PELITA
KEBIJAKSANAAN
Selo
yatha ekaghano, vatena na samirati
Evam
nindapasamsasu, na saminjanti pandita
Bagaikan
batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana
tidak akan terpengaruh celaan maupun pujian.
(Dhammapada
, 81)
Kemajuan jaman ibarat pisau bermata dua.
Di satu sisi memberikan kemudahan hidup bagi masyarakat yang telah siap
sehingga dapat dimanfaatkannya. Di sisi yang lain sesungguhnya ia pun dapat
memberikan akibat negative untuk mereka yang belum siap mental menghadapi
perubahan lingkungan yang sedemikian cepat. Ada tuntutan-tuntutan jaman dan
konflik-konflik yang harus dihadapi seseorang untuk memenuhi tuntutan jaman itu
akhirnya dapat menjerumuskan orang yang lemah kebijaksanaannya pada kondisi
menderita. Dasar dari kebijaksanaan sebagai bekal yang paling pokok dalam
menghadapi dampak negative kemajuan jaman ini adalah memiliki kemampuan melihat
hidup sebagaimana adanya, bahwa hidup tidak kekal, dan hanyalah proses belaka.
Pengertian ini biasanya telah dimengerti oleh hamper setiap orang secara
teoritis, namun pada kenyataannya orang jarang siap mental bila menghadapi
perubahan yang terjadi dalam hidupnya.
Kebijaksanaan untuk dapat melihat hidup
sebagaimana adanya ternyata lebih mudah diucapkan dan dinasehatkan kepada orang
lain daripada untuk membantu diri kita sendiri dalam mengatasi kenyataan hidup
yang kadang tidak sesuai dengan harapan. Bila menjumpai orang yang sedang
menderita, kita akan lebih mudah menjadi penasehat yang tampaknya amat
bijaksana untuk membantu orang tersebut agar mampu menerima penderitaan hidup.
Sebaliknya, bila tiba giliran kita yang menerima penderitaan akibat perubahan
yang tidak diinginkan, kadang nasehat tulus dari seorang kawan dapat dianggap
sebagai pelecehan atas kondisi yang sedang kita alami. Untuk meningkatkan
kebijaksanaan, Sang Buddha dalam berbagai kesempatan sepanjang hidup Beliau
telah membabarkan tentang tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Bila tahapan
ini diikuti sungguh-sungguh, maka hasil nyata yang dapat dialami sebagai awal
pencapaian adalah hidup bahagia dan bebas dari permasalahan.
Dalam tahap awal, kebijaksanaan dapat
dikembangkan dengan banyak membcaa buku-buku Dhamma dna mendengarkan pembabaran
Dhamma (suta-maya –panna). Semakin
kita banyak membaca dan mendengarkan Dhamma, maka pengetahuan kita bertambah
dan kebijaksanaan pun berkembang. Namun dalam tataran kebijaksanaan ini, kita
hanya mampu mengatasi permasalahan-permasalahan hidup yang ringan saja dan ini
pun sudah banyak membantu kita dalam menjalani hidup ini. Sebagai contoh, saat
kita kehilangan benda yang kita sayangi, maka kita akan mampu mengatasi
penderitaan yang muncul dari kehilangan benda tersebut dan kalaupun menderita
tiadk akan berkepanjangan.
Dalam tahap kedua, kebijaksanaan dapat
dikembangkan melalui perenungan / kontemplasi (cinta-maya-panna). Di keseharian kita , banyak kejadian-kejadian
yang dapat kita jadikan sebagai bahan renungan demi meningkatkan kebijaksanaan.
Misalkan saja saat kita menjenguk orang yang sakit parah, ini menjadi bahan
renungan tentang keberadaan penyakit tersebut atau saat kita melayat, kita
dapat merenungkan tentang kematian yang akan terjadi pada setiap mahluk . Dalam
tataran kebijaksanaan ini kita telah mampu mengatasi permasalahan-permasalahan
hidup yang lebih tinggi. Sebagai contoh, saat kita mengalami sakit keras, kita
mampu mengerti bahwa bukan hanya kita sendiri yang mengalami derita itu, atau
saat ada anggota keluarga kita yang kita sayangi meninggal dunia, kita tidak
akan mengalami derita berkepanjangan karena berpisah dengan orang yang kita
sayangi tersebut.
Dalam tahap ketiga, kebijaksanaan dapat
dikembangkan melalui meditasi (bhavana-maya-panna).
