Mahāsudassana Sutta
Thursday, February 10th,
2011 at 7:10 am
DN 17
Mahāsudassana Sutta
Kemegahan Agung
Pelepasan Keduniawian Seorang Raja
Diterjemahkan dari bahasa Pāḷi ke bahasa Inggris oleh
Maurice O’Connell Walshe
[169] 1.1. DEMIKIANLAH
YANG KUDENGAR.1 Suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap
di Kusinārā di hutan-sāl milik para Malla, menjelang Nibbāna akhirnya di bawah
pohon-sāl kembar.
1.2. Yang Mulia Ānanda
mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi dan
berkata: ‘Bhagavā, sudilah Bhagavā tidak wafat di kota kecil yang menyedihkan
dan dengan ranting pohon berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh
dari mana-mana! Bhagavā, ada kota-kota besar lainnya seperti Campā, Rājagaha,
Savatthi, Sāketa, Kosambi, atau Vārāṇasī. Di tempat-tempat itu, ada para
Khattiya, Brahmana, dan perumah tangga kaya yang penuh pengabdian kepada Sang
Tathāgata, dan mereka akan melakukan pemakaman yang layak untuk Sang
Tathāgata.’
1.3. ‘Ānanda, jangan
menyebut tempat ini kota kecil yang menyedihkan dan dengan ranting pohon
berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh dari mana-mana! Suatu
ketika, Ānanda, Raja Mahāsudassana2 adalah seorang raja pemutar-roda, raja
yang adil dan jujur, yang telah menaklukkan wilayah di empat penjuru dan
memastikan keamanan wilayahnya. [170] Dan Raja Mahāsudassana ini membangun
Kusinārā ini, dengan nama Kusāvatī, sebagai ibu kota kerajaannya. Dan luasnya
dua belas yojana dari timur ke barat, dan tujuh yojana dari utara ke selatan.
Kusāvatī adalah negeri yang kaya, makmur, dan berpenduduk banyak, ramai oleh
penduduk dan memiliki banyak persediaan makanan. Bagaikan kota dewa Āḷakamandā
yang kaya … (seperti Sutta 16, paragraf 5.18), demikian pula kota kerajaan
Kusāvatī. Dan kota Kusāvatī tidak pernah sepi dari sepuluh suara siang dan
malam: suara gajah, kuda, kereta, genderang-bernada, genderang-samping, kecapi,
nyanyian, simbal dan gong, dan teriakan, “Makan, minum dan bergembiralah”
sebagai yang ke sepuluh.’
1.4. ‘Ibu kota Kusāvatī
dikelilingi oleh tujuh tembok. Satu dari emas, satu perak, satu beryl, satu
kristal, satu dari batu delima, satu dari jamrud, dan satu dari berbagai jenis
permata.’
1.5. ‘Dan
gerbang-gerbang Kusāvatī berwarna empat: satu emas, satu perak, satu beryl,
satu kristal. [171] Dan di depan tiap-tiap gerbang terdapat tujuh pilar,
setinggi tiga atau empat manusia. Satu dari emas, satu perak, satu beryl, satu
kristal, satu dari ruby, satu dari jamrud, dan satu dari berbagai jenis
permata.’
1.6. ‘Kusāvatī
dikelilingi oleh tujuh baris pohon palem, dari bahan yang sama. Pohon emas,
berbatang emas dengan daun dan buah perak, pohon perak berbatang perak, dengan
daun dan buah emas, pohon beryl berbatang beryl, dengan daun dan buah kristal,
pohon kristal berbatang kristal, dengan daun dan buah beryl, pohon ruby
berbatang ruby, dengan daun dan buah jamrud, pohon jamrud berbatang jamrud,
dengan daun dan buah ruby, sedangkan pohon dari berbagai jenis permata adalah
sama sehubungan dengan batang, daun dan buah. Suara dedaunan yang ditiup angin
menimbulkan bunyi yang merdu, menyenangkan, indah, dan memabukkan, bagaikan
suara dari lima jenis alat musik3 yang dimainkan dalam sebuah konser oleh
para pemain ahli dan terlatih. [172] Dan Ānanda, mereka yang terbebas dari
perbudakan dan para pemabuk di Kusāvatī, terpuaskan keinginannya oleh suara
dari dedaunan yang tertiup angin.4’
1.7. ‘Raja Mahāsudassana
memiliki tujuh pusaka dan empat ciri. Apakah tujuh itu? Suatu ketika, pada hari
Uposatha tanggal lima belas,5 ketika Raja telah
membasuh kepalanya dan naik ke teras atas istananya untuk menjalankan hari
Uposatha, Pusaka-Roda surgawi6 muncul di hadapannya, berjari-jari seribu,
lengkap dengan lingkaran, sumbu, dan segala hiasannya. Melihatnya, Raja
Mahāsudassana berpikir: “Aku telah mendengar bahwa seorang Raja Khattiya yang
sah ketika melihat roda seperti ini pada hari Uposatha tanggal lima belas, maka
ia akan menjadi seorang Raja Pemutar-Roda. Semoga aku menjadi raja demikian!”’
