Pasang Iklan Di Sini

Thursday, November 13, 2014

Alagaddūpama Sutta Perumpamaan Ular



MN 22   PTS: M i 130
Alagaddūpama Sutta
Perumpamaan Ular
Diterjemahkan dari bahasa Pāḷi ke bahasa Inggris oleh
Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi
©2013
Seorang bhikkhu bernama Ariṭṭha memunculkan suatu pandangan sesat bahwa perilaku yang dilarang oleh Sang Buddha tidak benar-benar merupakan rintangan. Sang Buddha menegurnya dan, dengan serangkaian perumpamaan yang mengesankan, menekankan bahaya dalam kesalahan memahami Dhamma. Sutta ini memuncak dalam salah satu pembahasan paling mengesankan tentang tanpa-diri yang terdapat dalam Kanon.

Situasi

[130] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.[1] Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
2. Pada saat itu suatu pandangan sesat telah muncul dalam diri seorang bhikkhu bernama Ariṭṭha, seorang mantan pemburu nasar, sebagai berikut: “Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”[2]
3. Beberapa bhikkhu, setelah mendengar hal ini, mendatangi Bhikkhu Ariṭṭha dan bertanya kepadanya: “Teman Ariṭṭha, benarkah bahwa suatu pandangan sesat telah muncul dalam dirimu?”
“Demikianlah, teman-teman. Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”
Kemudian para bhikkhu ini, berniat untuk melepaskannya dari pandangan sesat itu, menekan dan mempertanyakan dan mendebatnya sebagai berikut: “Teman Ariṭṭha, jangan berkata demikian. Jangan salah memahami Sang Bhagavā; tidaklah baik engkau salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak berkata seperti itu. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang bara api … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan benda-benda yang dipinjam … dengan perumpamaan buah-buahan di pohon … dengan perumpamaan pisau daging dan balok pemotongan … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi.”[3]
Namun walaupun ditekan, dipertanyakan, dan didebat oleh mereka dengan cara ini, Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, masih tetap bersikeras melekati pandangan sesat itu dan mempertahankannya.
4. Karena para bhikkhu tidak mampu melepaskannya [131] dari pandangan sesat itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu melepaskan Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, dari pandangan sesat ini, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”
5. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Ke sinilah, Bhikkhu, beritahu Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.” – [132] “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Bhikkhu Ariṭṭha dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Teman Ariṭṭha.”
“Baik, Teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā bertanya kepadanya: “Ariṭṭha, benarkah bahwa pandangan sesat berikut ini telah muncul dalam dirimu: ‘Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.’?”
“Demikianlah, Yang Mulia. Seperti yang kupahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, hal-hal yang disebut rintangan oleh Sang Bhagavā tidak akan mampu merintangi seseorang yang menekuninya.”
6. “Orang sesat, dari siapakah engkau mendengar bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah bukankah Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya? Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang bara api menyala … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan benda-benda yang dipinjam … dengan perumpamaan buah-buahan di pohon … dengan perumpamaan pisau daging dan balok pemotongan … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Tetapi engkau, orang sesat, telah salah memahami Kami dengan pandangan salahmu dan melukai dirimu sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaanmu untuk waktu yang lama.”[4]
7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah Bhikkhu Ariṭṭha ini, mantan pemburu nasar, telah menyalakan bahkan sepercik kebijaksanaan dalam Dhamma dan Disiplin ini?”
“Bagaimana mungkin, Yang Mulia? Tidak, Yang Mulia.”
Ketika hal ini dikatakan, Bhikkhu Ariṭṭha, mantan pemburu nasar, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram dan tidak bereaksi. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Orang sesat, engkau akan dikenal dengan pandangan salahmu sendiri. Aku akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”
8. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, [133] apakah kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Ariṭṭha ini, si mantan pemburu nasar, ketika ia salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan?”
“Tidak, Yang Mulia. Karena dalam banyak khotbah Sang Bhagavā telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Sang Bhagavā telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah mengatakan … bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi.”
“Bagus, para bhikkhu, bagus sekali bahwa kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti demikian. Karena dalam banyak khotbah Aku telah menyebutkan bagaimana hal-hal yang merintangi adalah rintangan, dan bagaimana hal-hal itu mampu merintangi seseorang yang menekuninya. Aku telah mengatakan bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … dengan perumpamaan kepala ular, Aku telah mengatakan … bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi. Tetapi Bhikkhu Ariṭṭha ini, mantan pemburu nasar, salah memahami Kami dengan dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan orang sesat ini untuk waktu yang lama.
9. “Para bhikkhu, bahwa seseorang dapat menekuni kenikmatan indria tanpa keinginan indria, tanpa persepsi keinginan indria, tanpa pikiran keinginan indria – itu adalah tidak mungkin.[5]

