DN 1
BRAHMAJALA SUTTA
Sumber: Brahmajala Sutta , Oleh: Tim Penterjemah
Diterbitkan oleh Badan Penerbit Buddhis ARYASURYACANDRA, 1993
Diterbitkan oleh Badan Penerbit Buddhis ARYASURYACANDRA, 1993
PENDAHULUAN
Brahmajala Sutta
merupakan sutta yang pertama dari 34 sutta Digha Nikaya. Sutta ini merupakan
sebuah sutta yang sangat penting untuk dipelajari dan direnungkan karena isi
sutta ini menguraikan tentang berbagai pandangan atau ajaran dari
bermacam-macam aliran agama yang ada serta berkembang pada masa kehidupan Sang
Buddha. Khususnya bagi umat Buddha yang sedang mempelajari Buddha Dhamma, maka
dengan merenungkan dan mengerti isi sutta ini, ia akan mendapatkan banyak
informasi baru tentang dasar teori tentang bagaimana pola pikir dan kedudukan
ajaran agama Buddha di tengah-tengah aneka ragamnya teori pandangan hidup dan
agama di dunia ini. Karena uraian yang ada dalam sutta ini, walaupun telah
diungkapkan oleh Sang Buddha pada lebih dari 2500 tahun yang lalu, namun isinya
sampai sekarang masih up to date. Ada dua pokok besar yang diuraikan dalam
Brahmajala sutta, yaitu tentang sila (peraturan prilaku-moral) dan ditthi
(pandangan atau teori ajaran). Sila yang diuraikan adalah Cula sila, Majjhima
sila dan Maha sila yang perlu sekali dilaksanakan oleh setiap umat Buddha yang
saleh. Cula sila berkenaan dengan peraturan-peraturan yang terdapat dalam dasa
sila Buddhis. Majjhima sila berkenaan dengan rincian dari pelaksanaan sila
keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan dari dasa sila Buddhis maupun tentang
pemeliharaan tumbuh-tumbuhan agar tetap lestari, dan cara berbicara yang pantas.
Ada enam puluh dua macam
ditthi yang diuraikan dalam sutta ini. Ditthi-ditthi ini dianut dan diyakini
oleh para penganutnya sesuai dengan batas kemampuan mereka. Ada yang
mengaturnya berdasarkan pada pengalaman, pengetahuan, pencapaian sehingga mereka
mempunyai kemampuan untuk membuktikan kondisi dari pada yang diyakininya itu
karena mereka dapat melihatnya sendiri. Namun ada juga yang menganut dan
meyakini paham mereka hanya didasarkan pada spekulasi yang mereka sendiri tak
dapat membuktikannya, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengalami
atau melihatnya sendiri, paham ini mereka ketahui atau pelajari dari guru-guru
mereka atau didasarkan pada spekulasi mereka sendiri. Bagi umat Buddha,
walaupun diantara ditthi-ditthi itu ada yang perlu juga untuk diketahui dicapai
dan dibuktikan sendiri, tetapi umat Buddha tidak boleh berhenti hanya pada
tingkat pencapaian seperti itu saja. Karena, walaupun ada beberapa ditthi atau
pandangan serta pencapaiannya itu perlu pula dicapai oleh umat Buddha tetapi
itu semua bukanlah merupakan tujuan akhir dari ajaran Sang Buddha. Pencapaian
atau tingkat kemampuan yang dihasilkan oleh ditthi-ditthi itu adalah baik dan
berguna, namun itu semua hanya merupakan titik tolak untuk dijadikan dasar yang
bagus dalam pengembangan dan meningkatkan kemampuan batin demi tercapainya
pembebasan batin (nibbana) dari semua kilesa (kekotoran batin). Sebab itulah
umat Buddha tidak boleh terperangkap oleh ditthi-ditthi ini. Semua pandangan
ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
- Pubbantanuditthino (Pandangan mengenai masa yang
lampau), terdiri dari 18 ditthi yang diuraikan sebagai:
- Empat pandangan Sassatavada (eternalis) yang
menyatakan bahwa atta (jiwa) dan loka (dunia) adalah kekal.
- Empat pandangan Sassata-asassatavada (semi eternalis)
yang menyatakan bahwa atta dan loka adalah sebagian kekal dan sebagian
tidak kekal.
- Empat pandangan Antanantika (ekstentionis) yang
menyatakan bahwa atta dan loka adalah terbatas dan tak terbatas.
- Empat pandangan Amaravikkhepika (berbelit-belit), yang
bilamana ada pertanyaan yang diajukan pada penganutnya, maka mereka akan
memberikan jawaban yang berbelit-belit, sehingga membingungkan
pendengarnya.
- Dua pandangan Adhiccasamuppanika (asal mula sesuatu
terjadi secara kebetulan), yang menyatakan bahwa atta dan loka terjadi
atau muncul tanpa adanya suatu sebab.
- Aparantakappika (Pandangan mengenai masa yang akan
datang), yang terdiri dari 44 ditthi yaitu:
- Enam belas pandangan Uddhamaghatanikasanavada (setelah
meninggal kesadaran tetap ada, yang menyatakan bahwa atta tetap hidup
terus setelah kita meninggal.
- Delapan pandangan Uddhamaghatanikasannivada (setelah
meninggal kita tak memiliki kesadaran), yang menyatakan bahwa setelah
kita meninggal atta adalah tanpa kesadaran.
- Delapan pandangan Uddhamaghatanika n’evasanni
nasannivada (setelah meninggal ada kesadaran dan tanpa kesadaran), yang
menyatakan bahwa setelah meninggal atta adalah memiliki kesadaran dan
tanpa kesadaran.
- Tujuh pandangan Ucchedavada (annihilasi), yang
menyatakan bahwa setelah kita meninggal kita hancur dan lenyap.
- Lima pandangan Ditthadhammanibbanavada (mencapai
pembebasan mutlak dalam kehidupan sekarang ini), yang menyatakan bahwa
nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang.
Diantara ditthi atau
pandangan mengenai masa yang lampau, yaitu beberapa pandangan eternalis,
menyatakan bahwa ada orang yang karena semangat, tekad, kesungguhan dan
kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya menjadi
tenaga sehingga ia memiliki kemampuan batin (abhinna) untuk mengingat banyak
kehidupan yang lampau yaitu:
- Pada satu hingga puluhan ribu kehidupan yang lampau di
bumi ini.
- Pada satu hingga empat puluh kali masa bumi terjadi,
hancur dan bumi terjadi kembali.
Pada uraian tentang
ditthi-ditthi ini yang ditekankan adalah tentang keyakinan adanya jiwa yang
kekal, yang selalu ada walaupun bumi-bumi yang kita diami selalu muncul silih
berganti. Dengan demikian, paham ini menekankan pula pandangan bahwa bumi ini
telah berkali-kali terjadi hancur dan muncul kembali hingga empat puluh kali
bumi berevolusi. Namun dalam kaitannya dengan ditthi-ditthi itu, Sang Buddha
menyatakan bahwa ia “telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih
jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka itu, dengan kekuatan batinnya ia
merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut”.
Pengetahuan Sang Buddha yang didasarkan pada kekuatan batinnya bukanlah kemampuan yang muncul karena pola pikiran seperti yang dimiliki manusia awam. Sebagai manusia awam/biasa, beliau dikenal sebagai orang yang terpintar ilmu di negaranya dan telah memiliki berbagai ketrampilan yang perlu dimiliki oleh seorang calon pemimpin bangsa. Pada waktu beliau masih sebagai seorang pertapa beliau telah berguru pada semua guru filsafat dan spiritual yang terkenal di Jambudipa, beliau berhasil menekuni semua ajaran mereka dan menyamai pencapaian dan kemampuan para gurunya. Akhirnya beliau telah berhasil mengembangkan pikiran atau batinnya dengan cara bermeditasi ketenangan batin (samatha bhavana) dan pandangan terang (vipassana bhavana). Dengan samatha bhavana beliau berhasil memiliki batin yang tenang juga memiliki kekuatan batin (abhinna), yaitu:
Pengetahuan Sang Buddha yang didasarkan pada kekuatan batinnya bukanlah kemampuan yang muncul karena pola pikiran seperti yang dimiliki manusia awam. Sebagai manusia awam/biasa, beliau dikenal sebagai orang yang terpintar ilmu di negaranya dan telah memiliki berbagai ketrampilan yang perlu dimiliki oleh seorang calon pemimpin bangsa. Pada waktu beliau masih sebagai seorang pertapa beliau telah berguru pada semua guru filsafat dan spiritual yang terkenal di Jambudipa, beliau berhasil menekuni semua ajaran mereka dan menyamai pencapaian dan kemampuan para gurunya. Akhirnya beliau telah berhasil mengembangkan pikiran atau batinnya dengan cara bermeditasi ketenangan batin (samatha bhavana) dan pandangan terang (vipassana bhavana). Dengan samatha bhavana beliau berhasil memiliki batin yang tenang juga memiliki kekuatan batin (abhinna), yaitu:
- Iddhividdhi – kemampuan batin yang berkenaan dengan
phisik, Ia dapat merubah diri menjadi banyak, berwajah lain, berujud lain,
menghilang, berjalan di atas air, melayang di angkasa, menyelam dalam
tanah, merubah benda sesuai apa yang disukainya dsb.
- Dibbacakkhu – kemampuan batin untuk melihat jauh dan
dekat tanpa batas. Ia dapat melihat:
- apa yang akan terjadi dimasa akan datang,
- apa yang terletak di tempat yang jauh walaupun itu
terhalang oleh gunung dll.,
- mahluk-mahluk lain diberbagai alam kehidupan yang tak
terlihat oleh mata manusia biasa seperti mahluk di alam neraka, peta,
asura, dewa, rupa brahma dan arupa brahma,
- kelahiran-kelahiran kembali setelah manusia dan
mahluk-mahluk lain (seperti tersebut diatas) meninggal di alamnya
masing-masing ke alam-alam kehidupan baru sesuai dengan karma mereka
masing-masing.
- Dibbasota – kemampuan batin untuk mendengar jauh dan
dekat tanpa batas. Ia dapat mendengar suara atau percakapan yang dilakukan
oleh manusia maupun mahluk-mahluk lain yang tak terdengar oleh telinga
manusia biasa, pada jarak dekat maupun jauh. Beliau pun dapat
berkomunikasi dengan semua mahluk.
- Cetopariyanana – kemampuan batin untuk membaca pikiran
manusia dan mahluk-mahluk lain. Ia dapat mengetahui isi pikiran orang atau
mahluk lain sebelum hal itu dikatakan.
- Pubbenivasanussati – kemampuan batin untuk mengetahui
kehidupan-kehidupan lampau dari semua mahluk, seperti tentang
perbuatannya, penyebab kelahirannya, keluarganya, kawan maupun lawannya,
adat kebiasaan, makanan dsb. Yang berkenaan dengan semua kondisi mahluk
itu. Berdasarkan pada kondisi-kondisi yang lampau itu maka manusia dan
mahluk lahir kembali dengan segala kondisi dan potensi yang mereka miliki
pada kehidupan sekarang.
Dengan memiliki abhinna
ini, beliau mengembangkan pikiran (batin) melihat lebih jauh dan dalam mengenai
hidup dan kehidupan ini. Dengan bertumpu pada dasar pemikiran seperti inilah
beliau mengembangkan vipassana bhavana (meditasi pandangan terang) dan menembus
pengetahuan tentang hukum sebab yang saling bergantungan (paticcasamuppada).
