Poṭṭhapāda Sutta
Tentang Poṭṭhapāda
Kondisi Kesadaran
Diterjemahkan dari bahasa Pāḷi ke bahasa Inggris oleh
Maurice O’Connell Walshe
[178] 1. DEMIKIANLAH
YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthi, di Hutan
Jeta, di Taman Anāthapiṇḍika. Dan pada saat itu, pengembara Poṭṭhapāda sedang
berada di aula-perdebatan di dekat pohon Tinduka, di taman dengan aula tunggal
milik Ratu Mallika,1 di tengah-tengah
tiga ratus pengembara.
2. Kemudian, Sang
Bhagavā, setelah bangun pagi, membawa jubah dan mangkuk-Nya dan pergi ke
Sāvatthi untuk menerima makanan. Tetepi Beliau berpikir: ‘Masih terlalu pagi
untuk pergi ke Sāvatthi untuk menerima makanan. Bagaimana jika Aku pergi ke
aula perdebatan untuk menjumpai si pengembara Poṭṭhapāda?’ Dan Beliau melakukan
hal itu.
3. Di sana Poṭṭhapāda
sedang duduk bersama kelompok para pengembara, semuanya berteriak dan membuat
kegaduhan, terlibat dalam berbagai pembicaraan yang tidak bertujuan, seperti
tentang raja-raja, perampok-perampok, menteri-menteri, bala tentara,
bahaya-bahaya, perang, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, karangan bunga,
pengharum, sanak saudara, kereta- kereta, desa, pasar dan kota, [179]
negeri-negeri, perempuan- perempuan, pahlawan-pahlawan, gosip-sumur dan
gosip-jalanan, pembicaraan tentang mereka yang telah meninggal dunia,
pembicaraan yang tidak menentu, spekulasi mengenai daratan dan lautan,
pembicaraan mengenai ke-ada-an dan ke-tiada-an.
4. Tetapi Poṭṭhapāda
melihat Sang Bhagavā datang dari kejauhan, dan ia memerintahkan para
pengikutnya, dengan mengatakan: ‘Tenanglah, Tuan-tuan, jangan berisik,
Tuan-tuan! Petapa Gotama sedang menuju ke sini, dan ia menyukai ketenangan, dan
memuji ketenangan. Jika ia melihat kelompok ini tenang, ia pasti akan datang
dan mengunjungi kita.’ Mendengar kata-kata ini, para pengembara seketika diam.
5. Kemudian Sang Bhagavā
mendatangi Poṭṭhapāda yang berkata: ‘Mari, Yang Mulia Bhagavā, selamat datang,
Yang Mulia Bhagavā! Akhirnya Bhagavā datang ke sini. Silakan duduk, Bhagavā,
tempat duduk telah disediakan.’
Sang Bhagavā duduk di
tempat yang telah disediakan, dan Poṭṭhapāda mengambil bangku kecil dan duduk
di satu sisi. Sang Bhagavā berkata: ‘Poṭṭhapāda, apakah yang sedang kalian
bicarakan? Percakapan apakah yang terhenti karena Aku?’
6. Poṭṭhapāda menjawab:
‘Bhagavā, jangan pedulikan pembicaraan yang kami lakukan tadi, tidaklah sulit
bagi Sang Bhagavā untuk mendengarnya nanti. Dalam beberapa hari ini, Bhagavā,
diskusi antara para petapa dan para Brahmana dari berbagai aliran, duduk
bersama dan mengadakan rapat di dalam aula-perdebatan, berhubungan dengan [180]
pemadaman kesadaran yang lebih tinggi,2 dan bagaimana hal ini terjadi. Beberapa
berkata: “Persepsi seseorang muncul dan lenyap tanpa sebab atau kondisi. Ketika
muncul, maka seseorang sadar, ketika lenyap, maka seseorang menjadi tidak
sadar.” Demikianlah mereka menjelaskannya. Tetapi yang lain berkata: “Tidak,
itu bukan begitu. Persepsi3 adalah diri dari seseorang, yang datang
dan pergi, ketika ia datang, maka seseorang sadar, ketika ia pergi, maka
seseorang menjadi tidak sadar.” Yang lain lagi berkata: “Itu bukan begitu. Ada
petapa dan Brahmana yang memiliki kesaktian, memiliki pengaruh besar. Mereka
memasukkan kesadaran ke dalam diri seseorang dan mencabutnya. Ketika mereka
memasukkannya ke dalam dirinya, ia sadar, ketika mereka mencabutnya, ia menjadi
tidak sadar.”4 Dan yang lain lagi berkata: “Tidak, bukan
begitu. Ada para dewa yang memiliki kesaktian, memiliki pengaruh besar. Mereka
memasukkan kesadaran ke dalam diri seseorang dan mencabutnya. Ketika mereka
memasukkannya ke dalam dirinya, ia sadar, ketika mereka mencabutnya, ia menjadi
tidak sadar.”5 Sehubungan dengan hal ini, aku teringat pada Sang Bhagavā,
yang telah sempurna menempuh Sang Jalan, Beliau sangat ahli6 dalam hal-hal seperti ini! Sang Bhagavā
memahami dengan baik pemadaman kesadaran yang lebih tinggi. Apakah itu,
Bhagavā, pemadaman kesadaran yang lebih tinggi?’