Perumpamaan Ular

10. “Di sini, para bhikkhu, beberapa orang sesat mempelajari Dhamma – khotbah, syair, penjelasan, bait-bait, ungkapan kegembiraan, sabda-sabda, kisah-kisah kelahiran, keajaiban-keajaiban, dan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan – tetapi setelah mempelajari Dhamma, mereka tidak memeriksa makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Tanpa memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka tidak memperoleh penerimaan mendalam akan ajaran-ajaran itu. Sebaliknya mereka mempelajari Dhamma hanya demi untuk mengkritik orang lain dan untuk memenangkan perdebatan, dan mereka tidak mengalami kebaikan yang karenanya mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu, karena secara keliru dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan bencana dan penderitaan untuk waktu yang lama.[6] Mengapakah? Karena menggenggam secara keliru pada ajaran-ajaran itu.
“Misalkan seseorang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, mengembara untuk mencari seekor ular, melihat seekor ular besar dan menangkap gulungannya atau ekornya, ular itu akan berbalik dan menggigit tangannya atau lengannya atau anggota tubuh lainnya, [134] dan karena itu ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan. Mengapakah? Karena ia menangkap ular itu dengan cara yang salah. Demikian pula, di sini beberapa orang sesat mempelajari Dhamma … Mengapakah? Karena menggenggam secara keliru pada ajaran-ajaran itu.
11. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga mempelajari Dhamma – khotbah, syair … jawaban-jawaban atas pertanyaan – dan setelah mempelajari Dhamma, mereka memeriksa makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Dengan memeriksa makna-makna dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka memperoleh penerimaan mendalam akan ajaran-ajaran itu. Mereka bukan mempelajari Dhamma demi untuk mengkritik orang lain dan bukan untuk memenangkan perdebatan, dan mereka mengalami kebaikan yang karenanya mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu, karena secara benar dipahami oleh mereka, akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.
“Misalkan seseorang yang memerlukan seekor ular, mencari seekor ular, mengembara untuk mencari seekor ular, melihat seekor ular besar dan menangkapnya dengan benar menggunakan tongkat penjepit, dan setelah itu, mencengkeramnya tepat di lehernya. Kemudian walaupun ular itu akan membelit tangannya atau lengannya atau bagian tubuh lainnya, tetapi ia tidak akan mengalami kematian atau penderitaan yang mematikan karena belitan itu. Mengapakah? Karena cengkeramannya yang benar pada ular itu. Demikian pula, di sini beberapa anggota keluarga mempelajari Dhamma … Mengapakah? Karena menggenggam secara benar pada ajaran-ajaran itu.
12. “Oleh karena itu, para bhikkhu, ketika kalian memahami makna dari pernyataanKu, ingatlah itu; dan ketika kalian tidak memahami makna dari pernyataanKu, maka bertanyalah kepadaKu atau kepada para bhikkhu yang bijaksana.

Perumpamaan Rakit

13. “Para bhikkhu, Aku akan menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.[7] Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Para bhikkhu, misalkan seseorang dalam suatu perjalanannya menjumpai hamparan air yang luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. [135] Kemudian ia berpikir: ‘Hamparan air ini sungguh luas, yang mana di pantai sebelah sini berbahaya dan menakutkan dan di pantai seberang aman dan bebas dari ketakutan, tetapi tidak ada perahu penyeberangan atau jembatan menuju pantai seberang. Bagaimana jika aku mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berusaha dengan tangan dan kaki, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang.’ Dan kemudian orang itu mengumpulkan rerumputan, ranting, dahan, dan dedaunan, dan mengikatnya menjadi satu sehingga menjadi rakit, dan dengan didukung oleh rakit itu dan berusaha dengan tangan dan kaki, ia dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Kemudian, ketika ia telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berusaha dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku mengangkatnya di atas kepalaku atau memikulnya di bahuku, dan kemudian aku pergi ke manapun yang kuinginkan.’ Sekarang, para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Dengan melakukan hal itu, apakah orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Dengan melakukan apakah maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu? Di sini, para bhikkhu, ketika orang itu telah menyeberang dan telah sampai di pantai seberang, ia mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Rakit ini telah sangat berguna bagiku, karena dengan didukung oleh rakit ini dan berupaya dengan tangan dan kakiku, aku dapat dengan selamat menyeberang ke pantai seberang. Bagaimana jika aku menariknya ke daratan atau menghanyutkannya di air, dan kemudian aku pergi kemanapun yang kuinginkan.’ Sekarang, para bhikkhu, adalah dengan melakukan hal itu maka orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan rakit itu. Demikianlah Aku telah menunjukkan kepada kalian bagaimana Dhamma itu serupa dengan rakit, karena berguna untuk menyeberang, bukan untuk dilekati.
14. “Para bhikkhu, ketika kalian mengetahui bahwa Dhamma serupa dengan rakit, maka kalian bahkan harus meninggalkan ajaran-ajaran, apalagi hal-hal yang berlawanan dengan ajaran.[8]

