Pasang Iklan Di Sini

Saturday, November 8, 2014

CARA MENENANGKAN PIKIRAN YANG KACAU -MN 20 PTS: M i 118 Vitakkasaṇṭhāna Sutta Pelenyapan Pikiran-pikiran Kacau



MN 20   PTS: M i 118
Vitakkasaṇṭhāna Sutta
Pelenyapan Pikiran-pikiran Kacau
Diterjemahkan dari bahasa Pāḷi ke bahasa Inggris oleh
Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi
©2013
Sang Buddha mengajarkan lima metode untuk menghadapi pikiran-pikiran tidak bermanfaat yang mungkin muncul dalam perjalanan meditasi.

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.[1] Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” [119] mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
2. “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang mengejar pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan lima gambaran.[2] Apakah lima ini?
3. (i) “Di sini, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu, muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan delusi, maka ia harus memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat.[3]Ketika ia memperhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan delusi ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang tukang kayu terampil atau muridnya dapat mengetuk, melepas, dan mencabut pasak besar dengan menggunakan pasak kecil, demikian pula … ketika seorang bhikkhu memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.
4. (ii) “Jika, sewaktu ia sedang memperhatikan gambaran lain yang berhubungan dengan apa yang bermanfaat, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan delusi, maka ia harus memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut sebagai berikut: ‘Pikiran-pikiran ini tidak bermanfaat, tercela, berakibat pada penderitaan.’[4] Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan delusi ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang laki-laki atau perempuan, muda, belia, dan menyukai hiasan, akan ketakutan, malu, dan jijik jika mayat seekor ular atau seekor anjing atau manusia [120] digantungkan dilehernya, demikian pula … ketika seorang bhikkhu memeriksa pikiran-pikiran ini … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.
5. (iii) “Jika, sewaktu ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan delusi, maka ia harus berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya. Ketika ia berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan delusi ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang dengan mata yang baik, yang tidak ingin melihat bentuk-bentuk yang ada dalam jarak pandangannya akan menutup matanya atau menatap ke arah lain, demikian pula … Ketika seorang bhikkhu berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.
6. (iv) “Jika, sewaktu ia berusaha melupakan pikiran-pikiran itu dan tidak memperhatikannya, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan delusi, maka ia harus mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut.[5]Ketika ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan delusi ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang yang berjalan cepat akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan cepat? Bagaimana jika aku berjalan lambat?’ dan ia akan berjalan lambat; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berjalan lambat? Bagaimana jika aku berdiri?’ dan ia akan berdiri; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku berdiri? Bagaimana jika aku duduk?’ dan ia akan duduk; kemudian ia akan mempertimbangkan: ‘Mengapa aku duduk? Bagaimana jika aku berbaring?’ dan ia akan berbaring. Dengan melakukan hal tersebut ia akan menggantikan setiap postur kasar dengan yang lebih halus. Demikian pula … Ketika seorang bhikkhu mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.
7. (v) “Jika, sewaktu ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut, masih muncul dalam dirinya pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan delusi, maka dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia harus menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran.[6] [121] Ketika, dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan delusi ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang kuat yang menangkap seorang yang lebih lemah di kepala atau bahu dan menekannya, mendesaknya, dan menggilasnya, demikian pula … ketika, dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, seorang bhikkhu menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran … pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi.
8. “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu sedang memperhatikan beberapa gambaran, dan karena gambaran itu, muncul dalam dirinya pikiran jahat yang tidak bermanfaat yang berhubungan dengan keinginan, dengan kebencian, dan dengan delusi, kemudian ketika ia memperhatikan gambaran lain yang bermanfaat, maka pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda, dan dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran tersebut … Ketika ia berusaha melupakan pikiran-pikiran tersebut dan tidak memperhatikannya … Ketika ia mengerahkan perhatian untuk menenangkan bentukan-pikiran dari pikiran-pikiran tersebut … Ketika, dengan mengertakkan giginya dan menekan lidahnya ke langit-langit mulutnya, ia menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran jahat yang tidak bermanfaat ditinggalkan dalam dirinya dan mereda. Dengan ditinggalkannya pikiran-pikiran itu maka pikirannya menjadi kokoh secara internal, tenang, [122] menjadi terpusat, dan terkonsentrasi. Maka bhikkhu ini dapat disebut seorang majikan dalam perjalanan pikiran. Ia akan memikirkan pikiran apapun yang ingin ia pikirkan dan ia tidak akan memikirkan pikiran apapun yang tidak ingin ia pikirkan. Ia telah mematahkan ketagihan, melepaskan belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan ia mengakhiri penderitaan.”[7]
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Jump up Sutta ini beserta komentarnya tersedia dalam suatu terjemahan oleh Soma Thera, The Removal of Distracting Thoughts.
  2. Jump up MA: Pikiran yang lebih tinggi (addhicitta) adalah pikiran dari delapan pencapaian meditatif yang digunakan sebagai landasan pandangan terang; disebut “pikiran yang lebih tinggi” karena lebih tinggi daripada pikiran (bermanfaat) biasa dari sepuluh perbuatan bermanfaat. Lima “gambaran” (nimitta)dapat dipahami sebagai metode praktis untuk melenyapakan pikiran kacau. Hanya dilatih jika pikiran kacau menjadi menetap dan merintangi; pada saat lainnya meditator harus tetap pada subjek meditasi utamanya.
  3. Jump up MA: Ketika pikiran keinginan indria muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi pada kejijikan (baca MN 10.10); ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada ketidak-kekalan. Ketika pikiran kebencian muncul terarah pada makhluk-makhluk hidup, “gambaran lain” adalah meditasi cinta kasih; ketika pikiran diarahkan pada benda-benda mati, “gambaran lain” adalah perhatian pada unsur-unsur (baca MN 10.12). Obat bagi pikiran-pikiran yang berhubungan dengan delusi adalah menetap bersama seorang guru, mempelajari Dhamma, mempertanyakan maknanya, mendengarkan Dhamma, dan mempertanyakan penyebabnya.
  4. Jump up Metode ini dapat diilustrasikan dengan perenungan Bodhisatta dalam MN 19.3-5. Mengingat keburukan dari pikiran-pikiran jahat menghasilkan rasa malu (hiri); mengingat akibatnya yang berbahaya menghasilkan rasa takut pada pelanggaran (ottappa).
  5. Jump up Vitakka-sankhāra-saṇṭhānaṁ. MA memahamisankhāra di sini sebagai kondisi, sebab, atau akar, dan mengartikan kata majemuk ini sebagai “menghentikan sebab pikiran.” Ini dicapai dengan mempertanyakan, ketika suatu pikiran tidak bermanfaat muncul: “Apakah penyebabnya? Apakah penyebab dari sebab itu?” dan seterusnya. Pertanyaan demikian, menurut MA, akan mengendurkan, dan akhirnya melenyapkan, arus pikiran yang tidak bermanfaat.
  6. Jump up MA: Ia harus menggilas kondisi pikiran yang tidak bermanfaat dengan kondisi pikiran yang bermanfaat.
  7. Jump up Ini menujukkan pencapaian Kearahantaan. Baca n.50

http://dhammacitta.org/dcpedia/MN_20:_Vitakkasa%E1%B9%87%E1%B9%ADh%C4%81na_Sutta

No comments:

Post a Comment