1.8. ‘Kemudian, bangkit
dari duduknya, menutupi satu bahunya dengan jubahnya, Raja mengambil kendi emas
dengan tangan kirinya, memercikkan air ke roda itu dengan tangan kanannya, dan
berkata: “Semoga Pusaka-Roda mulia berputar, semoga Pusaka-Roda mulia
menaklukkan!” Roda itu bergerak ke timur, dan Raja Mahāsudassana mengikuti
bersama empat barisan bala tentaranya.7 Dan
di negeri mana pun [173] Roda itu berhenti, Raja menetap di sana bersama empat
barisan bala tentaranya.’
1.9. ‘Dan raja-raja di
wilayah timur datang menghadapnya dan berkata: “Selamat datang, Baginda,
Selamat datang! Kami adalah milikmu, Baginda, perintahlah kami, Baginda!” Dan
Sang Raja berkata: “Jangan membunuh. Jangan mengambil apa yang tidak diberikan.
Jangan melakukan hubungan seksual yang salah. Jangan berbohong. Jangan meminum
minuman keras. Makanlah secukupnya.”8 Dan mereka yang melawannya di wilayah
timur menjadi taklukannya.’
1.10. ‘Dan ketika Roda
itu menyelam ke laut timur, keluar dari air dan berbelok ke selatan, dan Raja
Mahāsudassana mengikuti bersama empat barisan bala tentaranya … menjadi
taklukannya. Setelah menyelam ke dalam laut selatan, Roda itu berbelok ke barat
…, setelah menyelam ke dalam laut barat, Roda itu berbelok ke utara dan Raja
Mahāsudassana mengikuti bersama empat barisan bala tentaranya … [174] dan
raja-raja yang melawannya di wilayah utara menjadi taklukannya.’
1.11. ‘Kemudian
Pusaka-Roda, setelah menaklukkan wilayah-wilayah dari laut ke laut, kembali ke
ibu kota Kusāvatī dan berhenti di depan istana raja ketika Raja sedang memimpin
persidangan,9 seolah-olah menghias istana kerajaan. Dan
demikianlah bagaimana Pusaka-Roda muncul di depan Raja Mahāsudassana.’
1.12. ‘Kemudian
Pusaka-Gajah muncul di depan Raja Mahāsudassana, putih bersih,10 memiliki tujuh kekuatan, dengan kekuatan
menakjubkan dalam hal melakukan perjalanan melalui angkasa, seekor gajah
kerajaan yang diberi nama Uposatha.11 Melihatnya, Raja berpikir: “Seekor gajah
tunggangan yang indah, seandainya aku dapat menjinakkannya!” Dan Pusaka-Gajah
ini menyerah untuk dikendalikan bagaikan seekor kuda berdarah murni yang telah
lama dilatih. Dan suatu ketika, Sang Raja, mencobanya, menunggang gajah itu
pada dini hari dan mengendarainya dari laut ke laut, kembali ke Kusāvatī tepat
pada waktu makan pagi. Dan demikianlah bagaimana Pusaka-Gajah muncul di depan
Raja Mahāsudassana.’
1.13. ‘Kemudian
Pusaka-Kuda muncul di depan Raja Mahāsudassana, berkepala gagak,12 bersurai hitam, dengan kekuatan
menakjubkan dalam hal melakukan perjalanan melalui angkasa, seekor kuda
kerajaan yang diberi nama Valāhaka.13 Dan Raja berpikir: “Seekor tunggangan
yang menakjubkan, seandainya aku dapat menjinakkannya!” Dan [175] Pusaka-Kuda
ini menyerah untuk dikendalikan bagaikan seekor kuda berdarah murni yang telah
lama dilatih …. Dan demikianlah bagaimana Pusaka-Kuda muncul di depan Raja
Mahāsudassana.’
1.14. ‘Kemudian
Pusaka-Permata muncul di depan Raja Mahāsudassana. Permata itu adalah beryl,
murni, indah, dipotong dengan sempurna dalam delapan sisi, jernih, cemerlang,
sempurna dalam segala aspek, kilauan dari permata ini bersinar hingga radius
satu yojana. Dan ketika Raja mencobanya, melakukan manuver-malam pada malam
yang gelap bersama empat barisan bala-tentaranya, dengan Pusaka-Permata
terpasang di puncak panjinya. Dan semua orang yang tinggal di desa di sekitar
sana mulai bekerja karena berpikir hari sudah siang. Dan demikianlah bagaimana
Pusaka-Permata muncul di depan Raja Mahāsudassana.’
1.15. ‘Kemudian
Pusaka-Perempuan muncul di depan Raja Mahāsudassana, elok, rupawan, menarik,
dengan kulit seperti bunga teratai, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu
pendek, tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk, tidak terlalu gelap dan
tidak terlalu cerah, kecantikannya melampaui kecantikan manusia, menyerupai kecantikan
dewa. Dan sentuhan kulit Permata-Perempuan itu bagaikan sentuhan kapas atau
sutra, dan anggota badannya sejuk di saat panas dan hangat di saat dingin.
Aroma tubuhnya berbau cendana dan mulutnya berbau bunga teratai.