7. ‘Dalam masalah ini,
Poṭṭhapāda, para petapa dan Brahmana yang mengatakan persepsi seseorang muncul
dan lenyap tanpa sebab dan kondisi adalah salah besar. Mengapakah? Persepsi
seseorang muncul dan lenyap [181] karena suatu sebab dan kondisi. Beberapa
persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.’ ‘Apakah
latihan?’ Sang Bhagavā berkata. ‘Poṭṭhapāda, seorang Tathāgata telah muncul di
dunia ini, seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna,
memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang
Jalan, Pengenal seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada
bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau,
setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia
bersama para dewa, māra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan
Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna
dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya.
Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas (DN 2,
paragraf 41-62). Itu baginya adalah moralitas.’
8. ‘Dan kemudian,
Poṭṭhapāda, bhikkhu tersebut yang sempurna dalam moralitas melihat tidak ada
bahaya dari sisi mana pun juga … (seperti DN 2, paragraf 63). Demikianlah ia
sempurna dalam moralitas.’
9-10. ‘Ia menjaga pintu-pintu
indrianya, dan seterusnya (DN 2, paragraf 64-75). [182] Setelah mencapai jhāna
pertama, ia berdiam di sana. Dan sensasi apa pun yang ia miliki sebelumnya,
menjadi lenyap. Pada saat itu, terdapat persepsi kegirangan dan kegembiraan7 yang sesungguhnya namun halus, yang muncul
dari ketidakmelekatan, dan ia menjadi seorang yang sadar akan kegirangan dan
kegembiraan ini. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan
beberapa lenyap melalui latihan. Dan ini adalah latihan itu’, Sang Bhagavā
berkata.
11. ‘Kemudian lagi,
seorang bhikkhu, dengan melenyapkan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran,
dengan memperoleh ketenangan di dalam dan keterpusatan pikiran, mencapai dan
berdiam di dalam jhāna ke dua, yang bebas dari awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran,
yang muncul dari konsentrasi, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan.
Persepsi kegirangan dan kegembiraan yang sesungguhnya namun halus, yang muncul
dari ketidakmelekatan yang ada sebelumnya, menjadi lenyap. Pada saat itu,
terdapat persepsi kegirangan dan kegembiraan yang sesungguhnya namun halus
[183], yang muncul dari konsentrasi, dan ia menjadi seorang yang sadar akan
kegirangan dan kegembiraan ini. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui
latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.’
12. ‘Kemudian lagi,
dengan memudarnya kegirangan, ia berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian
dan berkesadaran jernih, dan ia mengalami dalam tubuhnya, perasaan menyenangkan
yang oleh Para Mulia dikatakan: “Berbahagialah ia yang berdiam dalam keseimbangan
dan perhatian,” dan ia mencapai dan berdiam di dalam jhāna ke tiga. Persepsi
kegirangan dan kegembiraan yang sesungguhnya namun halus, yang muncul dari
konsentrasi yang ada sebelumnya, menjadi lenyap, dan di sana muncul
keseimbangan dan kebahagiaan yang sesungguhnya namun halus, dan ia menjadi
seorang yang sadar akan keseimbangan dan kebahagiaan yang halus ini.
Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap
melalui latihan.’
13. ‘Kemudian lagi,
dengan ditinggalkannya kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya
kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, ia mencapai dan berdiam di dalam jhāna ke
empat, suatu kondisi yang melampaui kenikmatan dan kesakitan, dimurnikan oleh
keseimbangan dan perhatian. Keseimbangan dan perhatian halus yang ada
sebelumnya, menjadi lenyap, dan di sana muncul bukan kebahagiaan dan juga bukan
bukan-kebahagiaan yang halus, dan ia menjadi seorang yang sadar akan
kebahagiaan dan juga bukan bukan-kebahagiaan ini. Demikianlah beberapa persepsi
muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.’
14. ‘Kemudian lagi,
dengan seluruhnya melampaui sensasi jasmani, dengan lenyapnya semua penolakan
dan dengan ketidaktertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam, melihat bahwa
ruang adalah tidak terbatas, ia mencapai dan berdiam di dalam alam ruang tanpa
batas. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa
lenyap melalui latihan.’
15. ‘Kemudian lagi,
dengan seluruhnya melampaui [184] Alam Ruang Tanpa Batas, melihat bahwa
kesadaran adalah tidak terbatas, ia mencapai dan berdiam di dalam alam
kesadaran tanpa batas. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan,
dan beberapa lenyap melalui latihan.’
16. ‘Kemudian lagi,
dengan seluruhnya melampaui Alam Kesadaran Tanpa Batas, melihat bahwa tidak ada
apa-apa, ia mencapai dan berdiam di dalam alam kekosongan. Demikianlah beberapa
persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.’ Sang
Bhagavā berkata.
17. ‘Poṭṭhapāda, sejak
saat ketika seorang bhikkhu mencapai persepsi terkendali ini,8 ia maju secara bertahap hingga mencapai
batas persepsi. Ketika ia mencapai batas persepsi, muncul dalam dirinya:
“Aktivitas batin buruk bagiku, kurangnya aktivitas batin adalah lebih baik.
Jika aku berpikir dan membayangkan,9 persepsi-persepsi ini [yang telah kucapai]
akan lenyap, dan persepsi-persepsi yang lebih kasar akan muncul dalam diriku.
