kebahagiaan datang, kita akan menyadari bahwa ini adalah buah yang telah matang dari pohon perbuatan kita.

3.      Attannuta : Ia mengetahui diri sendiri seperti ini : “Saya berasal dari keluarga demikian, kedudukan, pangkat, dan saya memiliki kekayaan demikian, pengikut, pengetahuan, dan kesucian Dhamma”. Kemudian ia menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya di dalam kehidupan. Kelebihan maupun kekurangan yang telah dimiliki, hendaknya tidaklah menimbulkan masalah maupun kedukaan, bagi masyarakat yang ada di lingkungannya.

4.      Mattannuta : Ia mengetahui bagiaman acara untuk memperoleh kebutuhan hidup dan hanya berbuat demikian di dalam cara yang pantas dan benar. Ia juga mengetahui seberapa banyak yang ia perlukan dan ia hanya mengambil secukupnya sesuai kebutuhan. Orang serakah dalam hal ini akan menempuh berbagai macam cara demi pemuasan akan kekuasaannya yang tiada henti-hentinya. Dia tidak segan-segannya menghalalkan tindakan negative untuk memenuhi ambisinya. Oleh karena itu agar terlepaskan dari jeratan belenggu kejahatan ini, berusahalah terus menerus menyadari bahwa hidup sesuai dengan kebutuhan adalah yang terbahagia, bebas dari keruwetan, kepusingan maupun kekecewaan.

5.      Kalannuta : Ia mengetahui saat yang tepat untuk berbuat dan melakukan sesuatu yang pantas untuk dilakukan. Bagi yang telah berkeluarga, waktu untuk berkeluarga telah tersedia dan di samping itu juga harus mampu membagi waktu untuk kegiatan duniawi maupun keagamaan. Yang terpenting adalah dimilikinya pengertian yang benar akan jalan tengah yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha dimana waktu dimanfaatkan sebijaksana mungkin. Waktu hanya dimanfaatkan untuk hal-hal yang berguna demi kebahagiaan diri sendiri maupun mahluk lain.

6.      Parisannuta : Ia mengetahui golongan-golongan orang dan perbuatan-perbuatan apa yang harus dilakukan di dalam lingkungan demikian. Misalkan kita pergi ke sekelompok orang tertentu, maka perbuatan dan ucapan kita harus disesuaikan dengan lingkungan keberadaan kita.

7.      Puggalaparopannuta : Ia mengetahui bagaimana harus membedakan orang-orang. Misalnya : “Dia adalah orang yang buruk dan tidak patut dijadikan sahabat”. Dengan demikian kemajuan akan terus kita dapatkan apabila kita bergaul dengan orang baik.
(Anguttara Nikaya IV. 113)

Ceramah oleh Bhikkhu Suratano tanggal 23 desember 2012.
Sumber : Berita Dhammacakka No. 961 Tanggal 23 Desember 2012.



     

No comments:

Post a Comment