Permata-Perempuan ini bangun sebelum Raja [176] dan tidur setelah Raja, dan
selalu bersedia melakukan apa pun demi kesenangan Raja, dan gaya bahasanya
memikat. Dan Permata-Perempuan ini selalu setia kepada Raja, bahkan dalam
pikiran, apalagi dalam perbuatan. Dan demikianlah bagaimana Pusaka-Perempuan
muncul di depan Raja Mahāsudassana.’14
1.16. ‘Kemudian
Pusaka-Perumah tangga muncul di depan Raja Mahāsudassana. Dengan mata-batinnya
yang, sebagai akibat dari kamma, ia miliki,15 ia melihat harta tersembunyi, yang ada
pemiliknya atau pun yang tidak ada pemiliknya. Ia mendatangi Raja dan berkata:
“Jangan khawatir, Baginda, aku akan menjaga harta kekayaanmu.” Dan suatu
ketika, Sang Raja, mengujinya, menaikkannya ke perahu dan membawanya ke tengah
arus sungai Gangga. Kemudian ia berkata kepada si Permata-Perumah tangga:
“Perumah tangga, aku menginginkan kepingan uang emas!” “Baiklah, Baginda,
menepilah.” “Aku menginginkan keping uang emas di sini!” Kemudian si perumah
tangga menyentuh air dengan kedua tangannya dan menarik keluar sebuah kendi
yang penuh dengan keping-kepingan uang emas, dan berkata: “Apakah ini cukup,
Baginda?” dan Raja berkata: “Itu cukup, perumah tangga, engkau telah melayaniku
dengan baik.” [177] Dan demikianlah bagaimana Pusaka-Perumah tangga muncul di
depan Raja Mahāsudassana.’
1.17. ‘Kemudian
Pusaka-Penasihat muncul di depan Raja Mahāsudassana. Ia bijaksana,
berpengalaman, cerdas, dan kompeten dalam menasihati Raja mengenai bagaimana
melakukan apa yang harus dilakukan, dan untuk membatalkan apa yang harus
dibatalkan, dan untuk mengabaikan apa yang harus diabaikan.16 Ia
mendatangi Raja dan berkata: “Jangan khawatir, Baginda, aku akan menasihati
engkau.” Dan demikianlah bagaimana Pusaka-Penasihat muncul di depan Raja Mahāsudassana,
dan bagaimana ia dilengkapi dengan tujuh pusaka ini.’
1.18. ‘Dan lagi, Ānanda,
Raja Mahāsudassana memiliki empat ciri.17 Apakah itu? Pertama, Raja tampan, indah
dipandang, menyenangkan, dengan kulit menyerupai teratai terbaik, melampaui
semua orang lain.’
1.19. ‘Ke dua, ia
berumur panjang, melampaui semua orang lain.’
1.20. ‘Ke tiga, ia bebas
dari penyakit, memiliki pencernaan yang sehat, lebih jarang mengalami
kedinginan dan kepanasan dibandingkan orang-orang lain.’18 [178]
1.21. ‘Ke empat, ia
disayang oleh para Brahmana dan perumah tangga. Bagaikan seorang ayah yang
disayangi oleh anak-anaknya, demikian pula ia dengan para Brahmana dan perumah
tangga. Dan mereka disayangi oleh Raja bagaikan anak-anak disayang oleh ayah
mereka. Suatu ketika, Raja pergi ke taman-rekreasi bersama empat barisan
bala-tentaranya, dan para Brahmana dan perumah tangga mendatanginya dan
berkata: “Berjalanlah pelan-pelan, Baginda, agar kami dapat melihatmu selama
mungkin!” dan Raja berkata kepada kusirnya: “Berkendaralah pelan-pelan agar aku
dapat melihat para Brahmana dan perumah tangga ini selama mungkin.” Demikianlah
Raja Mahāsudassana memiliki empat ciri ini.’
1.22. ‘Kemudian Raja
Mahāsudassana berpikir: “Bagaimana jika aku membuat kolam-kolam teratai di
antara pohon-pohon palem, satu sama lain berjarak seratus busur.19” Dan ia melakukan hal itu. Kolam-kolam teratai
itu berlantai ubin empat warna, emas, perak, beryl, dan kristal. Masing-masing
kolam dapat dicapai menggunakan empat tangga, satu emas, satu perak, satu
beryl, dan satu kristal. Dan tangga emas memiliki tiang dari emas [179] dengan
pegangan dan sandaran dari perak. Dan tangga perak memiliki tiang dari perak
dengan pegangan dan sandaran dari emas, dan seterusnya. Dan kolam-kolam teratai
itu dilengkapi dengan dua jenis pagar, emas dan perak – pagar emas memiliki
tiang emas, pegangan dan sandaran dari perak, dan pagar perak memiliki pegangan
dan sandaran dari emas.’
1.23. ‘Kemudian Raja
berpikir: “Bagaimana jika aku menanam di masing-masing kolam berbagai jenis
[bunga] yang cocok untuk membuat karangan bunga20 – bunga teratai biru, kuning, merah, dan
putih yang dapat tetap mekar di segala musim tanpa layu?” Dan ia melakukannya.