Bagaimana jika aku tidak berpikir dan tidak membayangkan?” Maka ia tidak
berpikir dan tidak membayangkan. Dan kemudian, dalam dirinya, hanya
persepsi-persepsi ini yang muncul, tetapi yang lainnya, persepsi- persepsi yang
kasar tidak muncul. Ia mencapai pelenyapan. Dan itu, Poṭṭhapāda, adalah
bagaimana lenyapnya persepsi terjadi setahap demi setahap.’
18. ‘Bagaimana
menurutmu, Poṭṭhapāda? Pernahkah engkau mendengarkan hal ini sebelumnya?’
‘Belum, Bhagavā. Seperti yang kupahami, Bhagavā telah mengatakan: “Poṭṭhapāda,
sejak saat ketika seorang bhikkhu mencapai persepsi terkendali ini, ia maju
secara bertahap hingga mencapai batas persepsi. Ketika ia mencapai batas
persepsi … ia mencapai pelenyapan [185] … dan demikianlah bagaimana lenyapnya
persepsi terjadi setahap demi setahap.”’ ‘Benar sekali, Poṭṭhapāda.’
19. ‘Bhagavā, apakah
Engkau mengajarkan puncak persepsi hanya ada satu, atau ada banyak?’ ‘Aku
mengajarkannya satu dan juga banyak.’ ‘Bhagavā, bagaimanakah yang satu, dan
bagaimanakah yang banyak?’ ‘Sebagaimana ia mencapai berturut-turut pelenyapan
dari masing-masing persepsi, maka Aku mengajarkan puncak dari persepsi:
demikianlah Aku mengajarkan satu puncak persepsi, dan Aku juga mengajarkan
banyak.’
20. ‘Bhagavā, apakah
persepsi muncul sebelum pengetahuan, atau pengetahuan muncul sebelum persepsi,
atau apakah keduanya muncul bersamaan?’ ‘Persepsi muncul terlebih dulu,
Poṭṭhapāda, kemudian pengetahuan, dan dari munculnya persepsi, muncullah
pengetahuan. Dan seseorang mengetahui: “Dengan terkondisi demikian, muncullah
pengetahuan.” Dengan demikian, engkau dapat melihat bagaimana persepsi muncul
terlebih dulu, dan kemudian pengetahuan, dan bahwa dari munculnya persepsi,
muncullah pengetahuan.’10
21. ‘Bhagavā, apakah
persepsi adalah diri dari seseorang? Atau persepsi adalah satu hal, dan diri
adalah hal lainnya?’11 ‘Baiklah, Poṭṭhapāda, apakah engkau menerima12 teori
diri?’ [186] ‘Bhagavā, aku menerima diri yang kasar, bermateri, tersusun dari
empat unsur utama, dan memakan makanan padat.’ ‘Tetapi dengan diri yang kasar
begitu, Poṭṭhapāda, persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya.
Engkau dapat melihatnya dengan cara ini. Dengan diri yang kasar demikian,
persepsi-persepsi tertentu akan muncul dalam diri seseorang, dan yang lainnya
lenyap. Dengan cara ini, engkau dapat melihat bahwa persepsi adalah satu hal,
dan diri adalah hal lainnya.’13
22. ‘Bhagavā, aku
menerima diri ciptaan-pikiran lengkap dengan semua bagiannya, tidak ada cacat
dalam semua organ-indria.’14 ‘Tetapi
dengan diri ciptaan-pikiran demikian, persepsi adalah satu hal, dan diri adalah
hal lainnya ….’ [187]
23. ‘Bhagavā, aku
menerima diri yang tanpa bentuk, terbuat dari persepsi.’15 ‘Tetapi dengan diri yang tanpa bentuk
demikian, persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya ….’
24. ‘Tetapi, Bhagavā,
apakah mungkin bagiku untuk mengetahui apakah persepsi adalah diri seseorang,
atau apakah persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya?’
‘Poṭṭhapāda, adalah sulit bagi seseorang yang berpandangan berbeda, keyakinan
berbeda, di bawah pengaruh yang berbeda, dengan tujuan yang berbeda, dan
latihan yang berbeda untuk mengetahui apakah kedua hal ini berbeda atau tidak.’
25. ‘Baiklah, Bhagavā,
jika pertanyaan mengenai diri dan persepsi ini sulit bagi seseorang sepertiku –
katakan: apakah dunia ini kekal?16 Apakah hanya ini yang benar dan yang
sebaliknya salah?’ ‘Poṭṭhapāda, Aku tidak menyatakan bahwa dunia ini kekal dan
bahwa pandangan yang sebaliknya adalah salah.’ ‘Baiklah, Bhagavā, apakah dunia
ini tidak kekal?’ ‘Aku tidak menyatakan bahwa dunia ini tidak kekal ….’
‘Baiklah, Bhagavā, apakah dunia terbatas, … tidak terbatas? ….’ [188] ‘Aku
tidak menyatakan bahwa dunia ini tidak terbatas dan bahwa pandangan yang
sebaliknya adalah salah.’
26. ‘Baiklah, Bhagavā,
apakah jiwa sama dengan badan, … apakah jiwa adalah satu hal, dan badan adalah
hal lainnya?’ ‘Aku tidak menyatakan bahwa jiwa adalah satu hal dan badan adalah
hal lainnya.’
