Pasang Iklan Di Sini

Thursday, October 30, 2014

Angutara Nikaya 6 - Perhatian Pada Kematian

19 (9) Perhatian pada Kematian (1)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: [304] “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, perhatian pada kematian, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.<1282> Tetapi apakah kalian, para bhikkhu, mengembangkan perhatian pada kematian?”

(1) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari semalam sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā.<1283> Dan aku berhasil sejauh itu!’<1284> Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(2) Seorang bhikkhu lainnya berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’<1285> Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(3) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk satu kali makan<1286> sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(4) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan empat atau lima suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. [305] Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

(5) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan satu suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”
   
(6) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perhatian pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perhatian pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengembuskan nafas setelah menarik nafas, atau untuk menarik nafas setelah mengembuskan nafas, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perhatian pada kematian.”

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu itu:

“Para bhikkhu, (1) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari semalam sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (2) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup sehari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (3) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk satu kali makan sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (4) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan empat atau lima suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā.  Dan aku berhasil sejauh itu!’: [306] mereka ini disebut para bhikkhu yang berdiam dengan lengah. Mereka mengembangkan perhatian pada kematian dengan lambat demi hancurnya noda-noda.

“Tetapi (5) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan satu suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ ; dan (6) bhikkhu yang mengembangkan perhatian pada kematian sebagai berikut: Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengembuskan nafas setelah menarik nafas, atau untuk menarik nafas setelah mengembuskan nafas, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’: mereka ini disebut para bhikkhu yang berdiam dengan waspada. Mereka mengembangkan perhatian pada kematian dengan giat demi hancurnya noda-noda.
   
20 (10) Perhatian pada Kematian (2)

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, perhatian pada kematian, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, dengan tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya. Dan bagaimanakah hal ini demikian?

“Di sini, para bhikkhu, ketika siang hari berlalu dan malam menjelang,<1287> seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku dapat mati karena banyak penyebab. (1) Seekor ular mungkin menggigitku, atau seekor kalajengking atau seekor lipan mungkin menyengatku; itu akan menjadi rintangan bagiku. (2) Aku mungkin tersandung dan jatuh, atau (3) makananku mungkin tidak cocok bagiku, atau (4) empeduku [307] mungkin menjadi terganggu, atau (5) dahakku mungkin menjadi terganggu, atau (6) angin tajam dalam tubuhku mungkin menjadi terganggu, dan aku dapat mati; itu akan menjadi rintangan bagiku.’

“Bhikkhu ini harus merefleksikan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat apa pun yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini?’ Jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui: ‘Aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Tetapi jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui sebagai berikut: ‘Aku tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia boleh berdiam dalam sukacita dan kegembiraan yang sama itu, berlatih siang dan malam dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Tetapi ketika malam hari berlalu dan pagi menjelang, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Aku dapat mati karena banyak penyebab. Seekor ular mungkin menggigitku …  atau angin tajam dalam tubuhku mungkin menjadi terganggu, dan aku dapat mati; itu akan menjadi rintangan bagiku.’

“Bhikkhu ini harus merefleksikan sebagai berikut: [308] ‘Apakah aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat apa pun yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini?’ Jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui: ‘Aku memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu. Seperti halnya seseorang yang pakaian atau kepalanya terbakar akan mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk memadamkan [api pada] pakaian atau kepalanya, demikian pula bhikkhu itu harus mengerahkan keinginan, usaha, kemauan, semangat, tanpa mengenal lelah, perhatian, dan pemahaman jernih yang luar biasa untuk meninggalkan kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat itu.

“Tetapi jika, setelah meninjau kembali, bhikkhu itu mengetahui sebagai berikut: ‘Aku tidak memiliki kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum ditinggalkan, yang dapat menjadi rintangan bagiku jika aku mati malam ini,’ maka ia boleh berdiam dalam sukacita dan kegembiraan yang sama itu, berlatih siang dan malam dalam kualitas-kualitas bermanfaat.

“Adalah, para bhikkhu, ketika perhatian pada kematian dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka akan berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.” [309]

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=24201.0

Angutara Nikaya 6 - Pedagang Ikan

18 (8 ) Pedagang Ikan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di tengah-tengah para penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu. Kemudian, selagi berjalan di sepanjang jalan raya, di suatu tempat tertentu Sang Bhagavā melihat seorang pedagang ikan sedang membunuh ikan dan menjualnya. Beliau meninggalkan jalan raya, duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan untukNya di bawah sebatang pohon, dan berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah kalian melihat pedagang ikan itu yang sedang membunuh ikan dan menjualnya?”