Kemudian ia berpikir: “Bagaimana jika aku menempatkan para petugas mandi di
tepi kolam ini untuk memandikan mereka yang datang ke sini?” Dan ia
melakukannya. Kemudian ia berpikir “Bagaimana jika aku membuat meja persembahan
di tepi kolam ini agar mereka yang ingin makan dapat memperolehnya, mereka yang
ingin minum dapat memperolehnya, mereka yang menginginkan pakaian dapat memperolehnya,
mereka yang menginginkan transportasi dapat memperolehnya, mereka yang
menginginkan tempat tidur dapat memperolehnya, mereka yang menginginkan seorang
istri dapat memperolehnya, mereka yang menginginkan kepingan uang emas dapat
memperolehnya?” [180] Dan ia melakukan hal-hal itu.’
1.24. ‘Kemudian para
Brahmana dan perumah tangga membawa banyak harta dan mendatangi Raja, berkata:
“Baginda, ini adalah harta yang telah kami kumpulkan bersama khusus untuk
Baginda, terimalah!” “Terima kasih, Teman-teman, tetapi aku telah memiliki
cukup kekayaan dari penghasilan yang sah. Biarlah ini menjadi milik kalian, dan
selain itu, ambillah lebih banyak lagi!” Karena ditolak oleh Raja, mereka
menarik diri ke satu sisi dan berdiskusi: “Tidaklah benar jika kita membawa pulang
harta ini. Bagaimana jika kita membangun tempat tinggal untuk Raja
Mahāsudassana.” Maka mereka mendatangi Raja dan berkata: “Baginda, kami akan
membangunkan tempat tinggal untukmu,” dan Raja menerimanya dengan berdiam
diri.’
1.25. ‘Kemudian, Sakka,
Raja para dewa, mengetahui pikiran Raja Mahāsudassana dalam batinnya, berkata
kepada pelayannya, Dewa Vissakamma:21“Mari, teman Vissakamma, dan bangunlah sebuah
tempat tinggal untuk Raja Mahāsudassana.” “Baik, Baginda,” jawab [181]
Vissakamma dan, secepat seorang kuat merentangkan tangannya atau melipatnya
lagi, ia seketika lenyap dari alam Tiga-Puluh-Tiga Dewa dan muncul kembali di
hadapan Raja Mahāsudassana, dan berkata kepadanya: “Baginda, aku akan
membangunkan sebuah tempat tinggal untukmu, sebuah istana yang bernama Dhamma.”
Raja menerimanya dengan berdiam diri, dan Vissakamma membangunkan untuknya
Istana Dhamma.’
1.26. ‘Istana Dhamma,
Ānanda, panjangnya satu yojana dari timur ke barat, dan setengah yojana
lebarnya dari utara ke selatan. Keseluruhan istana itu tingginya tiga kali
tinggi manusia dengan lantai empat warna, emas, perak, beryl, dan kristal, dan
terdiri dari delapan puluh empat ribu tiang dengan empat warna yang sama.
Memiliki dua puluh empat tangga dengan empat warna yang sama. Dan tangga emas
memiliki tiang dari emas dengan pegangan dan sandaran dari perak …. (seperti
paragraf 23). [182] Istana ini juga memiliki delapan puluh empat ribu kamar
dengan warna-warni yang sama. Dalam kamar emas terdapat ranjang perak, dalam
kamar perak terdapat ranjang emas, dalam kamar beryl terdapat ranjang gading,
dan di dalam kamar kristal terdapat ranjang cendana. Di pintu kamar emas
terukir gambar pohon palem perak, dengan tangkai perak, daun dan buah emas ….
Di pintu kamar perak terukir gambar pohon palem emas, dengan batang, daun dan
buah dari emas, di pintu kamar beryl terukir gambar pohon palem kristal, dengan
batang kristal, dan daun dan buah beryl, di pintu kamar kristal terukir gambar
pohon palem beryl, dengan daun dan buah kristal.’
1.27. ‘Kemudian Raja
berpikir: “Bagaimana jika aku membuat hutan pohon palem yang seluruhnya terbuat
dari emas di depan pintu kamar besar beratap segitiga di mana aku duduk di
siang hari?” dan ia melakukannya.’
1.28. ‘Di sekeliling
istana Dhamma terdapat dua pagar, [183] satu terbuat dari emas, satu dari
perak. Pagar emas memiliki tiang-tiang dari emas, pegangan dan sandaran dari
perak, dan pagar perak memiliki tiang-tiang dari perak, pegangan dan sandaran
dari emas.’
1.29. ‘Istana Dhamma
dikelilingi oleh dua jaring lonceng. Satu jaring terbuat dari emas dengan
lonceng perak, dan yang lainnya terbuat dari perak dengan lonceng emas. Dan ketika
jaring-jaring lonceng ini tertiup angin, suaranya merdu, menyenangkan, indah,
dan memabukkan, bagaikan suara dari lima jenis alat musik yang dimainkan dalam
sebuah konser oleh para pemain ahli dan terlatih. Dan mereka yang terbebas dari
perbudakan dan para pemabuk di Kusāvatī terpuaskan keinginannya oleh suara dari
jaring-jaring lonceng yang tertiup angin itu.’