27. ‘Baiklah, Bhagavā,
apakah Tathāgata ada setelah kematian? Apakah hanya ini yang benar dan semua
yang lainnya salah?’ ‘Aku tidak menyatakan bahwa Tathāgata ada setelah
kematian,’ ‘Baiklah, Bhagavā, apakah Tathāgata tidak ada setelah kematian, …
ada dan tidak ada setelah kematian? … bukan ada dan bukan tidak ada setelah
kematian?’ ‘Aku tidak menyatakan bahwa Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada
setelah kematian, dan bahwa semua yang lainnya adalah salah.’
28. ‘Tetapi, Bhagavā,
mengapakah Bhagavā tidak menyatakan hal-hal ini?’ ‘Poṭṭhapāda, itu tidak
mendukung pada tujuan, tidak mendukung pada Dhamma, [189] bukan jalan untuk
memulai kehidupan suci; tidak mengarah menuju ketidaktertarikan, tidak menuju
kebosanan, tidak menuju pelenyapan, tidak menuju ketenangan, tidak menuju
pengetahuan yang lebih tinggi, tidak menuju pencerahan, tidak menuju Nibbāna.
Itulah sebabnya, maka Aku tidak menyatakannya.’
29. ‘Tetapi, Bhagavā,
apakah yang Bhagavā nyatakan?’ ‘Poṭṭhapāda, Aku telah menyatakan: “Ini adalah
penderitaan, ini adalah asal- mula penderitaan, ini adalah lenyapnya
penderitaan, dan ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.”’
30. ‘Tetapi, Bhagavā,
mengapakah Bhagavā menyatakan hal-hal ini?’ ‘Karena, Poṭṭhapāda, itu mendukung
pada tujuan, mendukung pada Dhamma, [189] jalan untuk memulai kehidupan suci;
mengarah menuju ketidaktertarikan, menuju kebosanan, menuju pelenyapan, menuju
ketenangan, menuju pengetahuan yang lebih tinggi, menuju pencerahan, menuju
Nibbāna. Itulah sebabnya, maka Aku menyatakannya.’
‘Jadi, begitu, Bhagavā.
Jadi, begitu, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan. Dan sekarang adalah waktunya
bagi Sang Bhagavā untuk melakukan apa yang Beliau anggap baik.’ Kemudian Sang
Bhagavā bangkit dari duduk-Nya dan pergi.
31. Kemudian para
pengembara, segera setelah Sang Bhagavā pergi, mencela, mengejek, mencemooh
Poṭṭhapāda dari segala penjuru, dengan mengatakan: ‘Apa pun yang dikatakan
Petapa Gotama, Poṭṭhapāda setuju dengan-Nya: “Jadi, begitu, Bhagavā. Jadi,
begitu, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan!” Kami tidak mengerti sepatah kata
pun dari keseluruhan ceramah Petapa Gotama: “Apakah dunia ini kekal atau tidak?
– apakah terbatas atau tidak terbatas? – apakah jiwa sama dengan badan atau
berbeda? – apakah Tathāgata ada setelah kematian atau tidak ada, [190] atau keduanya,
atau bukan keduanya?”’
Poṭṭhapāda menjawab:
‘Aku juga tidak mengerti tentang apakah dunia ini kekal atau tidak … atau
apakah Tathāgata ada setelah kematian atau tidak, atau keduanya, atau bukan
keduanya. Tetapi Petapa Gotama mengajarkan cara yang benar dan nyata dalam
praktik yang selaras dengan Dhamma dan berdasarkan pada Dhamma. Dan mengapakah
seorang sepertiku tidak mengungkapkan persetujuan atas praktik yang benar dan
nyata, yang diajarkan dengan begitu baik oleh Petapa Gotama?’
32. Dua atau tiga hari
kemudian, Citta, putra seorang pelatih gajah, pergi bersama Poṭṭhapāda menemui
Sang Bhagavā. Citta bersujud di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi.
Poṭṭhapāda saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan
menceritakan apa yang terjadi. [191]
33. ‘Poṭṭhapāda, semua
pengembara itu adalah buta dan tidak memiliki penglihatan, engkau satu-satunya
di antara mereka yang memiliki penglihatan. Beberapa hal yang Kuajarkan dan
Kutunjukkan, Poṭṭhapāda, adalah pasti, yang lainnya adalah tidak pasti. Yang
manakah yang Kutunjukkan adalah tidak pasti? “Dunia adalah kekal“ Aku nyatakan
sebagai tidak pasti …. “Tathāgata ada setelah kematian ….” Mengapa? Karena
tidak mendukung … menuju Nibbāna. Itulah sebabnya, mengapa Aku menyatakannya sebagai
tidak pasti.’
‘Tetapi yang manakah
yang Kutunjukkan sebagai pasti? “Ini adalah penderitaan [192], ini adalah
asal-mula penderitaan, ini adalah lenyapnya penderitaan, dan ini adalah jalan
menuju lenyapnya penderitaan.” Mengapa? Karena, itu mendukung pada tujuan,
mendukung pada Dhamma, jalan untuk memulai kehidupan suci; mengarah menuju
ketidaktertarikan, menuju kebosanan, menuju pelenyapan, menuju ketenangan,
menuju pengetahuan yang lebih tinggi, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah
sebabnya, maka Aku menyatakannya sebagai pasti.’