Sudut Pandang Bagi Pandangan-Pandangan

15. “Para bhikkhu, terdapat enam sudut pandang bagi pandangan-pandangan ini.[9] Apakah enam ini? seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’[10] Ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap apa yang terlihat, terdengar, terindra, dikenali, dijumpai, dicari, direnungkan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’[11] Dan sudut pandang bagi pandangan ini, yaitu: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan; [136] aku akan bertahan selamanya’ – ini juga ia anggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’[12]
16. “Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap bentukan-bentukan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap apa yang terlihat, terdengar, terindra, dikenali, dijumpai, dicari, direnungkan sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Dan sudut pandang bagi pandangan ini, yaitu: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan; aku akan bertahan selamanya’ – ini juga ia anggap sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
17. “Karena ia beranggapan demikian, maka ia tidak terganggu dengan apa yang tidak ada.”[13]

Gangguan

18. Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, dapatkah muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal?”
“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, beberapa orang berpikir: ‘aduh, aku memilikinya! Aduh, aku tidak lagi memilikinya! Aduh, semoga aku memilikinya! Aduh, aku tidak mendapatkannya!’ Kemudian ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana kemunculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal.”
19. “Yang Mulia, dapatkah tidak muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal?”
“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, beberapa orang tidak berpikir: ‘aduh, aku memilikinya! Aduh, aku tidak lagi memilikinya! Aduh, semoga aku memilikinya! Aduh, aku tidak mendapatkannya!’ Kemudian ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana ketidak-munculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal.”
20. “Yang Mulia, dapatkah muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal?”
“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, seseorang berpandangan: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan; aku akan bertahan selamanya.’ Ia mendengar Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma demi untuk melenyapkan segala sudut pandangan, keputusan, godaan, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi, untuk menenangkan segala bentukan, untuk melepaskan segala kemelekatan, untuk menghancurkan ketagihan, demi kebosanan, demi lenyapnya, demi Nibbāna. Ia [137] berpikir sebagai berikut: ‘Maka aku akan musnah! Maka aku akan binasa! Maka aku akan tidak ada lagi!’ Kemudian ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana kemunculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal.”
21. “Yang Mulia, dapatkah tidak muncul gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal?”
“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Di sini, bhikkhu, seseorang tidak berpandangan: ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia … aku akan bertahan selamanya.’ Ia mendengar Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma demi untuk melenyapkan segala sudut pandangan, keputusan, godaan, keterikatan, dan kecenderungan tersembunyi, untuk menenangkan segala bentukan, untuk melepaskan segala kemelekatan, untuk menghancurkan keinginan, demi kebosanan, demi lenyapnya, demi Nibbāna. Ia tidak berpikir sebagai berikut: ‘Maka aku akan musnah! Maka aku akan binasa! Maka aku akan tidak ada lagi!’ Kemudian ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Demikianlah bagaimana ketidak-munculan gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal.”

