PANNA
= KEBIJAKSANAAN
Dhammapiti
Sukham seti, Vipassannena cetasa
Ariyappavedite
dhamme, sada ramati pandito
Ia yang mengenal Dhamma akan
hidup berbahagia dengan pikiran tenang. Para bijaksana selalu bergembira dalam
Dhamma yang dibabarkan oleh para Ariya.
(Dhammapada,
Syair 79)
Di dalam kitab Abbidhammatthasangaha
disebutkan ada tiga jenis panna (kebijaksanaan), yaitu :
1. Sutta
maya panna
adalah kebijaksanaan yang diperoleh dengan mendengarkan Dhamma atau membaca
buku-buku Dhamma.
2. Cinta
maya panna adalah
kebijaksanaan yang diperoleh dengan melakukan penyelidikan atau pemikiran.
Jadi, dengan merenungkan apa yang telah dilihat atau didengar.
3. Bhavana
maya panna
adalah kebijaksanaan yang didapat dari melaksanakan vipassana bhavana.
Seseorang
yang memiliki kebijaksanaan suta yaitu sempat mendengarkan Dhamma dari Sang
Buddha atau siswa-Nya, sudah cukup membuat orang tersebut berbahagia di dunia
ini dan setelah meninggal dunia bisa terlahir di alam bahagia (surge) seperti
yang dialami oleh Nandiya.
Nandiya
adalah saudagar kaya dari kota Baranasi. Ia memiliki keyakinan juga pendana
dermawan dan pelayan sangha. Tetapi dia belum berkeluarga, ibunya meminta agar
Nandiya menikahi sepupunya yang bernama Revati. Tetapi Nandiya tidak bersedia
karena Revati tidak memiliki keyakinan dan tidak dermawan.
Ibunya
tidak kehabisan akal, ibunya memberi instruksi kepada Revati untuk melakukan
perbuatan baik sehingga Nandiya mau menikahinya. Caranya, Revati dianjurkan
untuk ikut melayani Bhikkhu Sangha pada waktu diadakan upacara dana makanan.
Revati setuju mengikuti petunjuk yang diberikan oleh ibu Nandiya.
Keesokan
harinya ibu Nandiya mengundang bhikkhu sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha
untuk menerima dana makanan di rumahnya. Ibunya juga mengundang Revati untuk
melayani bhikkhu sangha. Ketika bhikkhu sangha hadir, Revati dengan ramahnya
mempersilahkan bhikkhu sangha memasuki ruang makan. Setelah mempersilakan
duduk, dia juga melayani bhikkhu sangha dengan makanan, minuman dan
memuaskannya.
Perilaku
Revati yang luhur ketika melayani bhikkhu sangha mendapat perhatian dari
Nandiya. Ibunya berkata kepada Nandiya, ‘nak , lihat, Revati sekarang sudah
berubah, dia memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana’.
Maka,
Nandiya setuju menikahinya dan Revati melahirkan dua putra. Karena bahagia maka
Nandiya mengadakan acara dana besar-besaran yaitu membangun aula di Vihara
Isipatana dan dipersembahkan kepada Sang Tathagata, juga melakukan pelimpahan
jasa.
Pada
saat itu juga , di alam dewa Tavatimsa muncul istana surgawi seukuran dua belas
yojana, lengkap dengan perabotannya dan peri-peri sebagai pelayannya yang
diperuntukkan buat Nandiya.
Mendengarkan
hal ini, Nandiya merasa gembira dan memberikan dana-dana serta melakukan
tindakan-tindakan berjasa.
Berbeda
dengan istrinya, Revati tidak mempunyai keyakinan, pandangannya keliru. Dia
menganggap berdana itu merugikan dirinya sendiri, maka dia menghentikan semua
dana dan terus menerus mencaci dan menghina para bhikkhu dengan berkata,
‘karena merekalah maka semua kekayaan dan perolehan ku berkurang’.
Pada
akhir kehidupan suami istri tersebut, Nandiya setelah meninggal dunia langsung
terlahir di alam surge. Sedangkan istrinya , Revati, karena banyak melakukan
perbuatan buruk langsung terlahir di alam Neraka Samsavaka.
Sabbe satta
bhavantu sukhitatta.
Oleh : Bhikkhu Khemaviro (19
April 2015).
Sumber : Berita Dhammacakka No.
1084 tanggal 19 April 2015
KISAH KESABARAN
KERABAT SANG BUDDHA
Kapilavatthu,
kota suku Sakya, dan Koliya, kota suku Koliya, terletak di sisi-sisi Sungai
Rohini. Petani kedua kota bekerja di lading yang diairi oleh sungai tersebut.
Suatu tahun mereka memperoleh hujan yang tidak cukup, sehingga padi serta hasil
panen lainnya mulai layu. Petani di kedua sisi sungai ingin mengalirkan air
dari Sungai Rohini ke lading mereka masing-masing. Penduduk Koliya mengatakan
bahwa air sungai itu tidka cukup untuk mengairi dua sisi, dan jika mereka dapat
melipat-gandakan aliran air ke lading mereka barulah itu akan cukup untuk
mengairi padi sampai menguning.
Pada
sisi lain, penduduk Kapilavatthu menolak hal itu, apabila mereka tidak
mendapatkan air, dipastikan hasil panen mereka akan gagal, dan mereka akan
terpaksa membeli beras orang lain. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak siap
membawa uang dan barang-barang berharga ke seberang sungai untuk ditukar dengan
makanan.
Kedua
pihak menginginkan air untuk kebutuhan mereka masing-masing, sehingga tumbuh
keinginan jahat. Mereka saling memaki dan menantang. Pertentangan antar petani
itu sampai didengar oleh para menteri Negara masing-masing, dan mereka
melaporkan kejadian tersebut kepada pemimpin mereka masing-masing, sehingga
orang-orang di kedua sisi sungai siap bertempur.
Sang
Buddha melihat sekeliling dunia dengan kemampuan batin Beliau, mengetahui
kerabat-kerabat Beliau akan bertempur. Beliau memutuskan untuk mencegahnya.
Seorang diri Sang Buddha ke tempat mereka dengan melalui udara, dan segera
berada di tengah sungai. Kerabat-kerabat Beliau melihat Sang Buddha, dengan
penuh kesucian dan kedamaian duduk di atas mereka, melayang di udara. Mereka
meletakkan senjatanya ke samping dan menghormat kepada Sang Buddha.
Kemudian
Sang Buddha berkata kepada mereka, “Demi keperluan sejumlah air, yang sedikit
nilainya, kalian seharusnya tidak mengorbankan hidupmu yang jauh sangat
berharga dan tak ternilai. Kenapa kalian melakukan tindakan yang bodoh ini ?
Jika saya tidak menghentikan kalian hari ini, darah kalian akan mengalir
seperti air di sungai sekarang. Kalian hidup saling membenci, tetapi saya sudah
tidak membenci; kalian akan menderita karena kekotoran batin, tetapi saya sudah
bebas darinya; kalian berusaha memiliki kesenangan hawa nafsu, tetapi Saya
tidak berusaha untuk itu”.
Kemudian
Sang Buddha membabarkan Dhammapada syair 197, 198 dan 199 :
Sungguh bahagia
jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci; di antara
orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci.
Sungguh bahagia
jika kita hidup tanpa penyakit di antara orang-orang yang berpenyakit; di
antara orang-orang yang berpenyakit kita hidup tanpa penyakit.
Sungguh bahagia
jika kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah; di antara
orang-orang yang serakah kita hidup tanpa keserakahan.
Banyak
orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma
berakhir.
Sumber
: Dhammapada Atthakatha
No comments:
Post a Comment