Demikian pula selanjutnya, berdasarkan pada pengetahuan yang semakin halus dan
dalam tentang paticcasamuppada ini akhirnya beliau menembus pengertian tentang
segala sesuatu adalah tidak kekal (anicca), akibatnya hal itu tidak dapat
dipertahankan (dukkha) karena memang segala sesuatu itu tidak memiliki jiwa
yang kekal (anatta). Dengan merealisasikan semua hal ini beliau dapat
melenyapkan kekotoran batin (kilesa). Beliau menjadi Buddha pada usia 35
tahun dan merealisasikan nibbana. Jadi nibbana dicapai ketika beliau masih
hidup. Nibbana bukanlah alam kehidupan melainkan kondisi atau keadaan batin
yang suci.
Proses perkembangan
pikiran beliau, dimulai dengan pikiran atau batin manusia dengan segala
kapasitasnya yang ada, berkembang menjadi pikiran atau batin yang disertai
kemampuan abhinna dan akhirnya mencapai batin yang suci serta menembus semua
rahasia kehidupan alam semesta (lokavidu). Beliau pun dikenal sebagai seorang
sabbannu (maha tahu). Kemahatahuan (sabbannu) adalah mengetahui segala sesuatu,
tetapi cara mengetahuinya satu hal pada satu saat. Jadi beliau hanya mengetahui
satu hal pada satu saat. Bila beliau berkehendak untuk mengetahui obyek yang
lain maka beliau akan memfokuskan batinnya pada hal tersebut. Apakah hal itu
jauh atau dekat dapat diketahui beliau. Sehingga segala sesuatu satu persatu
diketahui beliau. Berdasarkan kondisi batin yang seperti inilah, Sang Buddha
membabarkan Buddha Dhamma kepada para dewa dan manusia, sehingga beliau dikenal
pula sebagai guru para dewa dan manusia (sattha devamanussa). Beliau
mengajarkan bahwa bumi tempat kehidupan manusia bukan hanya sebuah saja
melainkan ada banyak sekali bumi di jagad raya ini yang dihuni manusia seperti
apa yang dinyatakan beliau dalam Ananda Vagga, Anguttara Nikaya I. Namun segala
sesuatu adalah tidak kekal (anicca), maka bumi pun akan hancur dan lenyap.
Demikianlah, bumi yang lebih tua akan lenyap lebih dahulu. Bumi kita pun pada
suatu saat akan hancur. Tetapi kehancuran bumi kita ini bukan berarti semua
bumi di alam semesta akan hancur bersama-sama dengan bumi kita. Ketika bumi
kita hancur, bumi-bumi lain masih tetap ada, selanjutnya akan tiba saatnya
(gilirannya) bagi bumi-bumi lain itu satu persatu akan hancur pula. Namun
proses pembentukkan bumi-bumi baru satu persatu akan muncul pula. Dengan
demikian alam semesta kita ini tidak akan kosong dengan bumi-bumi dan manusia
yang menghuninya. Proses ketidakkekalan berjalan terus sesuai dengan hukum
sebab akibat yang universal (dhammaniyana), tetapi nampaknya massa di alam
semesta tetap sama adanya ketetapan massa.
Selanjutnya dalam
mempelajari ajaran agama, dalam hal ini mempelajari sutta, kita harus hati-hati
sebab kita akan menemukan banyak kata teknis yang sama bunyinya dengan apa yang
ada dalam ajaran agama lain. Hal ini bukan berarti bahwa ke dua kata yang sama
bunyinya itu, yang berasal dari dua sumber yang berbeda berarti ke dua kata itu
sama. Seperti apa yang terdapat dalam sutta ini, yaitu kata “Maha Brahma”.
Dalam ajaran Buddha kata “Maha Brahma” ini berarti mahluk dewa Brahma yang
terlahir di alam maha brahma karena karmanya sendiri yaitu ia berhasil memiliki
atau mencapai tingkat Jhana I yang kuat pada kehidupannya yang lampau dan
meninggal pada saat ia mencapai Jhana I itu. Jadi dewa maha brahma ini bukan
sama dengan Maha Brahma sebagai Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran agama Hindu.
Bagi umat Buddha yang ingin belajar Buddha Dhamma, maka membaca dan merenungkan
isi Brahmajala sutta ini adalah sangat penting dan bermanfaat sekali. Karena
kita dapat membayangkan dan menyadari bahwa dhamma yang diajarkan Sang Buddha
kepada kita sekalian adalah sangat halus dan dalam sekali. Hal ini dapat
menimbulkan atau membangkitkan semangat kita untuk lebih giat menyimak semua
ajaran Sang Tathagata.
BRAHMAJALA SUTTA
- Demikianlah yang telah kami dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berjalan di jalan antara kota Rajagaha dan Nalanda, diikuti oleh 500 orang Bhikkhu. Pada saat itu pula Suppiya paribbajaka1) bersama muridnya seorang pemuda bernama Brahmadatta sedang dalam perjalanan antara Rajagaha dan Nalanda. Ketika itu Suppiya paribbajaka mengucapkan bermacam-macam kata yang merendahkan Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Tetapi sebaliknya muridnya Brahmadatta memuji Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Demikianlah antara guru dan murid masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, sambil berjalan mengikuti rombongan Sang Bhagava. - Kemudian Sang Bhagava bersama-sama dengan para bhikkhu
berhenti dan bermalam di Ambalatthika, tempat peristirahatan raja.
Demikian pula Suppiya paribbajaka dan muridnya Brahmadatta berhenti di
Ambalatthika. Di tempat itu pula mereka berdua melanjutkan perbincangan
mereka tadi.
- Pagi harinya, sekelompok bhikkhu berkumpul di
Mandalamale2) sambil membicarakan beberapa hal sebagai
berikut: “Avuso3), aneh dan sungguh mengherankan bukankah Sang
bhagava sebagai seorang Arahat, Sammasambuddha telah melihat dan menyadari
serta telah melihat dengan jelas kecenderungan yang beraneka ragam yang
ada di dalam diri manusia. Bukankah Beliau mengetahui bagaimana Suppiya
paribbajaka merendahkan Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Demikian pula
bukankah Sang Bhagava mengetahui pula pandangan yang berbeda antara guru
dan murid yang berjalan mengikuti rombongan Beliau.
- Ketika Sang Bhagava mengetahui apa yang sedang mereka
bicarakan, beliau lalu pergi ke Mandalamale, dan duduk di tempat yang
telah disediakan. Setelah duduk beliau bertanya: “Apakah yang kalian
sedang bicarakan dan apakah yang menjadi pokok pembicaraan dalam pertemuan
ini?” Mereka lalu menceritakan masalah yang mereka bicarakan.
- “Para Bhikkhu, bilamana orang mengucapkan kata-kata
yang merendahkan saya4) Dhamma dan Sangha, janganlah
karena hal itu kamu membenci, dendam atau memusuhinya. Bilamana karena hal
tersebut kalian marah atau merasa tersinggung, maka hal itu akan
menghalangi jalan pembebasan diri kalian, dan mengakibatkan kalian marah
dan tidak senang. Apakah kalian dapat merenungkan ucapan mereka itu baik
atau buruk?”
“Tidak demikian, Bhante”.
“Tetapi bilamana ada orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan saya, Dhamma dan Sangha, maka kalian harus menyatakan mana yang salah dan menunjukkan kesalahannya dengan mengatakan bahwa berdasarkan hal ini atau itu, ini tidak benar, atau itu bukan begitu, hal demikian tidak ada pada kami, dan bukan kami”. - Tetapi para bhikkhu, bilamana orang lain memuji Saya,
Dhamma dan Sangha, janganlah karena hal tersebut kamu merasa bangga,
gembira dan bersuka cita. Bila kamu bersikap demikian maka hal itu akan
menghalangi jalan pembebasan diri kalian. Bilamana orang lain memuji Saya,
Dhamma dan Sangha, maka kamu harus menyatakan apa yang benar dan
menunjukkan faktanya dengan mengatakan bahwa, ‘berdasarkan hal ini atau
itu, ini benar, itu memang begitu, hal demikian ada pada kami, dan benar
pada kami”.
- Walaupun hanya hal-hal kecil, hal-hal yang kurang
berharga, atau pun karena sila5), maka orang-orang memuji
Tathagata6). Apakah hal-hal kecil, hal-hal yang kurang berharga
atau pun sila yang menyebabkan orang-orang memuji Tathagata?
Cula Sila - ‘Tidak membunuh makhluk, Samana Gotama menjauhkan diri
dari membunuh makhluk. Ia telah membuang alat pemukul dan pedang, ia malu
melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang dan kebaikan hatinya
kepada semua makhluk, menyebabkan semua orang memuji Sang Tathagata.’
Atau ia berkata: “Tidak mengambil apa yang tidak diberikan, Samana Gotama tidak mau memiliki apa yang bukan kepunyaan-Nya. Ia hanya mengambil apa yang diberikan dan tergantung pada pemberian. Ia hidup dengan jujur dan suci”7). Atau ia berkata: “Tidak melakukan hubungan kelamin8), Samana Gotama hidup membujang9). Ia menjauhkan diri dari perbuatan yang ternoda dan tidak melakukan hubungan kelamin”. - Atau ia berkata: “Tidak berdusta, Samana Gotama telah
menjauhkan diri dari dusta. Ia berbicara benar, tidak menyimpang dari
kebenaran, jujur dan dapat dipercaya, dan tidak mengingkari kata-kataNya
di dunia”.
Atau ia berkata: “Tidak memfitnah, Samana Gotama menjauhkan diri dari fitnah. Apa yang Ia dengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain yang dapat menyebabkan timbulnya pertentangan dengan orang di tempat ini. Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakan-Nya di sini sehingga tidak menyebabkan timbulnya pertentangan dengan orang di tempat lain. Dalam hidupnya Ia menyatukan mereka yang berlawanan, mengembangkan persahabatan di antara mereka, pemersatu, mencintai persatuan, menyenangi persatuan, membicarakan kesatuan10). Atau ia berkata: “Tidak mengucapkan kata-kata kasar, Samana Gotama menjauhkan diri dari ucapan-ucapan kasar. Ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela, yang menyenangkan, menarik, mengena di hati, sopan, menggembirakan orang dan disukai orang”.Atau ia berkata: “Tidak menghabiskan waktu dengan ceritera yang tidak berguna, Samana Gotama menjauhkan diri dari obrolan tentang hal-hal yang tidak berguna. Ia berbicara pada waktu yang tepat, sesuai dengan kenyataan, bermanfaat, yang berhubungan dengan Dhamma dan Vinaya. Ia berbicara pada saat yang tepat dengan kata-kata yang bermanfaat bagi pendengar dan dengan gambaran yang tepat, memberikan uraian yang jelas dan tepat”. - Atau ia berkata: “Samana Gotama tidak merusak
biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan.
Ia makan sekali sehari, tidak makan setelah tengah hari atau tidak makan
di malam hari. Ia tidak menyaksikan pertunjukan-pertunjukan, tari-tarian,
nyanyian dan musik.
Ia tidak menggunakan alat-alat merias, bunga-bunga, wangi-wangian dan perhiasan. Ia tidak menggunakan tempat tidur yang besar dan mewah. Ia tidak menerima: emas, perak, padi, daging mentah, wanita, budak, biri-biri atau kambing, babi, gajah, sapi, kuda dan unggas. Ia tidak bertani. Ia tidak melakukan perdagangan, penipuan dengan timbangan atau dengan ukuran, penyogokan, penipuan atau pemalsuan, melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya.
Demikianlah para bhikkhu, yang menyebabkan orang-orang memuji sang Tathagata.Majjhima Sila 11) - Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap merusak : biji-bijian yang masih dapat tumbuh, akar
yang masih dapat tumbuh, potongan, ruas, tunas yang masih dapat tumbuh.