“Ya, Bhante.”

(1) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang pedagang ikan, yang membunuh ikan-ikan [302] dan menjualnya, dapat, karena pekerjaan dan penghidupannya itu, bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan?”

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian. Karena alasan apakah? Karena ia melihat dengan kejam pada ikan yang ditangkap ketika ikan-ikan itu dibawa ke tempat pemotongan. Oleh karena itu ia tidak bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan.

(2) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang penjagal sapi, yang membunuh sapi-sapi dan menjualnya … [303] (3) … seorang penjagal domba … (4) … seorang penjagal babi … (5) seorang penyembelih unggas … (6) … seorang penjagal rusa, yang membunuh rusa-rusa dan menjualnya, dapat, karena pekerjaan dan penghidupannya itu, bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan?”

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu, Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian. Karena alasan apakah? Karena ia melihat dengan kejam pada rusa yang ditangkap ketika rusa-rusa itu dibawa ke tempat penjagalan. Oleh karena itu ia tidak bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan.

“Para bhikkhu, seseorang yang melihat dengan kejam pada binatang-binatang yang ditangkap ketika binatang-binatang itu dibawa ke tempat penjagalan tidak akan bepergian dengan menunggang gajah atau kuda, dengan mengendarai kereta atau kendaraan, atau menikmati kekayaan atau hidup dari timbunan besar kekayaan. Apalagi yang dapat dikatakan tentang seorang yang melihat dengan kejam pada seorang manusia terhukum yang dibawa menuju tempat pembantaian? Ini akan mengarah menuju bencana dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama. Dengan hancurnya jasmani setelah kematian, ia akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan  yang buruk, di alam rendah, di neraka.”

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=24201.0

Angutara Nikaya 6 - Bermanfaat

17 (7) Bermanfaat

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Savatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada suatu malam hari, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan memasuki aula pertemuan, di mana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Pada malam itu, Yang Mulia Sāriputta juga, keluar dari keterasingan dan memasuki aula pertemuan, di mana [299] ia bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Yang Mulia Mahāmoggallāna … Yang Mulia Mahākassapa … Yang Mulia Mahākaccāyana … Yang Mulia Mahākoṭṭhita … Yang Mulia Mahācunda … Yang Mulia Mahākappina … Yang Mulia Anuruddha … Yang mulia Revata … Yang Mulia Ānanda juga, keluar dari keterasingan dan memasuki aula pertemuan, di mana bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi.

Kemudian, setelah melewatkan sebagian besar malam itu dengan duduk, Sang Bhagavā bangkit dari dudukNya dan memasuki kediamanNya. Segera setelah Sang Bhagavā pergi, para mulia itu juga, bangkit dari duduk mereka dan memasuki kediaman mereka masing-masing. Tetapi para bhikkhu itu yang baru ditahbiskan, yang belum lama meninggalkan keduniawian dan baru saja mendatangi Dhamma dan disiplin ini tidur dan mendengkur hingga matahari terbit. Dengan mata-dewaNya, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā melihat para bhikkhu itu tidur dan mendengkur hingga matahari terbit. Kemudian Beliau mendatangi aula pertemuan, duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk Beliau, dan berkata kepada para bhikkhu itu:

“Para bhikkhu, di manakah Sāriputta? Di manakah Mahāmoggallāna? Di manakah Mahākassapa? Di manakah Mahākaccāyana? Di manakah Mahākoṭṭhita? Di manakah Mahācunda? Di manakah Mahākappina? Di manakah Anuruddha? Di manakah Revata? Di manakah Ānanda? Ke mana para bhikkhu senior itu pergi?”

“Bhante, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, para mulia itu juga bangkit dari duduk mereka dan memasuki kediaman mereka masing-masing.”

“Para bhikkhu, ketika para bhikkhu senior itu pergi, megapa kalian para bhikkhu yang baru ditahbiskan tidur dan mendengkur hingga matahari terbit?

(1) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang raja khattiya yang sah, sewaktu memerintah seumur hidupnya, disenangi dan disukai oleh negerinya [300] jika ia menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur?”<1280>

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian.

