Mahanidana Sutta
Monday, October 25th,
2010 at 8:53 am
MAHANIDANA SUTTA
Sumber: Materi Pokok Kitab Suci Sutta Pitaka I, Modul 1-6.
Oleh: Cornelis Wowor, M.A.,
Penerbit: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu Dan Buddha
Dan Universitas Terbuka 1992
Oleh: Cornelis Wowor, M.A.,
Penerbit: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu Dan Buddha
Dan Universitas Terbuka 1992
Khotbah ini dibabarkan
Sang Buddha ketika beliau berada di kota Kammassadhamma, daerah Kuru. Khotbah
ini dibabarkan Sang Buddha berkenaan dengan pernyataan Bhikkhu Ananda:
“Walaupun ajaran Paticca-samuppada (Hukum sebab musabab yang saling
bergantungan) ini begitu dalam nampaknya, namun kelihatan jelas olehku!”
Sang Buddha berkata: “Jangan berkata begitu Ananda, karena tidak dapat menembus ajaran Paticcasamuppada, maka generasi ini menjadi kacau seperti benang kusut, sehingga tidak dapat bebas dari apaya (alam celaka), duggati (alam menderita), vinipata (alam keruntuhan) dan samsara (lingkaran kehidupan).”
Sang Buddha berkata: “Jangan berkata begitu Ananda, karena tidak dapat menembus ajaran Paticcasamuppada, maka generasi ini menjadi kacau seperti benang kusut, sehingga tidak dapat bebas dari apaya (alam celaka), duggati (alam menderita), vinipata (alam keruntuhan) dan samsara (lingkaran kehidupan).”
Rangkaian hukum
Paticcasamuppada adalah sebagai berikut :
Apakah sebab usia tua
(jara) dan kematian (marana)?
Kelahiran (jati) adalah sebab usia tua dan kematian.
Proses-perwujudan (bhava) adalah sebab kelahiran.
Kemelekatan (upadana) adalah sebab proses-perwujudan.
Nafsu-keinginan (tanha) adalah sebab kemelekatan.
Kontak (phassa) adalah sebab perasaan.
Perasaan (vedana) adalah sebab perasaan.
Batin dan jasmani (nama-rupa) adalah sebab kontak.
Kesadaran (vinnana) adalah sebab batin dan jasmani.
Kelahiran (jati) adalah sebab usia tua dan kematian.
Proses-perwujudan (bhava) adalah sebab kelahiran.
Kemelekatan (upadana) adalah sebab proses-perwujudan.
Nafsu-keinginan (tanha) adalah sebab kemelekatan.
Kontak (phassa) adalah sebab perasaan.
Perasaan (vedana) adalah sebab perasaan.
Batin dan jasmani (nama-rupa) adalah sebab kontak.
Kesadaran (vinnana) adalah sebab batin dan jasmani.
Demikianlah, batin dan
jasmani adalah sebab kesadaran; kesadaran adalah sebab batin dan jasmani; batin
dan jasmani merupakan sebab kontak; kontak merupakan sebab perasaan; perasaan
merupakan sebab nafsu keinginan; nafsu keinginan merupakan sebab kemelekatan;
kemelekatan merupakan sebab proses-perwujudan; proses-perwujudan merupakan
sebab kelahiran; kelahiran merupakan sebab usia tua dan kematian, kesedihan,
ratap tangis, kesakitan, duka cita dan putus asa. Demikianlah timbulnya seluruh
rangkaian penderitaan ini
Kelahiran adalah sebab
usia tua dan kematian. Dalam cara apa pun yang seperti itu, maka hal itu harus
dimengerti bahwa kelahiran adalah sebab usia tua dan kematian. Jika tidak ada
bentuk kelahiran apa pun dan dimanapun, yaitu kelahiran dewa dengan segala
bentuknya, gandhabba…, yakkha…, asura…, manusia…, binatang berkaki empat…,
binatang berkaki banyak…, burung…, binatang melata dengan segala bentuknya,
dengan tidak adanya kelahiran dalam bentuk apa pun, karena lenyapnya kelahiran
ini, maka di sana tidak muncul usia-tua dan kematian.
Proses-perwujudan adalah sebab kelahiran. Dalam cara apa pun… Jika tidak ada proses-perwujudan; proses-perwujudan nafsu (kama-bhava), proses-perwujudan jasmani (rupa-bhava) dan proses-perwujudan tanpa-jasmani (arupa-bhava)…, maka disana tidak muncul kelahiran.
Proses-perwujudan adalah sebab kelahiran. Dalam cara apa pun… Jika tidak ada proses-perwujudan; proses-perwujudan nafsu (kama-bhava), proses-perwujudan jasmani (rupa-bhava) dan proses-perwujudan tanpa-jasmani (arupa-bhava)…, maka disana tidak muncul kelahiran.