1.30. ‘Dan ketika Istana
Dhamma telah selesai, istana itu sulit dilihat, menyilaukan mata, bagaikan di
akhir musim hujan, di musim gugur, ketika langit bersih dan tanpa awan,
matahari yang menembus kabut adalah sulit dilihat, [184] demikian pula Istana
Dhamma setelah selesai dibangun.’
1.31. ‘Kemudian Raja
berpikir: “Bagaimana jika aku membuat danau-teratai yang diberi nama Dhamma di
depan Istana Dhamma?” dan ia melakukannya. Danau ini satu yojana panjangnya
dari timur ke barat, dan setengah yojana lebarnya dari utara ke selatan, dan
berlantai empat jenis ubin, emas, perak, beryl, dan kristal. Terdapat dua puluh
empat tangga menuju danau ini terbuat dari bahan yang berbeda-beda: emas,
perak, beryl, dan kristal. Tangga emas memiliki tiang emas dengan pegangan dan
sandaran perak, tangga perak dengan pegangan dan sandaran emas … (dan
seterusnya seperti paragraf 22).’
1.32. ‘Danau Dhamma
dikelilingi oleh tujuh jenis pohon palem. Suara dedaunan yang ditiup angin
menimbulkan bunyi yang merdu, menyenangkan, indah, dan memabukkan, bagaikan
suara dari lima jenis alat musik yang dimainkan dalam sebuah konser oleh para
pemain ahli dan terlatih. Dan, Ānanda, mereka yang terbebas dari perbudakan dan
para pemabuk di Kusāvatī terpuaskan keinginannya oleh suara dari dedaunan yang
tertiup angin.’ [185]
1.33. ‘Ketika Istana
Dhamma dan Danau Dhamma selesai, Raja Mahāsudassana, setelah memuaskan semua
keinginan dari mereka yang pada saat itu adalah para petapa dan Brahmana, atau
memberikan penghormatan, ia naik ke Istana Dhamma.’
[Akhir dari bagian
pembacaan pertama]
2.1. ‘Kemudian Raja
Mahāsudassana berpikir: “Dari kamma apakah ini berbuah, dari kamma apakah ini
berakibat, sehingga aku sekarang begitu kuat dan berkuasa?” [186] Kemudian ia
berpikir: “Ini adalah buah, akibat dari tiga jenis kamma: memberi,
pengendalian-diri, dan penghindaran.”’’22
2.2. ‘Kemudian Raja
pergi ke kamar besar beratap segitiga dan, berdiri di pintu, berseru: “Semoga
pikiran nafsu lenyap! semoga pikiran kebencian lenyap! Semoga pikiran kekejaman
lenyap! Sedemikian jauh dan tidak ada lagi pikiran nafsu, kebencian,
kekejaman!”’
2.3. ‘Kemudian Raja
masuk ke kamar besar beratap segitiga, duduk bersila di atas bantal emas dan,
terlepas dari segala kenikmatan-indria, terlepas dari kondisi batin yang jahat,
masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal-pikiran dan
kelangsungan-pikiran, yang muncul dari ketidakterikatan, dipenuhi oleh
kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan menyingkirkan awal-pikiran dan
kelangsungan-pikiran, dengan mencapai ketenangan di dalam dan
keterpusatan-pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang tanpa
awal-pikiran dan tanpa kelangsungan-pikiran, yang muncul dari konsentrasi,
dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan memudarnya kegembiraan,
berdiam dalam keadaan tanpa-gangguan, penuh perhatian dan berkesadaran jernih,
ia mengalami dalam dirinya apa yang oleh Para Mulia dikatakan: “Berbahagialah
ia yang berdiam dalam keseimbangan dan perhatian,” ia masuk dan berdiam dalam
jhāna ke tiga. Dan, setelah melepaskan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan
lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, ia masuk dan berdiam dalam
jhāna ke empat yang melampaui kenikmatan dan kesakitan, dan dimurnikan oleh
keseimbangan dan perhatian.’
2.4. ‘Kemudian Raja,
keluar dari kamar besar beratap segitiga, pergi ke kamar emas beratap segitiga
dan, duduk bersila di atas bantal perak, berdiam dengan memancarkan cinta kasih
ke satu arah kemudian arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Demikianlah ia
berdiam, memancarkan pikiran cinta-kasih ke atas, ke bawah dan ke sekeliling,
ke segala tempat, selalu dengan pikiran yang penuh dengan cinta-kasih,
berlimpah, membesar, tanpa batas, tanpa kebencian atau permusuhan, dan ia
melakukan hal yang sama untuk pikiran belas-kasihan, kegembiraan simpatik, dan
keseimbangan.’23
2.5. ‘Dari delapan puluh
empat ribu kota yang dikuasai oleh Raja Mahāsudassana,24 ibu kota Kusāvatī adalah yang utama; dari
delapan puluh empat ribu istana, Istana Dhamma adalah yang utama; dari delapan
puluh empat ribu aula beratap segitiga, kamar besar beratap segitiga adalah
yang utama; delapan puluh empat ribu bantalnya terbuat dari emas, perak,
gading, cendana, ditutupi oleh selimut bulu domba, wol, berselimutkan bulu dari
kulit rusa-kadali, dengan penutup kepala, dengan bantal merah di kedua
ujungnya; dari delapan puluh empat ribu ekor gajahnya yang dihias dengan
spanduk emas dan ditutupi dengan jaring emas, Gajah Uposatha adalah yang utama;
dari delapan puluh empat ribu keretanya yang ditutup dengan kulit singa,
kulit-macan, kulit-macan tutul, atau kain berwarna jingga, dihias dengan
perhiasan emas, spanduk emas, dan selimut dengan jaring emas, Kereta Vejayanta25 adalah
yang utama; dari delapan puluh empat ribu permatanya, Pusaka-Permata adalah
yang utama; dari delapan puluh empat ribu istrinya, Ratu Subhaddā26adalah
yang utama; [188] dari delapan puluh empat ribu perumah tangga, Pusaka-Perumah
tangga adalah yang utama; dari delapan puluh empat ribu pelayan Khattiya,
Pusaka-Penasihat adalah yang utama; delapan puluh empat ribu sapinya tertambat
dengan tali rami dan ember susu (?) terbuat dari perak;27 delapan puluh empat ribu gulung kain
terbuat dari rami, kapas, dan wol terbaik; delapan puluh empat ribu persembahan
nasi tersedia untuk diambil oleh mereka yang membutuhkan, siang dan malam.’