Tetapi Samana Gotama hidup dengan tanpa merusak biji-bijian maupun
tumbuh-tumbuhan”.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap melakukan penimbunan makanan, minuman, jubah, alat-alat
tidur, alat-alat lainnya, wangi-wangian, bumbu makanan. Tetapi
Samana Gotama sama sekali tidak mau menimbun barang-barang demikian“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap mengunjungi pertunjukan-pertunjukan seperti:
tari-tarian, nyanyi-nyanyian, musik tontonan, nyanyian epis, musik,
pelafalan syair, permainan tam-tam, drama, akrobat yang dimainkan oleh
orang-orang mengadu gajah, kerbau, sapi, kambing, domba, kuda, ayam dan
burung; pertandingan dengan menggunakan pemukul, tinju, gulat;
perang-perangan, pawai dan parade. Tetapi Samana Gotama sama
sekali tidak mau melihat pertunjukan demikian“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap malakukan permainan-permainan atau rekreasi sebagai
berikut: permainan dengan papan yang berpetak-petak delapan atau sepuluh
baris, permainan dengan melangkah pada diagram yang digariskan di tanah
dengan cara hanya melangkah sekali; permainan dengan cara memindahkan
benda atau orang dari satu tempat ke tempat yang lain dengan tanpa
melepaskan benda atau orang tersebut; main dadu, kayu pendek dipukul
dengan kayu panjang, mencelupkan tangan ke dalam air berwarna dan
menempelkan telapak tangan ke dinding, main bola, meniup pipa yang dibuat
dari daun, menggali dengan alat mainan, bersalto, main kincir angin yang
dibuat dari daun palem, main kereta-keretaan atau panah-panahan, menebak
tulisan di udara atau di punggung seseorang, menebak pikiran orang lain,
atau bertingkah laku seperti orang cacad. Tetapi Samana Gotama
tidak pernah melakukan permainan-permainan tersebut“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap menggunakan tempat tidur yang besar dan mewah sebagai
berikut: dipan yang tinggi, panjang enam kaki dan dapat
dipindah-pindahkan; dipan dengan tiang-tiangnya diukir bergambar binatang;
menggunakan selimut yang berwarna-warni; menggunakan selimut putih;
menggunakan seprei disulam dengan motif bunga-bungaan; menggunakan selimut
dari wol dan kapas; menggunakan seprei yang disulam dengan gambar singa
atau harimau; menggunakan seprei dengan bulu binatang di kedua tepinya;
menggunakan seprei dengan bulu binatang di salah satu tepinya; menggunakan
seprei dari sutra; menggunakan selimut yang dapat digunakan oleh enam
belas orang; menggunakan selimut gajah, kuda atau kereta; menggunakan
selimut antelope yang dijahit; menggunakan selimut dari kulit sebangsa
kijang; menggunakan permadani yang berpenutup di atasnya; menggunakan
tempat duduk dengan bantal merah untuk kepala dan kaki. Tetapi
Samana Gotama tidak menggunakan barang-barang tersebut“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap menggunakan perhiasan dan mempercantik diri dengan
cara: menggunakan bedak harum, shampoo, mandi dengan bunga-bungaan; tubuh
dipukul-pukul secara perlahan dengan tongkat seperti tukang gulat;
menggunakan cermin meminyak diri (bukan untuk obat); menggunakan
bunga-bungaan, pemerah pipi, kosmetik, gelang, kalung, tongkat jalan
(untuk bergaya saja), kotak bulu untuk obat, pedang, penahan sinar matahari,
sandal bersulam, turban, perhiasan di dahi, alat mengkebut dibuat dari
ekor yak, jubah putih berumbai. Tetapi Samana Gotama tidak
menggunakan benda-benda tersebut“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap membicarakan hal-hal yang rendah seperti berikut:
ceritera tentang kepala negara, menteri, pencuri, peperangan, terror,
makanan dan minuman, pakaian, tempat tidur, bunga kalung, wangi-wangian,
keluarga, kendaraan, desa, kampung, kota, negara, pertempuran, pahlawan,
gosip jalanan, ditempat pengambilah air, setan, yang tidak ada ujung
pangkalnya, spekulasi tentang terciptanya daratan dan lautan atau tentang
eksistensi dan non eksistensi. Tetapi Samana Gotama tidak
membicarakan hal-hal tersebut“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap menggunakan kata-kata bantahan, seperti:
“Kamu tidak mengerti dhamma vinaya ini, seperti apa yang saya ketahui. Bagaimanakah kamu dapat mengetahui dhamma vinaya ini? Kamu berpandangan salah. Saya benar”. “Saya bicara langsung ke pokok persoalan, kamu tidak”.
“Kamu membicarakan bagian akhir lebih dahulu daripada bagian permulaan”.
“Apa yang telah kamu persiapkan untuk dibicarakan, itu telah usang”. “Kata-kata bantahanmu diterima”. “Kamu terbukti salah”. “Bebaskanlah dirimu bila kau sanggup”. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan bantahan-bantahan seperti itu“. - Atau ia berkata: “Sementara pertapa dan brahmana hidup
dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun mereka masih
tetap berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh, sebagai perantara sebagai
berikut: perantara raja-raja, menteri, kesatria, brahmana, atau pemuda dengan
berkata, ‘pergilah kesana, kesitu, bawalah ini, dan bawalah itu dari
sana. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap melakukan penipuan dengan cara: berkomat-kamit dengan
kata-kata tertentu berlaku seperti orang suci, mengusir setan atau
kesialan, dan kehausan untuk menambah keuntungan karena serakah. Tetapi
Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.Maha Sila 12)
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah,
yaitu dengan cara yang rendah seperti: meramal nasib orang dengan melihat
garis-garis telapak tangan untuk mengetahui umur dan kebahagiaan dan
seterusnya; meramal dan melihat untuk mengetahui alamat yang baik dengan
mendengarkan halilintar; meramal mimpi; meramal tanda-tanda yang diakibatkan
oleh gigitan tikus; melakukan persembahan dengan sekam, bekatul, beras,
mentega dan minyak untuk dewa; mempersembahkan biji sesame dengan cara
menyembahkannya dari mulut ke api; mengeluarkan darah dari lutut untuk
dipersembahkan kepada dewa; melihat pada ruas jari-jari dan lain-lain
sesudah itu membaca mantra dan meramalkan apakah orang itu mujur atau
sial; menentukan lokasi rumah supaya baik; menasehati cara-cara untuk
mengerjakan ladang; mengusir hantu atau setan di kuburan; mantra untuk
menempati rumah yang dibuat dari tanah; mantra ular, mantra tikus; mantra
burung; mantra gagak; meramal untuk panjang umur; mantra melepaskan panah;
atau membicarakan kehidupan rusa. Tetapi Samana Gotama tidak
melakukan hal-hal tersebut“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah
seperti: membicarakan tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk
dengan benda-benda, dan alamat-alamat dan tanda-tanda yang berkenaan
dengan kesehatan atau keberuntungan bagi mereka yang memiliki: batu-batu
permata, tongkat, pedang, panah, gendewa, senjata-senjata lainnya; wanita,
pria, anak pria, anak perempuan, budak pria atau wanita, gajah, kuda,
kerbau, sapi jantan atau betina, biri-biri, biawak, kura-kura, itik,
burung dan binatang-binatang lainnya, atau anting-anting. Tetapi
Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah,
dengan cara yang rendah yaitu meramalkan akibat dari: keberangkatan
pemimpin, akan tibanya pemimpin, rumah pemimpin akan diserang dan musuh
akan menyerang dan kita akan mundur; pemimpin kita akan menang, musuh
kalah, pemimpin kita akan kalah, musuh menang, salah satu pihak akan
menang dan pihak lain kalah. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan
hal-hal tersebut“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, juga
masih tetap mencari pendapatan dengan mata pencaharian yang salah, dengan
cara-cara yang rendah, yaitu meramalkan: adanya gerhana bulan, gerhana matahari,
gerhana bintang, matahari dan bulan akan menyimpang dari orbitnya,
matahari dan bintang akan kembali pada orbitnya, bintang-bintang akan
menyimpang dari orbitnya, bintang-bintang akan kembali pada orbitnya,
meteor akan jatuh, hutan akan terbakar, akan terjadi gempa bumi, dewa akan
membuat halilintar, matahari, bulan dan bintang-bintang akan terbit atau
terbenam, bersinar; kurang bercahaya; atau meramalkan lima belas hal
tersebut akan terjadi dan akan mengakibatkan sesuatu. Tetapi
Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, juga
masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah, dengan
cara-cara yang rendah, yaitu meramalkan: akan ada hujan yang lebat, kurang
hujan, panen akan baik atau akan buruk, akan ada kedamaian, akan terjadi
kekacauan, akan ada penyakit sampar, akan ada musim yang baik, meramal
dengan menghitung-hitung jari, meramal tanpa cara menjumlah dengan cepat;
menyusun lagu sanjak, atau membuat masalah menjadi kabur. Tetapi
Samana Gotama tidak melakukan hal-hal tersebut“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah,
dengan cara-cara yang rendah sebagai berikut: menentukan hari baik untuk
perkawinan, menentukan hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk
pergi, menentukan hari baik untuk keharmonisan, menentukan hari baik untuk
perpisahan, menentukan hari baik untuk menagih hutang, menentukan hari
baik untuk memberikan pinjaman, menggunakan mantra untuk keberuntungan,
menggunakan mantra untuk kesialan, menggunakan mantra untuk menggugurkan
kandungan, menggunakan mantra untuk menyebabkan orang lain menjadi bisu,
menggunakan mantra untuk menghentikan gerak rahang orang lain, menggunakan
mantra untuk menggoyang-goyangkan lengan orang lain, menggunakan mantra
untuk menyebabkan orang lain menjadi tuli, mencari inspirasi dengan
melihat kaca, mencari inspirasi dengan melihat gadis, mencari jawaban dari
dewa, memuja matahari, memuja maha ibu 13),
mengeluarkan api dari mulut, memohon kepada dewa atau dewi
keberuntungan. Tetapi Samana Gotama tidak melakukan hal-hal
tersebut“.
- Atau ia berkata: “Sementara beberapa pertapa dan
brahmana hidup dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, namun
mereka masih tetap mencari pendapatan dengan mata pencaharian yang salah,
dengan cara-cara yang rendah sebagai berikut: berjanji akan berdana bila
keinginannya terkabul, melaksanakan janji itu, mengucapkan mantra dalam
rumah yang dibuat dari tanah, mengucapkan mantra untuk menambah kejantanan
laki-laki, mengucapkan mantra untuk membuat laki-laki menjadi impoten,
menentukan tempat yang tepat untuk dijadikan tempat tinggal, mensucikan
tempat, melakukan upacara suci mulut, melakukan upacara mandi,
mempersembahkan korban, melakukan cara untuk menyebabkan orang muntah dan
mengosongkan perut, melakukan suatu cara untuk mengurangi sakit kepala,
meminyaki telinga orang, merawat mata orang lain, memberikan obat ke
hidung orang lain, memberikan collyrium di mata orang lain, memberikan
obat ke mata orang lain, berpraktek seperti ocultis, berpraktek seperti
dokter bedah, berpraktek seperti dokter anak-anak, meramu obat-obatan dari
akar-akaran, atau membuat obat-obatan. Tetapi Samana Gotama tidak
melakukan hal-hal tersebut“.
Para bhikkhu, inilah hal-hal kecil yang diuraikan dengan terperinci yang berkenaan dengan peraturan-peraturan yang menyebabkan orang-orang memuji Tathagata”. - “Para bhikkhu, ada ‘hal-hal lain’ 14),
yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur
dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu
hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah
dimengerti, telah dilihat dengan jelas, dan telah ditinggalkan oleh
Tathagata, berdasarkan pada sikap itulah dan karena sesuai dengan
kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata. Apakah yang dimaksudkan
dengan hal-hal lain itu, para bhikkhu?”
