Pasang Iklan Di Sini

Friday, March 13, 2015

Ceramah Dhamma (26) : KESIAPAN MENTAL MENGHADAPI PERUBAHAN

KESIAPAN MENTAL MENGHADAPI PERUBAHAN

Uppanno kho me ayam labho, so ca kho anicco dukkho
Viparinamadhammo’ti, yathabhutam nappajanati.

Perolehan yang telah datang padaku ini tidak kekal, menyatu dengan perubahan.
(Anguttara Nikaya 8.6, Dutiyalokadhamma Sutta).

      Sebagian besar orang menentang perubahan, khususnya bila perubahan itu mempengaruhi mereka secara pribadi, seperti penuaan , kerugian, sampai pada perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Kenyataan yang begitu ironis bahwa perubahan itu tidak dapat dihindari. Semua orang harus berhadapan dengan perubahan. Setiap orang ingin mengubah dunia, tetapi tidak seorangpun berpikir untuk mengubah dirinya sendiri, yaitu diawali dengan mengubah pola piker kea rah yang benar (samma sankappa).

      Ketika orang-orang dihadapkan pada perubahan, khususnya perubahan ke arah kurang mengenakkan, mereka akan berhadapan dengan emosi. Kita hanya memiliki dua pilihan ketika berbicara mengenai emosi: kita dapat mengendalikan emosi atau justru dikendalikan oleh emosi itu sendiri. Semakin lebar kesenjangan antara apa yang kita bayangkan dengan realitas yang ada, maka semakin besar pula kemungkian kita untuk lebih sering kecewa. Apa maksudnya ? Maknanya bahwa berpikir itu mudah, bertindak itu sulit, dan menerapkan hasil pemikiran menjadi sebuah tindakan nyata itulah merupakan hal yang paling sulit di dunia ini. Maka dari itu, Sang Buddha mengajak kita untuk memandang dunia ini dari sudut pandang yang realistis, bukan optimistis tanpa pijakan kuat yang akan berujung pada keputus-asaan ataupun sikap pesimis yang berhenti pada ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri sendiri.

Jenis-Jenis Mentalitas

      Dalam Anguttara Nikaya 3.25 Vajirupama Sutta membahas tentang tiga jenis mentalitas dari manusia.

      Ada tiga jenis manusia yang terdapat di dunia ini. Apakah yang tiga itu ? Ada manusia dengan pikiran seperti luka menganga (arukupamacitto puggalo) , manusia dengan pikiran seperti kilat (vijjupamacitto puggalo), manusia dengan pikiran seperti berlian (vajirupamacitto puggalo).

      Seperti apakah manusia yang memiliki pikiran seperti luka menganga ? Dia adalah orang yang cepat naik darah dan mudah jengkel. Jika dikritik sedikit saja, dia sudah kehilangan kesabaran, lalu menjadi marah dan jengkel; dia keras kepala dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan. Persis seperti, misalnya, luka bernanah yang jika dipukul dengan tongkat atau pecahan tanah liat akan mengeluarkan lebih banyak nanah, demikian juga orang yang cepat naik darah dan menujukkan kemarahan , kebencian dan kejengkelan. Orang seperti ini dikatakan memiliki pikiran seperti luka menganga.

      Seperti apakah manusia yang memiliki pikiran seperti kilat ? Dia adalah orang yang memahami sebagaimana adanya, “Inilah penderitaan”; “Inilah asal mula penderitaan”; “Inilah berhentinya penderitaan”; “Inilah jalan menuju berhentinya penderitaan.” Sama seperti orang yang baik penglihatannya akan dapat melihat objek di dalam kegelapan malam lewat sinar kilat, demikian pula orang yang memahami Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya. Orang seperti ini dikatakan memiliki pikiran seperti kilat.

      Seperti apakah manusia dengan pikiran seperti berlian ? Dia adalah orang yang lewat hancurnya noda-noda, di dalam kehidupan ini juga, masuk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran yang tanpa noda, karena dia telah merealisasikannya bagi diri sendiri lewat pengetahuan langsung. Sama seperti tidak ada yang tidak dapat dipotong oleh berlian – entah itu batu permata lain atau batu karang – demikian pula orang itu, lewat hancurnya noda-noda, di dalam kehidupan ini juga, msauk dan berdiam di dalam pembebasan pikiran yang tanpa noda, pembebasan pikiran lewat kebijaksanaan, karena dia telah merealisasikannya bagi diri sendiri lewat pengetahuan langsung. Orang seperti ini dikatakan memiliki pikiran seperti berlian.

