Pasang Iklan Di Sini

Sunday, February 1, 2015

Mata Pencaharian Yang Benar

Mata Pencaharian Yang Benar

Anavajjani kammani Etammangalamuttamam
Tidak Melakukan Pekerjaan Tercela Itulah Berkah Utama.
(Mangala Sutta, Khuddakanikaya, Khuddakapatha)

      Dalam era serba modern ini tentu hidup dan kehidupan tidak akan bisa terlepas dari yang namanya usaha (pekerjaan ) untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah pangan (makanan).

      Karena banyaknya macam dan ragam jenis pekerjaan maka ada hal-hal yang harus jadi pertimbangan buat kita agar pekerjaan itu tidak bertentangan dengan hukum (terutama hukum Dhamma).

      Dalam hal ini berkaitan erat dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan yaitu salah satunya Samma Ajiva (penghidupan atau pencaharian benar). Sebab apabila suatu pekerjaan dilakukan melanggar Dhamma akan menyebabkan suatu persoalan di kemudian hari serta membawa pada penderitaan.

      Di dalam Maha-Cattarisaka Sutta (MN 117.28 ) disebutkan bahwa Pandangan Benar tetap menjadi dasar dalam memahami suatu Penghidupan apakah benar atau salah. Disebutkan bahwa seseorang harus memahami dengan jelas apa itu Penghidupan Benar dan apa itu Penghidupan Salah. Berkaitan dengan Usaha Benar dan Perhatian Benar (Unsur ke-6 dari Jalan Mulia Berunsur Delapan), Sang Buddha mengatakan, “Seseorang melakukan usaha untuk meninggalkan penghidupan salah dan memasuki penghidupan benar; inilah Usaha Benar seseorang”.

      Dengan waspada / perhatian penuh dia meninggalkan penghidupan salah, dengan waspada atau penuh perhatian ia masuk dan berdiam di dalam penghidupan benar; inilah Perhatian Benar seseorang. Demikianlah tiga keadaan ini bergerak dan berputar di sekeliling. Penghidupan Benar, yaitu Pandangan Benar, Usaha Benar, dan Perhatian Benar . “ (Maha-Cattarisaka Sutta, MN 117.33). Penghidupan Benar adalah penghidupan yang meninggalkan Penghidupan Salah, mempertahankan kehidupannya dengan penghidupan yang benar. (Vibhanga Sutta, Maha Vibhanga Suttam, SN 45.8). Penghidupan harus dilakukan dengan cara-cara yang legal, bukan illegal; diperoleh dengan damai, tanpa paksaan atau kekerasan; diperoleh dengan jujur, tidak dengan penipuan dan kebohongan; serta diperoleh dengan cara-cara yang tidak menimbulkan bahaya dan penderitaan bagi orang lain. (AN 4:62; AN 5;42, AN 8;54).

      Sang Buddha menganjurkan umat awam menghindari lima macam penghidupan salah (AN III, 207), yaitu :

1.      Menjual senjata, senjata di sini artinya segala jenis senjata yang digunakan untuk berperang, berkelahi atau membunuh mahluk hidup;

2.      Perdagangan mahluk hidup (termasuk membesarkan binatang untuk disembelih, termasuk juga perdagangan budak dan prostitusi);
3.      Menjual daging, atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup;
4.      Menjual racun;
5.      Menjual barang-barang yang emmabukkan (dan membuat ketagihan dan melemahkan kesadaran).
      Selain itu, Sang Buddha menyebutkan bahwa penghidupan salah dapat terjadi apabila dilakukan dengan cara sebagai berikut : (Maha-Cattarisaka Sutta, MN 117) Kebohongan ( sehubungan dengan kata-kata ) maknanya adalah melakukan suatu pekerjaan dengan tidak jujur. Contohnya berdusta dengan mengatakan secara berlebih-lebihan kualitas barang yang tidak tepat.

1.      Penghianatan / ketidaksetiaan : artinya pekerjaan yang dilakukan dengan melanggar janji, tidak sesuai dengan kesepakatan.

2.      Peramalan / penujuman : pekerjaan yang berkaitan dengan ramalan-ramalan dan ketidakpastian.

3.      Penipuan / kecurangan (berhubungan dengan tindakan mengelabui / menipu ) atau berbagai bentuk tipuan atau hal-hal curang lainnya.

4.      Lintah Darat : Pekerjaan dilakukan dengan mencari keuntungan tidak wajar dan sangat berlebih-lebihan.

      Dengan berpedoman pada Dhamma hendaknya kita melakukan suatu usaha atau pekerjaan yang baik dan tidak melanggar Dhamma. Apabila hal-hal ini dijalankan dengan baik, maka seseorang akan terhindar dari praktik / pekerjaan yang tidak benar. Inilah makna luas dari sila kedua Pancasila Buddhis bahwa ia bertekad untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan. Karena kurangnya pemahaman, maka kadang ada yang mau menjadikan alas an bahwa dalam Pancasila Buddhis itu tidak ada larangan berjudi, berarti boleh dong berjudi ? Pemikiran seperti ini juga harus diluruskan, karena lkalau mengartikan Dhamma secara sempit itu sangat berbahaya.

      Di jaman Sang Buddha pun ada seorang bhikkhu yang mengartikan Dhamma secara sempit, sehingga Sang Buddha menegur Bhikkhu tersebut bahwa praktik Dhamma ini apabila salah mengartikannya maka sama seperti menangkap seekor ular pada ekornya, yang mana ular tersebut akan mematuk dan orang tersebut akan meninggal karenanya (Alagaddupama Sutta, Majjhima Nikaya ). Demikian juga dalam sila ke-dua memang tidak ditulis aku bertekad melatih diri untuk tidak berjudi.

      Tetapi dalam Dhamma ( Parabhava Sutta ) ada disebutka oleh Sang Buddha bahwa hal tersebut merupakan sebab kemerosotan atau keruntuhan bagi seseorang. Maka kita harus memiliki pengertian yang benar (kebijaksanaan) dalam mempelajari Dhamma agar kita tidak keliru dalam emngartikannya sehingga bukannya kita mempraktikkan Dhamma tetapi malah sebaliknya. Dengan demikian maka sila kedua dari Pancasila Buddhis telah dipraktikkan dengan baik.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.

Ceramah oleh Bhikkhu Medhaviro tanggal 23 Februari 2014

Sumber : Berita Dhammacakka No. 1022 tanggal 23 Februari 2014

No comments:

Post a Comment