Pelajaran
bisnis ala Kedai Kopi Kimteng Pekanbaru
Reporter
: Sapto Anggoro |
Senin, 16 Februari 2015 10:49
Kedai Kopi
Kimteng ala Awai di Pekanbaru. ©2015 merdeka.com
Merdeka.com - Pekan lalu saya sedang acara ke Pekanbaru. Meski
dapat jatah sarapan di hotel, teman-teman mengajak saya ke Kedai Kopi Kimteng,
di Jalan Sanapelan. Kata kawan saya, belum ke Pekanbaru kalau belum ke Kedai
kopi Kimteng. Apa istimewanya?
Ketika pertamakali datang sekitar pukul 8.30, lahan parkir penuh sesak, mobil maupun motor. Kedai kopinya menempati 3 ruko yang dinding pemisahnya dijebol sehingga jadi los luas. Terdapat sedikitnya 36 meja yang masing-masing berisi 4, 6, dan 8 kursi. Hari itu, saya takjub karena penuh sesak.
Untung teman sudah memesankan tempat maka kita bisa duduk di meja ber-8 orang. Bagi saya, ini bisnis menarik yang khas dan tidak banyak digali orang, sehingga saya merasa perlu untuk menuangkan dalam kolom inspira untuk memberikan gambaran bagaimana seorang Awai mengelola kedai kopinya.
Kedai Kopi Kimteng sebenarnya diambil dari nama kakeknya Tang Kimteng, keturunan Tionghoa kelahiran Singapura yang sejak tahun 1940-an sudah menjadi tentara Indonesia di Sumatera. Setelah merdeka Kimteng ikut jualan kedai kakaknya, lalu pada tahun 1960-an buka Kedai Kopi Segar di rumahnya dalam gang.
Kenikmatan kopinya terdengar sampai pelosok. Maka bisnis pun berjalan. Sampai ajalnya, kedai kopi tetap hidup. Baru pada generasi kedua, cucunya Mulyadi Tenggana alias Awai melanjutkannya. Setelah lulus SMA, Awai tidak langsung melanjutkannya, dia melanglangbuana ke Toronto, Kanada, bersama saudaranya. Enam tahun di Kanada Awai pulang dan bertekad mengelola kedai kopi kakeknya.
Mulai buka di rumah, kemudian berkembang sewa satu ruko, akhirnya sekarang berkembang 3 ruko dan 5 cabang, sebagian besar di Mal. Setiap bulan, dia menghabiskan sekitar 800 kg bijih kopi kering dari Sungapenuh, Jambi.
Ada dua hal yang menarik dari yang dilakukan oleh Awai: model kerjasama bisnis kedai dan pendapatan di luar bisnis kedai kopi (inti).
Awai Mulyadi sejak awal hanya menjual dua menu: kopi dan roti bakar. Ini merupakan sinergi yang pas, betapa nikmatnya kopi pahit khas masakan Kimteng diadu dengan roti bakar selai srikaya (mereka menyebut sari kaya). Kopinya nendang, tubruk tapi tanpa ampas karena direbus bareng, dan selainya khas, ada rasa telur, gula, dan kelapa.
Meski hanya kopi dan roti bakar, tapi ribuan orang setiap hari, pagi hingga petang penuh sesak di Kimteng. Di sinilah tempat kumpulnya pejabat, pegawai rendahan, para perwira, karyawan swasta, pengusaha. Orang menyebut kedai ini B2B yang diplesetkan Bos to Bos. Tentu saja waktu kami ke sana trending topiknya soal Kapolri Budi Gunawan. Tapi lupakanlah itu karena sekadar bahan bicara pagi.
Selain kopi dan roti, pengunjung bisa memesan martabak, roti canai, empek-empek, mie ayam, bubur ayam, nasi goreng, otak-otak, dan lain-lain. "Saya tidak ikutan masak selain kopi dan roti bakar, itu pedagang-pedagang lain yang jadi partner kami," katanya. Jadi, dia memakai model bagi hasil, 10% dari total omset pedagang jadi bagian Awai. Mereka hanya bayar kalau jualannya laku sehingga tak merugikan.
Bagi Awai bisnis tidak harus mengerjakan semuanya sendiri. Selama bisa dilakukan dengan model kerjasama, saling mendukung, maka akan bisa maju bersama, dan saling menguntungkan. Pesannya kepada partner, agar jangan mengecewakan pelanggan, bikin makanan yang bagus dan sehat, jujur. Itu pelajaran dari kakeknya yang ditekankan juga orangtuanya. Saat ini mama Awai masih aktif menjadi kasir di Kedai Kimteng Sanapelan.
Dengan cara itu, ternyata pengunjung Kedai Kopi Kimteng sangat banyak. Susah cari tempat di pagi hari dan petang hari sepulang kerja. Kedai Kopi Kimteng telah menciptakan kerumunan. Di sini tempat berkumpulnya banyak orang.