2.6. ‘Dan pada saat itu,
Delapan puluh empat ribu gajah milik Raja Mahāsudassana melayaninya siang dan
malam. Dan ia berpikir: “Delapan puluh empat ribu ekor gajah ini melayaniku
siang dan malam. Bagaimana jika, setiap akhir abad, empat puluh dua ribu gajah
melayaniku bergantian?” Dan ia memberikan instruksi kepada Pusaka-Penasihatnya,
[189] dan demikianlah hal itu dilakukan.’
2.7. ‘Dan, Ānanda,
setelah beberapa ratus, beberapa ribu tahun berlalu, Ratu Subhaddā berpikir:
“Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihat Raja Mahāsudassana.
Bagaimana jika aku melihatnya?” Maka ia berkata kepada para perempuan:
“Marilah, basuh kepala kalian dan kenakan pakaian bersih. Sudah lama sejak
terakhir kali kita melihat Raja Mahāsudassana. Kita akan pergi melihatnya.”
“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab, dan mempersiapkan diri sesuai apa yang
diperintahkan, kemudian kembali menghadap Ratu. Dan Ratu Subhaddā berkata
kepada Pusaka-Penasihat: “Sahabat Penasihat, siapkan empat barisan bala
tentara. Sudah lama sejak terakhir kali kita melihat Raja Mahāsudassana. Kita
akan pergi melihatnya.” “Baiklah, Yang Mulia,” jawab Pusaka-Penasihat dan,
setelah mempersiapkan empat barisan bala tentara, ia melapor kepada Ratu:
“Sekarang adalah saatnya untuk melakukan apa yang engkau inginkan.”’ [190]
2.8. ‘Kemudian Ratu
Subhaddā pergi bersama empat barisan bala tentara dan para perempuan menuju
Istana Dhamma dan, masuk menuju kamar besar beratap segitiga dan berdiri
bersandar pada tiang pintu. Dan Raja Mahāsudassana, berpikir: “Ada apakah
keributan ini, seperti kerumunan besar orang?” Keluar ke pintu dan melihat Ratu
Subhaddā bersandar pada tiang pintu. Dan ia berkata: “Tetap di sana, Ratu!
Jangan masuk!”’
2.9. ‘Kemudian Raja
Mahāsudassana berkata kepada pelayannya: “Ke sini, Teman, pergilah ke kamar
besar beratap segitiga, ambilkan kasur emas dan hamparkan di antara pohon-pohon
palem emas.” “Baik, Baginda,” jawab orang itu, dan melakukan sesuai perintah.
Kemudian Raja Mahāsudassana berbaring ke arah kanan menyerupai posisi singa
dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan berkesadaran
jernih.’28
2.10. ‘Kemudian Ratu
Subhaddā berpikir: “Indria-indria Raja Mahāsudassana murni, kulitnya bersih dan
cemerlang, oh – aku harap ia tidak mati!”29Maka ia berkata
kepada Raja: “Baginda, dari delapan puluh empat ribu kota, Kusāvatī adalah yang
utama. Bertekadlah, munculkan keinginan untuk hidup menetap di sana!”
Demikianlah, mengingatkannya akan segala harta kerajaan (seperti paragraf 5),
ia menasihatinya agar memunculkan keinginan untuk terus hidup.’ [191] [192]
2.11. ‘Mendengar kata-kata
ini, Raja Mahāsudassana berkata kepada Sang Ratu: “Sejak lama, Ratu, engkau
selalu mengucapkan kata-kata indah, menyenangkan, menarik kepadaku, tetapi
sekarang pada saat-saat terakhir ini, kata-katamu tidak indah, tidak
menyenangkan, dan tidak menarik bagiku.” “Baginda, bagaimanakah seharusnya aku
berbicara kepadamu?”’
