Kisah di Balik Suksesnya China Menjadi 'Pabrik Emas' Olimpiade
Liputan6.com, Beijing - Pada masa lalu, kebanyakan anak-anak di China ditempatkan di sekolah-sekolah yang mencetak para muridnya menjadi juara Olimpiade.
Cara mereka mendidik generasi mudanya di bidang olahraga terbukti berhasil sejak negara itu bergabung kembali pada Olimpiade tahun 1980.
Pada Olimpiade 2008 yang diselenggarakan di negaranya sendiri, China berhasil menduduki peringkat pertama. Sedangkan pada Olimpiade 2012 di London, hasil kerja keras para atletnya membuahkan hasil di posisi kedua, di bawah Amerika Serikat.
Namun, perubahan terjadi di China karena negara tersebut berkembang menjadi lebih makmur dan berfokus pada berbagai bidang pendidikan.
Saat ini, lebih sedikit orangtua yang bersedia membiarkan anak-anak mereka menuntut ilmu di sekolah olahraga yang memicu penurunan jumlah siswa.
Dikutip dari Daily Mail, Jumat (20/5/2016), beberapa sekolah telah tutup, sementara yang masih buka menyesuaikan sistem pendidikannya.
"Pada tahun 1980 dan 1990-an, sekolah seperti kita sangat menarik perhatian," ujar Huang Qin, sekretaris komite sekolah olahraga nomor satu di Pudong New Area, Shanghai.
"Namun saat ini orangtua sedikit yang mengirim anaknya ke sekolah olahraga," tambahnya.
Huang mengatakan sulitnya atlet ketika menghadapi masa pensiun dan meningkatnya standar pendidikan di kaum menengah China menjadi penyebab perdebatan sekolah olahraga.
Penyebab lainnya adalah menurunnya tingkat kelahiran akibat peraturan satu anak di China serta beratnya sistem pendidikan di negara tersebut.
Menanggapi hal tersebut, pada 2010 kebijakan baru yang dikenal dengan nama dokumen 23 dikeluarkan. Pemerintah berpesan kepada sekolah olahraga untuk meningkatkan standar gurunya dan memberi dukungan bagi atlet yang telah pensiun.
Di sekolah olahraga Pudong New Area, Huang mengatakan bahwa sekolahnya telah meningkatkan kualitas guru. Pada 3 tahun lalu, lembaga pendidikan tersebut juga telah menghentikan tradisi selama 40 tahun yang menyuruh siswanya untuk belajar, berlatih, dan hidup di kampus.
Di sekolah lain seperti Shanghai Yangpu Youth Amateur Athletic School, menawarkan kegiatan gimnastik yang disampaikan dengan cara menyenangkan kepada anak-anak TK setelah bersekolah.
"Kami menyebutnya happy gymnastic," ujar kepala sekolah Zhu Zengxiang.
Di sekolah olahraga Shichahai, sang wakil kepala sekolah, Zhang Jing, mengatakan bahwa mereka menawarkan pengembangan siswa yang komprehensif dan membekali para atlet dengan kemampuan untuk hidup setelah pensiun dari olahraga.
Pemerintah memang tak merilis jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah olahraga, namun terdapat beberapa tanda penurunan.
Pada April, China Sports Daily melaporkan bahwa atlet China yang dilatih untuk cabang olahraga tenis meja telah menurun hampir seperempatnya sejak 1987 menjadi 23.266.
"Dalam situasi yang berubah, kita harus kembali memeriksa sistem latihan dan contoh untuk olahraga kompetitif," ujar Ketua Tenis Meja dan Bulu Tangkis Administrasi Umum Olahraga China, Liu Shaonong.
Dalam inspeksi ke beberapa sekolah di 9 kota dan provinsi Maret lalu, pemerintah menemukan bahwa sekolah olahraga tak banyak menganggarkan biaya di bidang pendidikan.
Mantan atlet profesional berusia 25 tahun, Wang Linwen, yang mewakili Provinsi Shanxi dalam cabang olahraga wushu mengatakan pendidikan sangat penting bagi siapa pun yang ingin bergabung di sekolah olahraga.
Selama 5 tahun hingga ia pensiun pada 2009, Wang mengisinya hari kerjanya dengan berlatih dan hanya pada akhir pekan ia belajar.
"Aku kehilangan banyak hal karena aku tak memiliki pengalaman di bidang pendidikan," ujarnya.