34. ‘Poṭṭhapāda, ada
beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan dan percaya bahwa setelah
kematian, diri ini bahagia sepenuhnya dan bebas dari penyakit. Aku mendekati
mereka dan bertanya apakah ini adalah apa yang mereka nyatakan dan percayai,
dan mereka menjawab: “Ya.” Kemudian Aku berkata: “Apakah kalian, Teman-teman,
hidup di dunia ini, mengetahui dan melihat bahwa dunia ini adalah tempat yang
bahagia sepenuhnya?” dan mereka menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Pernahkah kalian
mengalami satu malam atau satu hari atau setengah malam atau setengah hari,
merasa bahagia sepenuhnya?” Dan mereka menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Apakah
kalian mengetahui jalan atau praktik yang mana kebahagiaan sepenuhnya di dunia
dapat diwujudkan?” Dan mereka menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Pernahkah kalian
mendengar suara-suara surgawi yang telah terlahir kembali di dunia yang bahagia
sepenuhnya, yang mengatakan: ‘Pencapaian dunia yang bahagia sepenuhnya telah
diperoleh dengan baik dan benar, dan kita, Tuan-tuan, [193] telah terlahir di
alam demikian’?” dan mereka menjawab: “Tidak.” Bagaimana menurutmu, Poṭṭhapāda?
Kalau begitu, bukankah perkataan para petapa dan Brahmana itu terbukti bodoh?’
35. ‘Ini bagaikan
seorang laki-laki yang mengatakan: “Aku akan mencari dan mencintai seorang
perempuan yang paling cantik di negeri ini.” Mereka akan mengatakan kepadanya:
“Sehubungan dengan perempuan cantik ini, apakah engkau mengetahui dia berasal
dari kasta Khattiya, Brahmana, pedagang, atau pekerja?” dan ia akan mengatakan:
“Tidak.” Dan mereka akan mengatakan: “Apakah engkau mengetahui namanya,
sukunya, apakah ia tinggi atau pendek atau sedang, apakah ia berkulit gelap
atau cerah atau kekuningan, atau dari desa atau kota manakah ia berasal?” Dan
ia akan mengatakan: “Tidak.” Dan mereka akan mengatakan: “Jadi, engkau tidak
mengetahui atau melihat orang yang engkau cari dan inginkan?” dan ia akan
mengatakan: “Tidak.” Bukankah kata-kata orang itu terbukti bodoh?’ ‘Tentu saja,
Bhagavā.’
36. ‘Dan demikian pula
dengan para petapa dan Brahmana yang menyatakan dan percaya bahwa setelah
kematian, diri ini bahagia sepenuhnya dan bebas dari penyakit …. [194] Bukankah
kata-kata mereka terbukti bodoh?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’
37. ‘Ini seperti
seseorang yang membangun sebuah tangga untuk sebuah istana di persimpangan
jalan. Orang-orang akan berkata kepadanya: “Tangga ini, untuk istana, yang
sedang engkau bangun – tahukah engkau apakah istana ini akan menghadap ke
timur, atau barat, atau utara, atau selatan, atau apakah istana ini akan
tinggi, rendah, atau sedang?” dan ia akan mengatakan: “Tidak.” Dan mereka akan
mengatakan: “Jadi, engkau tidak mengetahui atau melihat bentuk istana yang
tangganya sedang engkau bangun?” dan ia akan menjawab: “Tidak.” Bukankah
kata-kata orang itu terbukti bodoh?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’
38. (seperti paragraf
34) [195]
39. ‘Poṭṭhapāda, ada
tiga jenis ‘diri’:17 diri yang kasar, diri yang
ciptaan-pikiran, dan diri yang tanpa bentuk. Apakah diri yang kasar? Diri ini
berbentuk, tersusun dari empat unsur utama, memakan makanan padat. Apakah diri
yang ciptaan-pikiran? Diri ini berbentuk, lengkap dengan semua
bagian-bagiannya, tidak cacat dalam semua organ-indria. Apakah diri yang tanpa
bentuk? Diri ini tanpa bentuk, dan terbuat dari persepsi.’
40. ‘Tetapi aku
mengajarkan suatu ajaran untuk bebas dari diri yang kasar, yang mana kondisi
batin yang mengotori lenyap dan kondisi yang condong ke arah pemurnian tumbuh
lebih kuat, dan seseorang memperoleh dan berdiam dalam kemurnian dan
kesempurnaan kebijaksanaan di sini [196] dan saat ini, setelah menembus dan
mencapainya dengan pengetahuan-super. Sekarang, Poṭṭhapāda, engkau mungkin
berpikir: “Mungkin kondisi-kondisi batin yang mengotori ini lenyap … dan
seseorang masih tidak bahagia.”18 Janganlah dianggap demikian, jika
kondisi-kondisi yang mengotori lenyap …, tidak ada apa pun selain kebahagiaan dan
kegembiraan yang berkembang, ketenangan, perhatian dan kesadaran jernih – dan
itu adalah kondisi bahagia.’
41. ‘Aku juga
mengajarkan suatu ajaran untuk bebas dari diri yang ciptaan-pikiran … (seperti
paragraf 40).
