Pasang Iklan Di Sini

Thursday, June 27, 2013

Transkrip Ceramah Dhamma - Saat Aku Berhenti, Penderitaan Berhenti

(Dijual sebuah Counter di dalam City Mall Tangerang, ukuran 2 x 2 meter. Harganya sangat murah, hanya Rp 110 juta saja. Cocok untuk usaha di dalam Mall. Hubungi: 0818111368 / 02190450533. Pin bb: 7dfe719a. Foto counter menyusul. Bagi yang membantu memasarkan, akan dapat komisi.)

======================================================
Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram   = Rp. 8.000,-
2. 250 gram   = Rp. 10.000,-
3. 500 gram   = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-

Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a


Sri Pannavaro Mahathera - Saat Aku Berhenti, Penderitaan Berhenti
(Transkrip ceramah pada peringatan Asadha 2553/2009, pada tanggal 19 Juli 2009 di Ardha Candra, Art Center, Denpasar, Bali)

Ibu, Bapak & Saudara,

Pada saat Guru Agung Buddha Gotama membabarkan Dhamma, atau Dharma, untuk pertama kali, yang dikenal dengan “Memutar Roda Dhamma”, Dhamma cakka pavattana,

Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia, Cattāri Ariya Saccāni.

Kalau Empat Kebenaran Mulia ini boleh diringkas—dan yang meringkas adalah Guru Agung kita sendiri—maka ringkasan itu menjadi kalimat yang sederhana.



Guru Agung pernah menyampaikan kalimat itu kepada Bhikkhu Anuradha,


“Pubbe cāhaṃ Anurādha, etarahi ca dukkhañce va paññāpemi dukkhassa ca nirodhan’ti.”[Samyutta Nikaya, 4.384]

Artinya, “O, Anuradha, dahulu dan sekarang, hanya ini yang Kuajarkan:

dukkhañce va paññāpemi dukkhassa ca nirodha,

tentang dukkha/penderitaan dan tentang lenyapnya penderitaan.”

Jadi kalau Empat Kebenaran Mulia, Cattāri Ariya Saccāni, diringkas, kepada Bhikkhu Anuradha Guru Agung kita mengatakan, “Dulu dan sekarang, yang Kuajarkan hanyalah penderitaan dan lenyapnya penderitaan.”



Ibu, Bapak & Saudara,

Uraian malam hari ini memang tidak begitu sederhana, sulit. Tidak berlebihan bila saya memohon dengan hormat dengan kerendahan hati perhatian Ibu, Bapak & Saudara.

Kami mengira, Asadha Agung yang diisi dengan Dhamma-sakaccha, berbincang-bincang tentang Dhamma, akan dihadiri oleh dua ratus sampai tiga ratus orang; tetapi malam ini hadir dua ribu sampai tiga ribu orang. Tentu tidak mudah untuk memaparkan, menyampaikan, menjelaskan pokok dasar ajaran Guru Agung kita kalau tanpa perhatian seksama. Oleh karena itu harapan saya, semogalah Ibu, Bapak & Saudara bisa memberikan perhatian kepada uraian kami malam hari ini.

Ibu, Bapak & Saudara,

Persoalannya sekarang adalah tidak ada seorang pun yang senang menderita, semua orang emoh dukkha, apa pun agama, kepercayaan, golongan dsb. Siapakah di antara kita yang ingin menderita, yang senang menderita?

Tidak ada seorang pun yang senang menderita, semuanya tidak ingin, tidak senang menderita. Semuanya ingin melenyapkan penderitaan.



Ibu, Bapak & Saudara,

Mohon maaf, kalau saya harus menyampaikan, tetapi keinginan tinggallah keinginan,

Kita tidak senang menderita, kita emoh menderita, tetapi kita tidak sungguh-sungguh melenyapkan penderitaan.

Apa yang kita lakukan? Yang kita lakukan hanya menutup-nutupi penderitaan, tidak melenyapkan penderitaan.