Dalam tahap ini tidaklah semua orang mau dan dapat memperolehnya karena harus
didorong oleh keinginan dan kemauan yang kuat dan juga harus terus-menerus
dilakukan. Jika seseorang mampu meningkatkan kebijaksanaan sampai tahap ini,
maka dia akan mampu menghadapi permasalahan hidup yang berat karena dia telah
mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya (yatha bhuta nana dasana).
Ada 7 Dhamma yang
dimiliki oleh orang mulia atau bijaksana, yaitu :
1.
Dhammannuta: Ia mengetahui sebab-sebab,
seperti : “Ini sebab dari sukha” atau “Ini sebab dari dukkha”. Dalam hidup ini,
setiap mahluk tidaklah akan terlepas dari apa yang namanya “sukha dan dukkha”
yang datangnya silih berganti dan timbul serta tenggelam. Peristiwa suka dan
duka, yang datangnya silih berganti ini, tidaklah dapat ditolak atau dihindari.
Agar duka tidak begitu kuat membelenggu batin kita, maka yang pertama sekali
harus disadari adalah kebenaran yang pasti terjadi di kehidupan ini, hendaknya
kemelekatan akan apapun juga, haruslah sesegera mungkin disingkirkan,
2.
Atthannuta: Ia memiliki pengetian
tentang akibat-akibat, seperti: ” Sukha adalah akibat dari sebab ini”, atau “Dukkha
adalah akibat dari sebab ini”, seandainya kemalangan atau kekurang-beruntungan
datang, kita tidak akan menyalahkan siapapun atau apapun. Demikian pula
kebahagiaan datang, kita akan menyadari bahwa ini adalah buah yang telah matang
dari pohon perbuatan kita.
3.
Attannuta : Ia mengetahui diri sendiri
seperti ini : “Saya berasal dari keluarga demikian, kedudukan, pangkat, dan
saya memiliki kekayaan demikian, pengikut, pengetahuan, dan kesucian Dhamma”.
Kemudian ia menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya di dalam kehidupan.
Kelebihan maupun kekurangan yang telah dimiliki, hendaknya tidaklah menimbulkan
masalah maupun kedukaan, bagi masyarakat yang ada di lingkungannya.
4.
Mattannuta : Ia mengetahui bagiaman
acara untuk memperoleh kebutuhan hidup dan hanya berbuat demikian di dalam cara
yang pantas dan benar. Ia juga mengetahui seberapa banyak yang ia perlukan dan
ia hanya mengambil secukupnya sesuai kebutuhan. Orang serakah dalam hal ini
akan menempuh berbagai macam cara demi pemuasan akan kekuasaannya yang tiada
henti-hentinya. Dia tidak segan-segannya menghalalkan tindakan negative untuk
memenuhi ambisinya. Oleh karena itu agar terlepaskan dari jeratan belenggu
kejahatan ini, berusahalah terus menerus menyadari bahwa hidup sesuai dengan
kebutuhan adalah yang terbahagia, bebas dari keruwetan, kepusingan maupun
kekecewaan.
5.
Kalannuta : Ia mengetahui saat yang
tepat untuk berbuat dan melakukan sesuatu yang pantas untuk dilakukan. Bagi
yang telah berkeluarga, waktu untuk berkeluarga telah tersedia dan di samping
itu juga harus mampu membagi waktu untuk kegiatan duniawi maupun keagamaan.
Yang terpenting adalah dimilikinya pengertian yang benar akan jalan tengah yang
telah dibabarkan oleh Sang Buddha dimana waktu dimanfaatkan sebijaksana
mungkin. Waktu hanya dimanfaatkan untuk hal-hal yang berguna demi kebahagiaan
diri sendiri maupun mahluk lain.
6.
Parisannuta : Ia mengetahui
golongan-golongan orang dan perbuatan-perbuatan apa yang harus dilakukan di
dalam lingkungan demikian. Misalkan kita pergi ke sekelompok orang tertentu,
maka perbuatan dan ucapan kita harus disesuaikan dengan lingkungan keberadaan
kita.
7.
Puggalaparopannuta : Ia mengetahui
bagaimana harus membedakan orang-orang. Misalnya : “Dia adalah orang yang buruk
dan tidak patut dijadikan sahabat”. Dengan demikian kemajuan akan terus kita
dapatkan apabila kita bergaul dengan orang baik.
(Anguttara Nikaya IV. 113)
Ceramah
oleh Bhikkhu Suratano tanggal 23 desember 2012.
Sumber
: Berita Dhammacakka No. 961 Tanggal 23 Desember 2012.
No comments:
Post a Comment