Pasang Iklan Di Sini

Tuesday, February 5, 2013

MACCHUDDĀNA-JĀTAKA 270.

(Dijual sebuah Counter di dalam City Mall Tangerang, ukuran 2 x 2 meter. Harganya sangat murah, hanya Rp 110 juta saja. Cocok untuk usaha di dalam Mall. Hubungi: 0818111368 / 02190450533. Pin bb: 7dfe719a. Foto counter menyusul. Bagi yang membantu memasarkan, akan dapat komisi.)

======================================================
Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram   = Rp. 8.000,-
2. 250 gram   = Rp. 10.000,-
3. 500 gram   = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-

Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a


MACCHUDDĀNA-JĀTAKA 270.

“Siapa yang akan mempercayai ceritanya,” dan
seterusnya.— Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada
di Jetavana, tentang seorang saudagar yang tidak jujur. Cerita
pembukanya telah dikemukakan sebelumnya di atas.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares,
Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang tuan tanah. Ketika
dewasa, dia menjadi seorang laki-laki kaya. Dia memiliki seorang
adik. Sepeninggal ayahnya, mereka harus melanjutkan usaha
ayahnya. Ini membuat mereka pergi ke suatu desa, tempat
mereka mendapatkan (tagihan) bayaran sebesar seribu keping
uang.

Dalam perjalanan pulang, ketika sedang menunggu perahu di tepi sungai, mereka menyantap makanan yang dibawa dengan keranjang daun. Bodhisatta melemparkan makanan sisanya ke
Sungai Gangga untuk ikan-ikan, melimpahkan jasa kebajikan kepada makhluk dewata penghuni sungai. Dewi sungai menerimanya dengan perasaan puas, yang kemudian meningkatkan kemampuan gaibnya. Ketika merenungkan peningkatan kemampuannya ini, dia pun mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya.

[424] Bodhisatta meletakkan pakaian luarnya di atas
tanah dan berbaring di atasnya, kemudian tertidur. Adiknya itu
adalah seorang yang memiliki sedikit sifat mencuri. Dia ingin
mengambil uang dari Bodhisatta dan menyimpannya untuk
dirinya sendiri. Maka dia membuat satu bungkusan batu yang
menyerupai bungkusan uang, dan mengambil bungkusan uang
yang sebenarnya. Setelah mereka naik ke perahu dan berada di
tengah sungai, adiknya ini menggoyangkan sisi perahu dan
menjatuhkan bungkusan batu yang dianggap sebagai bungkusan
uang.

“Saudaraku, uangnya jatuh dari perahu!” teriaknya. “Apa
yang harus dilakukan?” “Apa yang bisa kita lakukan? Yang sudah
hilang tidak dapat ditemukan lagi. Jangan mengkhawatirkannya,”
balas saudaranya itu. Akan tetapi, dewi sungai yang tadi
merenungkan betapa gembiranya dia dikarenakan jasa kebajikan
yang diterimanya dan bagaimana kemampuannya meningkat,
memutuskan untuk menjaga barang-barang milik Bodhisatta.
Maka dengan kekuatannya, dewi sungai membuat seekor ikan
bermulut besar menelan bungkusan itu dan dia sendiri yang
menjaganya kemudian.

Ketika si pencuri itu sampai di rumah, dia tertawa atas
tipuan yang dilakukannya terhadap abangnya, dan kemudian
membuka bungkusan itu. Yang terlihat adalah batu. Jantungnya
(seperti ) mengering; dia terbaring di ranjang, berpegangan pada
sisi ranjangnya itu.

Kala itu, beberapa nelayan melemparkan jala untuk
menangkap ikan. Dengan kekuatan dari dewi sungai, ikan
tersebut masuk ke dalam jala nelayan itu. Para nelayan
membawanya ke kota untuk dijual. Orang-orang menanyakan
berapa harganya. “Seribu keping uang dan tujuh keping uang
logam271,” kata para nelayan. Semua orang menertawakannya.
“Kami baru melihat seekor ikan yang ditawarkan dengan harga
seribu keping uang!” tawa mereka.