(2) “Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang petugas kerajaan … (3) … seorang putra tersayang … (4) … seorang jenderal … (5) … seorang kepala desa … (6) … seorang pemimpin serikat kerja, sewaktu memerintah seumur hidupnya, disenangi dan disukai oleh negerinya jika ia menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur?” 

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian.

“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Misalkan ada seorang petapa atau brahmana yang menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur; seorang yang tidak menjaga pintu-pintu indria, yang makan berlebihan, dan tidak menekuni keawasan; yang tidak memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat; yang tidak berdiam dengan menekuni usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap pertama dan akhir malam hari. Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang yang demikian, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya?”

“Tidak, Bhante.”

“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau [301] mendengar hal demikian.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menjaga pintu-pintu indria kami, makan secukupnya, dan menekuni keawasan; kami akan memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat, dan akan berdiam dengan menekuni usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap pertama dan akhir malam hari.’<1281> Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus berlatih.

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=24201.0

Wednesday, October 29, 2014

6 Alasan yang Bikin Anda Susah Sukses

6 Alasan yang Bikin Anda Susah Sukses


Liputan6.com, New York - Kesuksesan tak hanya persoalan uang semata dan bisa berbeda bagi setiap orangnya. Meski begitu, tetap saja banyak orang tak berhasil mencapai kesuksesan dan terus bergelut dengan kegagalan sepanjang karir atau bisnisnya.
Mengutip laman Lifehack.org, Rabu (28/10/2014), sukses mungkin bersifat relatif, tapi kegagalan akan selalu memiliki arti yang sama bagi siapa saja. Kegagalan adalah ketidakmampuan seseorang mencapai target hidupnya termasuk berkarir dan berbisnis.
Berbagai kesalahan pribadi tanpa disadari dapat membuat Anda terus terjerumus dan gagal. Hindari berbagai kesalahan tersebut dengan mengetahui penyebab kegagalan Anda.
Berikut enam alasan yang membuat Anda sulit mencapai kesuksesan:

1. Tidak menghargai waktu
Salah satu miliarder terkaya di dunia Richard Branson mengatakan, para pengusaha sukses mengetahui bahwa waktu lebih berharga daripada uang. Artinya, orang-orang yang sering gagal dalam berkarir atau berbisnis tidak pandai mengharigai waktu.
Banyak orang yang selalu tampak sibuk tapi tak menghasilkan apa-apa karena jarang menggunakan waktu secara efisien. Ingat, kemampuan mengelola waktu merupakan salah satu kunci kesuksesan.
2. Tidak punya misi untuk sukses
Banyak orang bermimpi untuk sukses tanpa melakukan berbagai upaya yang bisa membuatnya sukses. Salah satu pengusaha sukses Roy Disney mengatakan, tak akan sulit mengambil keputusan jika Anda mengenal diri sendiri.
Ingin sukses saja tidak cukup jika Anda kurang disiplin dalam menjalani karir dan bisnis pribadi. Mereka yang gagal seringkali fokus agar terlihat produktif tapi lupa akan golnya sendiri
3. Kurang percaya diri
Kegagalan bisa datang karena Anda merasa tidak akan sukses. Banyak orang yang meragukan kemampuannya sendiri dan merasa tidak sanggup lagi menjalani bisnis.
Orang yang gagal seringkali membatasi dirinya sendiri dan selalu mencari pembenaran atas kesalahannya. Berhenti berpikir Anda tidak bisa dan kumpulkan seluruh bakat serta kemampuan agar bisa cepat sukses.
4. Pandai mencari alasan
Orang terkaya dunia Bill Gates mengatakan, jika Anda tak bisa jadi orang baik, setidaknya buatlah dirimu tampak baik. Sebaliknya, bukannya mengakui kesalahan dan menerima kekurangan pribadi, banyak orang yang selalu mencari-cari alasan untuk menutupinya.
Tak mampu bersikap realistis membuat banyak orang terjerembab ke jurang kegagalan.
5. Sering menunda pekerjaan
Lakukan seluruh pekerjaan seperti usia Anda akan habis besok. Itu lantaran kebiasaan menunda pekerjaan dapat membuat Anda mudah gagal.
Orang seperti ini biasanya tak bisa menghargai waktu. Berhenti menunda pekerjaan dan lihat bagaimana kesuksesan dapat dengan mudah Anda gapai.

