Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram = Rp. 8.000,-
2. 250 gram = Rp. 10.000,-
3. 500 gram = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-
Bagi yang berminat hubungi :
089652569795 / pin bb: 7dfe719a / hubungi email : ricky_kurniawan01@yahoo.com
NandaThera
a. Nanda menjadi bhkkhu
Setelah
Sang Buddha membabarkan Dhammacakkhapavatthana sutta, beliau berdiam di
Veluvana di dekat kota Rajagaha. Ayah beliau Raja Suddhodana mengirimkan
pesuruh sepuluh kali, yang setiap kali datang disertai oleh seribu pengikut,
dengan perintah pada mereka: “Bawalah anakku kemari dan hadapkan dia padaku.”
Telah Sembilan pesuruh yang datang tetapi mereka semua menjadi Arahat dan tak
kembali lagi, akhirnya Kala Udayi Thera (sebelum menjadi bhkkhu) datang dan
menjadi Arahat juga, tetapi setelah menyadari adanya waktu yang sesuai, lalu
memohon agar supaya Sang Buddha pergi ia menerangkan maksudnya dan membawa
beliau bersama 20.000 bhikkhu ke kota Kapilavatthu, dan karena adanya Sang
Buddha bersama-sama keluarganya maka terjadilah hujan bunga (pokkharavassa),
setelah itu beliau menceritakan Vessantara Jataka. Pada hari berikutnya beliau
masuk kota untuk pindapata. Dengan mengucap gatha (syair) : “Seseorang harus
berusaha sendiri dan hidup dengan waspada, “ ayahnya menjadi Sottapanna;
selanjutnya dengan mengucapkan Gatha: “ Seseorang sebaiknya hidup dalam
kebenaran, “ Maha Pajapati Gotami
menjadi Sotapanna sedangkan ayahnya menjadi Sakadagami. Sehabis makan dan
sehubungan dengan bakti yang ditujukan oleh ibu Rahula (Yasdhara), beliau
menceritakan Canda Kinnara Jataka. Pada keesokan harinya pula, yaitu pada waktu
Nanda di Abhiseka, memasuki rumah baru dan hari upacara perkawinannya
berlangsung. Sang Buddha datang ke rumah tersebut untuk pindapata. Setelah
selesai makan, beliau memberikan pattaNya ke tangan Nanda dan berkata ‘ Semoga
Manggala (Kebahagiaan) ada padamu’; kemudian bangkit dari duduknya. Beliau
pergi tanpa mengmabil patta dari Nanda. Arena hormatnya pada Tathagatha maka
Nanda tidak berani berkata “Bhante, silahkan ambil patta bhante, tapi berpikir
‘ Beliau akan mengambil pattaNya sebelum menuruni tangga’”.
Tetapi walaupun
Sang Buddha telah sampai di tangga beliau tak meminta pattaNya. Piker Nanda:
“Beliau akan mengambilnya saat setelah menuruni tangga.” Tapi Sang Buddha tak
mengambilnya pula. Pikir Nanda: “ Beliau akan mengambilnya di halaman istana.”
Tapi beliau tak mengambilnya juga. Pangeran Nanda ingin sekali kembali ke sisi
mempelai wanita, dan sesungguhnya mengikuti Sang Buddha ini adalah bertentangan
dengan kemauannnya sendiri. Tetapi karena hormatnya kepada beliau dengana amat
sangat maka ia tak berani berkata “ Ambillah pattaMu, bhante,” melainkan tetap
emngikuti Sang Buddha, dengan berpikir bahwa “Beliau akan mengambilnya di sini,
di situ, atau di sana.” Pada waktu itu orang-orang memberitahukan Janapada
Kalyani, gadis tercantik di negaranya:”Nyonya. Bhagava telah meraikan pangeran
Nanda, dengan maksud untuk meysuahkanmu.” Segera Janapada Kalyani dengan air
mata bercucuran, rambut agak awut-awutan berlari sekencang-kencangnya mengejar
pangeran Nanda dan berkata: “ Tuanku, segeralah kembali.” Kata-kata Janapada
Kalyani ini membuat Nanda gemetar, tetapi Sang Buddha tetap tidak meminta
pattaNya, malah mengantarnya sampai vihara dan berkata kepadanya:” Nanda,
maukah kau menjadi bhikkhu?” Karena terlalu hormatnya kepada Sang Buddha
sehingga ia tak menolak dengan berkata “Saya tak mau menjadi bhikkhu, “; tetapi
jawabnya adalah: Ya, saya mau menjadi bhikkhu.” Lalu Sang Buddha berkata:
“Baiklah , O bhikkhu, Upasampadakanlah Nanda.” Demikianlah yang terjadi setelah
tiga hari Sang Buddha tiba di Kapilavatthu, Nanda menjadi bhikkhu.