- “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
ajarannya berpedoman pada ‘hal-hal yang telah lampau 15),
mendasarkan pandangan atau spekulasi mereka pada hal-hal yang lampau 16),
mereka mendasarkan ajaran tersebut dalam delapan belas pandangan. Apakah
asal mula dan dasar maka mereka berpandangan demikian?”
- “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
berpandangan ‘Eternalis’ 17), dan mereka menyatakan
bahwa ‘atta’ 18) dan ‘loka’ 19)adalah
kekal, pandangan ini diuraikan dalam empat cara. Apakah asal mula dan
dasar maka mereka berpendapat demikian?”
- “Pertama, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan
brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan
bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya menjadi tenang, ia
dapat mengingat alam-alam kehidupan yang lampau pada1, 2, 3, 4, 5, 10, 20,
30, 40, 50, 100, 1000, beberapa ribu atau puluhan ribu kehidupannya yang
lampau, dan berpendapat bahwa, ‘pada kehidupan itu saya mempunyai nama,
keluarga, turunan, hidup dengan makanan tertentu, mengalami kesenangan dan
penderitaan, hidup dengan usia sepanjang sekian tahun. Kemudian saya
meninggal di alam itu dan saya terlahir kembali di sini.’ Demikianlah ia
dapat mengetahui kembali dengan jelas tentang kondisi dan situasi dari
berbagai alam kehidupannya yang lampau. Dan ia berkata pada dirinya
sendiri bahwa ‘atta’ adalah kekal, loka tidak membentuk suatu atta yang
baru, itu tetap bagaikan puncak gunung karang atau bagaikan tiang yang
kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah-pindah, mati dan
terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, namun
demikian mereka itu tetap, kekal selamanya. Mengapa begitu? Karena dengan
usaha, semangat, tekad kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, maka saya
dapat memusatkan pikiran, pikiran menjadi tenang, sehingga saya dapat
mengingat dengan jelas kondisi dan situasi dari berbagai tempat
kehidupanku yang lampau. Berdasarkan pada hal itulah maka saya mengetahui
bahwa ‘atta’ adalah kekal dan ‘loka’ tidak membentuk suatu atta yang baru,
itu tetap bagaikan puncak gunung karang, atau bagaikan tiang yang kokoh
kuat, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah-pindah, mati dan terlahir
kembali dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka
itu tetap kekal selamanya.
Para bhikkhu, inilah pandangan pertama yang merupakan asal mula dan dasar dari ajaran yang berpendapat bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal, dari beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Eternalis”. - “Kedua, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana
yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan
bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya menjadi tenang, ia
dapat mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10
kali masa ‘bumi berevolusi’ 20), dan berpendapat
bahwa ‘pada kehidupan itu saya mempunyai nama, keluarga, turunan, hidup
dengan makanan tertentu, mengalami kesenangan dan penderitaan, dan hidup
dengan usia sepanjang sekian tahun. Kemudian saya meninggal di alam itu
dan saya terlahir kembali di sini’. Demikianlah ia dapat mengetahui
kembali dengan jelas tentang kondisi dan situasi dari berbagai alam
kehidupannya yang lampau. Dan ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa
‘atta’ adalah kekal, loka tidak membentuk suatu atta yang baru, itu tetap
bagaikan puncak gunung karang atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan
walaupun makhluk-makhluk berpindah-pindah mati dan terlahir kembali dari
satu kehidupan ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetap,
kekal selamanya. Mengapa demikian? Karena dengan semangat, tekad,
kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, maka saya dapat memusatkan
pikiran, batin menjadi tenang, sehingga saya dapat mengingat dengan jelas
kondisi dan situasi dari berbagai alam kehidupan yang lampau. Berdasarkan
pada hal itulah saya mengetahui bahwa ‘atta’ adalah kekal, dan ‘loka’
tidak membentuk suatu atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung
karang atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk
berpindah-pindah, mati dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke
kehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetap, kekal selamanya.
Para bhikkhu, inilah pandangan kedua yang merupakan asal mula dan dasar
dari ajaran yang berpendapat bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal dari
beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Eternalis”.
- “Ketiga, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan
brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan
bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya menjadi tenang, ia
dapat mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau 10, 20, 30, sampai 40
kali masa ‘bumi berevolusi’, dan berpendapat bahwa, ‘pada kehidupan itu
saya mempunyai nama, keluarga, turunan, hidup dengan makanan tertentu
mengalami kesenangan dan penderitaan, dan hidup dan usia sepanjang sekian
tahun. Kemudian saya meninggal di alam itu dan saya terlahir kembali di
sini’. Demikianlah ia dapat mengetahui kembali dengan jelas tentang
kondisi dan situasi dari berbagai alam kehidupannya yang lampau. Dan ia
berkata kepada diri sendiri bahwa ‘atta’ adalah kekal, loka tidak
membentuk suatu atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung karang
atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk
berpindah-pindah, mati dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan
yang lain, namun demikian mereka itu tetap, kekal selamanya! Mengapa
demikian? Karena dengan semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan
bermeditasi, maka saya dapat memusatkan pikiran, batin menjadi tenang,
sehingga saya dapat mengingat dengan jelas kondisi dan situasi dari
berbagai alam kehidupanku yang lampau. Berdasarkan pada hal itulah saya
mengetahui bahwa ‘atta adalah kekal’, dan loka tidak membentuk suatu atta
yang baru, itu tetap bagaikan tiang yang kokoh, dan walaupun
makhluk-makhluk berpindah-pindah, mati dan terlahir kembali dari satu
kehidupan ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetap, kekal
selamanya.
Para bhikkhu, inilah pandangan ketiga yang merupakan asal mula dan dasar dari ajaran yang berpendapat bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal, dari beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Eternalis”. - “Keempat, para bhikkhu, apakah asal mula dan dasar
pandangan yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal, dari para
Eternalis? Para bhikkhu, dalam hal ini ada beberapa pertapa dan brahmana
yang mendasarkan pandangannya pada pikiran dan logika saja. Ia menyatakan
pendapatnya yang didasarkan pada argumentasinya dan dilandaskan pada
kesanggupannya saja dan menyatakan bahwa ‘atta’ adalah kekal dan ‘loka’
tidak membentuk suatu atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung
karang atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, walaupun makhluk-makhluk
berpindah-pindah, mati dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke
kehidupan yang lain, namun demikian mereka tetap, kekal selamanya”.
Para bhikkhu, inilah pandangan keempat yang merupakan asal mula dan dasar dari ajaran yang berpendapat bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal, dari beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Eternalis”. - Para bhikkhu, inilah empat pandangan yang menyatakan
bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah kekal dari beberapa pertapa dan brahmana.
Demikianlah para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan
mempertahankan pandangan mereka dengan empat cara ini, atau dengan salah
satu dari pandangan-pandangan itu, dan selain pandangan itu tidak ada lagi
pandangan lain”.
- Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai
dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan tersebut pada
waktu akan datang bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah
menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan
pandangan-pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya Ia
merealisasikan jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia
telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan,
rasa manisnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau pun
tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
- “Para bhikkhu, inilah hal-hal yang sangat dalam, sulit
sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak
dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau
dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat
dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap
dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
Catatan :
|
|
1)
|
pertapa
|
2)
|
paviliyun
|
3)
|
panggilan kepada
sesama bhikkhu yang sama kebhikkhuannya atau lebih muda masa kebhikkhuannya.
|
4)
|
Buddha
|
5)
|
peraturan-peraturan
|
6)
|
Tathagata = salah satu
julukan dari Sang Buddha.
|
7)
|
puthujjano
|
8)
|
abrahma cariya
|
9)
|
brahmacari (celebacy)
|
10)
|
samagga.
|
11)
|
peraturan-peraturan
|
12)
|
peraturan-peraturan
besar
|
13)
|
siri – avhayanam
|
14)
|
anna dhamma
|
15)
|
pubbantakappika
|
16)
|
pubbantanuditthino
|
17)
|
sassata vada
|
18)
|
zat yang kekal dan
tidak bersyarat, yang terdapat dalam makhluk atau yang mendasari alam
semesta, yang sering diterjemahkan dengan ‘aku’.
|
19)
|
alam, bumi, dunia,
semesta, jagad.
|
20)
|
samvattavivatta,
evolusi tentang terjadi dan hancurnya bumi, dst.
|
—————————————————————————————————————————————————
- “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
berpandangan ‘Semi-Eternalis’ 1) pada hal-hal
tertentu, dengan empat cara mereka berpendapatan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’
ada bagian yang kekal dan ada bagian yang tidak kekal. Apakah asal mula
dan dasar mereka berpandangan demikian?
- Para bhikkhu, pada suatu masa yang lampau setelah
berlangsungnya suatu masa yang lama sekali, ‘bumi ini belum ada’ 2).
Ketika itu umumnya makhluk-makhluk hidup di alam dewa Abhassara 3),
di situ mereka hidup ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran,
dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa hidup diliputi
kemegahan, mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
- Demikianlah, pada suatu waktu yang lampau ketika
berakhirnya suatu yang lama sekali, bumi ini mulai berevolusi dalam
pembentuk, ketika hal ini terjadi alam Brahma 1) kelihatan
dan masih kosong. Ada makhluk dari alam dewa Abhassara yang ‘masa
hidupnya 2) atau ‘pahala kamma baiknya’3) untuk
hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara itu dan
terlahir kembali di alam Brahma. Disini, ia hidup ditunjang pula oleh
kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya-cahaya
yang melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup
demikian dalam masa yang lama sekali.
- Karena terlalu lama ia hidup sendirian di situ, maka
dalam dirinya muncullah rasa ketidak puasan, juga muncul suatu keinginan,
‘O, semoga ada makhluk lain yang datang dan hidup bersama saya di sini!
Pada saat itu ada makhluk lain yang disebabkan oleh masa usianya atau
pahala kamma baiknya telah habis, mereka meninggal di alam Abhassara dan
terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi dalam banyak
hal sama dengan dia.
- Para bhikkhu, berdasarkan itu, maka makhluk pertama
yang terlahir di alam Brahma berpendapat : “Saya Brahma, Maha Brahma, Maha
Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat,
Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan,
Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada 4).
Semua makhluk ini adalah ciptaanku”. Mengapa demikian? Baru saja saya
berpikir, ‘semoga mereka datang’, dan berdasarkan pada keinginanku itu
maka makhluk-makhluk ini muncul. Makhluk-makhluk itu pun berpikir, ‘dia
Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan
dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, penentu tempat bagi semua
makhluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada.
Kita semua adalah ciptaannya. Mengapa? Sebab, setahu kita, dialah yang
lebih dahulu berada di sini, sedangkan kita muncul sesudahnya”.
- “Para bhikkhu, dalam hal ini makhluk pertama yang
berada di situ memiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih
berkuasa daripada makhluk-makhluk yang datang sesudahnya.
Para bhikkhu, selanjutnya ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi. Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu.
Mereka berkata : “Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Masa Kuasa, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Dialah yang menciptakan kami, ia tetap kekal dan keadaannya tidak berubah, ia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang ke sini adalah tidak kekal, berubah dan memiliki usia yang terbatas.”
“Para bhikkhu, inilah pandangan pertama tentang asal mula dan dasar dari ajaran beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan – Semi-Eternalis pada hal-hal tertentu, yang berpendapat bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ sebagian kekal dan sebagian tidak kekal”. - “Pandangan kedua, para bhikkhu, ada beberapa pertapa
dan brahmana yang berpandangan Semi-Eternalis. Pandangan ini bersumber
pada dewa-dewa tertentu yang dinamakan Khiddapadosika 1).