6. Tak bekerja keras
Lakukan sesuatu agar masa depan jadi lebih cerah. Sayangnya, banyak orang gagal karena hanya punya gagasan tapi tak berani bekerja keras mewujudkannya.
Menjadi pemimpi memang baik untuk mendorong motivasi pribadi. Tapi tanpa bekerja keras, Anda hanya akan menemukan kegagalan. (Sis/Ndw)
http://bisnis.liputan6.com/read/2125703/6-alasan-yang-bikin-anda-susah-sukses?p=0

Tips Melancong Bagi Para Jomblo

Tips Melancong Bagi Para Jomblo

TEMPO.COJakarta - Siapa bilang hidup melajang itu menyedihkan? Dengan status lajang, justru banyak kegiatan yang dapat dilakukan. Salah satunya, kesempatan lebih luas untuk melancong.
Sebenarnya perjalanan bisa dilakukan sendirian, berdua, atau kelompok lebih banyak. Namun kalaupun tak ada teman, bukan pula menyedihkan. Yang penting adalah persiapan. Soal teman, siapa tahu bersua dengan rekan baru di perjalanan. Atau malah bertemu jodoh?
Nah, berikut persiapan melancong bagi si lajang, seperti dikutip dari Majalah Travelounge edisi Oktober 2014.
1. Destinasi
Hal pertama yang harus dipikirkan dalam perencanaan liburan, tentu mencari tempat liburan yang mengasyikkan bagi para lajang. Destinasi ini tentunya disesuaikan dengan minat Anda. Ke pantai, gunung, keliling kota wisata, atau bahkan ke luar negeri, tak masalah, asal ada kesempatan dan dana.
2. Akomodasi
Menginap di hotel tampaknya terlalu biasa bagi para pelancong. Sebaiknya bagi lajang, hindari tempat ini agar tak membosankan. Cobalah mencari penginapan di hotel kelas backpacker. Di hotel jenis ini, satu kamar biasanya memiliki banyak ranjang. Nah, kesempatan ini memungkinkan Anda untuk bertemu dan berkenalan dengan wisatawan lain yang datang dari berbagai negara. Siapa tahu cinta Anda bersemi dengan pelancong dari negara lain di hostel.
3. Aktivitas
Carilah kegiatan yang tepat. Artinya, aktivitas yang melibatkan banyak orang yang belum Anda kenal sebelumnya. Sebaiknya, usahakan agar selama liburan Anda banyak bertemu dengan orang baru. Tak ada salahnya juga mengikuti tur dalam sebuah grup, sehingga dalam perjalanan ke berbagai objek wisata, sekelompok turis yang sebelumnya tak dikenal itu menjadi teman.
4. Pakaian
Berpenampilan yang baik untuk menambah rasa percaya diri. Namun, tidak berlebihan. Sesuaikan pakaian dengan tempat di mana Anda akan berlibur. Persiapkan pakaian dingin bila berlibur ke pengunungan, dan pakaian santai untuk bermain air saat ke daerah pesisir. Jangan pula mengenakan perhiasan yang mencolok sehingga mengundang niat jahat orang sekitar.
5. Bersikap Terbuka
Sebagai seorang lajang, Anda harus tetap berpikiran positif ketika sedang melakukan perjalanan. Pikiran positif sangat membantu Anda untuk lebih terbuka terhadap kedatangan orang baru. Keterbukaan pikiran juga penting dalam berkenalan. Apabila Anda tertutup terhadap orang selama di perjalanan, bisa dipastikan Anda tak akan menikmati kegiatan traveling Anda. Setuju?

