Pasang Iklan Di Sini

Tuesday, August 19, 2014

Mengikis Keakuan Di Dalam Diri


Dijual biji jagung Popcorn ukuran:

1. 200 gram   = Rp. 8.000,-

2. 250 gram   = Rp. 10.000,-

3. 500 gram   = Rp. 20.000,-

4. 1000 gram = Rp. 40.000,-

Bagi yang berminat hubungi :

 089652569795 / pin bb: 7dfe719a /

 hubungi email :

 ricky_kurniawan01@yahoo.com


Mengikis Keakuan Di Dalam Diri


Sabbe tasanti daṇḍassa, sabbesaṁ jīvitaṁ piyaṁ
Attānaṁ upamaṁ katvā, na haneyya na ghātaye.

Semua makhluk gemetar karena cambuk, hidup sangatlah berharga 
bagi semuanya. Dengan membandingkan orang lain dengan diri kita, 
kita seharusnya tidak menyiksa atau membunuh makhluk lain.
(Dhammapada, 130)

Pada umumnya setiap orang yang belum mencapai tataran kesucian batin, nampaknya keakuan, keegoisan akan menjadi dilema bagi kehidupan manusia. Keakuan akan menjadi wabah penyakit bagi batin, berbahaya bagi semua makhluk hidup, dunia menjadi tidak aman, dan kesejehteraan akan memudar.

Seringnya menilai seseorang dan menganggap dirinya di atas kemampuan orang lain, mudah sekali menghina, mencela ataupun menghujat karena merasa dirinya paling pandai, sehingga kita dikuasai oleh pikiran buruk, namun sebenarnya kitalah yang mampu mengendalikan pikiran itu. Karena kita masih dibayangi oleh bayangan kita sendiri, kita mudah sekali melakukan tindakan yang negatif. Misalkan "kamu jelek, bodoh, hitam, miskin". Secara langsung, sesungguhnya kita mengembangkan keakuan bukan mengurangi keakuan/keegoan itu sendiri.

Sang Buddha selalu mengajarkan untuk merenung akan setiap kejadian yang kita lakukan. Misalkan merenungkan tentang hakikat kehidupan yang sesungguhnya dengan apa adanya. Konflik di mana-mana pasti ada, walau bersembunyi di goa, gunung, bahkan di dasar laut, dengan maksud supaya tidak terganggu dengan problem yang ada. Namun, kenyataannya konflik terus menimpa dan membakar ia yang masih mempunyai keserakahan (lobha), amarah (dosa), dan kegelapan batin (avijja/moha).

Keakuan yang ada di dalam diri kita hendaknya berusaha dikikis dengan penuh perjuangan. Lantas, bagaimana cara mengikis keakuan di dalam diri kita?
1.    Memiliki Pengertian Tentang Konsep Anattā
Sang Buddha menyatakan dalam Anattalakkhaṇa Sutta tentang konsep anatta, bahwa; 
"O para bhikkhu, bagaimanakah pandangan kalian terhadap tubuh jasmani, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran indra, apakah hal ini kekal (nicca), atau tidak kekal (anicca)?"
"Tidak kekal bhante," jawab para bhikkhu. 
Apakah sesuatu yang tidak kekal itu kebahagiaan (sukha), atau penderitaan (dukkha)?"
"Penderitaan, bhante."
"Sekarang, sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, dan senantiasa berubah itu, apakah patut dipandang sebagai, 'ini milikku, ini aku, ini diriku.?"
"Tidak patut, bhante." 
Jadi, apa yang perlu kita banggakan di dalam diri? Pada hakekatnya tidak ada aku di dalam diri, lalu mengapa harus membenci, harus mencela, dan membuat orang lain terpuruk dan sakit hati. 
Seyogyanya berusaha untuk menjadi manusia yang berkualitas bukan makhluk manusia yang hanya sekadar bernafas.
Konsep ajaran Sang Buddha tentang anattā yang menyatakan bahwa ini bukan aku, ini bukan diriku, ini bukan milikku sangat dalam dan membuat seseorang akan menjadi sadar dan bijaksana. Manusia dan makhluk-makhluk hidup ataupun benda hidup hanya tunduk pada hukum kebenaran anicca, dukkha, dan anattā. Jika direnungkan akan sangat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.

2.    Berlatih untuk Rela Melepas
Solusi mengikis keakuan di dalam diri adalah dengan mengembangkan sifat murah hati, mau membagi sebagian harta milik, memiliki jiwa kedermawanan, dan tidak melekat dengan apa yang dimiliki. Karena apa yang diperoleh dengan usaha yang semangat bukanlah menjadi milik yang sesungguhnya. Harta, tahta, dan lain-lain hanya sebagai kebutuhan dan pelengkap di masa sekarang, namun bukan menjadi milik mutlak.

3.    Praktik Meditasi
Meditasi merupakan praktik Dhamma yang mulia, yang akan menjadikan seseorang memiliki pikiran yang jernih, merubah perilaku seseorang yang tidak baik menjadi baik dan yang sudah baik akan menjadi lebih baik dan mampu melihat dengan jelas fenomena/realita kehidupan sebagaimana adanya.

Kesimpulan
Secara umum, tidak ada aku (attā) yang menjadi milik permanen. Berusahalah untuk menjadi manusia yang sadar dan bijaksana dalam menilai setiap kondisi dan situasi yang ada. Sehingga kedamaian  dan kemakmuran akan ada pada setiap langkah di manapun kita berada. Baik dalam situasi bekerja, berbisnis, dan beraktifitas yang lainnya.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Referensi: 
1.    Http://www.Accesstoinsight.Org/Tipitaka/ Sn/Sn22/Sn22.059. Nymo.Html
2.    Saṁyutta Nikāya, Bagian Buku Besar (Mahāvagga), Bhojjhaṅgasaṁyutta

http://www.dhammacakka.org/?channel=ceramah&mode=detailbd&id=336

No comments:

Post a Comment