Mereka menghabiskan masa hidup mereka dengan ‘mencari kesenangan dan memuaskan indria’ mereka.
Diakibatkan oleh sifat mereka yang buruk itu dan juga karena tidak dapat mengendalikan diri lagi, maka mereka meninggal di alam tersebut”. - “Para bhikkhu, demikianlah maka ada beberapa makhluk
yang meninggal di alam tersebut dan terlahir di bumi. Setelah berada di
bumi ini, mereka meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi
pertapa, dengan semangat, tekad, waspada dan kesungguhan bermeditasi,
pikiran mereka terpusat, batin tenang dan memiliki kemampuan untuk
mengingat kembali satu kehidupan mereka yang lampau, tetapi tidak lebih
dari itu.
- Mereka berkata : “Dewa-dewa yang tidak ternoda oleh kesenangan
adalah tetap kekal abadi selamanya. Tetapi kita yang terjatuh dari alam
tersebut, tidak dapat mengendalikan diri karena terpikat pada kesenangan,
kita yang terlahir di sini adalah tidak kekal, berubah, dan usia kita pun
terbatas”.
Inilah pada bhikkhu, pandangan kedua”. - “Pandangan ketiga, para bhikkhu, ada beberapa pertapa
dan brahmana yang berpandangan Semi-Eternalis. Pandangan ini bersumber
pada dewa-dewa tertentu yang dinamakan ‘Manopadosika’ 5).
Mereka selalu diliputi oleh ‘perasaan iri kepada yang lain’, karena sifat
buruk ini maka mereka cemburu atau tidak menyukai dewa yang lain. Akibat
dari pikiran yang buruk tersebut maka tubuh mereka menjadi lemah dan
bodoh, dan dewa-dewa tersebut meninggal di alam itu”.
- “Para bhikkhu, demikianlah maka beberapa makhluk yang
meninggal di alam tersebut terlahir kembali di bumi ini, mereka
meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi pertapa. Karena hidup
sebagai pertapa, maka dengan semangat, tekad, waspada dan kesungguhan
bermeditasi, pikiran mereka terpusat, batin menjadi tenang dan memiliki
kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupan yang lampau, tetapi tidak
lebih dari itu”.
- Kemudian mereka berkata : “Para dewa yang pikiran
mereka tidak ternoda dan tidak diliputi perasaan iri hati kepada yang
lain, maka mereka tidak merasa cemburu kepada dewa yang lain, dengan
demikian mereka kuat cerdas dan pandai. Maka dengan demikian mereka tidak
meninggal atau jatuh dari alam tersebut, mereka tetap kekal abadi, tidak
berubah sampai selama-lamanya. Tetapi kita yang memiliki pikiran yang
ternoda, selalu diliputi perasaan iri hati kepada yang lain. Karena rasa
iri dan cemburu tersebut, maka tubuh kami menjadi lemah, mati dan terlahir
ke sini (bumi) sebagai makhluk yang tidak kekal, berubah, dan memiliki
usia yang terbatas. Para bhikkhu, inilah pandangan yang ketiga”.
- Pandangan keempat, para bhikkhu, ada beberapa pertapa
dan brahmana yang berpandangan Semi-Eternalis. Tetapi dalam hal ini mereka
mendasarkan pandangan mereka pada pikiran dan logika. Mereka menyatakan pendapat
mereka yang didasarkan pada argumentasi dan dilandaskan pada kesanggupan
mereka saja sebagai berikut : ‘yang disebut mata, telinga, hidung, lidah
dan jasmani adalah ‘atta’ yang bersifat tidak kekal, tidak tetap, tidak
abadi, selalu berubah. Tetapi apa yang dinamakan batin, pikiran atau
kesadaran adalah ‘atta’ yang bersifat kekal, tetap abadi dan tidak akan
berubah.
Para bhikkhu, inilah pandangan keempat tentang asal mula dan dasar dari ajaran beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Semi-Eternalis, yang mempertahankan pendapat mereka bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ sebagian kekal dan sebagian tidak kekal”. - “Para bhikkhu, inilah empat paham ajaran yang
menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ sebagian kekal dan sebagian tidak kekal
dari beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan Semi-Eternalis.
Demikianlah ajaran mereka dengan empat pandangan ini atau dengan salah
satu dari pandangan-pandangan itu, dan selain pandangan mereka tersebut
tidak ada lagi pandangan lain”.
- “Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui
sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan
tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya.
Karena Tathagata telah menyadarinya dan mengetahui hal-hal lain yang lebih
jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut, dan berdasarkan
pada pengetahuanNya itu Ia tidak terpikat dan tidak terpengaruh oleh
pandangan-pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya Ia
merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan itu. Ia telah mengetahui
hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmat,
bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan. Tathagata
telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
“Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap itulah dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”. - “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
berpandangan ‘Ekstensionis’ 6) dengan empat
cara mereka berpendapat dan menyatakan bahwa ‘loka’ adalah terbatas
dan tidak terbatas. Apakah asal mula dan dasar mereka sehingga berpendapat
atau berkesimpulan demikian?”
- ‘Pandangan pertama para bhikkhu, ada beberapa pertapa
dan brahmana yang karena bersemangat, bertekad, waspada dan sungguh-sungguh
bermeditasi, pikiran mereka terpusat, batin mereka menjadi tenang dan
berada dalam keadaan ‘membayangkan dunia ini terbatas 7).
Maka mereka berkata : “Dunia ini terbatas, jalan dapat dibuat
mengelilinginya’. mengapa demikian? Karena didasarkan pada semangat,
tekad, kewaspadaan dan kesungguhan bermeditasi, maka pikiran kami
terpusat, batin kami menjadi tenang, dan kami berada dalam ‘dunia yang
nampak terbatas’ 8)
Para bhikkhu, inilah pandangan pertama”. - “Pandangan kedua, para bhikkhu, ada beberapa pertapa
dan brahmana yang karena bersemangat bertekad, waspada dan sungguh-sungguh
bermeditasi, pikiran mereka terpusat, batin mereka menjadi tenang dan
berada dalam keadaan ‘membayangkan dunia ini tidak terbatas’ 9).
Maka mereka berkata : “Para pertapa dan brahmana yang menyatakan bahwa
dunia ini terbatas sehingga jalan dapat dibuat mengelilinginya adalah
salah”.
- “Pandangan ketiga, para bhikkhu, ada beberapa pertapa
dan brahmana yang karena bersemangat bertekad, waspada dan
sungguh-sungguh, bermeditasi, pikiran mereka terpusat, batin mereka
menjadi tenang dan berada dalam keadaan ‘membayangkan dunia ini ada yang
terbatas dan ada yang tidak terbatas 10). Maka
mereka berkata : “Para pertapa dan brahmana yang menyatakan bahwa ‘dunia
ini terbatas’, dan ‘dunia ini tidak terbatas’ adalah salah”.
- “Pandangan keempat, para bhikkhu, ada beberapa pertapa
dan brahmana yang berpendapat dan hanya didasarkan pada pikiran dan
logika. Mereka menyatakan pendapat mereka yang didasarkan pada argumentasi
mereka dan hanya dilandaskan pada kesanggupan mereka saja, sebagai
berikut, ‘dunia ini adalah bukan terbatas ataupun bukan tidak
terbatas’ 11). Para pertapa dan brahmana yang
menyatakan pendapat pertama, kedua dan ketiga adalah salah. Karena ‘dunia
ini bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas’. Para bhikkhu, inilah
pandangan keempat”.
- “Para bhikkhu, inilah empat paham ajaran yang dianut
oleh beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan “Ekstensionis” yang
berpendapat dan menyatakan bahwa ‘dunia adalah terbatas’. Demikianlah
ajaran mereka dengan empat pandangan ini atau dengan salah satu dari
pandangan-pandangan itu, dan selain pandangan mereka tersebut tidak ada
lagi pandangan lain”.
- “Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui
sampai di mana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari
pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang
mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal
lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut,
dan berdasarkan pada pengetahuan itu ia tidak terpikat dan tidak
terpengaruh oleh pandangan-pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan
batinNya Ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan
tersebut. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya
semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan
pegangan atau tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan
seperti itu. Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit
sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak
dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau
dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah ditinggalkan oleh
Tathagata, berdasarkan pada sikap itulah dan karena sesuai dengan
kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
- “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
‘berpandangan dan bersikap berbelit-belit’ 12),
bila ditanya suatu hal maka mereka akan menjawab dengan berberlit-belit
sehingga membingungkan. Pandangan ini ada empat. Apakah asal mula dan dasar
mereka sehingga berpendapat atau berkesimpulan demikian?”
- “Pandangan pertama, para bhikkhu, ada beberapa pertapa
dan brahmana yang tidak mengerti dengan baik apa sesungguhnya yang
dimaksudkan dengan ‘baik atau buruk 13). Ia
menyadari, ‘saya tidak mengerti dengan jelas apa sesungguhnya yang
dimaksud dengan ‘baik atau buruk’. Demikianlah bila saya menyatakan bahwa
ini baik atau itu buruk, maka saya akan dipengaruhi oleh
perasaan-perasaan, keinginan, kebencian dan dendam. Berdasarkan pada hal
tersebut saya akan salah, dan kesalahanku tersebut menyebabkan saya
menyesal, dan perasaan menyesal ini menyebabkan suatu penghalang bagiku.
Demikianlah karena rasa takut atau tidak senang pada kesalahan disebabkan menyatakan pendapat, maka ia tidak akan mengatakan apakah sesuatu itu baik atau buruk; bila sebuah pertanyaan ditanyakan kepadanya ia akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan dengan berkata : “Saya tidak mengatakan demikian, saya tidak mengatakan pendapat lain. Saya tidak menyatakan perbedaan pendapat. Saya tidak menolak pendapatmu. Saya tidak mengatakan itu begini atau begitu”. “Para bhikkhu, inilah pandangan yang pertama”. - Pandangan kedua, para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan
brahmana yang tidak mengerti dengan baik apa sesungguhnya yang dimaksudkan
dengan ‘baik atau buruk’, Ia menyadari, ‘saya tidak mengerti dengan jelas
apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ‘baik atau buruk’. Demikianlah bila
saya menyatakan bahwa ini baik atau itu buruk, maka saya akan dipengaruhi
oleh perasaan-perasaan, keinginan, kebencian dan dendam. Berdasarkan pada
hal tersebut maka saya akan terikat pada keadaan batin yang menyebabkan
kelahiran kembali, karena ikatanku itu menyebabkan saya menyesal, dan
dengan adanya perasaan ini menyebabkan suatu penghalang bagiku.
Demikianlah karena rasa takut atau tidak senang pada kesalahan yang disebabkan karena menyatakan pendapat, maka ia tidak akan mengatakan apakah sesuatu itu baik atau buruk; bila sebuah pertanyaan ditanyakan kepadanya ia akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan dengan berkata : “Saya tidak mengatakan demikian, saya tidak mengatakan pendapat lain. Saya tidak menyatakan perbedaan pendapat. Saya tidak menolak pendapatmu. Saya tidak mengatakan itu begini atau begitu”.
“Para bhikkhu, inilah pandangan yang kedua”. - Pandangan ketiga, para bhikkhu, ada beberapa pertapa
dan brahmana yang tidak mengerti dengan baik apa sesungguhnya yang
dimaksudkan dengan ‘baik atau buruk’. Ia menyadari, ‘saya tidak mengerti
dengan jelas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ‘baik atau buruk’.
Tetapi ada pertapa dan brahmana yang pandai, cerdik, berpengalaman dalam
perdebatan, pintar mencari kesalahan, pandai mengelak, yang menurut
pendapatku dapat menolak spekulasi orang lain dengan kebijaksanaan mereka.