https://id.berita.yahoo.com/tips-melancong-bagi-para-jomblo-231637893.html

Penikmat Sushi, Simak Hal Berikut

Penikmat Sushi, Simak Hal Berikut

Sushi atau atau nasi yang diisi ikan mentah lalu digulung rumput laut kering adalah makanan yang enak dan bergizi. Sushi juga digemari banyak orang dan sering digunakan sebagai alasan untuk berdiet karena dianggap makanan sehat.
Padahal, Anda tidak boleh terlalu banyak mengonsumsi sushi.Pasalnya, kandungan kalori pada sushi sangat banyak. Tak percaya? Simak contoh berikut ini:
• Sushi yang dicelupkan ke kecap asin akan menambah kadar sodium sehingga bisa mengganggu kesehatan jantung.
• Sepotong sushi dengan daging kepiting dan alpukat megandung 400 kalori 2 gram garam.
• Sepotong sushi salmon dan alpukat mengandung 300 kalori, serta akan bertambah kalorinya jika ditambahkan dengan krim keju dan mayones.
Anda pun jangan terjebak harga murah saat mengonsumsi sushi. Pasalnya, memakan daging mentah atau setengah matang berisiko bagi kesehatan. Ikan yang dipakai dalam sushi harus dibekukan dalam suhu -20 derajat Celsius selama 15 jam. Tujuannya, supaya parasit beku dan ikan tetap segar saat dikonsumsi. Pembekuan ini tidak bisa dilakukan di dalam lemari es biasa, lho!
Lalu, apa yang terjadi bila ikan tidak dibekukan secara sempurna? Berikut risikonya:
  1. Infeksi usus dari ikan salmon, kakap putih, trout, dan pike dan bisa menimbulkan anemia. 
  2. Anisakiasis yang mirip keracunan makanan. Hal ini sering disalahartikan sebagai gejala usus buntu atau maag. Oleh karena itu, Anda disarankan menceritakan bahwa Anda sebelumnya mengonsumsisushi saat keluhan tersebut terjadi kepada dokter.
Ingin menikmati sushi tanpa harus khawatir? Lakukan tips ini:
  1. Untuk memperkecil bahayanya, jangan pesan sushi yang terbuat dari ikan laut. 
  2. ikan tuna jarang mengandung parasit, namun tuna ahi mengandung banyak merkuri dan kandungan metal dibandingkan jenis ikan lain. 
  3. Cocolkan wasabi saat mengonsumsi sushi sebab wasabi dapat membunuh parasit.
  4. Pilih restoran atau toko penjual ikan yang berstandar sashimi grade sebab ikan terjamin keamanannya, memiliki kadar parasit sangat rendah, serta dibekukan sempurna.
  5. Selalu perhatikan kualitas sushi yang diolah dan hendak Anda makan di restoran mana pun.