Ketidak-Kekalan Dan Tanpa Diri

22. “Para bhikkhu, kalian mungkin berusaha memperoleh suatu kepemilikan yang kekal, bertahan lama, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan dapat bertahan selamanya.[14] Tetapi apakah kalian melihat ada kepemilikan demikian, para bhikkhu?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu. Aku juga tidak melihat adanya kepemilikan yang kekal, bertahan lama, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan dapat bertahan selamanya.
23. “Para bhikkhu, kalian mungkin berusaha melekati doktrin diri yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang melekatinya.[15] Tetapi apakah kalian melihat ada doktrin diri yang demikian?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu, Aku juga tidak melihat adanya doktrin diri yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang melekatinya.
24. “Para bhikkhu, kalian mungkin berusaha menjadikan sebagai pendukung pandangan yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang menjadikannya sebagai pendukung.[16] Tetapi apakah kalian melihat adanya pendukung pandangan demikian, para bhikkhu?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Bagus, para bhikkhu. Aku juga tidak melihat adanya pendukung pandangan [138] yang tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang menjadikannya sebagai pendukung.
25. “Para bhikkhu, jika ada diri, maka apakah ada yang menjadi milik diri bagiku?”[17] – “Ada, Yang Mulia.” – “Atau, jika ada yang menjadi milik diri, maka apakah ada diri padaku?” - “Ada, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, karena diri dan apa yang menjadi milik diri tidak dipahami sebagai benar dan pasti, maka sudut pandang atas pandangan ini, yaitu, ‘Apa yang menjadi diri adalah dunia, setelah kematian aku akan kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tunduk pada perubahan; aku akan bertahan selamanya.’ – bukankah ini jelas adalah ajaran yang sepenuhnya dungu?”
“Bagaimana mungkin sebaliknya, Yang Mulia? Itu jelas adalah ajaran yang sepenuhnya dungu.”
26. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk materi kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” - “Apakah yang tidak kekal, penderitaan dan tunduk pada perubahan, layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia.”
“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah perasaan … apakah persepsi … apakah bentukan-bentukan … apakah kesadaran kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” - “Apakah yang tidak kekal, penderitaan dan tunduk pada perubahan, layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku?” – “Tidak, Yang Mulia.”
27. “Oleh karena itu, para bhikkhu, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, [139] kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semua bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, semua kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
28. “Dengan melihat demikian, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan bentuk materi, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan persepsi, kecewa dengan bentukan-bentukan, kecewa dengan kesadaran.
29. “Karena kecewa, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [pikirannya] terbebaskan.[18] Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami : ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

Arahant

30. “Para bhikkhu, bhikkhu ini disebut seorang yang palang penghalangnya telah diangkat, yang paritnya telah ditutup, yang tiangnya telah dicabut, seseorang yang tanpa pasak, seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu.
31. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang palang penghalangnya telah diangkat? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan ketidak-tahuan, telah memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, telah mengakhirinya, sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang palang penghalangnya telah diangkat.
32. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang paritnya telah ditutup? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan lingkaran kelahiran yang menimbulkan penjelmaan baru, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang paritnya telah ditutup.
33. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang tiangnya telah dicabut? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan ketagihan, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang tiangnya telah dicabut.
34. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang yang tanpa pasak? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah, telah memotongnya di akar … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang yang tanpa pasak.
35. “Dan bagaimanakah bhikkhu itu menjadi seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu? Di sini bhikkhu itu telah meninggalkan keangkuhan ‘Aku’, telah memotongnya di akar [140] … sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Itu adalah bagaimana bhikkhu itu menjadi seorang mulia yang panjinya telah diturunkan, yang bebannya telah diturunkan, yang tidak terbelenggu.
36. “Para bhikkhu, ketika para dewa bersama dengan Indra, dengan Brahmā dan dengan Pajāpati mencari seorang bhikkhu yang terbebaskan dalam pikiran seperti demikian, mereka tidak menemukan [apapun yang dengannya mereka dapat mengatakan]: ‘Kesadaran dari ia yang telah pergi demikian didukung oleh ini.’ Mengapakah? Seorang yang pergi demikian, Aku katakan, tidak dapat dilacak di sini dan saat ini.[19]

Salah Memahami Sang Tathāgata

37. “Dengan mengatakan demikian, dengan mengajarkan demikian, Aku telah dengan tanpa dasar, dengan sia-sia, dengan keliru, dan salah dipahami oleh beberapa petapa dan brahmana sebagai berikut: ‘Petapa Gotama adalah seorang yang mengajarkan kesesatan; Beliau mengajarkan pemusnahan, kehancuran, pembinasaan makhluk.’[20]Karena Aku tidak demikian, karena Aku tidak mengajarkan demikian, maka Aku telah dengan tanpa dasar, dengan sia-sia, dengan keliru, dan salah dipahami oleh beberapa petapa dan brahmana sebagai berikut: ‘Petapa Gotama adalah seorang yang mengajarkan kesesatan; Beliau mengajarkan pemusnahan, kehancuran, pembinasaan makhluk.’
38. “Para bhikkhu, dari dulu hingga saat ini apa yang Kuajarkan adalah penderitaan dan lenyapnya penderitaan.[21] Jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang Sang Tathāgata karena hal itu, Sang Tathāgata tidak merasa terganggu, benci, atau kesal dalam batin karena hal itu. Dan jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan Sang Tathāgata karena hal itu, Sang Tathāgata tidak merasa senang, gembira, atau girang dalam pikiran karena hal itu. Jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan Sang Tathāgata karena hal itu, Sang Tathāgata akan berpikir sebagai berikut: ‘Mereka melakukan pelayanan seperti ini kepadaKu demi apa yang sebelumnya telah dipahami sepenuhnya.’[22]
39. “Oleh Karena itu, para bhikkhu, jika orang lain mencaci, mencerca, memarahi, dan menyerang kalian, kalian tidak boleh merasa terganggu, benci, atau kesal dalam batin karena hal itu. Dan jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan kalian karena hal itu, kalian tidak boleh merasa senang, gembira, atau girang dalam pikiran karena hal itu. Jika orang lain menghormati, menghargai, memuji, dan memuliakan kalian karena hal itu, kalian seharusnya berpikir sebagai berikut: ‘Mereka melakukan pelayanan seperti ini kepada kami demi apa yang sebelumnya telah dipahami sepenuhnya.’