Dengan menjadi tempat kerumunan, Awai pun mendapatkan ide lain, yang semula tercetus dari pengunjung. Yakni, dinding kosong di kedainya jadi sasaran pemasangan banner (papan iklan) bermacam perusahaan.
Dalam dunia keuangan, apa yang dilakukan oleh Awai dengan menjual space iklan di kedainya, awalnya seperti pendapatan non operasional meski bukan interest (bunga). Sedang dalam bisnis layanan, biasa disebut dengan VAS (value added services) jasa nilai tambah. Karena seluruh space di temboknya sudah dipesan jauh-jauh hari, maka di dunia advertising bisnis banner Kedai Kimteng itu bagaikan billing commitment (Billcomm) tapi karena pembayarannya di depan, jadinya sales murni.
Sebagai VAS, dia menjual banner terlalu mahal. Ada 6 banner menghadap ke pintu dan jalan @Rp10 juta, sedangkan yang menghadap ke samping ada sekitar 12 banner dengan harga @Rp6 juta, belum yang nempel di tiang ada 4 pilar @Rp2,5 juta, dan TVC Monitor di dekat dapur dan sekitar tempat pembayaran, masing-masing Rp 5 jutaan. Sedikitnya setahun dia bisa mendapatkan sekitar Rp 300 juta dari banner ini. Bahkan cangkir-pun ada iklannya.
"Yang banner tengah akan saya hilangkan semua," kata Awai. Apa tidak rugi? "Valuenya akan saya tingkatkan. Sehingga yang pasang banner pun senang dan mendapat value lebih karena semakin priority," katanya. Dari komentarnya nampak dia lulusan SMA yang tak henti belajar.
Bisnis banner di kedainya, bagaikan bisnis lain di balik bisnis inti. Tampaknya Awai juga sadar hal itu. Selalu ada pandangan lain tentang bisnis yang ditekuni yang tidak dilihat oleh orang lain. Ia pun ingat tentang pejaran dari pendiri Mc Donalds yakni Ray Kroc, bahwa dirinya bukan cuma bisnis makanan atau burger, tapi properti. Oleh karena itu McD harus berada di lokasi strategis agar 'propertinya' laku.
Pelajaran penting darinya, adalah bisnis mesti berbagi bukan dikuasai sendiri. Karena mereka dan kita akan saling menghudupi. Dia sadar sebagian besar masyarakatnya adalah agamis, maka di bulan puasa Awai akan menghormatinya dan tutup sepanjang 45 hari. Setelah libur, biasanya di hari pertama buka sudah ditunggu pelanggan sejak pukul 5 pagi. Rasa kangen kopinya telah menciptakan kebutuhan dan mencegah terjadinya penjenuhan dini (early saturation) yang sering membunuh bisnis. ***
Ketika pertamakali datang sekitar pukul 8.30, lahan parkir penuh sesak, mobil maupun motor. Kedai kopinya menempati 3 ruko yang dinding pemisahnya dijebol sehingga jadi los luas. Terdapat sedikitnya 36 meja yang masing-masing berisi 4, 6, dan 8 kursi. Hari itu, saya takjub karena penuh sesak.
Untung teman sudah memesankan tempat maka kita bisa duduk di meja ber-8 orang. Bagi saya, ini bisnis menarik yang khas dan tidak banyak digali orang, sehingga saya merasa perlu untuk menuangkan dalam kolom inspira untuk memberikan gambaran bagaimana seorang Awai mengelola kedai kopinya.
Kedai Kopi Kimteng sebenarnya diambil dari nama kakeknya Tang Kimteng, keturunan Tionghoa kelahiran Singapura yang sejak tahun 1940-an sudah menjadi tentara Indonesia di Sumatera. Setelah merdeka Kimteng ikut jualan kedai kakaknya, lalu pada tahun 1960-an buka Kedai Kopi Segar di rumahnya dalam gang.
Kenikmatan kopinya terdengar sampai pelosok. Maka bisnis pun berjalan. Sampai ajalnya, kedai kopi tetap hidup. Baru pada generasi kedua, cucunya Mulyadi Tenggana alias Awai melanjutkannya. Setelah lulus SMA, Awai tidak langsung melanjutkannya, dia melanglangbuana ke Toronto, Kanada, bersama saudaranya. Enam tahun di Kanada Awai pulang dan bertekad mengelola kedai kopi kakeknya.
Mulai buka di rumah, kemudian berkembang sewa satu ruko, akhirnya sekarang berkembang 3 ruko dan 5 cabang, sebagian besar di Mal. Setiap bulan, dia menghabiskan sekitar 800 kg bijih kopi kering dari Sungapenuh, Jambi.
Ada dua hal yang menarik dari yang dilakukan oleh Awai: model kerjasama bisnis kedai dan pendapatan di luar bisnis kedai kopi (inti).