https://id.she.yahoo.com/penikmat-sushi--simak-hal-berikut-035304951.html

Beraksi Mengatasi Epilepsi

Beraksi Mengatasi Epilepsi

HISTORIA.CO.ID - Lepasnya muatan listrik di otak menjadi penyebab utama epilepsi. Tapi orang sering memandangnya sebagai penyakit kutukan.
IRAWATY Hawari, dokter spesialis saraf, mengenang pengalamannya berkunjung ke sebuah Rumah Sakit Jiwa beberapa tahun lalu. Dia kaget melihat Orang Dengan Epilepsi (ODE) masuk Rumah Sakit Jiwa. “Memasukkan ODE ke RSJ tindakan salah. Epilepsi bukan gangguan jiwa, melainkan gangguan pada sistem saraf otak,” kata Irawaty kepada Historia.
Di Indonesia, salah kaprah mengenai epilepsi berjejak cukup panjang.
Keterangan dalam Prasasti Waharu, bertitimangsa abad ke-9, menyebut epilepsi sebagai salah satu penyakit kutukan untuk pelaku kejahatan. Ini berarti epilepsi berhubungan dengan kekuatan gaib.
Para leluhur di Nusantara mewariskan cara pandang demikian selama ratusan tahun. Sebagai pengobatannya, mereka biasa membacakan mantra dan mengusap kepala penderita epilepsi lalu memohon Yang Kuasa agar mencabut kutukan. Cara lain dengan memasung. Mereka menilai polah penderita epilepsi berbahaya, “di mana si pasien menunjukkan kecenderungan keras suka melompat ke air di samping gejala tertentu yang menyerupai ‘gerakan babi hutan’,” tulis Snouck Hurgronje dalam Aceh di Mata Kolonialis.
Snouck mempelajari rakyat dan adat-istiadat Aceh selama 1891-1905. Salah satu bahasannya tentang penyakit-penyakit di Aceh, termasuk epilepsi. Menurut Snouck, lantaran penderita epilepsi kerap bertingkah seperti babi, orang Aceh menamakan penyakit itu gila babi.
Di Aceh, epilepsi juga punya nama lain saket droe. “Biasanya diperoleh orang pada waktu petang atau tengah malam. Orang ini jatuh pingsan, anggotanya tegang, kaku, dan mulutnya tertutup,” tulis Moehammad Hoesin dalam Adat Atjeh.
Orang Aceh percaya penyakit ini berasal dari “hantu buru”, sejenis jin di rimba raya. Droe menyerang orang dewasa, anak-anak, dan bayi. Untuk mengusirnya, orang Aceh mengusap dahi dan dagu penderita dengan inggu (tumbuhan obat) sembari mengucap ayat-ayat Alquran.
Di Pasundan, orang menyebut epilepsi dengan sawan. Anak-anak dan bayi rentan terserang penyakit ini. “Anak-anak yang kena penyakit sawan, terbelalak matanya dengan tak tentu sebabnya,” tulis A Prawirasuganda dalam “Adat Orang Mengandung Bersalin dan Bersunat di Tanah Pasundan”, termuat di Tjidschrift voor Indische taal-, land-, en volkenlunde 1952-1957, Volume 85.
Hindia Belanda tertinggal soal pengetahuan medis epilepsi. Terbitan berkala untuk ilmu kedokteran di Hindia Belanda, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlansch-Indie, baru memuat laporan khusus dokter CL Bense tentang epilepsi berjudul “Jacksonische Epilepsie een Gevolg van Secundaire Syphilis” pada 1893. Padahal majalah itu terbit sejak 1852.
Almarhum Slamet Iman Santoso menjadi pendorong mahasiswa kedokteran Indonesia untuk mempelajari epilepsi secara medis. Sadar masih banyak orang belum mengetahui epilepsi, Slamet tergugah. Dia membuka dan mengepalai Departemen Psikiatri dan Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada 1950. Dia juga mengirim anak muda ke Amerika Serikat dan Belanda agar mereka bisa mendalami neurologi. Salah satunya Mahar Mardjono.
Minat Mahar semula pada anatomi. Tapi dia bertemu dengan Slamet. Kepada Mahar, Slamet bilang ingin mendirikan pusat epilepsi. Mahar tahu itu sulit. Ahli epilepsi jarang di Indonesia. Tapi Mahar tertantang. Dia setuju mempelajari epilepsi, bahkan sampai ke Amerika Serikat pada 1956.
“Saya khusus memperdalam pengetahuan saya di bidang epilepsi baik mengenai aspek-aspek neurofisiologi dan patologi maupun klinik,” tulis Mahar dalam Kiprah Dokter dalam Era 50 Tahun Indonesia Merdeka.
Pulang ke Indonesia pada 1958, Mahar langsung menerapkan ilmunya. Dia mendatangkan bantuan perlengkapan untuk studi dan terapi epilepsi di FKUI. Dia bertekad mewujudkan gagasan Slamet tentang pusat epilepsi.
Usaha Mahar berbuah pada 1964. “Pusat tersebut didirikan oleh Staf bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,” tulis Djaja, 6 November 1965.
Mahar belum puas. Dia berpikir perlu ada organisasi penyuluhan di daerah. Maka, bersama kawan-kawannya, dia mendirikan Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia (Perpei) pada 1982.
Berbeda dari pusat epilepsi, Perpei berdiri di tiap daerah dan berfokus pada pemberian informasi mengenai epilepsi. Salah satu usaha paling menonjol Perpei terlihat pada 1991.
Perpei pusat bersama Ciba Geiby, perusahaan farmasi obat epilepsi, merancang iklan layanan masyarakat tentang epilepsi secara nasional. Baik melalui televisi maupun media cetak
Di televisi, iklan itu menampilkan seorang anak lelaki dengan epilepsi, bernama Adi, sedang bermain bola. Teman-temannya memperlakukannya secara wajar. “Adi main bola lagi, yok!” kata seorang temannya. Pesan iklannya jelas dan lugas. Penderita epilepsi bisa hidup normal. Dan orang harus menerima mereka apa adanya.
“Iklan itu cukup kuat. Melekat pada masyarakat,” kata Irawaty Hawari. Tapi Irawaty sadar stigma negatif epilepsi belum sepenuhnya terhapus.
Sekarang informasi mengenai epilepsi melimpah, tapi tantangan mengatasi epilepsi justru bertambah. Obat epilepsi murah kerap hilang dari pasaran. Pemerintah jarang terlibat penanganan epilepsi. Sementara pusat epilepsi rintisan Mahar dan kawan-kawannya kian mengendur. Kerja mengatasi epilepsi belum selesai.

https://id.berita.yahoo.com/beraksi-mengatasi-epilepsi-123608426.html