Bukan Milikmu

40. “Oleh karena itu, para bhikkhu, apapun yang bukan milikmu, tinggalkanlah; jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Apakah yang bukan milik kalian? Bentuk materi bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Perasaan bukan milik kalian. [141] Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Persepsi bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Bentukan-bentukan bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Kesadaran bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.[23]
41. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Jika orang-orang mengambil rumput, kayu, dahan, dan dedaunan di Hutan Jeta ini, atau membakarnya, atau melakukan apapun yang mereka inginkan terhadap benda-benda itu. Akankah kalian berpikir bahwa: ‘Orang-orang mengambil kami atau membakar kami atau melakukan apapun yang mereka inginkan terhadap kami’?” – “Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena benda-benda itu bukan diri kami juga bukan milik kami.” – “Demikian pula, para bhikkhu, apapun yang bukan milik kalian, tinggalkanlah; jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Apakah yang bukan milik kalian? Bentuk materi bukan milik kalian … Perasaan bukan milik kalian … Persepsi bukan milik kalian … Bentukan-bentukan bukan milik kalian … Kesadaran bukan milik kalian. Tinggalkanlah. Jika kalian telah meninggalkannya, maka itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.

Dalam Dhamma Ini

42. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan.[24] Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan, tidak ada manifestasi dari lingkaran [masa depan] sehubungan dengan para bhikkhu yang adalah para Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan mereka, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.[25]
43. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah semuanya pasti muncul kembali secara spontan di [Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir, tanpa pernah kembali dari alam itu
44. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang telah meninggalkan tiga belenggu yang lebih rendah dan melemahkan nafsu, kebencian, dan delusi, semuanya adalah yang-kembali-sekali, hanya kembali satu kali ke dunia ini untuk mengakhiri penderitaan.
45. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang telah meninggalkan tiga belenggu, semuanya adalah pemasuk-arus, tidak mungkin lagi terlahir di alam sengsara, [142] pasti [mencapai kebebasan] dan menuju pencerahan.
46. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas … bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas … bebas dari tambalan, para bhikkhu yang adalah para pengikut-Dhamma atau pengikut-keyakinan semuanya menuju pencerahan.[26]
47. “Para bhikkhu, Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian adalah jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan. Dalam Dhamma yang sempurna dibabarkan olehKu demikian, yang jelas, terbuka, nyata, dan bebas dari tambalan, para bhikkhu yang memiliki cukup keyakinan padaKu, cukup cinta kasih terhadapKu, semuanya menuju alam surga.”[27]
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Jump up Sutta ini dengan pendahuluan yang baik dan catatan yang terperinci tersedia dalam sebuah terjemahan oleh Nyanaponika Thera, The Discourse on the Snake Simile.
  2. Jump up Dalam menegaskan hal ini ia secara langsung menyangkal yang ke tiga dari empat keberanian Sang Tathāgata – baca MN 12.25. Menurut MA, sewaktu merenungkan dalam keterasingan ia sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada bahaya jika para bhikkhu terlibat dalam hubungan seksual dengan perempuan dan ia mempertahankan bahwa hal ini seharusnya tidak dilarang oleh peraturan monastik. Walaupun pernyataannya tidak secara langsung menyebutkan masalah seksual, perumpamaan mengenai kenikmatan seksual ini dibawakan oleh para bhikkhu ini berasal dari komentar.