42. ‘Aku juga
mengajarkan suatu ajaran untuk bebas dari diri yang tanpa bentuk … (seperti
paragraf 40). [197]
43. ‘Poṭṭhapāda, jika
orang lain bertanya kepada kita: “Apakah, Teman, diri yang kasar, yang cara
meninggalkannya engkau ajarkan …?” Jika ditanya demikian, kita harus menjawab:
“Ini adalah19 diri
yang kasar yang harus ditinggalkan yang tentangnya kami mengajarkan suatu
ajaran ….”’
44. ‘Poṭṭhapāda, jika
orang lain bertanya kepada kita: “Apakah diri yang ciptaan pikiran …?” (seperti
paragraf 43).’ [198]
45. ‘Poṭṭhapāda, jika
orang lain bertanya kepada kita: “Apakah diri yang tanpa bentuk …?” (seperti
paragraf 43). Bagaimana menurutmu, Poṭṭhapāda? Tidakkah pernyataan ini terbukti
masuk akal?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’
46. ‘Bagaikan seseorang
yang membangun sebuah tangga untuk suatu istana di bawah istana itu. Mereka
akan berkata kepadanya: “Tangga untuk istana yang sedang engkau bangun ini,
tahukah engkau apakah istana ini akan menghadap ke timur atau barat, atau utara
atau selatan, atau apakah istananya tinggi, rendah, atau sedang?” dan ia akan
berkata: “Tangga ini berada tepat di bawah istana ini.” Tidakkah engkau
berpikir bahwa pernyataan orang itu masuk akal?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’ [199]
47. ‘Demikian pula,
Poṭṭhapāda, jika orang lain bertanya kepada kita: “Apakah diri yang kasar …?”
“Apakah diri yang ciptaan pikiran …?” “Apakah diri yang tanpa bentuk …?” kita
menjawab: “Ini adalah diri [yang kasar, yang ciptaan-pikiran, yang tanpa
bentuk] yang untuk terbebas darinya kami mengajarkan suatu ajaran, yang mana
kondisi bathin yang mengotori lenyap dan kondisi yang condong ke arah pemurnian
tumbuh lebih kuat, dan seseorang memperoleh dan berdiam dalam kemurnian dan
kesempurnaan kebijaksanaan di sini dan saat ini, setelah menembus dan
mencapainya dengan pengetahuan-super.” Tidakkah pernyataan ini terbukti masuk
akal?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’
48. Mendengar kata-kata
ini, Citta, putera seorang pelatih gajah, berkata kepada Sang Bhagavā:
‘Bhagavā, ketika diri yang kasar ada, salahkah untuk menganggap bahwa diri yang
ciptaan pikiran dan diri yang tanpa bentuk juga ada? Apakah hanya diri yang
kasar saja yang ada? Dan demikian pula halnya untuk diri yang ciptaan pikiran
dan diri yang tanpa bentuk?’
49. ‘Citta, ketika diri
yang kasar ada, kita pada saat yang sama tidak membicarakan tentang diri yang
ciptaan pikiran, [200] kita tidak membicarakan tentang diri yang tanpa bentuk.
Kita hanya membicarakan diri yang kasar.20 Ketika diri yang ciptaan pikiran ada,
kita hanya membicarakan diri yang ciptaan pikiran, dan ketika diri yang tanpa
bentuk ada, kita hanya membicarakan diri yang tanpa bentuk.’
‘Citta, jika mereka
bertanya kepadamu: “Apakah engkau ada di masa lampau atau tidak, akankah engkau
ada di masa depan atau tidak, apakah engkau ada di masa sekarang atau tidak?”
Bagaimanakah engkau menjawabnya?’
‘Bhagavā, jika aku
ditanya demikian, aku akan menjawab: “Aku ada di masa lampau, aku tidak ada;
aku akan ada di masa depan, aku tidak akan ada; aku ada sekarang, aku tidak
ada.” Itu, Bhagavā, adalah jawabanku.’
50. ‘Tetapi, Citta, jika
mereka bertanya: “Diri di masa lampau yang engkau miliki, apakah itu adalah
satu-satunya diri yang sebenarnya, dan yang di masa depan dan di masa sekarang
adalah bukan yang sebenarnya? Atau apakah yang akan engkau milliki di masa
depan adalah satu-satunya yang sebenarnya, dan yang masa lampau dan masa
sekarang adalah bukan? atau apakah yang akan engkau milliki di masa sekarang
adalah satu-satunya yang sebenarnya, dan yang masa lampau dan masa depan adalah
bukan?” Bagaimanakah engkau menjawabnya?’
‘Bhagavā, jika mereka
menanyakan hal-hal ini kepadaku, [201] aku akan menjawab: “Diri di masa lampau
adalah pada saat itu yang sebenarnya, sedangkan yang di masa depan dan di masa
sekarang adalah bukan yang sebenarnya, diri di masa depan adalah pada saat itu
yang sebenarnya, sedangkan yang di masa lampau dan di masa sekarang adalah
bukan, diri di masa sekarang adalah pada saat ini yang sebenarnya, sedangkan
yang di masa lampau dan di masa depan adalah bukan sebenarnya.” Demikianlah
jawabanku.’
51. ‘Demikian pula,
Citta, ketika diri yang kasar ada, kita tidak, pada saat yang sama membicarakan
diri yang ciptaan pikiran … [atau] diri yang tanpa bentuk.’