Pada
hari ketujuh, ibu Rahula mendandani Rahula dan menyuruh menemui Sang Buddha,
dengan berkata: “ Anakku, temuilah Samana yang mempunyai pengiring sebanyak
20.000 bhikkhu, tubuhNya berwarna bagaikan emas, rupaNya bagaikan Maha Brahma,
Samana itu adalah ayahMu, ia memiliki harta yang banyak sekali, mintakan
padaNya warisanmu dengan berkata Ayah, saya adalah pangeran, segera setelah
saya di Abhiseka menjadi putra mahkota, saya akan menjadi raja Cakkavati , saya
membutuhkan harta, anugerahkanlah harta kepadaku, karena anak adalah berhak
atas warisan orangtuanya.” Selanjutnya pangeran Rahula pergi menemui Sang
Buddha: pada saat ia melihat beliau, ia merasa suka dan cinta sekali kepada
ayahNya, dan hatinya gembira ria karena beliau. Dan ia berkata “Samana,
menyenangkan sekali bayanganMu” dengan berkata demikina ia telah menunjukkan
perasaannya. Ketika Sang Buddha selesai makan, beliau mengucapkan Anumodana
(Ucapan terima kasih dalam bentuk khotbah), bangkit dan duduk dan pergi,
Pangeran Rahula mengikuti beliau dan berkata: “Samana, berikanlah warian
padaku, Samana , berikanlah warisan padaku.” Sang Buddha tidak menjawabnya, par
abhikkhu pun tidak dapat mencegah rahula mengikuti Sang Buddha. Dengan cara
inilah Pangeran Rahula mengikuti Sang Buddha ke Arama. Sang Buddha berpikir:
“Warisan orang tua yang dicari anak ini, jelas akan menyebabkan gangguan
baginya. Baiklah saya akan menganugerahkan tujuh warisan Ariya yang kuketemukan
di bawah pohon Bodhi; saya akan membuatnya penguasa warisan lokuttara (di atas
dunia).”
Karena
itu Sang Buddha berkata pada Sariputta:”Sariputta,
pabbajakanlah Rahula.” Setelah Rahula menjadi Samanera, Raja, kakeknya, merasa
sedih sekali, dank arena tidak sanggup mengatasi kesedihannya, ia
memberitahukan hal ini pada Sang Buddha dan memohon kepadaNya sebagai
berikut:”Bhante, adalah lebih baik dan tepat apabila seseorang sebelum di
pabbajakan sebaiknya meminta ijin kepada orangtuanya dahulu.” Sang Buddha
menyetujui permintaan ini.
Pada
suatu hari pula, selagi Sang Buddha selesai makan dan duduk di istana dan raja
duduk pula dengan tertibnya di sampingNya lalu raja berkata kepada Sang
Buddha:”Bhante, ketika kau sedang melakukan usaha dengan penuh penderitaan, ada
dewa datang menemuiku dan
berkata:”Anakmu telah mati.”