Awai Mulyadi sejak awal hanya menjual dua menu: kopi dan roti bakar. Ini merupakan sinergi yang pas, betapa nikmatnya kopi pahit khas masakan Kimteng diadu dengan roti bakar selai srikaya (mereka menyebut sari kaya). Kopinya nendang, tubruk tapi tanpa ampas karena direbus bareng, dan selainya khas, ada rasa telur, gula, dan kelapa.
Meski hanya kopi dan roti bakar, tapi ribuan orang setiap hari, pagi hingga petang penuh sesak di Kimteng. Di sinilah tempat kumpulnya pejabat, pegawai rendahan, para perwira, karyawan swasta, pengusaha. Orang menyebut kedai ini B2B yang diplesetkan Bos to Bos. Tentu saja waktu kami ke sana trending topiknya soal Kapolri Budi Gunawan. Tapi lupakanlah itu karena sekadar bahan bicara pagi.
Selain kopi dan roti, pengunjung bisa memesan martabak, roti canai, empek-empek, mie ayam, bubur ayam, nasi goreng, otak-otak, dan lain-lain. "Saya tidak ikutan masak selain kopi dan roti bakar, itu pedagang-pedagang lain yang jadi partner kami," katanya. Jadi, dia memakai model bagi hasil, 10% dari total omset pedagang jadi bagian Awai. Mereka hanya bayar kalau jualannya laku sehingga tak merugikan.
Bagi Awai bisnis tidak harus mengerjakan semuanya sendiri. Selama bisa dilakukan dengan model kerjasama, saling mendukung, maka akan bisa maju bersama, dan saling menguntungkan. Pesannya kepada partner, agar jangan mengecewakan pelanggan, bikin makanan yang bagus dan sehat, jujur. Itu pelajaran dari kakeknya yang ditekankan juga orangtuanya. Saat ini mama Awai masih aktif menjadi kasir di Kedai Kimteng Sanapelan.
Dengan cara itu, ternyata pengunjung Kedai Kopi Kimteng sangat banyak. Susah cari tempat di pagi hari dan petang hari sepulang kerja. Kedai Kopi Kimteng telah menciptakan kerumunan. Di sini tempat berkumpulnya banyak orang.
Dengan menjadi tempat kerumunan, Awai pun mendapatkan ide lain, yang semula tercetus dari pengunjung. Yakni, dinding kosong di kedainya jadi sasaran pemasangan banner (papan iklan) bermacam perusahaan.
Dalam dunia keuangan, apa yang dilakukan oleh Awai dengan menjual space iklan di kedainya, awalnya seperti pendapatan non operasional meski bukan interest (bunga). Sedang dalam bisnis layanan, biasa disebut dengan VAS (value added services) jasa nilai tambah. Karena seluruh space di temboknya sudah dipesan jauh-jauh hari, maka di dunia advertising bisnis banner Kedai Kimteng itu bagaikan billing commitment (Billcomm) tapi karena pembayarannya di depan, jadinya sales murni.
Sebagai VAS, dia menjual banner terlalu mahal. Ada 6 banner menghadap ke pintu dan jalan @Rp10 juta, sedangkan yang menghadap ke samping ada sekitar 12 banner dengan harga @Rp6 juta, belum yang nempel di tiang ada 4 pilar @Rp2,5 juta, dan TVC Monitor di dekat dapur dan sekitar tempat pembayaran, masing-masing Rp 5 jutaan. Sedikitnya setahun dia bisa mendapatkan sekitar Rp 300 juta dari banner ini. Bahkan cangkir-pun ada iklannya.
"Yang banner tengah akan saya hilangkan semua," kata Awai. Apa tidak rugi? "Valuenya akan saya tingkatkan. Sehingga yang pasang banner pun senang dan mendapat value lebih karena semakin priority," katanya. Dari komentarnya nampak dia lulusan SMA yang tak henti belajar.
Bisnis banner di kedainya, bagaikan bisnis lain di balik bisnis inti. Tampaknya Awai juga sadar hal itu. Selalu ada pandangan lain tentang bisnis yang ditekuni yang tidak dilihat oleh orang lain. Ia pun ingat tentang pejaran dari pendiri Mc Donalds yakni Ray Kroc, bahwa dirinya bukan cuma bisnis makanan atau burger, tapi properti. Oleh karena itu McD harus berada di lokasi strategis agar 'propertinya' laku.
Pelajaran penting darinya, adalah bisnis mesti berbagi bukan dikuasai sendiri. Karena mereka dan kita akan saling menghudupi. Dia sadar sebagian besar masyarakatnya adalah agamis, maka di bulan puasa Awai akan menghormatinya dan tutup sepanjang 45 hari. Setelah libur, biasanya di hari pertama buka sudah ditunggu pelanggan sejak pukul 5 pagi. Rasa kangen kopinya telah menciptakan kebutuhan dan mencegah terjadinya penjenuhan dini (early saturation) yang sering membunuh bisnis. ***
No comments:
Post a Comment