Memahami Realitas Kehidupan
      Kemelekatan yang ada pada pribadi setiap orang diibaratkan seperti seekor ular yang telah berhasil menangkap seekor katak. Ular tersebut tidak akan melepaskan katak yang sudah ditangkap sampai akhirnya katak itu mati. Sederhananya, ketika kita memperoleh suatu hal yang kita inginkan, secara langsung kita akan melekatinya dengan erat, karena telah melekat, maka ketika kehilangan objek yang dilekatinya itu kita akan menjadi begitu menderita. Sedangkan realita yang harus kita hadapi adalah dunia ini terkurung oleh kematian, berdiri di atas penderitaan, terjerat oleh ketagihan, terbungkus oleh usia tua.

      Di dalam kemalangan (perubahan yang terjadi), maka ketabahan seseorang dapat diketahui. Ada orang yang menderita kehilangan sanak keluarga, kekayaan atau kesehatan, tetapi dia tidak merenungkan demikian: “Inilah sifat alami kehidupan di dunia ini, inilah sifat almai kemampuan keberadaan individu, bahwa delapan kondisi duniawi terus membuat dunia berputar, dan dunia memutar delapan kondisi duniawi ini, yaitu : untung dan rugi, terkenal dan tercemar, dipuji dan dicela, senang dan menderita.” Tanpa mempertimbangkan hal ini, dia berduka dan khawatir, dia meratap dan memukuli dadanya, dan menjadi gelisah ketika menderita kehilangan sanak keluarga, kekayaan atau kesehatannya.

      Dalam kasus lain, ketika seseorang menderita kehilangan sanak keluarga , kekayaan atau kesehatan, dia merenungkan demikian: “Inilah sifat alami kehidupan di dunia ini, inilah sifat alami kemampuan keberadaan individu, bahwa delapan kondisi duniawi terus membuat dunia berputar, dan dunia memutar delapan kondisi duniawi ini, yaitu : untung dan rugi, terkenal dan tercemar, dipuji dan dicela, senang dan menderita.” Dengan mempertimbangkan hal ini, dia tidak berduka atau khawatir atau meratap dan memukuli dadanya atau menjadi gelisah ketika menderita kehilangan sanak keluarga, kekayaan atau kesehatan.

Kemurahan Hati : Melepas tanpa Mengharapkan Imbalan
      Apakah harta dari kemurahan hati ? Hal ini lebih mengarah kepada kesadaran seseorang yang bersih dari noda kekikiran, murah hati tanpa paksaan, tangan terbuka, bersenang dalam memaafkan, tanggap terhadap permintaan-permintaan, bersuka cita dalam membagikan dana makanan. Kemelekatan dapat secara berangsur-angsur ditekan berkat ada kemurahan hati. Kita melatih untuk melepas, tanpa harapan imbalan sebagai balas jasa karena kita cukup yakin bahwa berbagai pemberian yang diberikan dengan ketulusan hati, akan emmbuahkan kebahagiaan bagi kita dan orang lain.

Kesimpulan
      Jadi, dengan memahami realita kehiudpan ini yang penuh dengan perubahan, maka kita harus mempersiapkan mental yang dewasa dan berani untuk menghadapi perubahan. Jika kita terluka parah dalam kehidupan ini, mulailah mengakui kepedihan dan duka cita itu dari setiap kehilangan yang telah kita alami. Dengan melakukan itu, hari ini dapat menjadi hari kita untuk mengubah kepedihan masa lalu kita melalui terobosan menuju masa depan. Tragedi tidak harus menghambat seseorang yang memiliki harapan yang positif, menjadi produktif, dan menjalani kehidupan sepenuhnya. Segelap apapun masa lalu kita, hal itu tidak perlu mewarnai masa kini untuk selamanya.
Ceramah Dhamma oleh : Bhikkhu Khemadharo tanggal 12 Mei 2013.

Sumber : Berita Dhammacakka No. 981 Tgl 12 Mei 2013.

No comments:

Post a Comment