Pasang Iklan Di Sini

Friday, August 15, 2014

Menjelajahi Batas Dukacita

Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram   = Rp. 8.000,-
2. 250 gram   = Rp. 10.000,-
3. 500 gram   = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-
Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a / hubungi email : ricky_kurniawan01@yahoo.com


Menjelajahi Batas Dukacita
Setiap orang pernah mengalaminya; kekosongan yang meruntuhkan diri walau airmata berkabung telah kering terusap.
OLEH: MIRA RENATA/KONTRIBUTOR
Dibaca: 3308 | Dimuat: 1 Juli 2011
DUKACITA adalah sebuah rangkaian gelombang emosi dan mental, yang membawa setiap individu menuju kerapuhan diri dalam menjalani rutinitas. Untuk penyair Emily Dickinson (1830-1886), kerapuhan universal ini menyeruak sejak awal masa berkabung.  Seperti tergambar dalam kalimat pertama sekaligus judul puisinya After great pain, a formal feeling comes; ketika duka mendalam berlalu, sebentuk perasaan formal muncul. 
Momen-momen kesedihan akibat kematian orang yang dikasihi, dalam interpretasi Dickinson, kerap disusul dengan perasaan datar, membuat individu yang berduka terlihat “normal” menjalani perkabungan. Namun yang sebenarnya terjadi justru sebaliknya.
Dalam kalimat berikutnya, Dickinson menyamakan kekakuan syaraf dalam diri seorang yang berduka serupa upacara serta makam. The nerves sit ceremonious, like tombs. Keduanya merefleksikan kondisi matirasa dalam diri. 
Berbeda dengan perkabungan atau pemakaman, di mana kesedihan, hingga level tertentu, menjadi aktivitas publik sesuai aturan budaya, ritual, dan kepercayaan masing-masing, dukacita menyeret setiap orang untuk menjalaninya dalam kesunyian dan kesendirian. Namun perubahan dalam diri seseorang yang berduka akan menggerogoti dirinya dan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya.
Selang seminggu setelah putri kesayangannya, Anne Elizabeth atau Annie, meninggal dunia akibat sakit pada 24 April 1851, Charles Darwin menumpahkan rasa sedihnya dalam sebuah memoar.
“Kami kehilangan sukacita dalam rumah tangga dan penghiburan masa tua kami –ia tahu betapa kami sangat mencintainya. Oh betapa ia mampu merasakan kedalaman dan kepenuhan rasa cinta kasih kami hingga kini dan selamanya untuknya, si wajah pembawa kebahagiaan,” tulisnya seperti dikutip dari The Life and Letters of Charles Darwin (1887). 
Dukacita Darwin berlangsung lama. Ia menjadi tertutup, termasuk kepada istri dan anak-anaknya yang lain. Dalam autobiografinya, ia mengatakan, “Aku tak henti menitikkan airmata setiap terkenang tingkah laku Annie yang manis.”
Banyak orang menyimpulkan kematian Annie pada usia 10 tahun menjadi faktor yang semakin menjauhkan Darwin dari kepercayaan ortodoks terhadap Tuhan dan penciptaan. Kesimpulan ini dibantah keras oleh para pendukung Darwin. Teori seleksi alam dan evolusi Darwin, On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favored Races in the Struggle for Life adalah hasil kerja keras Darwin selama hampir 20 tahun. Karya besar Darwin terbit kali pertama pada 1859 –delapan tahun setelah kematian Annie.
Dukacita adalah sebuah kondisi kompleks. Sejak lama, berbagai teori dan analisis psikis mencoba memahami apa yang terjadi dalam diri mereka yang berdukacita akibat kematian orang yang mereka kasihi.  
Sigmund Freud dalam esai klasik Mourning and Melancholia (1917) menekankan berkabung dan berduka memiliki gejolak yang sama, seperti perasaan ditinggalkan dan kehilangan semangat. Namun berbeda dengan berkabung, yang cenderung mampu mengenali apa yang menyebabkan rasa kehilangan, melancholia atau depresi akibat berduka terbawa ke dalam alam bawah sadar. Dalam kondisi depresi, seseorang sulit mengidentifikasi bentuk kehilangan yang ia rasakan dan menimbulkan perasaan tak berdaya.
Freud juga menilai bahwa waktu untuk mengatasi keterikatan dengan mereka yang telah pergi merupakan kunci menghadapi dukacita. Dalam The Letters of Sigmund Freud, terbit pada 1960, terdapat sebuah surat Freud untuk kawannya, Ludwig Binswanger, yang berduka akibat kematian anak laki-lakinya.