Para nelayan kemudian membawa ikan mereka tersebut
ke rumah Bodhisatta dan memintanya untuk membelinya.
“Berapa harganya?” tanyanya. “Anda bisa mendapatkannya
dengan tujuh keping uang logam,” kata mereka. “Berapa yang
Anda tawarkan kepada orang lain?” “Kepada orang lain, kami
tawarkan seribu keping uang dan tujuh keping uang logam.
Tetapi Anda bisa mendapatkannya dengan harga tujuh keping
uang logam saja,” kata mereka.

Dia kemudian membayarkan tujuh keping uang logam,
dan memberikannya kepada istrinya. Sang istri membelah ikan
itu dan menemukan bungkusan uang tersebut. [425] Dia
memanggil Bodhisatta. Bodhisatta melihat, dan mengetahui
bahwa itu adalah miliknya sewaktu mengenali tandanya. Dia
berpikir, “Para nelayan itu menawarkan kepada orang lain
seharga seribu keping uang dan tujuh keping uang logam, tetapi
karena seribu keping uang itu adalah milikku, mereka menjualnya
kepadaku seharga tujuh keping uang logam saja. Jika orang
tidak mengetahui ini, maka tidak ada yang dapat membuat orang
itu memahaminya.” Kemudian dia mengulangi bait pertama
berikut:

Siapa yang akan memercayai ceritanya jika dia
diberitahu bahwa ikan ini dijual seharga seribu keping
uang?

Ikan ini dijual kepadaku seharga tujuh keping uang
logam; betapa inginnya diriku membeli seikat ikan ini!
Setelah mengucapkan ini, dia bertanya-tanya bagaimana
caranya dia bisa mendapatkan uang tersebut kembali. Pada saat
itu, sang dewi sungai berada di udara tanpa terlihat (olehnya)
dan berkata,

“Saya adalah dewi sungai dari Gangga. Anda tadi
memberikan sisa-sisa makananmu kepada ikan-ikan dan
membuatku mendapatkan jasa kebajikannya. Oleh karena itu,
saya menjaga barang-barang milikmu,” dan mengulangi satu bait
kalimat berikut:

Anda berikan makanan kepada ikan-ikan dan hadiah
kepadaku. Perbuatan ini dan kebajikanmu selalu kuingat.

[426] Kemudian makhluk dewata itu menceritakan
tentang tipuan jahat yang dilakukan oleh adiknya. Dan dia
menambahkan, “Dia terbaring di sana, dengan jantungnya yang
mengering. Tidak ada barang-barang berharga di dalam
bungkusannya. Saya telah membawakan barang-barang
milikmu, dan kuingatkan kepadamu untuk tidak
menghilangkannya. Jangan berikan itu kepada adikmu yang
mencuri itu, simpanlah uang itu sendiri!” Kemudian dia
mengulangi bait ketiga berikut:

Tidak ada kekayaan bagi yang berhati jahat,
dan dalam hormat para makhluk dewata,
dia tidak memiliki bagiannya; dia yang menipu saudara
kandungnya atas kekayaannya dan melakukan
perbuatan buruk dengan tipuan dan pencurian.

Demikian dewi sungai itu berkata, dengan keinginan agar
orang jahat yang mencuri itu tidak mendapatkan uangnya. Akan
tetapi, Bodhisatta berkata, “Itu adalah hal yang tidak mungkin,”
dan memberikan bagian yang sama rata kepada adiknya, lima
ratus keping uang.

Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru memaparkan
kebenaran:—Di akhir kebenaran, saudagar itu mencapai tingkat
kesucian Sotāpanna:—kemudian mempertautkan kisah kelahiran
mereka: “Adiknya adalah saudagar yang tidak jujur itu, dan
abangnya adalah diri-Ku sendiri.”
https://m.facebook.com/note.php?note_id=10151467373558013&refid=21&_rdr

No comments:

Post a Comment