"Perubahan sistem merupakan hal yang baik, itu mencegah para atlet yang telah keluar sekolah tak tahu apa-apa." tambah Wang.
Cara mereka mendidik generasi mudanya di bidang olahraga terbukti berhasil sejak negara itu bergabung kembali pada Olimpiade tahun 1980.
Pada Olimpiade 2008 yang diselenggarakan di negaranya sendiri, China berhasil menduduki peringkat pertama. Sedangkan pada Olimpiade 2012 di London, hasil kerja keras para atletnya membuahkan hasil di posisi kedua, di bawah Amerika Serikat.
Namun, perubahan terjadi di China karena negara tersebut berkembang menjadi lebih makmur dan berfokus pada berbagai bidang pendidikan.
Saat ini, lebih sedikit orangtua yang bersedia membiarkan anak-anak mereka menuntut ilmu di sekolah olahraga yang memicu penurunan jumlah siswa.
Baca Juga
"Pada tahun 1980 dan 1990-an, sekolah seperti kita sangat menarik perhatian," ujar Huang Qin, sekretaris komite sekolah olahraga nomor satu di Pudong New Area, Shanghai.
"Namun saat ini orangtua sedikit yang mengirim anaknya ke sekolah olahraga," tambahnya.
Huang mengatakan sulitnya atlet ketika menghadapi masa pensiun dan meningkatnya standar pendidikan di kaum menengah China menjadi penyebab perdebatan sekolah olahraga.
Penyebab lainnya adalah menurunnya tingkat kelahiran akibat peraturan satu anak di China serta beratnya sistem pendidikan di negara tersebut.
Menanggapi hal tersebut, pada 2010 kebijakan baru yang dikenal dengan nama dokumen 23 dikeluarkan. Pemerintah berpesan kepada sekolah olahraga untuk meningkatkan standar gurunya dan memberi dukungan bagi atlet yang telah pensiun.
Di sekolah olahraga Pudong New Area, Huang mengatakan bahwa sekolahnya telah meningkatkan kualitas guru. Pada 3 tahun lalu, lembaga pendidikan tersebut juga telah menghentikan tradisi selama 40 tahun yang menyuruh siswanya untuk belajar, berlatih, dan hidup di kampus.
Di sekolah lain seperti Shanghai Yangpu Youth Amateur Athletic School, menawarkan kegiatan gimnastik yang disampaikan dengan cara menyenangkan kepada anak-anak TK setelah bersekolah.
"Kami menyebutnya happy gymnastic," ujar kepala sekolah Zhu Zengxiang.
Di sekolah olahraga Shichahai, sang wakil kepala sekolah, Zhang Jing, mengatakan bahwa mereka menawarkan pengembangan siswa yang komprehensif dan membekali para atlet dengan kemampuan untuk hidup setelah pensiun dari olahraga.
Pemerintah memang tak merilis jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah olahraga, namun terdapat beberapa tanda penurunan.
Pada April, China Sports Daily melaporkan bahwa atlet China yang dilatih untuk cabang olahraga tenis meja telah menurun hampir seperempatnya sejak 1987 menjadi 23.266.
"Dalam situasi yang berubah, kita harus kembali memeriksa sistem latihan dan contoh untuk olahraga kompetitif," ujar Ketua Tenis Meja dan Bulu Tangkis Administrasi Umum Olahraga China, Liu Shaonong.
Dalam inspeksi ke beberapa sekolah di 9 kota dan provinsi Maret lalu, pemerintah menemukan bahwa sekolah olahraga tak banyak menganggarkan biaya di bidang pendidikan.
Mantan atlet profesional berusia 25 tahun, Wang Linwen, yang mewakili Provinsi Shanxi dalam cabang olahraga wushu mengatakan pendidikan sangat penting bagi siapa pun yang ingin bergabung di sekolah olahraga.
Selama 5 tahun hingga ia pensiun pada 2009, Wang mengisinya hari kerjanya dengan berlatih dan hanya pada akhir pekan ia belajar.
"Aku kehilangan banyak hal karena aku tak memiliki pengalaman di bidang pendidikan," ujarnya.
"Perubahan sistem merupakan hal yang baik, itu mencegah para atlet yang telah keluar sekolah tak tahu apa-apa." tambah Wang.
No comments:
Post a Comment