  3. Jump up Tujuh perumpamaan pertama mengenai kenikmatan indria dijabarkan pada MN 54.15-21.
  4. Jump up Bagian pertama dari kisah Ariṭṭha muncul dua kali dalam Vinaya Piṭaka. Pada Vin ii.25 mendorong Sangha menjatuhkan sanksi penangguhan (ukkhepaniyakamma) atas Ariṭṭha karena menolak melepaskan pandangan salahnya. Pada Vin iv.133-34 penolakannya untuk melepaskan pandangan salahnya setelah beberapa kali diberi nasihat ditetapkan sebagai pelanggaran monastik dalam kelompok Pācittiya.
  5. Jump up Walaupun Pali menggunakan satu kata kāma dalam seluruh empat kasus, dari konteks ini frasa pertama harus dipahami sebagai merujuk pada kenikmatan indria objektif, yaitu, objek-objek kenikmatan indria, frasa lainnya merujuk pada kekotoran subjektif yang berhubungan dengan indria, yaitu, keinginan indria. MA mengemas “seseorang yang dapat melibatkan diri dalam kenikmatan indria” dengan “seseorang yang menikmati hubungan seksual.” MṬ mengatakan bahwa tindakan fisik lainnya yang melibatkan keinginan seksual seperti merangkul dan menepuk juga termasuk.
  6. Jump up MA menjelaskan bahwa paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan pelanggaran dalam perolehan pengetahuan intelektual Dhamma dengan motivasi keliru – jelas merupakan jebakan ke dalam mana Ariṭṭha terjatuh. “kebaikan (attha) yang karenanya mereka mempelajari Dhamma” adalah jalan dan buah.
  7. Jump up “Perumpamaan rakit” yang terkenal melanjutkan argumen yang sama terhadap kekeliruan dalam menggunakan pembelajaran yang diperkenalkan oleh perumpamaan ular. Seseorang yang terlena menggunakan Dhamma untuk memicu kontroversi dan memenangkan perdebatan meletakkan Dhamma di atas kepalanya dan membawanya ke mana-mana, bukannya menggunakannya untuk menyeberangi banjir.
  8. Jump up Dhammā pi vo pahātabbā pageva adhammā. Katadhammā bermakna ganda di sini. MA menginterpretasikannya sebagai bermakna kondisi-kondisi baik, yang mengidentifikasikannya sebagai ketenangan dan pandangan terang (samatha-vipassanā) dalam penulisannya pada teks: “Aku mengajarkan, para bhikkhu, bahkan meninggalkan keinginan dan kemelekatan pada kondisi-kondisi yang damai dan luhur seperti ketenangan dan pandangan terang, apalagi hal-hal yang rendah, vulgar, tercela, kasar, dan tidak murni itu yang oleh si dungu Ariṭṭha yang dilihat sebagai tidak berbahaya ketika ia mengatakan bahwa tidak ada rintangan dalam keinginan dan nafsu pada kelima utas kenikmatan indria.” Komentator mengutip MN 66.26-33 sebagai contoh dari ajaran Sang Buddha tentang ditinggalkannya kemelekatan pada ketenangan, MN 38.14 sebagai contoh ajaranNya tentang ditinggalkannya kemelekatan pada pandangan terang. Perhatikan bahwa dalam masing-masing kasus, adalah kemelekatan pada kondisi-kondisi baik itu yang harus ditinggalkan, bukan kondisi-kondisi baik itu sendiri. Terlepas dari MA, sepertinya bagi saya bahwa dhammā di sini menyiratkan, bukan kondisi-kondisi baik itu sendiri, melainkan ajaran-ajaran, sikap yang seharusnya yang digambarkan di atas dalam perumpamaan ular. Perumpamaan rakit mengisyaratkan bahwa bahkan ajaran-ajaran yang seharusnya digenggam dengan baik akhirnya harus dilepaskan. Akan tetapi, ini bukanlah undangan pada nihilisme moral, melainkan suatu peringatan bahwa bahkan kemelekatan pada ajaran mulia adalah suatu rintangan bagi kemajuan. Apa yang berlawanan dengan ajaran-ajaran, adhammā, termasuk kelemahan moral yang menguasai Ariṭṭha.
  9. Jump up Bagian ini terbukti bertujuan mencegah jenis lain konsepsi keliru dan interpretasi keliru dari Dhamma, yaitu, pengenalan pandangan diri ke dalam ajaran. Menurut MA, sudut pandang bagi pandangan (diṭṭhiṭṭhāna) adalah pandangan-pandangan salah itu sendiri sebagai landasan bagi pandangan salah-pandangan salah lainnya yang lebih besar; objek-objek pandangan, yaitu, kelima kelompok unsur kehidupan, dan kondisi-kondisi bagi pandangan-pandangan, yaitu, faktor-faktor seperti ketidak-tahuan, persepsi sesat, dan pikiran-pikiran keliru, dan sebagainya.