Tetapi
saya tidak mempercayainya dan menjawab:”Anakku takkan mati sebelum ia mencapai
ke-Buddha-an.” Lalu Sang Buddha berkata:”Apakah kau akan mempercayai itu
sekarang?” Juga pada kehidupan yang silam, ketika dewata menunjukkan tulang
padamu dan berkata:”Anakmu telah mati”; kau tak mempercayainya. Sehubungan
dengan hal ini, beliau menceritakkan Maha Dhammapala Jataka. Pada akhir dari
cerita ini Raja menjadi Anagami.
b. Nanda dan Bidadari
Setelah
Sang Buddha membimbing Raja Sudhodana menjadi Anagami, beliau kembali ke
Rajagaha disertai oleh bhikkhu Sangha. Dan karena telah berjanji kepada Upasaka
Anathapindika untuk berkunjung ke Savatthi, waktu itu wihara Jetavana sedang
diselesaikan, dan setelah menerima berita bahwa wihara telah selesai, beliau ke
Jetavana dan berdiam di sana. Sewaktu Sang Buddha berdiam di Jetavana, bhikkhu
Nanda merasa bosan hidup sebagai bhikkhu, dan menceritakan perasaannya kepada
bhikkhu-bhikkhu lain dengan berkata:” Saya telah bsan, sekarang saya hidup
sebagai brahmacari tetapi saya tak tahan lagi, saya berkeinginan untuk
melepaskan jubah dan kembali pada kehidupan sebagai orang awam, kehidupan
duniawi. Bhante, ketika saya meninggalkan rumahku, isteriku Janapada Kalyani
dengan rambut yang awut-awutan berkata kepadaku:”Tuanku, Segeralah kembali,
karena saya mengingat dia maka saya menjadi bosan hidup sebagai bhikkhu, sebab
itu saya berkeinginan untuk melepaskan jubah dan kembali pada kehidupan sebagai
orang awam, kehidupan duniawi.”
Sang
Buddha mendengar berita ini lalu memanggil Nanda dan bertanya kepadanya:” Nanda
apakah benar kau mengatakan hal berikut ini kepada para bhikkhu,” “Avuso, saya
bosan, sekarang saya hidup sebagai brahmacari, tetapi saya sudah tidak tahan
menjadi bhikkhu lebih lama lagi, saya berkeinginan untuk melepaskan jubbah dan
kembali pada kehidupan sebagai orang awam, kehidupan duniawi.”
“Bhante,
itu adalah benar.”
“Tetapi,
Nanda, mengapa kau menjadi bosan hidup sebagai bhikkhu sejarang ini? Mengapa
tidak tahan untuk tetap sebagai bhikkhu lebih lama lagi? Mengapa kau
berkeinginan untuk melepaskan jubbah dan kembali pada kehidupan biasa sebagai
orang awam?”
“Bhante,
ketika saya meninggalkan rumahku, isteriku Janapada Kalyani dengan rambut agak
awut-awutan berkata kepadaku, Tuanku, segeralah kembali. Bhante, karena saya
tetap mengingatnya maka saya menjadi bosan hidup sebagai bhikkhu pada sekarang
ini, maka saya tak tahan untuk tetap menjadi bhikkhu lagi, saya berkeinginan
untuk melepaskan jubbah, dan kembali pada kehidupan sebagai orang awam,
kehidupan duniawi.”
Kemudian
Sang Buddha memegang tangannya, dengan kekuatan batin beliau membawanya kea lam
devata Tavatimsa, dalam perjalanan Sang Buddha menunjukkan hutan yang terbakar
kepada Nanda dimana seekor kera rakus lagi duduk diatas dahan yang sedang
terbakar, telinga, hidung, dan ekornya telah terbakar pula.
Ketika
mereka tiba di alam Suggati Tavatimsa, beliau menunjuk lima ratus bidadari
berkaki ungu mendatangi untuk melayani Sakka raja devata, setelah Sang Buddha
menunjuk kedua hal ini, beliau bertanya kepadanya:”Nanda, yang mana kau pandang
lebih cantik, indah dan menyenangkan dilihat,
istrimu Janapada Kalyani atau kelima ratus bidadari berkaki ungu ini?
Jawab
Nanda:”Bhante, Janapada Kalyani adalah sebanding rendahnya seperti kera yang
telah kehilangan telinga, hidung dan ekornya karena terbakar, sangat jauh
bedanya bila dibandingkan dengan bidadari ini, istriku tidak termasuk hitungan,
ia tidak setitik kecilpun bila dibandingkan dengan mereka, sebaliknya lima
ratus bidadari ini adalah sangat cantik, menarik dan molek sekali.”