Kemelekatan adalah sebab
proses-perwujudan. Dalam cara apapun…. Jika tidak ada kemelekatan terhadap
nafsu indera (kama-upadana), kemelekatan terhadap pandangan-pandangan salah
(ditthi-upadana), kemelekatan terhadap upacara-upacara (silabbata-upadana) dan
kemelekatan terhadap ajaran-ajaran tentang adanya jiwa yang kekal
(atta-upadana)…, maka disana tidak ada kemelekatan.
Nafsu keinginan timbul
karena perasaan. Nafsu keinginan menyebabkan pencarian (pariyesena), pencarian
menyebabkan keuntungan (labha), keuntungan menyebabkan pengambilan keputusan
(vinicchaya), pengambilan keputusan menyebabkan nafsu keinginan, nafsu
keinginan menyebabkan kemelekatan (ajjhosana), kemelekatan menyebabkan
penguasaan (pariggaha), penguasaan menyebabkan kekikiran (macchariya),
kekikiran menyebabkan perlindungan pada milik (arakkha), perlindungan pada
milik menimbulkan banyak hal buruk (papa), seperti: mempersenjatai diri dengan
tongkat atau pedang, pertengkaran, perkelahian, argumentasi, balas dendam,
fitnah, bohong dan banyak perbuatan buruk lain. Jika tidak ada yang
mempersenjatai diri dengan tongkat atau pedang…, maka tidak akan ada…, bohong
dan banyak perbuatan buruk lain.
Kekikiran menyebabkan
perlindungan pada milik. Dalam cara apapun…. Jika tidak ada kekikiran, maka
penjagaan milik tidak ada.
Kekikiran disebabkan oleh penguasaan…
Penguasaan disebabkan oleh kemelekatan….
Kemelekatan disebabkan oleh nafsu keinginan….
Nafsu keinginan disebabkan oleh pengambilan keputusan….
Pengambilan keputusan disebabkan oleh keuntungan….
Keuntungan disebabkan oleh pencarian…
Kekikiran disebabkan oleh penguasaan…
Penguasaan disebabkan oleh kemelekatan….
Kemelekatan disebabkan oleh nafsu keinginan….
Nafsu keinginan disebabkan oleh pengambilan keputusan….
Pengambilan keputusan disebabkan oleh keuntungan….
Keuntungan disebabkan oleh pencarian…
Pencarian disebabkan
oleh nafsu keinginan. Dalam cara apapun… Jika tidak ada nafsu keinginan maka
disana tidak muncul pencarian.
Nafsu keinginan adalah
akar, sebab, asal mula dan penyebab semua pencarian. Jadi kedua hal ini menjadi
satu dalam perasaan.
Perasaan disebabkan oleh
kontak… Jadi kontak adalah akar sebab, asal mula dan penyebab perasaan.
Kontak disebabkan oleh
batin dan jasmani… Dalam cara apa pun… terdapatlah batin-jasmani, corak-corak,
tanda-tanda dan eksponen-eksponen yang disebut ‘kelompok batin’. jika tidak ada
batin-jasmani…, maka disana tidak muncul perwujudan kontak-ekspresi (adhivacana-samphassa)
dalam ‘kelompok jasmani’.
Batin-jasmani adalah
akar, sebab, asal-mula dan penyebab kontak.
Batin-jasmani disebabkan
oleh kesadaran. Dalam cara apa pun… Jika tidak ada kesadaran yang masuk ke
dalam rahim seorang ibu, maka tidak muncul badan-jasmani.
Kesadaran adalah akar,
sebab, asal mula dan penyebab timbulnya batin-jasmani.
Kesadaran disebabkan
oleh batin-jasmani. Dalam cara apapun… Jika kesadaran tidak mendapat tempat
berpijak dalam batin-jasmani (yang sekarang), maka kelahiran, usia tua, kematian
dan sebab timbulnya suatu penderitaan tidak muncul.
Batin-jasmani adalah
akar, sebab, asal mula dan penyebab timbulnya kesadaran.
Hanya sejauh terdapat
batin dan jasmani bersama kesadaran maka terdapatlah proses ekspresi ucapan
(adhivacana-patho), proses menerangkan, proses pengetahuan, proses pemunculan
diantara kondisi-kondisi dunia.
Bagaimana orang
menerangkan tentang ‘atta’ (jiwa). Ada yang menyatakan bahwa atta bermateri dan
terbatas; ada yang menyatakan atta bermateri dan tak terbatas; ada yang
menyatakan atta tak bermateri dan terbatas; ada yang menyatakan atta tak
bermateri dan tak terbatas.