52. ‘Demikian pula,
Citta, dari sapi kita memperoleh susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih
menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim ghee.
Dan ketika ada susu, kita tidak membicarakan dadih, mentega, gheee, krim ghee,
kita membicarakan susu; ketika ada dadih, kita tidak membicarakan mentega …;
ketika ada krim ghee … kita membicarakan krim ghee.’ [202]
53. ‘Demikian pula,
ketika ada diri yang kasar, kita tidak membicarakan diri yang ciptaan pikiran,
kita tidak membicarakan diri yang tanpa bentuk; ketika ada diri yang ciptaan
pikiran, kita tidak membicarakan diri yang kasar, kita tidak membicarakan diri
yang tanpa bentuk; ketika ada diri yang tanpa bentuk, kita tidak membicarakan
diri yang kasar, kita tidak membicarakan diri yang ciptaan pikiran, kita
membicarakan diri yang tanpa bentuk. Tetapi, Citta, semua ini hanyalah sekadar
nama, ungkapan, kata-kata, penandaan yang digunakan oleh Sang Tathāgata tanpa
kesalah- pahaman.’21
54. Dan mendengar
kata-kata ini, Poṭṭhapāda si pengembara berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sungguh
indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa
yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan
pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa
yang ada di sana. Demikian pula Yang Terberkahi telah membabarkan Dhamma dalam
berbagai cara. Bhagavā, aku berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan
kepada Sangha. Sudilah Bhagavā menerimaku sebagai seorang siswa-awam yang telah
menerima perlindungan dalam diri-Nya sejak hari ini hingga akhir hidupku!’
55. Tetapi Citta, putera
seorang pelatih gajah, berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sungguh indah, Bhagavā,
sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terjatuh, atau
menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap,
sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian
pula Yang Terberkahi telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Bhagavā, aku
berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Sangha. Semoga aku,
Bhagavā, menerima pelepasan dari tangan Sang Bhagavā, semoga aku menerima
penahbisan!’
56. Dan Citta, putera
seorang pelatih gajah, menerima pelepasan keduniawian dari tangan Sang Bhagavā,
dan penahbisan. Dan Yang Mulia Citta yang baru ditahbiskan, sendirian,
terasing, tanpa lelah, bersemangat, dan bertekad, dalam waktu singkat mencapai
apa yang dicari oleh para pemuda yang berasal dari keluarga mulia yang
meninggalkan rumah dan menjalani [203] kehidupan tanpa rumah, yaitu puncak
kehidupan suci yang tanpa tandingan, setelah mencapainya di sini dan saat ini
dengan pengetahuan- super yang ia miliki dan berdiam di sana, mengetahui:
‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus
dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang lebih jauh di sini.’
Dan Yang Mulia Citta,
putera si pelatih gajah, menjadi salah satu dari Para Arahat.
- 1. Permaisuri Raja Pasenadi dari
Kosala. Ia dan raja adalah siswa setia dari Sang Buddha. Taman itu
diberikan oleh dermawan terkenal Anāthapiṇḍika.
- 2. Abhisaññānirodha. ‘awalan abhi
menjelaskan bukan hanya saññā, melainkan keseluruhan kata, yang berarti
‘trance’ [sic!]. Ungkapan ini digunakan, bukan oleh Buddhis, tetapi oleh
para pengembara tertentu’ (PED).
- 3. Saññā utamanya berarti ‘persepsi’,
satu dari lima khandha, tetapi di sini mendekati makna ‘kesadaran’ (baca
BDic). Setelah beberapa keengganan, saya mempertahankan terjemahan
‘persepsi’ di sini.
- 4. DA mengatakan athabbanikā (‘para
pendeta Atharva’) dapat melakukan hal ini.
- 5. RD secara tidak sengaja
menghilangkan kalimat ini.
- 6. Sukusala: bentuk penegasan dari
kusala ‘terampil’.
- 7. Viveka-ja-pīti-sukha-sukhuma-sacca-saññā:
formula dasar dari jhāna pertama tetapi diperluas dengan kata-kata
sukhuma-sacca ‘halus dan jujur’.
- 8. Sakka-saññī hoti: secara harfiah,
‘menjadi penglihatan- sendiri’. Dari jhāna pertama, dan seterusnya
seseorang memiliki pengendalian atas persepsinya.
- 9. Abhisakhāreyyaṁ. RD ‘bermain-main’
dengan catatan kaki: mungkin “menyempurnakan” atau “merencanakan”. Mrs.
Bennet menuliskan “memanipulasi”.
- 10. DA memberikan penjelasan alternatif:
1. ‘Persepsi’ = ‘persepsi-jhāna’, ‘Pengetahuan’ = ‘Pengetahuan pandangan
terang’ (vipassanā-ñāṇaṁ); 1. ‘Persepsi’ = ‘persepsi- pandangan terang’,
‘Pengetahuan’ = ‘Pengetahuan sang jalan’; 1. ‘Persepsi’ = ‘persepsi sang
jalan’, ‘Pengetahuan’ = ‘Pengetahuan Buah’ (phalañāṇaṁ). Ia kemudian
mengutip suatu sumber resmi yang mengatakan ‘Persepsi’ adalah persepsi
buah Kearahatan, dan ‘Pengetahuan’ adalah yang persis setelah ‘pengetahuan
peninjauan’ (paccavekkhaṇa- ñāṇaṁ): cf. VM 1.32, 22.19 dan Bdic. Tetapi
sesungguhnya ‘Pengetahuan peninjauan’ juga disebutkan muncul pada
tingkatan rendah pada jalan pencerahan. Akan tetapi, ‘pengetahuan
peninjauan’ ini paling baik sepertinya menjelaskan bagaimana seseorang
diharapkan mengetahui bahwa persepsi muncul pertama dan kemudian
pengetahuan.