“Benar,
Nanda.” Jawab Sang Buddha, “Saya memberi garansi bahwa kau akan mendapatkan
lima ratus bidadari berkaki ungu ini.” Kata Nanda:”Bila Tathagatha
menggaransikan saya akan mendapat lima ratus bidadari ini; bhante, kalau begitu
saya akan tetap senang sekali hidup sebagai bhikkhu.”
Kemudian
Tahtagatha memegang bhikkhu Nanda, lenyap dari alam Suggati Tavatimsa dan
muncul di Jetavana. Tidak lama kemudian berita ini tersiar:”Karena berharap
akan mendapat bidadari maka bhikkhu Nanda, adik Tahtagatha, anak dari ibuNya,
tidak jadi melepaskan jubbah, tetap sebagai bhikkhu karena ia akan mendapat
lima ratus bidadari.”
Akibatnya
teman-teman bhikkhu Nanda memperlakukannya atau memanggilnya sebagai ‘orang
bayaran atau sewaan’.
Jadi
selanjutnya mereka memanggil bhikkhu Nanda sebagai berikut.
“Bhikkhu
Nanda adalah bhikkhu’bayaran atau sewaan’, dank arena mau mendapat bidadari
maka ia tetap menjadi bhikkhu. Sang Buddha menggaransikan bahwa Nanda akan
mendapat lima ratus bidadari.”
Sedangkan
bagi bhikkhu Nanda sendiri walaupun teman-teman bhikkhunya merendahkannya,
memalukannya, menghinanya dengan memnaggilnya:”bayaran atau sewaan”, tetap
bersikap tenang, menjauhkan diri dari gangguan-gangguan keramaian, waspada,
berusaha dengan sungguh-sungguh, bertekad (beradithana). Tidak lama kemudian,
walaupun ia masih dalam kehidupan ini, ia telah menembus, merealisasikan, telah
tercapai tujuan tertinggi dalam kehidupan sebagai saman, hal inilah yang ia telah
sadari:” Kelahiran tiada lagi, hidup penuh dengan kesucian, saya tidak
terpengaruh oleh kehidupan duniawi lagi, tugas telah selesai.” Bhikkhu Nanda
telah menjadi Arahat.
Pada
malamnya, devata datang pada Sang Buddha, menyinari seluruh Jetavana, setelah
menghormat kepada Sang Buddha, ia berkata: “Bhante, bhikkhu Nanda, anak dari
ibu Tathagatha, pada kehidupan ini ia telah melenyapkan kekotoran-kekotoran
batin, telah menembus, merealsiasikan, telah mencapai tujuan tertinggi,
seimbang, dan bijaksana.” Sang Buddha pun mengetahui bahwa:”Nanda telah
melenyapkan kekotoran batin dalam kehidupan ini, telah menembus,
merealisasikan, mencapai tujuan tertinggi, seimbang, bijaksana.”
Pada
malam itu pula bhikkhu Nanda menemui Sang Buddha, menghormati beliau dan
berkata:”Bhante, saya membebaskan Tathagatha dari janji yang dibuat beliau sewaktu Tahtagatha
menggaransikan bahwa saya akan mendapatkan 500 bidadari berkaki ungu.”
Tathagatha menjawab:”Nanda, saya sendiri mengetahui pkiranmu dan melihat bahwa
dengan lenyapnya kekotoran batin dalam kehidupan ini, menembus, merealisasikan,
mencapai tujuan tertinggi, seimbang dan bijaksana. Begitulah wahai Nanda, ‘kau
terbebas dari ikatan-ikatan keinginan duniawi, dan hatimu telah terbebas dari
belenggu belenggu, dan pada saat itulah saya terbebas dari janjiku.”
