CAHAYA
KEHIDUPAN
Yass’indriyani samatham
gatani, Assa yatha sarathina sudanta
Pahinamanassa
anasavasssa, Deva’pi tassa pihayanti tadino.
Ia
yang telah menaklukkan indrianya, bagaikan seorang kusir mengendalikan kudanya
yang telah terbebas dari kesombongan dan kekotoran batin, maka para dewa pun
akan mengasihi orang suci ini.
(Dhammapada
94)
Dalam kehidupan masyarakat, kadang-kadang
terpikir dalam benak kita. “mengapa orang melakukan hal demikian?” pertanyaan
itu memang biasa saja, karena memang setiap orang tidak selalu tahu apa yang
dilakukan oleh orang lain. Setiap orang selalu melaksanakan sesuatu sesuai
dengan kehendaknya. Bisa juga hal demikian itu menurut kita hal yang tidak bisa
kita terima, tetapi baik menurut orang yang melakukannya. Bila kita bertanya
demikian, maka bisa jadi hal yang dilakukan oleh orang lain tidak sesuai dengan
pandangan kita. Begitu juga dengan fenomena kehidupan yang sungguh
memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Peristiwa demi peristiwa terjadi hampir
setiap saat dai hal-hal yang wajar sampai suatu peristiwa yang menggetarkan
hati nurani yang paling dalam. Tindakan criminal seperti ; perkelahian,
pembunuhan, penyimpangan seksual, dan perbuatan di luar batas norma-norma agama
terjadi hamper di seluruh lapisan masyarakat. Padahal kalau kita mau merenung
dan mengingat akan tujuan semua orang, tentunya mendambakan hidup yang baik dan
mulia. Tidak ada seorang pun yang ingin hidupnya hina atau tercela. Berbagai
macam cara dan usaha dilakukan untuk mendapatkan cita-cita hidup baik dan mulia
tersebut. Dalam Dhamma dikatakan bahwa status kemuliaan seseorang itu dilihat berdasarkan sikap atau perilaku
yang baik, bukan dipandang dari segi kelahiran atau keturunan. Tentu saja jika
seseorang ingin menjadi mulia menurut Dhamma, maka orang tersebut harus
mempunyai pengendalian diri (samvara).
Dalam Visudhimagga Silaniddesa Pathamabhaga 8
dan Saddhammapakasini Patisambhidamagga
16 ada lima kelompok samvara (pengendalian diri) yaitu :
1.
Sila-Samvara
(pengendalian diri melalui kemoralan)
Mengontrol
ucapan dab perilaku sesuai dengan peraturan atau disiplin masyarakat.
Berhubungan dengan mengontrol ucapan maka dalam pancasila Buddhis telah
dijelaskan bahwa seseorang tidak berbohong, berkata kasar, memfitnah,
bergunjing atau berbicara yang tidka berguna. Sedangkan berkenaan dengan
perilaku adalah tidak membunuh, memperkosa, korupsi, menipu, mencuri, memeras,
dan merampok. Serta senantiasa dapat menaati tata tertib dalam masyarakat
seperti menjaga ketenangan dan kebersihan lingkungan. Dalam Maha Parinibbana Sutta, Sang Buddha
bersabda kepada gharavasa (perumah
tangga) tentang manfaat dari melaksanakan kemoralan, sebagai berikut :
a) Sila
menyebabkan seseorang memiliki banyak harta kekayaan
b) Nama
dan kemashyurannya akan tersebar luas
c) Menghadiri
setiap pertemuan tanpa ketakutan atau keragu-raguan
d) Sewaktu
meninggal dunia, hatinya tentram
e) Setelah
meninggal terlahir di alam bahagia
Selain itu dalam Akankheyya Sutta yang terdapat dalam
kitab Majjhima Nikaya, Sang Buddha
bersabda ; ”Para bhikkhu, apabila seorang bhikkhu berharap semoga saya menjadi
kecintaan, kesukaan, kehormatan, kepercayaan, kebanggaan bagi sahabat-sahabat
sepenghidupan suci hendaknya ia menyempurnakan silanya.” Kutipan tersebut hanya
sebagian kecil tentang manfaat dari melaksanakan kemoralan yang dibabarkan oleh
Sang Buddha sendiri.
2.
Sati-Samvara
(pengendalian diri melalui kesabaran)
Sikap
batin yang penting dalam sikap berhati-hati dan kesederhanaan ialah sati (sadar, eling) yang merupakan
landasan bagi latihan di tingkat pencapaian batin. Dengan kesadaran, betapapun
banyaknya peraturan tentu akan dapat dipelihara atau ditaati sebaik-baiknya.
Bahkan kesadaran akan menjaga pikiran kita dari unsur-unsur yang merugikan.
Dengan pengendalian diri melalui
kesadaran akan membuat seseorang tidak menjadi serakah atau membenci
pada saat melihat, mendengar, mencium, mengecap, menyentuh, atau berpikir pada
suatu hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Selalu sadar sebelum
bertindak, berucap, dan berpikir serta tidak lengah pada saat apapun.
3.
Nana-Samvara
(pengendalian diri melalui pengetahuan)
Merenungkan
hakekat dari empat kebutuhan hidup (pakaian, makanan, tempat tinggal, dan
obat-obatan). Tujuan sebenarnya dalam menggunakan sarana itu adalah agar tidak
terseret oleh keinginan serakah dan kebencian. Menggunakan atau menempatkan
pengetahuan yang telah dicapai sewaktu berhubungan dengan orang-orang atau
sewaktu menghadapi persoalan-persoalan
sehingga tidak menimbulkan frustasi, depresi, dan stress yang dapat menyeret
seseorang untuk melakukan kejahatan. Inilah cara pengendalian diri dengan
pengetahuan.
4.
Khanti-Samvara
(pengendalian diri melalui kesabaran)
Memiliki
kesabaran pada saat menghadapi lapar, haus, panas, dingin, sakit, capek, dan
gangguan-gangguan serangga. Serta sabar ketika menghadapi masalah-masalah dalam
hidup sehari-hari seperti : dihina, digosipkan, difitnah, diremehkan,
disingkirkan, dibohongi, dan mengalami kegagalan.
5.
Viriya-Samvara
(pengendalian diri melalui usaha atau semangat)
Pengendalian
diri melalui usaha atau semangat di sini berarti; pengendalian diri untuk
menghilangkan pikiran-pikiran buruk atau jahat. Hal ini dapat kita jumpai dalam
uraian jalan ariya berunsur delapan bagian usaha benar yaitu :
a) Mencegah
munculnya keadaan-keadaan tidak bajik yang belum muncul
b) Meninggalkan
keadaan-keadaan tidak bajik yang sudah muncul
c) Membangkitkan
keadaan-keadaan bajik yang belum muncul
d) Memelihara
dan menyempurnakan keadaan-keadaan bajik yang sudah muncul
Lima pengendalian diri
ini akan membantu kita dalam menghadapi kerasnya kehidupan di masyarakat,
apabila kita mau mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
dengan lima pengendalian diri ini pula kita akan mendapatkan manfaat yang besar
untuk diri sendiri dan orang lain sehingga kehidupan yang baik dan mulia akan
kita peroleh.
Semoga semua mahluk
hidup berbahagia.
Ceramah Dhamma oleh : Bhikkhu
Ratanaviro tanggal 12 April 2015.
Sumber : Berita
Dhammacakka No. 1083 tanggal 12 April 2015.
No comments:
Post a Comment