  10. Jump up MA menyebutkan bahwa gagasan “ini milikku” dicetuskan oleh ketagihan, gagasan “ini aku” oleh keangkuhan, dan gagasan “ini diriku” oleh pandangan salah. Ketiga ini – ketagihan, keangkuhan, dan pandangan salah – disebut tiga penguasaan (gāha). Ketiga ini juga merupakan penyebab utama dibalik penganggapan (MN 1) dan proliferasi pikiran (MN 18).
  11. Jump up Rangkaian kata ini menunjukkan kelompok unsur kesadaran secara tidak langsung, melalui objeknya. Yang “terlihat” menunjukkan kesadaran-mata, yang “terdengar” menunjukkan kesadaran-telinga, yang “terindra” menunjukkan ketiga jenis kesadaran indria lainnya, dan terakhir menujukkan kesadaran-pikiran.
  12. Jump up Ini adalah pandangan eternalis lengkap yang muncul dengan berdasarkan pada satu yang sebelumnya, jenis yang lebih mendasar dari pandangan personalitas; di sini menjadi objek ketagihan, keangkuhan, dan pandangan salah pada diri. Pandangan ini sepertinya mencerminkan filosofi Upanishads, yang menegaskan identitas diri individual (ātman) dengan sosok universal (Brahman), walaupun sulit untuk menentukan dengan berdasarkan pada teks apakah Sang Buddha secara pribadi memahami Upanishad awal itu sendiri.
  13. Jump up Asati na paritassati. Bentuk kata benda paritassanā,menurut MA, memiliki dua konotasi ketakutan dan ketagihan, dengan demikian “gangguan” terpilih untuk mencakup keduanya. Gangguan terhadap apa yang tidak ada secara eksternal (§18) merujuk pada keputus-asaan duniawi karena kehilangan atau tidak mendapatkan kepemilikan; gangguan terhadap apa yang tidak ada secara internal (§20) merujuk pada keputus-asaan eternalis ketika ia secara keliru memahami ajaran Buddha tentang Nibbāna sebagai doktrin pemusnahan.
  14. Jump up Pariggahaṁ parigaṇheyyātha, secara literal. “Kalian mungkin memiliki kepemilikan itu.” Ini berhubungan dengan §18 tentang gangguan sehubungan dengan kepemilikan eksternal.
  15. Jump up Attavādupādānaṁ upādiyetha. Secara literal “Kalian mungkin melekat pada kemelekatan doktrin diri itu.” Mengenai persoalan yang dilibatkan oleh idiom ini pada terjemahan, baca n.176. Paragraf ini berhubungan dengan §20 tentang gangguan yang timbul dari pandangan diri.
  16. Jump up Penyokong pandangan (diṭṭhinissaya), menurut MA, adalah enam puluh dua pandangan yang disebutkan dalam Brahmajāla Sutta (DN 1), yang muncul dari pandangan diri atau “doktrin diri.” Juga termasuk pandangan sesat yang dianut Ariṭṭha pada awal sutta ini.
  17. Jump up Gagasan “apa yang menjadi milik diri” atau “milik diri” (attaniya) berasal dari apapun di antara kelima kelompok unsur kehidupan yang tidak diidentifikasikan sebagai diri, serta seluruh kepemilikan eksternal individu. Paragraf ini menunjukkan saling ketergantungan, dan dengan demikian sama-sama tidak dapat dipertahankan, dari kedua gagasan “aku” dan “milikku.”
  18. Jump up Menurut komentar, kekecewaan (nibbidā, juga diterjemahkan “kejijikan” atau “kemuakan”) menyiratkan tahap puncak dari pandangan terang, kebosanan (virāga) menyiratkan pencapaian jalan lokuttara, dan kebebasan (vimutti) menyiratkan buah. Pengetahuan peninjauan Arahant (paccavekkhaṇañāṇa) ditunjukkan oleh frasa “muncullah pengetahuan” dan “ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan …’.”
  19. Jump up “Pergi demikian” dalam Pali adalah, tathāgata, gelar yang biasanya diberikan pada Sang Buddha, tetapi di sini diterapkan lebih luas pada Arahant. MA menginterpretasikan paragraf ini dalam dua cara alternatif sebagai berikut: (1) Arahant bahkan selagi masih hidup adalah tidak terlacak di sini dan saat ini sebagai makhluk atau individu (dalam makna tidak ada diri yang menetap) karena dalam makna tertinggi tidak ada makhluk (sebagai diri). (2) Arahant tidak terlacak di sini dan saat ini karena adalah tidak mungkin bagi para dewa, dan sebagainya untuk menemukan penyokong bagi batin pandangan terangnya, batin sang jalannya, batin buahnya (vipassanācitta, maggacitta, phalacitta); yaitu, karena objeknya adalah Nibbāna, maka batinnya tidak dapat dikenali oleh kaum duniawi.