Karena
Tathagatha mengetahui makna dari hal ini, lalu mengucapkan Udana ini:
“Ia yang telah menyebrangi lautan
lumpur dan melenyapkan duri nafsu indria. Ia telah melenyapkan kebodohan, ia
tetap tenang, seimbang dalam sukha dan dukha.”
Pada suatu hari bhikkhu-bhikkhu mendatangi dan
bertanya kepada bhikkhu Nanda, “Avusa Nanda, dulu kau katakan bahwa’saya telah
bosan’, apakah kau mengatakan hal ini pun sekarang?” “Avuso (kawan), sewaktu
saya masih bodoh saya terikat pada kehidupan duniawi,” Ketika mereka mendengar
jawabannya, mereka berkata:”Bhikkhu Nanda berbohong, berdusta. Dulu ia
mengatakan ‘saya telah bosan’, tetapi sekarang berkata, sewaktu saya masih
bodoh saya terikat pada kehidupan duniawi.” Selanjutnya mereka memberitahukan
ini pada Sang Buddha. Sang Buddha menjawab:
“Wahai,
bhikkhu, dulu Nanda bagaikan atap yang bocor, tetapi sekarang ia telah menjadi
seperti atap yang utuh. Sejak ia melihat bidadari ia telah berusaha untuk
mencapai tujuan dari hidup kerohanian, dan sekarang ia telah mencapainya.”
Setelah berkata demikian, Sang Buddha mengucapkan gatha sebagai berikut:
11.
“Bagaikan air hujan menembus atap yang bocor. Demikianlah nafsu indria menembus
hati yang tak terlatih.
12.
Bagaikan air hujan tak menembus atap yang utuh, demikianlah nafsu tak menembus
hati yang terlatih.”
Pada
akhir dari gatha ini banyak orang yang menjadi Sotapanna, juga banyak orang
yang mendapat kemajuan. Para bhikkhu mulai mempercakapkan tentang hal diatas di
dhammasala:”Avuso, Sang Buddha menakjubkan Bhikkhu Nanda menjadi bosan hidup
dalam kebhikkhuan karena Janapada Kalyani, tetapi Sang Buddha menggunakan
bidadari dan membujuknya, mengalahkan dia dengan sempurna.” Sang Buddha datang
dan bertanya:”Para bhikkhu, apakah yang kamu percakapkan di sini?” Mereka
memberitahukan kepada Sang Buddha, dan beliau berkata:”Para bhikkhu, ini bukan
pertama kali Nanda ditaklukkan jadi penurut dengan membujuknya dengan
menggunakan lawan jenisnya, hal yang sama terjadi pada kehidupan yang lampau
juga”. Lalu beliau bercerita sebagai berikut:
c.
Cerita
yang lampau:Kappata dan Keledai
Dulu
ketika Brahmadatta memerintah di Benares, di sana tinggal pula seorang pedagang
bernama Kappata. Kappata mempunyai seekor keledai yang digunakan utnuk
mengangkat periuk-periuk tanah dan setiap hari bepergian sejauh tujuh yojana.
Pada suatu hari, Kappata memuat periuk-periuk pada keledainya dan mengiringnya
ke Takkasila. Selagi ia sibuk dengan barang dagangannya, ia melepaskan
keledainya berjalan-jalan, di tepi parit ia melihat seekor keledai betina dan
langsung menuju kepadanya. Keledai betina menyambutnya dengan baik dan berkata
kepadanya:
“Dari
mana kau datang?”
“Dari
Benares.”
“Dengan
maksud apa?”
“Berdagang.”
“Berapa
besar beban yang kau bawa?”
“Sebuah beban besar dari periuk-periuk.”
“Berapa
jauh jarak yang kau tempuh dengan membawa beban seberat itu?”
“Tujuh
Yojana.”
“Di
berbagai tempat yang kau kunjungi, adakah yang menggosok-gosok kaki dan
punggungmu?”
“Tidak.”
“Bila
demikian, kau sangat menderit a sekali.” (Tentu saja bagi binatang tidak ada
yang menggosok kaki dan punggung mereka, ia bertanya demikian hanya untuk
mengikat hubungan cinta mereka saja). Akibat dari kata-kata keledai betina
menyebabkannya jadi tak puas. Setelah pedagang mengumpulkan barag dagangannya,
ia mendapatkan keledainya dan berkata kepada keledainya:
“Marilah
kita akan berangkat.”