- 11. RD mengutip komentar DA bahwa
sebuah babi desa, bahkan jika mandi di air harum, mengenakan karangan
bunga, dan berbaring di atas kasur terbaik, akan tetap kembali ke timbunan
kotoran. Demikian pula Poṭṭhapāda akan tetap kembali kepada gagasan
‘diri’.
- 12. Paccesi ‘mundur kembali’.
- 13. Cf. DN 1.3.11.
- 14. Cf. DN 1.3.12.
- 15. Cf. DN 1.3.13 menurut DA, ini
mewakili pendapat sebenarnya Poṭṭhapāda.
- 16. Ini adalah sepuluh avyākatāni atau
yang tidak dapat ditentukan (lebih baik: ‘hal-hal yang tidak dinyatakan’)
atau pertanyaan-pertanyaan yang Sang Buddha menolak untuk menjawab: 1 – 2
Apakah dunia ini kekal atau tidak? 3 – 4 Apakah dunia ini terbatas atau
tidak? 5 – 6 Apakah jiwa (jīvaṁ) sama dengan badan atau tidak? 7 – 10.1
Apakah Sang Tathāgata (a) ada, (b) tidak ada, (c) ada dan tidak ada, (d)
bukan ada dan juga bukan tidak ada, setelah kematian? Semua ini hanyalah
spekulasi sia-sia, tidak mendukung kepada pencerahan, dan seperti
ditunjukkan dengan referensi nomor 5 dan 6 dalam DN 6, bagi seseorang yang
‘mengetahui dan melihat’ tidaklah pantas berspekulasi pada hal-hal
tersebut; dengan kata lain, pertanyaan- pertanyaan itu akan hilang karena
tidak bermakna. Sepuluh pertanyaan yang sama ditemukan dalam berbagai
bagian dari Canon, khususnya pada MN 63 (dengan sebuah perumpamaan yang
terkenal tentang seseorang yang terluka oleh anak panah, yang menolak
pengobatan sampai ia mendapatkan jawaban atas serangkaian panjang
pertanyaan) dan MN 72 (api yang padam); dan ada satu bagian penuh
(saṁyutta) (44) dalam SN. Telah diajarkan bahwa pertanyaan-pertanyaan ini
membentuk suatu rangkaian pertanyaan di antara para ‘pengembara’ untuk
menentukan posisi seseorang. Ini hanya mungkin jika kata Tathāgata
memiliki makna pada masa pre-Buddhist, yang mungkin saja demikian. Baca
sebuah diskusi oleh Ñāṇananda, Concept and Reality, 95ff.
- 17. Atta-paṭilābha. Ini, tentu saja,
hanyalah suatu ‘diri’ dugaan atau anggapan: ‘Serangkaian gabungan
kualitas-kualitas yang membentuk, untuk satu saat saja, kepribadian yang
tidak stabil’ (RD). Kata ini ditulis oleh DA sebagai attabhāva- paṭilābha
‘adopsi (atau asumsi) dari ke-diri-an’. Ketiga jenis diri bersesuaian
dengan tiga alam kenikmatan-indria, berbentuk, dan tanpa bentuk. Cf. DN
33.1.11 (38) dan AN 4.172.
- 18. Rujukan yang tidak diragukan akan
fakta yang terkenal bahwa kondisi yang lebih tinggi akan sangat membosankan
bagi kaum duniawi yang belum mengalaminya.
- 19. ‘Yang ini yang engkau lihat’.
- 20. Sankhaṁ gacchati: secara harfiah
‘memasuki penghitungan’.
- 21. Suatu referensi penting atas dua
kebenaran yang dirujuk dalam DA sebagai ‘pembicaraan konvensional’
(sammuti- kathā) dan ‘pembicaraan yang benar mutlak’ (paramattha- katthā).
Baca pendahuluan. Adalah penting untuk mewaspadai tingkat kebenaran di
mana pernyataan itu dilakukan. Dalam MA (ad MN 5: Anangana Sutta), syair
berikut ini dikutipkan (sumber tidak diketahui): Dua kebenaran dinyatakan
oleh Sang Buddha, yang terbaik dari mereka yang bicara: Konvensional dan
mutlak – tidak ada yang ketiga. Istilah-istilah yang selaras adalah benar
bagi penggunaan duniawi; Kata-kata yang bermakna mutlak adalah benar Dalam
hal dhamma. Demikianlah Sang Bhagavā, Sang Guru, Beliau Yang terampil
dalam bahasa dunia, dapat menggunakannya, dan tidak berbohong.
Posting
ini telah dilihat sebanyak :2171
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/po%E1%B9%AD%E1%B9%ADhapada-sutta/
No comments:
Post a Comment