  20. Jump up Ini merujuk kembali pada §20, di mana para penganut eternalis salah memahami ajaran Buddha tentang Nibbāna, lenyapnya penjelmaan, sebagai melibatkan pemusnahan makhluk yang sekarang yang dianggap sebagai diri.
  21. Jump up Maksud dari pernyataan ini lebih dalam daripada apa yang tampak di permukaan. Dalam konteks tuduhan keliru pada §37, Sang Buddha menyebutkan bahwa Beliau mengajarkan bahwa makhluk hidup bukanlah diri, melainkan hanya kumpulan faktor-faktor, peristiwa-peristiwa jasmani dan batin, yang saling berhubungan dalam proses yang bersifatdukkha, dan bahwa Nibbāna, lenyapnya penderitaan, bukanlah pemusnahan makhluk, melainkan terhentinya proses yang tidak memuaskan yang sama itu. Pernyataan ini harus dibaca bersama dengan SN 12:15/ii.17, di mana Sang Buddha mengatakan bahwa seorang yang berpandangan benar, yang telah melenyapkan semua doktrin diri, melihat bahwa apapun yang muncul hanyalah munculnya dukkha,dan apapun yang lenyap hanyalah lenyapnyadukkha.
  22. Jump up “Apa yang sebelumnya telah dipahami sepenuhnya” (pubbe pariññātaṁ) adalah kelima kelompok unsur kehidupan. Karena hanya pada ini kehormatan dan hinaan ditunjukkan, bukan “aku” atau diri, tidak ada alasan untuk merasa senang atau kesal.
  23. Jump up MA menunjukkan bahwa ini adalah kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang harus ditinggalkan; kelompok-kelompok unsur kehidupan itu sendiri tdiak dapat dicabut atau dihancurkan.
  24. Jump up MA: “Chinna-pilotika: pilotikā adalah kain usang dan robek yang dijahit dan ditambal di sana-sini; tidak ada (dalam Dhamma ini) yang seperti ini – robek, usang, dijahit dan ditambal dengan kemunafikan dan muslihat.”
  25. Jump up Yaitu, karena para Arahant telah mencapai kebebasan dari seluruh lingkaran kehidupan, maka adalah tidak mungkin menunjukkan di alam mana dalam lingkaran itu mereka mungkin terlahir kembali.
  26. Jump up Ini adalah dua kelompok individu yang berdiri di jalan memasuki-arus. “Pengikut-Dhamma” (dhammānusārin) adalah para siswa yang indria kebijaksanaannya (paññindriya) menonjol dan yang mengembangkan jalan mulia dengan dipimpin oleh kebijaksanaan; ketika mereka mencapai buah maka mereka disebut “mencapai pandangan” (diṭṭhipatta).“Pengikut keyakinan” (saddhānusārin) adalah para siswa yang indria keyakinannya (saddhindriya)menonjol dan yang mengembangkan jalan mulia dengan dipimpin oleh keyakinan; ketika mereka mencapai buah maka mereka disebut “terbebaskan melalui keyakinan” (saddhāvimutta). Baca MN 70.20,21; juga Pug I 35-36/15 dan Vsm XXI,75.
  27. Jump up MA mengatakan bahwa ini merujuk pada orang-orang yang menekuni praktik meditasi pandangan terang yang belum mencapai tahap pencapaian lokuttara yang manapun. Perhatikan bahwa praktik ini hanya menuntun menuju alam surga, bukan pencerahan, walaupun jika praktik ini telah matang maka dapat mencapai jalan memasuki-arus dan dengan demikian memperoleh jaminan pencerahan. Ungkapan saddhāmattaṁ pemamattaṁ dapat diterjemahkan “hanya keyakinan, hanya cinta kasih” atau “sekadar keyakinan, sekadar cinta kasih” (seperti kadang-kadang diterjemahkan), tetapi ini tidak menjelaskan jaminan kelahiran kembali di alam surga. Oleh karena itu sepertinya adalah suatu keharusan untuk menambahkan akhiran matta di sini untuk menyiratkan jumlah keyakinan dan cinta kasih yang diperlukan, bukan sekadar memiliki kualitas-kualitas ini.

http://dhammacitta.org/dcpedia/MN_22:_Alagadd%C5%ABpama_Sutta

No comments:

Post a Comment