Maka bilamana saya menyatakan ini baik atau itu buruk, mereka datang
menghadap padaku, memintakan pendapatku, dan menunjukkan
kesalahan-kesalahanku. Karena mereka bersikap demikian kepadaku, maka saya
tidak sanggup memberikan jawaban. Dan hal ini akan menyebabkan saya
menyesal, rasa penyesalanku ini menjadi suatu penghalang bagiku.
Demikianlah karena rasa takut atau tidak senang pada kesalahan yang disebabkan karena menyatakan pendapat, maka ia tidak akan mengatakan apakah sesuatu itu baik tidak akan mengatakan apakah sesuatu itu baik atau buruk; bila sebuah pertanyaan ditanyakan kepadanya ia akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan dengan berkata : “Saya tidak mengatakan demikian, saya tidak mengatakan pendapat lain. Saya tidak menyatakan perbedaan pendapat. Saya tidak menolak pendapatmu. Saya tidak mengatakan itu begini atau begitu”.
“Para bhikkhu, inilah pandangan ketiga”. - “Pandangan keempat, para bhikkhu, ada beberapa pertapa
dan brahmana yang bodoh dan dungu. Dan karena kebodohan atau kedunguannya,
maka bila ada pertanyaan yang ditanyakan kepadanya, ia akan menjawab
berbelit-belit dan membingungkan ‘Bila kamu bertanya kepadaku :
a.
|
1.
|
Apakah ada ‘loka’ 14) lain?
Jikalau saya berpikir ada, saya akan menjawab begitu. Tetapi saya tidak
mengatakan demikian. Dan saya tidak berpendapat begini atau begitu. Dan saya
juga tidak berpendapat ‘bukan kedua-duanya’. Saya tidak membantahnya. Saya
tidak mengatakan ada atau tidak ada dunia lain. Demikianlah ia bersikap
berbelit-belit. Begitu pula sikap dan jawaban bila ditanya masalah sebagai
berikut :1. Tidak ada dunia lain,
2. Ada dan tidak ada dunia lain, 3. Bukan ada atau pun bukan tidak ada dunia lain. |
b.
|
1.
|
Ada makhluk yang terlahir secara
opapatika 15) tanpa melalui rahim ibu.
|
2.
|
Tidak ada makhluk opapatika,
|
|
3.
|
Ada dan tidak ada makhluk terlahir
secara opapatika,
|
|
4.
|
Bukan ada atau pun bukan tidak ada
makhluk yang terlahir secara opapatika,
|
|
c.
|
1.
|
Ada buah sebagai akibat perbuatan
baik atau buruk.
|
2.
|
Tidak ada buah sebagai akibat
perbuatan baik atau buruk.
|
|
3.
|
Ada dan tidak ada buah sebagai
akibat perbuatan baik atau buruk.
|
|
4.
|
Bukan ada atau pun bukan tidak ada
sebagai akibat perbuatan baik atau buruk.
|
|
d.
|
1.
|
Setelah meninggal Tathagata tetap
ada.
|
2.
|
Setelah meninggal Tathagata tidak
ada.
|
|
3.
|
Setelah meninggal Tathagata ada
dan tidak ada.
|
|
4.
|
Setelah meninggal Tathagata bukan
ada atau pun bukan tidak ada.
|
|
Para bhikkhu inilah pandangan
keempat”.
|
- “Para bhikkhu, inilah pendapat atau cara yang
berbelit-belit dari beberapa pertapa dan brahmana yang bila ditanya sebuah
pertanyaan, maka dengan empat cara mereka menjawab berbelit-belit sehingga
orang yang bertanya menjadi bingung. Demikianlah para pertapa dan brahmana
tersebut berpendapat dan bersikap begitu dalam empat cara, atau
menggunakan salah satu dari cara-cara tersebut. Karena tidak ada cara lain
lagi yang dapat mereka lakukan”.
- “Para bhikkhu, dalam hal ini, Tathagata mengetahui
sampai di mana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari
pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang
mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal
lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut,
dengan kekuatan batinNya Ia merealisir jalan pembebasan dari
pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana
muncul dan lenyapnya semua perasaan rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak
dapat dijadikan pegangan atau tumpuan. Tathagata telah terbebas dari
pandangan-pandangan seperti itu.
“Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”. - “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
berpandangan mengenai ‘segala sesuatu terjadi secara kebetulan’ 16) dan
menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ terjadi atau berbentuk tanpa sebab.
Dalam hal ini ada dua pandangan”.
- “Para bhikkhu, ada beberapa dewa di alam
‘Asaññasatta’ 17) yang pada saat ada pikiran
yang muncul pada diri mereka, mereka meninggal atau lenyap dari alam
tersebut. Demikianlah para bhikkhu, ada makhluk yang meninggal dari alam
tersebut dan terlahir kembali di bumi ini. Karena hidup di bumi ini, ia
meninggalkan kehidupan berumah tangga menjadi pertapa. Karena hidup
sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan
sungguh-sungguh bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang
dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali bagaimana pikiran muncul
dalam dirinya (ketika ia hidup sebagai makhluk Asaññasatta) pada satu
kehidupannya yang lampau. Ia berkata, ‘atta dan loka’ ini terjadi secara
kebetulan saja. Mengapa demikian? Karena dahulu saya tidak ada, tetapi
sekarang saya ada. Dahulu tidak ada, sekarang ada!’. Inilah para bhikkhu,
pandangan atau paham pertama yang merupakan asal mula dan dasar dari para
pertapa atau brahmana yang menyatakan ‘segala sesuatu terjadi secara
kebetulan’, dan berpendapat bahwa ‘atta dan loka’ terjadi tanpa adanya
sebab”.
- Dan bagaimanakah pandangan yang kedua?
“Para bhikkhu, dalam hal ini, ada beberapa pertapa dan brahmana yang berpandangan didasarkan pada pikiran dan logika. Ia menyatakan pendapatnya yang didasarkan pada argumentasinya, dan hanya berlandaskan pada kesanggupannya, sebagai berikut, ‘atta dan loka terjadi tanpa adanya sebab’.
Inilah, para bhikkhu, pandangan yang kedua”. - “Para bhikkhu, inilah dua paham ajaran yang menyatakan
bahwa ‘atta dan loka’ terjadi secara kebetulan dari beberapa pertapa dan
brahmana yang berpandangan Adhiccasmuppanno. Demikianlah ajaran mereka
dengan dua pandangan ini atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan
itu dan selain pandangan mereka tersebut tidak ada lagi pandangan yang
lain”.
- “Para bhikkhu, dalam hal ini, Tathagata mengetahui
sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan
tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya.
Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih
jauh jangkauannya dari pada pandangan-pandangan mereka tersebut, dengan
kekuatan batinNya Ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan
tersebut. Ia telah mengetahui hakekat, bagaimana muncul dan lenyapnya
semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan
pegangan atau tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan
seperti itu. Para bhikkhu inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali
dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat
dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan
oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan
jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan
karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
- “Para bhikkhu, inilah ajaran-ajaran yang berpedoman
pada ‘hal-hal yang telah lampau 18) dari para
pertapa dan brahmana yang mendasarkan ‘pandangan pada hal-hal yang telah
lampau 19) ajaran ini terbagi dalam delapan
belas pandangan atau paham. Demikianlah mereka semua berpandangan seperti
itu dan hanya menganuti salah satu dari pandangan-pandangan tersebut. Dan
berpendapat bahwa tidak ada lagi pandangan lain yang benar selain
pandangan mereka.
- “Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui
sampai di mana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari
pandangan-pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang
mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadarinya dan mengetahui hal-hal
lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka itu, dengan
kekuatan batinNya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan
tersebut. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya
semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan
pegangan atau tumpuan.
Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”. - “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
ajaran mereka berkenaan dengan ‘masa yang akan datang’ 20),
berspekulasi mengenai keadaan masa yang akan datang 21).
Mereka mendasarkan ajaran tersebut dalam empat puluh empat pandangan.
Apakah asal mula dan dasar sehingga mereka berpandangan demikian?”
- “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
menganut ajaran bahwa ‘sesudah mati kesadaran tetap ada’ 22),
pandangan ini berpendapat bahwa sesudah mati ‘atta’ tetap ada; pandangan
ini terbagi dalam enam belas pandangan.
Mereka menyatakan tentang ‘atta’ sebagai berikut :”Sesudah mati, ‘atta’ tetap ada, tidak berubah dan sadar”, dan
1.
|
mempunyai bentuk (rupa)
|
2.
|
tidak berbentuk (arupa)
|
3.
|
berbentuk dan tidak berbentuk
(rupa dan arupa)
|
4.
|
bukan berbentuk atau pun bukan
tidak berbentuk (n’evarupi narupi)
|
5.
|
terbatas (antava atta hoti)
|
6.
|
tidak terbatas (anantava)
|
7.
|
terbatas dan tidak terbatas
(antava caanantavaca)
|
8.
|
bukan terbatas atau pun bukan
tidak terbatas (n’evantava nanantava)
|
9.
|
Memiliki semacam bentuk kesadaran
(ekattasaññi atta hoti)
|
10.
|
Memiliki bermacam-macam bentuk
kesadaran (nananttasaññi)
|
11.
|
memiliki kesadaran terbatas
(paritta saññi)
|
12.
|
memiliki kesadaran tidak terbatas
(appamana saññi)
|
13.
|
selalu bahagia (ekanta sukhi)
|
14.
|
selalu menderita (ekanta dukkhi)
|
15.
|
bahagia dan menderita (sukha
dukkhi)
|
16.
|
bukan bahagia atau pun bukan
menderita (adukkham asukkhi)
|
- “Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang
memiliki enambelas pandangan yang mengajarkan bahwa ‘sesudah mati
kesadaran tetap ada’. Demikianlah, para bhikkhu, para pertapa dan brahmana
tersebut berpendapat dan mempertahankan ajaran mereka dengan enambelas
pandangan ini atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut,
dan selain pandangan-pandangan tersebut tidak ada lagi pandangan lain”.
- “Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui
sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan
tersebut bagi mereka yang mempercayainya. Karena Tathagata telah menyadari
dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan
pandangan-pandangan mereka itu, dengan kekuatan batinNya ia merealisir
jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui
hakikat bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya,
bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan. Tathagata
telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
Catatan :
|
|
1)
|
ekacca-sassatika
ekacca-asassatika
|
2)
|
ayam loko samvattati
(bumi ini belum berevolusi untuk terbentuk).
|
3)
|
alam dewa brahma yang
dicapai sebagai hasil meditasi sampai Jhana II
|
4)
|
“Aham asmi Brahma
Maha-Brahma abhibhu anabhib bhuto annad-atthu-daso vasavatti issaro katta
nimmata settho sanjita vasi pita bhuta-bhavyanam……..
|
5)
|
para dewa yang
diliputi oleh perasaan iri kepada yang lain.
|
6)
|
Antanantika vada
|
7)
|
Antasanni lokasmim.
|
10)
|
antava ca ayam loko
anata ca
|
11)
|
n’evayam loko antava
na panananto
|
12)
|
amaravikkhapika
|
13)
|
kusala akusala
|
14)
|
dunia, bumi, semesta,
jagad
|
15)
|
terlahir secara
otomatis atau langsung tanpa rahim ibu, misalnya, makhluk-makhluk di alam
dewa, asura, peta, dan niraya (neraka)
|
16)
|
adiccasamuppanno
|
17)
|
alam dewa brahma yang
dicapai dengan meditasi sampai Jhana IV, makhluk dewa di alam ini dinyatakan
kesadarannya pasif atau diam secara harafiah artinya tanpa kesadaran.
|
18)
|
pubbantakapika.
|
19)
|
pubbantanuditthino
|
20)
|
aparantakappika
|
21)
|
uddhamaghatanika
sannivada
|
22)
|
aparantanuditthino
|
————————————————————————————————————————————————-
- “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
ajaran mereka didasarkan pada pandangan bahwa ‘sesudah mati ‘atta’ tidak
memiliki kesadaran’ 1) pandangan ini
berpendapat bahwa sesudah mati ‘atta’ tidak memiliki kesadaran, ajaran ini
terbagi dalam delapan pandangan.
