DIBUTUHKAN SEGERA KARYAWAN UNTUK MENJAGA TOKO PRIA / WANITA MINIMAL LULUSAN SMP
KIRIM CV KE ALAMAT EMAIL :
ricky_kurniawan02@yahoo.com
PALING LAMBAT TANGGAL 31 DESEMBER 2014
KIRIM CV KE ALAMAT EMAIL :
ricky_kurniawan02@yahoo.com
======================================================
Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram = Rp. 8.000,-
2. 250 gram = Rp. 10.000,-
3. 500 gram = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-
Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a
1. 200 gram = Rp. 8.000,-
2. 250 gram = Rp. 10.000,-
3. 500 gram = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-
Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a
Nama: Ricky Kurniawan
NPM:2010210226
Perkembangan Agama Buddha di Myanmar
Beribukota Naypyidaw yang diresmikan pada
6 November 2005 oleh pemerintahan junta militer sebagai pengganti ibukota
sebelumnya Yangon, negara Myanmar yang dahulu bernama Burma memiliki komposisi
penduduk terbesar 89% beragama Buddha dan etnis Burma sebesar 68%. Mayoritas
penduduk ini hidup berdampingan dengan etnis
lainnya Shan (9%), Kayin (7%),
Rakhine (4%), Mon (2%), Kayah dan Kachin, dan penganut agama Kristen (4%),
Islam (4%), dan lainnya (3%). (Kompas, 11/10/07).
Karena itu, negara dengan jumlah penduduk
48.798.000 jiwa (Juli 2007) yang
memiliki pagoda Swedagon yang menjulang di kota Yangon sebagai identitas
nasional Burma dapat dikatakan sebagai negara Buddhis terbesar di Asia Tenggara,
berdampingan dengan negeri tetangganya yang juga berpenduduk mayoritas Buddhis
seperti Laos, Thailand, China. Kini para bhiksu yang berakar dalam
masyarakatnya itu tengah berhadapan dengan penguasa negerinya sendiri yang
mengerahkan para serdadunya mengobrak-abrik vihara.
Diperkirakan negara yang dikenal juga
sebagai negara seribu pagoda ini memiliki puluhan ribu bhiksu/bhikkhu yang
mendiami puluhan ribu vihara-vihara pada negara seluas 676.578 km2 yang memikiki perbatasan darat dengan
Thailand, China, India, Laos dan berhadapan dengan Samudera Hindia. Para bhiksu/bhikkhu di Myanmar yang
belum lama ini pada September 2007 lalu melakukan aksi perlawanan secara damai
terhadap junta militer merupakan strata social yang sejak dahulu kala memiliki pengaruh
luas dan telah berakar jauh dalam masyarakat Myanmar.
Sejarah kehidupan kebhiksuan di Myanmar
ini juga tak lepas dari negeri Srilanka yang menjadi sumber dari mana
pergerakan agama Buddha menyebar ke Asia Tenggara, khususnya agama Buddha
bermashab Theravada. Dalam buku
Edward Gonze, “A Short History Buddhism,” Allen and Unwin, London-Boston, 1980,
terungkap bahwa agama Buddha telah masuk ke Burma sejak abad ke 5 dan abad ke
6, baik agama Buddha Theravada maupun agama Buddha Mahayana.
Namun jauh sebelumnya, dikabarkan pula
bahwa negeri yang terkenal dengan sebutan Suvannabhumi ini jauh sebelumnya di sekitar abad ke 3
SM telah memiliki kontak dengan sekelompok pedagang dari Jambudipa, sebutan
untuk negeri India. Menurut sumber sejarah seperti yang terdapat dalam
Mahavamsa, disebutkan bahwa pada abad ke SM itu terdapat dua orang bhikkhu dari
India yang bernama Sona dan Uttara menyebarkan Dhamma ke negeri Suvannabhumi.
Sedangkan adanya suatu organisasi yang
kuat bagi pejalan kebhikkhuan di Myanmar itu sendiri baru terbentuk pada abad
9, yaitu yang menamakan dirinya “Ari” (dari kata arya yang berarti mulia).
Dikabarkan agama Buddha yang ada itu adalah agama Buddha Pala yang berasal dari
Bihar, India dan Bengal yang bermashab Mahayana dan juga menyerap kepercayaan
setempat. Baru awal periode tahun 1000 agama Buddha di Burma ini berubah
karakternya dengan mengambil inspirasi pada Buddha yang berasal dari Srilanka,
yang diprakarsai oleh Raja Anawrahta dari Pagan di tahun 1057 yang mendatangkan
bhiksu-bhiksu dan kitab suci dari Ceylon, Srilanka.
Sejak itulah kelompok bhiksu Mahayana dan juga Vajrayana memudar
pengaruh dan dominasinya, meski keberadaannya tidak lenyap bahkan hidup terus
sampai akhir abad 18. Kehidupan kebhikkhuan beralih kepada mashab Theravada
yang mendapat perlindungan istana, sehingga tumbuhlah kebudayaan Buddhis dengan
peninggalannya yang sangat bagus dan indah.