‘Beginilah seharusnya
engkau berbicara: “Segala sesuatu yang menyenangkan dan menarik pasti mengalami
perubahan, lenyap, menjadi kebalikannya. Jangan, Baginda, meninggal dunia dengan
penuh keinginan. Meninggal dengan penuh keinginan adalah menyakitkan dan
tercela. Dari delapan puluh empat ribu kota milikmu, Kusāvatī adalah yang
utama: lepaskanlah nafsu, lepaskanlah keinginan untuk hidup di dalamnya … dari
delapan puluh empat ribu istana, Dhamma adalah yang utama: lepaskanlah nafsu,
lepaskanlah keinginan untuk hidup di dalamnya … (dan seterusnya hingga akhir,
seperti paragraf 5).’ [193] [194] 2.12. ‘Mendengar kata-kata ini, Ratu Subhaddā
menangis dan mengucurkan air mata. Kemudian, setelah menghapus air matanya, ia
berkata: “Baginda, segala sesuatu yang menyenangkan dan menarik pasti mengalami
perubahan … jangan, Baginda, meninggal dunia dengan penuh keinginan ….”’ [195]
2.13. ‘Segera
setelahnya, Raja Mahāsudassana meninggal dunia; dan bagaikan seorang perumah
tangga atau putranya akan merasa mengantuk setelah memakan makanan lezat,
demikianlah ia merasakan sensasi [196] kematian, dan ia terlahir kembali di
alam bahagia di alam Brahmā.’
‘Raja Mahāsudassana
menikmati masa kanak-kanak selama delapan puluh empat ribu tahun, selama
delapan puluh empat ribu tahun ia menjadi raja muda, selama delapan puluh empat
ribu tahun ia berkuasa sebagai raja, dan selama delapan puluh empat ribu tahun
sebagai seorang umat-awam, ia menjalani kehidupan suci di dalam Istana Dhamma.30 Dan, setelah melatih empat kediaman
luhur, saat hancurnya jasmani, ia terlahir kembali di alam Brahmā.31’
2.14. ‘Sekarang, Ānanda,
engkau mungkin berpikir bahwa Raja Mahāsudassana pada saat itu adalah orang
lain. Tetapi jangan engkau beranggapan demikian, karena Aku adalah Raja
Mahāsudassana pada saat itu. Delapan puluh empat ribu kota dengan Kusāvatī
sebagai yang utama adalah milikku, … [197] delapan puluh empat ribu persembahan
nasi … adalah milikku.’
2.15. ‘Dan dari delapan
puluh ribu kota, Aku hanya menetap di satu kota yaitu Kusāvatī; … [198] dari
delapan puluh empat ribu istri yang kumiliki, hanya satu yang memerhatikanku,
dan dia bernama Khattiyāni atau Velāmikāni;32 dari delapan puluh empat ribu gulung
kain, aku hanya memiliki satu …; dari delapan puluh empat ribu persembahan-nasi
di sana, hanya satu takaran pilihan kari yang kumakan.’
2.16. ‘Lihat, Ānanda,
bagaimana segalanya yang terkondisi di masa lampau itu lenyap dan berubah!
Demikianlah, Ānanda, hal-hal yang terkondisi adalah tidak kekal, tidak stabil,
tidak membawa kebahagiaan, dan karena itu, Ānanda, kita tidak boleh bergembira
dalam hal-hal yang terkondisi, kita harus berhenti tertarik dalam hal-hal
tersebut, dan terbebas dari hal-hal tersebut.’
2.17. ‘Enam kali,
Ānanda, Aku ingat telah meninggalkan jasmani ini di tempat ini, dan yang ke
tujuh kali, Aku meninggalkan jasmani ini sebagai Raja Pemutar-Roda, raja yang
adil yang telah menaklukkan empat penjuru dan menegakkan peraturan yang kokoh,
dan yang memiliki tujuh pusaka. Tetapi, Ānanda, aku tidak melihat tempat mana
pun di dunia ini bersama para dewa [199] dan māra dan Brahmā, atau dalam
generasi ini bersama para petapa dan Brahmana, raja-raja dan umat manusia, di
mana Sang Tathāgata akan meninggalkan jasmani ini untuk ke delapan kalinya.’
Demikianlah Sang Bhagavā
berbicara, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan telah mengatakan hal ini, Sang
Guru mengatakan:
‘Semua yang tersusun
adalah tidak kekal, cenderung muncul dan lenyap,
Setelah muncul, akan
hancur, kematiannya adalah kebahagiaan sejati.’
- 1. Seperti catatan RD, Sutta ini adalah
perluasan dari percakapan yang tercatat dalam DN 16.5.17f. Legenda yang
sama juga muncul, dengan beberapa variasi (dianalisa oleh RD) dalam
Mahāsudassana Jātaka (No. 95). Seperti dalam DN 5, Sang Buddha pada
akhirnya mengidentifikasikan, seperti dalam Jātaka, sebagai tokoh utama
dalam kisah bersangkutan. Secara keseluruhan dipaparkan dalam atmosfer
dongeng: cf. n.468.
- 2. ‘Raja Agung’ (RD). RD mungkin benar
dalam memercayai landasan cerita itu (walaupun, saya rasa, moral
Buddhisnya) ada pada mitos-matahari, suatu teori yang pada masanya sangat
tidak populer karena terlalu berlebihan.