“Pergilah
kau sendiri, saya tak mau pergi.”
Berulang-ulang
pedagang membujuknya dengan kata-kata yang lembut supaya ia mau pergi, tetapi
waluapun telah diusahakan, keledainya tetap diam, ia malah memarahi pedagang.
Akhirnya pedagang berpikir:”Saya tahu cara untuk membuatnya mau pergi.” Dan mengucapkan
gatha ini:
” Saya akan menyiksamu dengan duri
enam belas inci, saya akan memotong tubuhmu berkeping-keping. Keledai, kau tahu
hal ini.”
Ketika
keledai mendengar kata kata ini, ia berpikir: Dalam hal ini saya tahu apa yang
harus kulakukan padamu. Setelah itu ia mengucapkan gatha ini:
“Kau
katakan bahwa kau akan menyiksaku dengan duri enam belas inci. Baiklah dalam
hal ini saya akan berdiri di kaki depanku dan melayangkan kaki belakangku untuk
memukul gigi-gigimu, Kappata, kau tahu hal ini.”
Ketika
pedagang mendengar kata-katanya, ia berpikir “Apakah sebabnya ia berkata
demikian ?”
Pedagang
menengok ke kiri dan ke kanan, akhirnya matanya tertuju pada keledai betina. “Ah.”
Pikir pedagang, keledai betina ini tentu yang menjadi penyebabnya. Saya kaan
berkata pada keledaiku:”Saya akan membawakan pasangan bagimu di rumah.” Jadi
dengan menggunakan bujukan lawan jenis, saya akan dapat membawanya pergi.
Segera ia mengatakan gatha ini:
“Betina
berkaki empat, dengan wajah bagaikan permata, serta sangat cantik jelita. Akan
saya bawakan menjadi pasanganmu, keledai, kau tahu hal ini.”
Ketika
ia mendengar kata-kata ini, ia sangat gembira sekali, lalu menjawab dengan
gatha ini:
“Jadi
betina berkaki empat, wajah bagaikan permata, serta sangat cantik jelita. Kau
akan jadikan pasanganku, dalam hal ini Kappata, walaupun biasanya saya menempuh
tujuh yojana sehari, selanjutnya saya akan menepuh empat belas yojana.”
“Baiklah,
Marilah.” Kata Kappata membawa keledainya, ia kembali ke tempat dimana
gerobaknya berada dan pergi. Sesudah beberapa hari kemudian keledai bertanya
kepada Kappata “Bukankah kau berjanji padaku, Saya akan membawakan pasangan
padamu.” Pedagang menjawab:”Ya, saya telah berkata demikian dan saya takkan
menjilat ludahku kembali, saya akan membawakan pasanganmu di rumah. Tetapi saya
hanya menyediakan makanan hanya cukup bagimu saja. Apakah itu cukup atau tidak
bagi kamu berdua, itu adalah persoalanmu sendiri. Setelah kamu hidup
bersama-sama, kamu akan mempunyai anak, tetapi tetap saya hanya akan memberikan
makanan yang hanya cukup untuk kamu mkaan sendiri saja, dan apakah itu akan
cukup untuk kamu bertiga makan nanti, itu adalah persoalanmu sendiri.
Setelah
pedagang mengatakan hal ini, keledai telah kehilangan keinginannya. Ketika Sang
Buddha telah mengakhiri ceritaNya, beliau menyimpulkan cerita Jataka ini
sebagai berikut:”Pada waktu itu, wahai bhikkhu, keledai betina adalah Janapada
Kalyani, keledai jantan adalah Nanda, dan pedagang adalah saya sendiri. Pada
waktu yang lampaupun, Nanda telah ditaklukkan dengan bujukan untuk mendapat
lawan jenisnya.”
Sumber: Buku Dhammapada Atthakatha, dengan alih bahasa Bhikkhu Aggabalo
No comments:
Post a Comment