Pasang Iklan Di Sini

Saturday, November 8, 2014

Dhammadāyāda Sutta


MN 3   PTS: M i 12
Dhammadāyāda Sutta
Pewaris dalam Dhamma
Diterjemahkan dari bahasa Pāḷi ke bahasa Inggris oleh
Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi
©2013
Pewaris dalam Dhamma. Sang Buddha menyuruh para bhikkhu agar menjadi pewaris dalam Dhamma, bukan pewaris dalam benda-benda materi. Kemudian Yang Mulia Sāriputta melanjutkan tema yang sama dengan menjelaskan bagaimana para siswa harus berlatih agar menjadi pewaris Buddha dalam Dhamma.

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”[1] – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
2. “Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’ Jika kalian menjadi pewarisKu dalam benda-benda materi, bukan menjadi pewarisKu dalam Dhamma, maka kalian akan dicela sebagai berikut: ‘Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi, bukan sebagai pewaris dalam Dhamma’; dan Aku akan dicela sebagai berikut: ‘Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi, bukan sebagai pewarisNya dalam Dhamma.’
“Jika kalian menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi, maka kalian tidak akan dicela [sebagaimana akan dikatakan]: ‘Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam Dhamma, bukan sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi’; dan Aku tidak akan dicela [sebagaimana akan dikatakan]: ‘Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam Dhamma, bukan sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi.’ Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’
3. “Sekarang, para bhikkhu, misalkan Aku telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang Kubutuhkan, dan ada makanan tersisa dan akan dibuang. Kemudian dua orang bhikkhu tiba [13] lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka: ‘Para bhikkhu, Aku telah makan … telah memakan apa yang Kubutuhkan, tetapi masih ada makanan tersisa dan akan dibuang. Makanlah jika kalian menginginkan; jika kalian tidak memakannya maka Aku akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.’ Kemudian seorang bhikkhu berpikir: ‘Sang Bhagavā telah makan … telah memakan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya … Tetapi hal ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā: “Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi.” Sekarang, makanan ini adalah salah satu benda materi. Bagaimana jika seandainya tanpa memakan makanan ini aku melewatkan malam dan hari ini dalam keadaan lapar dan lemah.’ Dan tanpa memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu dalam keadaan lapar dan lemah. Kemudian bhikkhu ke dua berpikir: ‘Sang Bhagavā telah makan … telah memakan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang … Bagaimana jika aku memakan makanan ini dan melewatkan malam dan hari ini tanpa merasa lapar dan lemah.’ Dan setelah memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah. Sekarang walaupun bhikkhu itu dengan memakan makanan itu melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah, namun bhikkhu pertama lebih terhormat dan dipuji olehKu. Mengapakah? Karena hal itu dalam waktu lama akan berdampak pada keinginannya yang sedikit, kepuasan, pemurnian, mudah disokong, dan membangkitkan kegigihannya.[2] Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’”
4. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal tersebut, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke kediamanNya. Segera setelah Beliau pergi, Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. [14] Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:
5. “Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Dan dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan?”
“Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para bhikkhu akan mengingatnya.”
“Maka, teman-teman, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan kukatakan.”
“Baik, Teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:
6. “Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Di sini para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan; mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan.
“Dalam hal ini para bhikkhu senior dicela untuk tiga alasan.[3] Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu senior dicela untuk tiga alasan ini.
“Dalam hal ini para bhikkhu menengah dicela untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu menengah dicela untuk tiga alasan ini.
“Dalam hal ini para bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan ini.
“Adalah dalam cara ini para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan.
7. “Dalam cara bagaimanakah, teman-teman, para siswa Sang Guru yang hidup terasing [15] berlatih dalam keterasingan? Di sini para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan; mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai, mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.
“Dalam hal ini para bhikkhu senior dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu senior dipuji untuk tiga alasan ini.
“Dalam hal ini para bhikkhu menengah dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu menengah dipuji untuk tiga alasan ini.
“Dalam hal ini para bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan ini.
“Dalam cara inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan.
8. “Teman-teman, kejahatan di sini adalah keserakahan dan kebencian.[4] Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian, menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.[5]
9-15. “Kejahatan di sini adalah kemarahan dan kekesalan … sikap meremehkan dan congkak … iri hati dan kekikiran … kecurangan dan penipuan … sifat keras kepala [16] dan persaingan … keangkuhan dan kesombongan … kepongahan dan kelalaian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan kepongahan dan kelalaian, menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.


Catatan Kaki
  1. Jump up MA: Sang Buddha membabarkan sutta ini karena banyak bhikkhu yang menjadi gembira karena perolehan dan penghormatan yang diterima Sangha, sehingga mengabaikan latihan spiritual mereka. Sang Buddha jelas tidak mungkin menetapkan peraturan yang melarang penggunaan benda-benda kebutuhan, tetapi Beliau ingin menunjukkan praktik para pewaris Dhamma kepada para bhikkhu yang sungguh-sungguh ingin berlatih.
  2. Jump up MA menjelaskan bahwa kelima kualitas ini secara perlahan-lahan memenuhi semua tahap praktik yang memuncak pada Kearahantaan.
  3. Jump up Para bhikkhu senior (thera) adalah mereka yang telah menjalani kebhikkhuan selama lebih dari sepuluh musim hujan sejak penahbisan (upasampada); bhikkhu menengah telah menjalani antara lima sampai sembilan musim hujan; bhikkhu junior kurang dari lima musim hujan.
  4. Jump up Kualitas-kualitas jahat yang disebutkan di sini, dan pada bagian berikutnya, diperkenalkan untuk menunjukkan kondisi-kondisi yang disebutkan di atas (§6) dengan pernyataan: “Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan untuk ditinggalkan.” Kualitas-kualitas ini juga merupakan faktor-faktor yang menunjang seorang bhikkhu untuk lebih menjadi pewaris dalam hal benda-benda materi daripada pewaris Dhamma. Dalam MN 7.3 enam belas kualitas yang sama, dengan “permusuhan” menggantikan “kebencian” dirujuk sebagai “ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran” (cittass’ upakkilesā). Baca n.87 di bawah.
  5. Jump up Jalan Mulia Berunsur Delapan diperkenalkan di sini untuk menunjukkan praktik yang membuat seseorang menjadi seorang “pewaris Dhamma.” Perlawanan antara kekotoran dan sang jalan menegaskan kembali, dari sudut pandang baru, perbedaan antara “pewaris benda-benda materi” dan “pewaris Dhamma” yang dengannya Sang Buddha memulai sutta ini.


http://dhammacitta.org/dcpedia/MN_3:_Dhammad%C4%81y%C4%81da_Sutta

No comments:

Post a Comment