Semasa kekuasaan Narapatisithu
(1173-1210) banyak vihara dibangun dibawah para sponsor seperti Sulamani,
Gawdawpalin juga untuk penulisan kitab suci Pali. Chapata yang juga dikenal
sebagai Saddhammajotipala menulis suatu seri karya mengenai tata bahasa Pali,
disiplin vinaya dan filsafat seperti: Suttanidesa, sankhepavannana,
Abhidhammatthasangha. Sementara pujangga lainnya yang bernama Sariputra menulis
karya yang merupakan koleksi pertama mengenai komposisi hukum kesunyataan yang
dikenal sebagai Dhammavilasa atau Dhammathat.
Kebudayaan Buddhis yang tumbuh semarak
pada masa itu dikabarkan tercermin
dengan tumbuhnya 9000 ribu pagoda dan vihara yang memenuhi tanah seluas delapan mil, diantaranya
yang paling terkenal adalah Vihara Ananda dari abad ke 11. Dalam Vihara ini
terdapat 547 cerita Jataka yang dikisahkan di atas tanda peringatan atau piagam
yang dibuat dari lapisan kaca. Hal ini berlangsung selama tiga abad sebelum
kekuasaan Pagan itu dihancurkan oleh Bangsa Mongol pada tahun 1287.
Meski, setelah runtuhnya dinasti Pagan
ini, dan selama 500 tahun ke
depan Burma terbagi-bagi dalam kerajaan-kerajaan yang saling berperang, namun
tradisi Theravada tetap berlanjut walau tidak semerbak periode sebelumnya,
bahkan raja Dhammaceti dari Pegu di akhir abad 15 memperkenalkan kembali
pergantian pimpinan vihara yang sesuai kitab suci dari Ceylon.
Pada tahun 1752, Burma mengalami
penyatuan kembali, dan setelah tahun 1852 Sangha memperoleh perlindungan, dan
sebuah dewan di Mandalay memperbaiki teks Tipitaka pada tahun 1868-71 yang
kemudian diukir di atas 729 lempengan pualam. Namun, kedatangan kolonial
Inggrias di tahun 1885 sangat merugikan perkembangan agama Buddha dan Sangha
karena mereka banyak menghancurkan tempat-tempat suci, dan sejak itu pula para
bhiksu memainkan peranan penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
Sangha yang merupakan komunitas bhiksu
tidaklah asing bagi rakyat Burma. Rakyat disamping masih memiliki kepercayaan
leluhurnya yakni para Nat atau “roh” yang diminta menolong mereka juga memiliki
kepercayaan tentang cara utama untuk memperoleh kebajikan yaitu dengan
membangun pagoda atau vihara. Bisa dimengerti bila Burma memiliki banyak pagoda,
dan vihara-vihara selalu berada di pusat-pusat tempat tinggal mereka, dimana
vihara-vihara itu juga berfungsi sebagai tempat pendidikan tempat rakyat melek
huruf.
Bersama Sangha yang mendapat tenpat di
hati rakyat, agama Buddha menjadi kekuatan yang memberikan karakteristik
peradaban Burma. Sesungguhnya, agama Buddha yang dibabarkan oleh Sang Buddha
ini sepanjang sejarahnya telah memicu kehidupan social yang demokratis dan
non-materialistis bagi bangsa Burma, disamping membawa keindahan pengetahuan, etika
kehidupan yang menekankan kesederhanaan yang semuanya itu merupakan sumber
nilai untuk terciptanya perdamaian dan kebahagiaan.
Namun, melihat perkembangannya yang ada
kini, dan juga jaman yang
bergerak cepat, rupanya persoalan Burma atau Myanmar kini, hubungan antara
agama dan negara, antara komunitas
Sangha dan para pemimpin pemerintahan tidaklah sesederhana sebagaimana
nilai-nilai nan indah itu dikumandangkan. Sewaktu U Nu berkuasa, U Nu berupaya
menghidupkan kembali Buddhisme seperti semasa kerajaan yang jaya dulu, namun U
Nu tidak dapat bertahan lama dan Burma pun terbelenggu masuk dalam genggaman
dictator militer yang kaku dan membosankan.
Kini ditengah tantangan kehidupan
bangsanya yang berada dibawah kendali junta militer, para bhiksu yang telah
membudaya itu tetap berupaya melakukan reposisinya dalam menjalankan fungsinya
sebagai penjaga kehidupan masyarakatnya. Para bhiksu dipaksa jaman dan terpaksa
harus menghadapi tantangan social politis yang terbentang keras itu dengan
bangkit dan bergerak ke jalan dalam dami demi mewujudkan nilai-nilai
buddhadharma tetap berakar dan demi tetap berada di hati rakyat yang sepanjang
sejarah menjadi pendukung sejati jalan kesuciannya. (jo priastana).
No comments:
Post a Comment