Siapa saja yang
menyatakan atta bermateri dan terbatas, mempertimbangkannya pada waktu sekarang
maupun pada kehidupan yang akan datang berpikir: ‘Walaupun itu tidak begitu
sekarang, namun saya akan mendapatkannya di sana.’ Demikianlah orang yang
menyatakan atta bermateri dan terbatas. Begitu pula pikiran orang yang
menyatakan hal-hal lain itu.
Bagaimana orang yang
tidak menerangkan ‘atta’ (jiwa)? Ada yang tidak menyatakan bahwa atta bermateri
dan terbatas; mempertimbangkannya…
Bagaimana orang
menyatakan tentang jiwa (atta)? Mereka menyamakan ‘atta’ dengan perasaan:
‘Perasaan adalah jiwaku,’
‘Jiwaku bukan perasaan, jiwaku tidak dapat merasakan’, ‘Perasaan adalah bukan jiwaku, tetapi jiwaku bukan tak dapat merasakan,’ itu merasakan karena sifatnya.
‘Jiwaku bukan perasaan, jiwaku tidak dapat merasakan’, ‘Perasaan adalah bukan jiwaku, tetapi jiwaku bukan tak dapat merasakan,’ itu merasakan karena sifatnya.
Bagi mereka yang
mengatakan ‘Perasaan adalah jiwaku’ harus diberitahu: ‘Ada tiga macam perasaan,
yaitu: menyenangkan, tidak menyenangkan dan netral. Perasaan menyenangkan
adalah tidak kekal, berkondisi (sankhata), merupakan suatu akibat dari suatu
sebab (paticca-samuppada), dapat lenyap (khaya-dhamma), berakhir (vaya-dhamma),
berlalu (viraga-dhamma). Demikian pula dengan persaan tidak menyenangkan dan
perasaan netral.
Ketika mengalami
perasaan menyenangkan, orang itu berpikir: “Inilah jiwaku”, ketika perasaan
menyenangkan lenyap, ia berpikir: “Jiwaku telah lenyap.” Jika ia mengalami
perasaan tidak menyenangkan, ia berpikir: “Inilah jiwaku,” tetapi bila perasaan
tidak menyenangkan telah lenyap, ia berpikir: “Jiwaku telah lenyap”,… Begitu
juga yang ia katakan dengan perasaan netralnya. Jadi siapa pun yang berpikir:
“Perasaan adalah jiwaku”, adalah merenungkan sesuatu dalam kehidupan sekarang
bahwa itu adalah tidak kekal, campuran menyenangkan dan tidak menyenangkan,
bersifat muncul dan lenyap. Maka tidak tepat bila mempertahankan pendapat:
“Perasaan adalah jiwaku.”
Tetapi bila ada orang
menyatakan: “Perasaan bukan jiwaku, jiwaku tidak dapat merasakan”, harus
ditanya: “Jika sama sekali tidak memiliki perasaan, apakah akan muncul pikiran:
‘Aku’?” “Tidak”. Maka tidak tepat bila mempertahankan pendapat: “Perasaan
jiwaku, jiwaku tidak dapat merasakan.”
Bagi orang yang berkata:
“Perasaan bukan jiwaku, tetapi jiwaku bukan tak dapat merasakan, jiwaku
merasakan karena sifatnya”, harus ditanya: Jika semua perasaan lenyap sama
sekali, apakah mungkin muncul pikiran: ‘Ini saya?’ “Tidak.”
Maka tidak tepat bila mempertahankan pendapat: “Perasaan bukan jiwaku, tetapi jiwaku bukan tak dapat merasakan, jiwaku merasakan karena sifatnya.”
Maka tidak tepat bila mempertahankan pendapat: “Perasaan bukan jiwaku, tetapi jiwaku bukan tak dapat merasakan, jiwaku merasakan karena sifatnya.”
Sejak saat itu, bilamana
seseorang tidak berpendapat bahwa perasaan sebagai jiwa, jiwa tak dapat
merasakan, atau sebagai dapat merasakan dan merupakan sifatnya untuk merasakan;
tanpa berpendapat begitu, maka ia tidak terikat pada sesuatu di dunia ini;
tanpa terikat, tanpa kegelisahan ia mencapai kebebasan sempurna, ia mengetahui:
“Kelahiran telah berakhir, kehidupan suci telah terjalani, selesai sudah apa
yang harus dikerjakan, tak ada sesuatu lagi sesudah ini.”
Ada tujuh tingkat
kesadaran (vinnanatthiti) dan dua alam (makhluk). Apakah tujuh tingkat
kesadaran itu?