- 3. RD secara tidak sengaja menuliskan
‘tujuh’, bukannya ‘lima’. Lima jenis ini dijelaskan sebagai genderang
dengan satu sisi terbuat dari kulit, kedua sisi dari kulit, seluruh bagian
dari kulit, simbal (atau lonceng) dan alat musik tiup.
- 4. Atau mungkin ‘memanjakan indria
mereka’ namun, sulit, saya rasa, ‘menari’ (yang oleh RD: lukisan tidak
masuk akal!): baca PED pada paricarati. RD mengutip satu kalimat dari
Sukhāvativyūha Mahāyāna, sebuah naskah penting dari aliran Tanah Suci
(seperti, Shin di Jepang). ‘Tanah kebahagiaan’ (Sukhāvati) yang diciptakan
oleh Buddha Amitābha bagi mereka yang berkeyakinan pada-Nya memiliki ciri
yang sepertinya menyerupai penjelasan ini. Tetapi di sana, akibat yang
ditimbulkan dari suara lonceng adalah: ‘Dan ketika orang-orang di sana
mendengar suara lonceng itu, gambaran Buddha muncul dalam tubuh mereka
(kekeliruan), gambaran Dhamma, gambaran Sangha’.
- 5. Cf. n.93.
- 6. RD menyatakan secara kategoris: ‘Ini
adalah piringan matahari’, yang mungkin aslinya benar. Ini melambangkan
kekuasaan kerajaan dan ajaran moral.
- 7. Gajah, kuda, kereta, dan jalan kaki.
- 8. Secara harfiah, ‘Makan sesuai
makanan yang ada’. Arti yang tepatnya meragukan.
- 9. Attha-karaṇa-pamukhe. ‘Sewaktu ia
sedang memimpin persidangan’ dihilangkan oleh RD.
- 10. Penjelasan ini mungkin berhubungan
dengan penghormatan yang serupa dengan yang disebut gajah ‘putih’ di
Thailand.
- 11. Baca n.93, RD menerjemahkan, yang
sulit diterima ‘perubahan bulan’.
- 12. ‘Berkepala gagak’ (RD). Tetapi
sebutan ini mungkin merujuk pada bentuknya, bukan warnanya.
- 13. ‘Awan-halilintar’, dan demikianlah
diterjemahkan oleh RD.
- 14. Ini adalah penjelasan biasa,
seperti catatan RD. Humor yang disampaikan Sang Buddha dalam penjelasan
itu kepada Petapa Ānanda tua tidak boleh diabaikan.
- 15. Semua perolehan itu adalah akibat
(vipāka) dari kamma masa lampau.
- 16. Klausa ke tiga dihilangkan oleh RD.
- 17. Iddhi: berbeda dengan yang terdapat
dalam DN 2.87.
- 18. Iddhi: berbeda dengan yang terdapat
dalam DN 2.87. Gahaṇi: dimaksudkan adalah organ pencernaan khusus. Tetapi
terjemahan Sinhala pada abad pertengahan yang dikutip oleh RD (dan
Childers), ‘api internal yang membantu pencernaan’ tidak terlalu salah.
- 19. Dhanu: ‘busur’. Childers, tetapi
tidak dalam PED, mengartikan ‘suatu takaran panjang’ – makna yang
diperlukan di sini.
- 20. RD menjelaskan: ‘Menanam karangan
bunga untuk dipakai oleh orang-orang’ – karena bunga hanya digunakan untuk
keperluan itu pada masa itu.
- 21. ‘Pembuat-segalanya’ (atau ‘Pekerja
segala hal’), Skt. Visvakarman. Ia pernah datang sebagai ‘arsitek agung
alam semesta’.
- 22. Baca DN 2.17 (habis). Pūraṇa
Kassapa menyangkal ada jasa kebajikan dalam hal-hal ini.
- 23. Empat Kediaman Luhur
(Brahmāvihāra): cf. DN 13.76ff.
- 24. Bentuk konvensional (seperti
dongeng) dari jumlah yang terus diulang 84.000 sudah jelas.
- 25. ‘Bendera kemenangan’ (RD).
- 26. Subhadda ‘Ratu Agung’ (RD).
- 27. RD menerjemahkan ‘tanduk berujung
perunggu’. Maknanya tidak jelas.
- 28. Seperti ketika Sang Buddha wafat,
dan pada kesempatan lainnya. Cf. DN.16.4.40.
- 29. Cf. DN 16.4.37.
- 30. Jumlah ini lebih dari empat kali
umur kehidupan pada masa Buddha Vipassī (DN 14.7). RD secara tidak sengaja
menuliskan 48.000 dalam syairnya.
- 31. Alam tertinggi yang dapat dicapai
pada masa tidak ada Buddha.
- 32. Ini mungkin adalah nama (seperti
yang ditulis oleh Woodward dalam kalimat yang sama dalam SN 32.96), atau
mungkin berarti ‘Perempuan Khattiya’ dan ‘gadis muda’. Akan tetapi,
bagaimana dengan Subhaddā?
Posting ini telah dilihat
sebanyak :2229
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/mahasudassana-sutta/
No comments:
Post a Comment