- Mereka menyatakan bahwa ‘setelah mati ‘atta’ tidak
berubah dan tidak memiliki kesadaran’ dan
1. berbentuk (rupi)
2. tidak berbentuk (arupi)
3. berbentuk dan tidak berbentuk (rupi ca arupi ca)
4. bukan berbentuk atau pun bukan tidak berbentuk (n’eva rupiu narupi)
5. terbatas (antava)
6. tidak terbatas (anantava)
7. terbatas dan tidak terbatas (antava ca anantava ca)
8. bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas (n’vantava nanantava) - “Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang
mengajarkan bahwa ‘sesudah mati ‘atta’ tidak memiliki kesadaran’, yang
terbagi dalam delapan pandangan.
Para bhikkhu, demikianlah para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan mempertahankan ajaran mereka dengan delapan pandangan atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut, selain pandangan-pandangan tersebut tidak ada lagi pandangan lain”. - “Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui
sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan
tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya.
Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih
jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka itu, dengan kekuatan
batinNya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut.
Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua
perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan
atau tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti
itu. Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali
dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat
dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan
oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti telah dilihat dengan
jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan
karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”.
- “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
ajaran mereka didasarkan pada pandangan bahwa ‘sesudah mati ‘atta’ bukan
memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa kesadaran 2).
Ajaran ini terbagi dalam delapan pandangan.
‘Apakah asal mula dan dasar sehingga mereka berpandangan demikian?” - Mereka menyatakan bahwa ‘setelah mati ‘atta’ tidak
berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki
kesadaran dan
1. berbentuk (rupi)
2. tidak berbentuk (arupi)
3. berbentuk dan tidak berbentuk (rupi ca arupi ca)
4. bukan berbentuk atau pun bukan tidak berbentuk (n’eva rupi narupi)
5. terbatas (antava)
6. tidak terbatas (anantava)
7. terbatas dan tidak terbatas (antava ca anantava ca)
8. bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas (n’evantava nanantava) - “Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang
mengajarkan bahwa ‘sesudah mati’ ‘atta’ bukan memiliki kesadaran atau pun
bukan tanpa kesadaran’, yang terbagi dalam delapan pandangan”.
“Para bhikkhu, demikianlah para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan mempertahankan ajaran mereka dengan delapan pandangan ini, atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut, selain pandangan-pandangan tersebut tidak lagi pandangan lain”. - “Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui
sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan
tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya.
Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh
dari jangkauan pandangan-pandangan mereka itu, dengan kekuatan batinNya ia
merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah
mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa
nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan.
Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata. Berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”. - “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
mengajarkan paham ‘Annihiliassi’ 3). Mereka
menyatakan bahwa ‘setelah meninggal dunia ‘makhluk’ itu musnah dan
lenyap’. Ajaran ini diuraikan dalam tujuh pandangan. Apakah dasar dan asal
mula sehingga mereka berpandangan demikian?”
- “Para bhikkhu, pertama, ada beberapa pertapa dan
brahmana yang berpendapat dan berpandangan seperti berikut : “Saudara,
karena ‘atta’ ini mempunyai bentuk 4) yang
terdiri dari ‘empat zat’ 5), dan merupakan
keturunan dari ayah dan ibu; bila meninggal dunia, tubuh menjadi hancur,
musnah dan lenyap, dan tidak ada lagi kehidupan berikutnya. Dengan
demikian ‘atta’ itu lenyap. Demikianlah pandangan yang menyatakan bahwa
ketika makhluk meninggal, ia musnah dan lenyap”.
- Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, ‘atta’ yang
seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi ‘atta itu
tidak musnah, sekaligus, karena ada ‘atta’ lain lagi yang luhur,
berbentuk, termasuk ‘alat kesenangan inderia’ 6),
‘hidup dengan makanan material’ 7), yang kamu tidak
tahu atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui atau telah melihatnya.
Setelah ‘atta’ tersebut tidak ada lagi, dengan demikian ‘atta’ musnah sama
sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal dunia
makhluk itu binasa, musnah dan lenyap”.
- Orang lain berkata kepadanya : “Saudara ‘atta’ yang
seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi ‘atta’ itu
tidak musnah sekaligus, karena ada ‘atta’ lain lagi yang luhur, berbentuk,
dibentuk oleh pikiran 8), semua bagiannya sempurna,
inderianya pun lengkap. ‘Atta’ seperti itu kamu tidak tahu atau tidak
lihat, tetapi saya tidak mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal,
‘atta’ ini musnah dan lenyap. Setelah itu ‘atta’ tersebut tiada lagi,
dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat
bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap”.
- Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, ‘atta’ yang
seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi atta tidak
musnah sekaligus. Karena ada ‘atta’ lain lagi yang melampaui ‘pengertian
adanya bentuk’ 9) yang telah melenyapkan rasa
tidak senang 10), tidak memperhatikan
penyerapan-penyerapan lain 11), menyadari ruang
tanpa batas, mencapai ‘alam ruang tanpa batas’ 12).
‘Atta’ ini kamu tidak ketahui atau tidak lihat, tetapi saya telah
mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal dunia ‘atta’ ini musnah dan
lenyap. Setelah itu, ‘atta’ tersebut tidak ada lagi, dengan demikian
‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah
meninggal makhluk itu binasa musnah dan lenyap”.
- Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, ‘atta’ yang
seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi ‘atta’ tidak
musnah sekaligus. Karena ada ‘atta’ lain lagi yang melampaui alam Aksanancayatana,
menyadari kesadaran tanpa batas, mencapai alam ‘Kesadaran tanpa
batas’ 13). Atta ini kamu tidak tahu atau tidak
lihat, tetapi saya telah mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal, atta
ini musnah dan lenyap. Setelah itu, ‘atta’ tersebut tidak ada lagi dengan
demikian ‘atta’ musnah sama sekali. Demikianlah mereka berpendapat bahwa
setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap.
- Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, ‘atta’ yang
seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi atta tidak
musnah sekaligus. Karena ada atta lain yang melampaui alam
Viññanañcayatana, menyadari kekosongan, mencapai ‘alam kekosongan’ 14) Atta
ini kamu tidak tahu atau tidak lihat, tetapi saya telah mengetahui dan
melihatnya. Ketika meninggal, atta ini musnah dan lenyap. Setelah itu,
‘atta’ tersebut tidak ada lagi, dengan demikian ‘atta’ musnah sama sekali.
Demikianlah mereka berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk itu binasa,
musnah dan lenyap.
- Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, atta yang
seperti kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi atta tidak
musnah sekaligus. Karena ada atta lain yang melampaui alam
Akiñcaññayatana, mencapai alam ‘bukan penyerapan atau pun bukan tidak
penyerapan’ 15). Atta ini kamu tidak tahu atau tidak
lihat, tetapi saya telah mengetahui dan melihatnya. Ketika meninggal, atta
ini musnah dan lenyap. Setelah itu, atta tersebut tidak ada lagi, dengan
demikian atta musnah sama sekali”. Demikianlah mereka berpendapat bahwa
setelah meninggal makhluk itu binasa, musnah dan lenyap.
- “Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang
berpaham Annihilasi 16), yang memiliki tujuh
pandangan dengan berpendapat bahwa setelah meninggal makhluk binasa,
musnah dan lenyap sama sekali.
Para bhikkhu, demikianlah para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan menyatakan ajaran mereka dalam tujuh pandangan ini atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut, selain pandangan-pandangan tersebut tidak ada lagi. - “Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui sampai
dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan
tersebut, pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya.
Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih
jauh dari jangkauan pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya ia
merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah
mengetahui hakekat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa
manisnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau tumpuan.
Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata. Berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”. - “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
memiliki atau menganut ajaran yang menyatakan bahwa ‘Kebahagiaan Nibbana
dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini’ 17),
yang menyatakannya dalam lima pandangan bahwa kebahagiaan mutlak Nibbana
dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini. Apakah asal mula dan dasar
sehingga mereka berpandangan demikian?
- “Para bhikkhu, ada beberapa pertapa dan brahmana yang
berpandangan seperti berikut : “Bilamana ‘atta’ diliputi oleh kenikmatan,
kepuasan lima inderia, maka atta telah mencapai Nibbana dalam kehidupan
sekarang ini. Demikianlah pendapat yang mereka nyatakan mengenai makhluk
hidup yang dapat mencapai kebahagiaan mutlak – Nibbana dalam kehidupan
sekarang ini”.
- Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, atta seperti
yang kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi bukan karena
telah diliputi oleh kenikmatan kepuasan lima inderia berarti atta telah
mencapai Nibbana. Mengapa demikian? Karena kepuasan inderia itu tidak
kekal, itu masih diliputi penderitaan sebab bersifat berubah-ubah maka dukacita,
sedih, kesakitan, derita dan kebosanan muncul. Tetapi bilamana atta bebas
dari kesenangan inderia maupun hal-hal buruk’ 18),
mencapai dan tetap berada dalam Jhana Pertama 19),
keadaan yang menggiurkan, ‘disertai perhatian, dan penyelidikan’ 20),
maka dengan ini atta mencapai kebahagiaan mutlak Nibbana dalam kehidupan
sekarang ini”. Demikianlah mereka berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak –
Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini.
- “Orang lain berkata kepadanya : “Saudara ‘atta’ seperti
yang kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi bukan dengan
keadaan begitu berarti telah mencapai kebahagiaan mutlak Nibbana. Mengapa
demikian? Karena selama kita masih diliputi oleh proses berpikir atau
perhatian dan menyelidik, berarti itu masih kasar. Tetapi bilamana ‘atta’
terbebas dari perhatian dan menyelidik, mencapai dan berada dalam Jhana
II, keadaan pikiran terpusat dan seimbang, penuh kegiuran dan bahagia 21).
Maka dengan ini ‘atta’ mencapai kebahagiaan mutlak Nibbana dalam kehidupan
sekarang ini. Demikianlah mereka berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak
Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini.
- Orang lain berkata kepadanya : “Saudara, ‘atta’ seperti
yang kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi bukan dengan
keadaan begitu berarti telah mencapai kebahagiaan mutlak. Nibbana. Mengapa
demikian? Karena selama kita masih diliputi oleh kegiuran dan kenikmatan,
itu berarti masih kasar. Tetapi bilamana ‘atta’ terbebas dari keinginan
dan kegiuran; pikiran terpusat, seimbang, penuh perhatian, berpengertian
jelas22), dan tubuh mengalami kebahagiaan yang dikatakan
oleh para ariya sebagai keseimbangan yang disertai perhatian dan
pengertian jelas, mencapai dan berada dalam Jhana III. Maka dengan ini
‘atta’ mencapai kebahagiaan mutlak Nibbana dalam kehidupan sekarang ini.
Demikianlah mereka berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak Nibbana dapat
dicapai dalam kehidupan sekarang ini”.