1.
|
Makhluk-makhluk yang berbeda
tubuhnya dan pencerapannya, misalnya: manusia, dewa tertentu dan beberapa
makhluk neraka.
|
2.
|
Makhluk-makhluk yang sama
tubuhnya, tetapi berbeda pencerapannya, misalnya: para dewa alam Abhassara.
|
3.
|
Makhluk-makhluk yang sama tubuhnya
dan sama pencerapannya. misalnya: para dewa alam Subhakinna.
|
4.
|
Makhluk-makhluk yang telah
melampaui semua pencerapan tentang jasmani (rupa), pencerapan tentang
ketidaksenangan (patighasanna), mengalihkan perhatian dari bermacam-macam
pencerapan berpikir: “Ruang tanpa batas”, mencapai ‘Alam Ruang tanpa batas’.
|
5.
|
Makhluk-makhluk yang melampaui
‘Alam Ruang tanpa batas’, berpikir: “Kesadaran tanpa batas”, mencapai ‘Alam
Kesadaran tanpa batas’.
|
6.
|
Makhluk-makhluk yang melampaui
‘Alam Kesadaran tanpa batas’, berpikir: “Tidak ada sesuatu”, mencapai “Alam
Kekosongan.”
|
Apa yang dimaksud dengan
dua alam? Itu adalah:
- Alam Makhluk-makhluk ‘Tanpa Kesadaran’ (Asannisatta)
- Alam Makhluk-makhluk ‘Bukan Pencerapan atau Bukan Tidak
Pencerapan.’
Bila ada orang yang
mengerti tentang, timbul, lenyap, kesenangan, penderitaan serta tahu cara untuk
membebaskan diri dari hal-hal itu, tentu saja makhluk-makhluk dari tujuh
tingkat kesadaran dan makhluk dari dua alam itu tidak akan menyenangi kehidupan
seperti itu.
Selama seseorang telah
mengetahui dengan jelas apa adanya (kehidupan makhluk-makhluk dari) tujuh
tingkat kesadaran dan dua alam, juga tentang muncul, lenyap, kesenangan dan
penderitaannya, adalah bebas tanpa kemelekatan; maka orang itu menjadi bebas
karena kebijaksanaan (panna-vimutto).
Ada delapan macam
kebebasan (attha-vimutto), yaitu:
- Ia melihat jasmani (rupa) sebagai jasmani (rupa).
- Menyadari tanpa jasmani (arupa) di dalam diri, ia
melihat jasmani (rupa) di luar.
- Berpikir: “Itu indah”, ia menjadi teguh.
- Dengan melampaui semua pencerapan-jasmani, semua
pencerapan ketidaksenangan (patigha), mengalihkan perhatian dari
bermacam-macam pencerapan, berpikir: “Ruang tanpa batas”, mencapai ‘Alam
Ruang tanpa batas’ (Akasanancayatana).
- Dengan melampaui ‘Alam Ruang tanpa batas’, berpikir:
“Kesadaran tanpa batas”, mencapai ‘Alam Kesadaran tanpa batas’
(Vinnananacayatana).
- Dengan melampaui ‘Alam Kesadaran tanpa batas’, berpikir:
“Tidak ada sesuatu”, mencapai ‘Alam Kekosongan’ (Akinvannayatana)
- Dengan melampaui ‘Alam Kekosongan’, mencapai “Alam
Bukan Pencerapan atau Bukan Tidak Pencerapan’ (Neva sanna nasannayatana)
- Dengan melampaui ‘Alam Bukan Pencerapan atau Bukan
Tidak Pencerapan’, mencapai ‘Kondisi Lenyapnya Perasaan dan Pencerapan’
(Sanna-vedayita-nirodha). Dengan melampaui ‘Alam Bukan Pencerapan atau
Bukan Tidak Pencerapan’, mencapai ‘Kondisi Lenyapnya Perasaan dan
Pencerapan’ (Sanna-vedayita-nirodha).
Apabila seseorang telah
menguasai delapan tingkat kebebasan ini secara berurutan maupun sebaliknya,
masuk dan keluar dari kebebasan-kebebasan itu sekehendak hatinya kapan saja dan
di mana saja selama ia inginkan, dengan kemampuan batinnya (abhinna) ia
melenyapkan semua kekotoran batin (asava) ia mencapai kebebasan melalui pikiran
dan kebebasan melalui kebijaksanaan, maka ia disebut ‘mencapai kebebasan dengan
dua cara’ (ubhatobhaga-vimutti), tidak ada ‘pencapaian dengan dua cara’ selain
cara ini.
Posting ini telah
dilihat sebanyak :3773
No comments:
Post a Comment