“Walaupun kita tahu dengan berakhirnya kehilangan ini, penderitaan masa berkabung pun mereda; kita menyadari bahwa kita tidak akan pernah merasa terhibur dan mendapatkan penggantinya. Apapun yang akan mengisi celah ini, walau terisi penuh, ia akan selamanya menjadi sesuatu yang lain. Dan sebetulnya, inilah yang seharusnya terjadi. Ini adalah satu-satunya cara agar kita dapat meneruskan cinta yang tak pernah ingin kita hentikan.”
Waktu adalah salah satu faktor penentu yang “menyembuhkan” dukacita. Seorang  psikiatri Amerika bernama George L. Engel menyamakan emosi dukacita serupa penyakit dalam esai berjudul Is Grief a Disease? pada 1961. Serupa dengan masa penyembuhan penderita suatu penyakit, rasa kehilangan mendalam, menurut Engel, membutuhkan waktu untuk kembali ke titik ekuilibrium psikologis. Engel juga mempertimbangkan kemungkinan terjadinya gangguan dalam proses penyembuhan sehingga kondisi mereka yang berduka tak akan pernah mencapai fungsi awal yang diharapkan, seperti dikutip oleh James William Worden dalam Grief Counseling and Grief Therapy.
Keterikatan antara dua individu juga menjadi fokus penelitian dukacita psikoanalis John Bowlby dalam bukunyaLoss: Sadness and Depression (1980). Bowlby menggambarkan dukacita sebagai respon individu terhadap perpisahan akibat kematian secara bertahap. Awalnya ia akan mengalami shock dan matirasa, yang menyangkal kematian orang yang ia kasihi. Disusul dengan kemarahan dan kerinduan yang besar, berupaya menemukan kembali figur yang hilang. Ketika semua usahanya sia-sia, ia akan mengalami dukacita mendalam dan belajar menerima kenyataan. Periode ini, menurut Bowlby, menjadi penting karena akan menentukan langkah individu tersebut menata kembali rutinitas hidupnya tanpa kehadiran orang yang ia kasihi.
Ketika suami yang telah mendampinginya selama 40 tahun, John Dunne, meninggal dunia pada 30 Desember 2003, penulis Joan Didion mendeskripsikan perjalanan dukacita dan kenangan yang ia alami dalam memoarThe Year of Magical Thinking. “Pernikahan bukan sekadar waktu; secara paradoks, pernikahan adalah penyangkalan waktu. Selama empat puluh tahun aku memandang diri sendiri lewat mata John. Aku tidak bertambah tua. Sejak berusia dua puluh sembilan, tahun ini adalah kali pertama aku melihat diriku melalui mata yang berbeda,” tulisnya dalam memoar yang terbit 2005.  
Ketika jurnalis Gibson Fay-Leblanc mewawancarai Didion untuk majalah Guernica, April 2006, ia bertanya apakah menulis narasi sentimental dalam memoar merupakan mekanisme Didion melindungi diri untuk tidak menghadapi kematian suaminya secara langsung. Didion menjawab, “Aku memiliki pemahaman yang berseberangan tentang hal ini. Di satu pihak, aku rasa (menulis memoar) berguna, ia berperan menjagaku tetap ‘utuh’. Namun pada saat yang sama, aku juga berusaha keras untuk tidak menjadi gila, untuk mencoba memandang sekeliling dengan jelas. Keduanya bertolak-belakang hingga akhirnya aku melepaskan konsep tentang diri sendiri, bahwa aku memiliki kuasa untuk mengkontrol segalanya.”
Dalam perkembangannya, teori mengenai dukacita mengenal lima tahapan yang akan dilalui oleh setiap individu: penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan, yang diperkenalkan oleh Elizabeth Kübler-Ross sejak 1969. Namun lima tahapan ini tidak menuju kepada sebuah resolusi permanen.
“Walaupun Anda menjalankan berbagai upaya untuk merasakan apa yang dirimu rasakan, Anda tidak akan pernah sepenuhnya mendapatkan sebuah penutupan, seperti yang biasa Anda saksikan di film. Tapi Anda akan menemukan sebuah tempat untuk rasa kehilangan, sebuah cara untuk menggenggam rasa itu dan hidup bersamanya,” tulis Kübler-Ross dalam bukunya On Grief and Grieving–Finding the Meaning of Grief Through the Five Stages of Loss (2005).
Pada akhirnya, kesadaran itu pula yang membawa Didion kepada akhir perjalanan dukacitanya. “Aku tahu mengapa kita mencoba menjaga agar yang mati tetap hidup: kita mencoba menjaga mereka tetap hidup agar dapat selalu membawanya bersama kita. Aku juga tahu jika kita akan menjalani hidup, akan tiba waktunya kita harus meninggalkan yang mati, merelakan mereka, membiarkan mereka tetap mati. Membiarkan mereka sebagai foto-foto di atas meja…”

http://historia.co.id/artikel/modern/676/21/Majalah-Historia/Menjelajahi_Batas_Dukacita

No comments:

Post a Comment