- Orang lain berkata kepadanya : “Saudara atta seperti
yang kau katakan itu ada. Saya tidak membantahnya. Tetapi bukan dengan
keadaan begitu berarti telah mencapai kebahagiaan mutlak Nibbana. Mengapa
demikian? Karena selama kita masih diliputi rasa kebahagiaan, itu berarti
masih kasar. Tetapi bilamana ‘atta’ terbebas dari rasa kebahagiaan dan
derita 23) setelah lebih dahulu melenyapkan
kesenangan dan kesedihan 24)mencapai dan berada
dalam Jhana IV disertai pikiran terpusat dan seimbang, tanpa adanya
kebahagiaan atau pun penderitaan 25). Maka dengan
ini ‘atta’ mencapai kebahagiaan ini. Demikianlah mereka berpendapat bahwa
kebahagiaan mutlak Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini”.
- Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang
terpaham ajaran Ditta dhamma nibbana vada yang menyatakan ajaran mereka
dalam lima pandangan, bahwa ‘kebahagiaan mutlak Nibbana dapat dicapai
dalam kehidupan sekarang ini’ oleh semua makhluk.
Demikianlah, para bhikkhu, para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat dan menyatakan ajaran mereka dalam tujuh pandangan ini, atau dengan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut, selain pandangan-pandangan tersebut, tidak ada lagi pandangan lain. - “Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui
sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan
tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya.
Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakekat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau pun tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata. Berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”. - “Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang
ajaran mereka berkenaan dengan ‘masa akan datang’ 26),
berspekulasi mengenai masa yang akan datang. Mereka menyatakan
bermacam-macam ajaran mengenai ‘Keadaan masa yang akan datang’ dalam
empatpuluh empat pandangan.
Demikianlah para bhikkhu, para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat serta menyatakan pandangan mereka dalam empatpuluh empat pandangan tersebut atau menggunakan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut. Dan berpendapat bahwa selain pandangan mereka tidak ada lagi pandangan lainnya. - “Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui
sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan
tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya.
Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakekat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa manisnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau pun tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu. Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”. - “Para bhikkhu, inilah para pertapa dan brahmana yang
berpandangan, berpaham atau berspekulasi mengenai masa yang lampau’ 27)dan
yang berpandangan, berpaham atau berspekulasi mengenai masa yang akan
datang’ 28), dalam enampuluh dua pandangan kedua
kelompok paham tersebut menguraikan spekulasi mereka mengenai masa yang
telah lampau dan masa yang akan datang”.
“Para bhikkhu, demikianlah para pertapa dan brahmana tersebut berpendapat serta menyatakan pandangan mereka mengenai keadaan yang lampau dan yang akan datang dalam enampuluh dua pandangan atau menggunakan salah satu dari pandangan-pandangan tersebut. Dan mereka berpendapat selain pandangan mereka tidak ada lagi pandangan lainnya. - “Para bhikkhu, dalam hal ini Tathagata mengetahui
sampai dimana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan-pandangan
tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya.
Karena Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan mereka tersebut, dengan kekuatan batinNya Ia merealisir jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Ia telah mengetahui hakikat, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau pun tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandangan-pandangan seperti itu.
Para bhikkhu, inilah hal-hal lain yang sangat dalam, sulit sekali dimengerti, sulit sekali dipahami, luhur dan mulia sekali, tidak dapat dijangkau oleh pikiran, halus sekali, itu hanya dimengerti atau dirasakan oleh para bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas dan telah ditinggalkan oleh Tathagata, berdasarkan pada sikap dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata”. - “Para bhikkhu, dari semua pandangan tersebut, ada para
pertapa dan brahmana yang berpaham :
1.
|
Eternalis (sassata vada) yang
menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ 29)adalah kekal
dengan empat pandangan.
|
|
2.
|
Semi-Eternalis (sassata-asassata
vada) yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah sebagian kekal dan
sebagian tidak kekal, dengan empat pandangan.
|
|
3.
|
Ekstensionis (antanantika) yang
menyatakan bahwa ‘atta’ dan ‘loka’ adalah terbatas dan tak terbatas, dengan
empat pandangan.
|
|
4.
|
Berbelit-belit (amaravikkhepika),
yang bilamana sebuah pertanyaan ditanyakan kepada mereka, mereka akan
menjawabnya dengan cara yang berbelit-belit, sehingga membingungkan, dengan
empat pandangan.
|
|
5.
|
Asal mula sesuatu terjadi adalah
secara kebetulan (adhiccasamuppanika), yang menyatakan bahwa ‘atta’ dan
‘loka’ terjadi tanpa adanya suatu sebab, dengan dua pandangan.
|
|
Mereka semua itulah yang berpaham
pada ‘keadaan masa yang lampau’!
|
||
6.
|
Setelah meninggal kesadaran tetap
ada (uddhamaghatanikasaññavada) yang menyatakan bahwa ‘atta’ tetap hidup
terus setelah meninggal, dengan enam belas pandangan.
|
|
7.
|
Setelah meninggal tanpa kesadaran
(uddhamaghatanika asaññi vada) yang menyatakan bahwa setelah meninggal ‘atta’
adalah tanpa kesadaran, dengan delapan pandangan.
|
|
8.
|
Setelah meninggal ‘ada kesadaran
dan tanpa kesadaran’ (uddhamaghatanika n’evasaññi nasaññi vada) yang
menyatakan bahwa setelah meninggal ‘atta’ adalah memiliki kesadaran dan tanpa
kesadaran, dengan delapan pandangan.
|
|
9.
|
Annihilasi (ucchedavada) yang
menyatakan bahwa setelah meninggal makhluk binasa, hancur dan lenyap, dengan
tujuh pandangan.
|
|
10.
|
Mencapai kebahagiaan mutlak dalam
kehidupan sekarang ini (ditthadhammanibbanavada) yang menyatakan bahwa
Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini, dengan lima pandangan.
|
- Pandangan-pandangan mereka itu hanya didasarkan pada
perasaan sendiri yang disebabkan oleh kekhawatiran dan ragu-ragu akan
akibatnya, karena para pertapa dan brahmana tersebut tidak mengetahui,
tidak melihat dan masih diliputi oleh bermacam-macam keinginan (tanha).
Pandangan-pandangan mereka itu hanya didasarkan pada kontak inderia saja.
Bilamana mereka mengalami perasaan tertentu tanpa adanya kontak dengan inderia maka keadaan demikian itu tidak ada. - Mereka semua menerima perasaan-perasaan tersebut
melalui kontak yang berlangsung terus menerus dengan (saraf) penerima
(dari inderia-inderia). Berdasarkan pada perasaan-perasaan (vedana) muncul
keinginan (tanha), karena adanya, keinginan muncul kemelekatan (upadana)
karena adanya kemelekatan muncul proses menjadi (bhava), karena adanya
proses menjadi muncul kelahiran (jati), karena kelahiran terjadi kematian
(marana), kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kesusahan dan putus asa
(soka parideva dukkha domanassa upayasa).
Bilamana seorang bhikkhu mengerti hal itu sebagaimana hakikatnya, asal mula dan akhirnya, kenikmatan, bahaya dan cara membebaskan diri dari pemuasan enam inderianya, maka ia dapat mengetahui apa yang termulia dan tertinggi dari kesemuanya itu. - “Para bhikkhu, siapa pun, apakah ia pertapa dan
brahmana yang ajaran atau paham mereka berkenaan dengan keadaan masa yang
lampau atau berkenaan dengan keadaan masa yang akan datang, atau pun
berpaham kedua-duanya berspekulasi mengenai keadaan yang lampau dan yang
akan datang, yang dengan bermacam-macam dalil menerangkan tentang keadaan
yang lampau dan keadaan yang akan datang, mereka semua terjerat di dalam
jala enampuluh dua pandangan ini. Dengan bermacam-macam keadaan mereka
tercemplung dan berada di dalamnya, dan dengan bermacam-macam cara mereka
melakukan usaha untuk melepaskan diri, tetapi sia-sia karena mereka
terjerat di dalamnya. Para bhikkhu, bagaikan penjala ikan yang pandai akan
menjala di sebuah kolam kecil dengan sebuah jala yang baik, berpikir: Ikan
apa pun yang berada dalam kolam ini, walaupun ikan-ikan itu berusaha untuk
melepaskan diri, tetap semuanya akan terperangkap di dalam jala ini”.
- “Para bhikkhu, bagi Dia yang di luar jala. Ia telah
mencapai kesempurnaan, Tathagata, yang sedang berada di depan kamu, karena
semua belenggu pengikat, penyebab kelahiran kembali telah diputuskannya.
Selama kehidupan jasmaniahNya masih ada, maka selama itu para dewa dan
manusia dapat melihatNya. Tetapi bilamana kehidupan jasmaniahNya terputus
di akhir masa kehidupanNya maka para dewa dan manusia tidak akan dapat
melihatNya lagi. Para bhikkhu, bagaikan sebatang pohon mangga yang
ditebang, maka semua buahnya yang ada di pohon tersebut mengikutinya. Demikian
pula, walaupun tubuh jasmaniah dari Dia yang telah mencapai kesempurnaan,
Tathagata, masih berada di depan kamu, namun demikian semua belenggu
penyebab kelahiran kembali telah diputuskannya. Semua kehidupan
jasmaniahNya masih ada, maka selama itu pula para dewa dan manusia dapat
melihatNya. Tetapi bilamana kehidupan jasmaniahNya terputus (meninggal)
diakhir masa kehidupanNya, maka para dewa dan manusia tidak dapat
melihatnya lagi”.
- Setelah Beliau bersabda demikian, lalu bhikkhu Ananda
berkata kepada Sang Bhagava : “Bhante, sangat mengagumkan! Sangat
mentakjubkan! Apakah nama uraian Dhamma kebenaran ini?” Ananda, kau dapat
menamakan uraian ini sebagai Atthajala 30),
Dhammajala 31) Brahmajala 32)Ditthijala 33) atau
Sangamavijayo 34).
Demikianlah khotbah Sang Bhagava, dan para bhikkhu dengan hati yang gembira memuji uraian Sang Bhagava. Di akhir khotbah ini seribu ‘sistem dunia’ 35) bergetar.
Catatan :
|
|
1)
|
uddhamaghatanika
asanni vada
|
2)
|
uddham aghatanika
n’eva sanni nasanni vada.
|
3)
|
ucchedavada – musnah total.
|
4)
|
rupa – jasmani
|
5)
|
catummahabhutarupa
|
6)
|
kamavacaro
|
7)
|
kavalinkaraharabhakkho
|
8)
|
manomaya.
|
9)
|
rupesanna.
|
10)
|
pathigasanna.
|
11)
|
nanattasanna.
|
12)
|
akasanancayatana.
|
13)
|
vinnanancayatana.
|
14)
|
akincannayatana.
|
15)
|
N’evasanna
nasannayatana.
|
16)
|
Ucchedavada – musnah
total.
|
17)
|
ditthadhammanibbanavada.
|
18)
|
akusala dhamma.
|
19)
|
keadaan dimana pikiran
terpusat pada waktu meditasi.
|
20)
|
savittaka savicara.
|
21)
|
cetaso ekodi-bhava,
vupasamo, piti, sukha.
|
22)
|
sato ca sampajano.
|
23)
|
sukhassa ca pahana
dukkhassa ca pahana.
|
24)
|
somanassa domanassa.
|
25)
|
adukkha asukham.
|
26)
|
aparantakappika.
|
27)
|
pubbantanuditthino
|
28)
|
aparantakappika
|
29)
|
bumi, dunia, semesta,
jagad.
|
30)
|
jala bermanfaat.
|
31)
|
jala kebenaran.
|
32)
|
jala agung.
|
33)
|
jala pandangan.
|
34)
|
jala kemenangan di
medan pertempuran.
|
35)
|
loka dhatu.
|
Posting
ini telah dilihat sebanyak :12232
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/brahmajala-sutta/
No comments:
Post a Comment