Saya akan mulai dengan tidak berbuat buruk, karena perbuatan buruk menimbulkan kesedihan, korban, terhadap diri sendiri, demikian juga orang lain.

Tidak usah harus menganut Agama Buddha, tapi saya mohon kalimat ini jangan dipotong, ikuti kalimat selanjutnya…

Agama apa pun yang dianut, tidak harus mengerti hukum karma, hukum sebab-akibat; mengerti hukum karma atau tidak meyakini hukum karma, mengerti anicca atau tidak mengerti anicca, mengerti dan meyakini anatta atau tidak mengerti anatta sama sekali, tidak soal, Saudara…




Tapi kalau membuat bom, itu buruk. Siapa pun, apa pun agamanya, apa pun keyakinannya, perbuatan itu menimbulkan korban, menimbulkan kesedihan, menghancurkan.

Tetapi, apa pun keyakinannya, mengerti anatta atau tidak mengerti anatta, mengerti hukum karma atau menolak hukum karma, kalau orang berbuat yang baik, yang bajik, mengendalikan dirinya dari perilaku yang buruk, menolong, membantu, meringankan mereka yang menderita, perbuatan mereka adalah perbuatan yang baik.

Kebaikan membawa manfaat bagi orang banyak. dan kebaikan membawa manfaat bagi dirinya sendiri.

Keburukan tidak hanya merugikan dirinya, tetapi setiap perbuatan yang buruk tentu memakan korban.

Dari yang sederhana, mencaci maki, memfitnah, mencuri, berselingkuh, menyeleweng, berbohong, tidak jujur, sampai kepada pembunuhan dsb, mesti membawa korban, istri, anak, suami, lingkungan dan orang banyak.



Tetapi, Saudara, izinkan saya masuk kepada yang lebih dalam lagi.

Dengan tidak berbuat buruk, yang menghancurkan kehidupannya sendiri dan merugikan orang lain,

Dengan banyak berbuat bajik, banyak berbuat baik, tidak menyelesaikan penderitaan.

Saya mengulangi kalimat ini: ya, menghindari keburukan, mengendalikan diri dari perbuatan buruk, yang menghancurkan orang lain, yang membawa korban, ya.

dan berbuat bajik, berbuat baik semaksimal mungkin, benar;

tetapi tidak berbuat buruk dan berbuat bajik tidak mampu melenyapkan penderitaan.

Berbuat bajik berguna, benar; berbuat bajik membawa kemajuan, kelancaran, kebahagiaan, benar; keburukan menghancurkan, keburukan merugikan, benar sekali;

tetapi apakah kebahagiaan kekal? Apakah kelancaran, kenyamanan itu bisa melenyapkan penderitaan untuk tidak timbul kembali? Tidak. Saya ingin memberikan ilustrasi yang sederhana.

Ibu, Bapak & Saudara,

Saudara sudah mempunyai tekad yang kuat, samādhāna, untuk tidak berbuat buruk. – “Apakah ini tidak terpuji, Bhante?” – Terpuji.

Kemudian, Ibu/Bapak banyak menanam kebajikan, menolong, beramal. – “Apakah itu tidak terpuji, Bhante?” – Sangat terpuji.



Tetapi, suatu saat Ibu memberikan satu bungkus roti yang enak kepada orang yang tidak Ibu kenal, tetapi Ibu berjumpa di mal, atau di airport, di stasiun, di terminal. Orang ini miskin tampaknya, menderita, kusut, Ibu memberikan satu dos besar berisi roti yang enak itu yang tentu Ibu punya perkiraan orang seperti itu tidak sering makan roti seperti ini, dan Ibu memberikan dengan terbuka, “Ini untuk kamu, makanlah.”

Orang ini hanya berkata, “Terima kasih, Bu” – selesai.

Ibu, Bapak & Saudara bisa mendongkol, “Kenapa orang ini tidak menunjukkan ekspresi yang terkejut, ‘Ooo, luar biasa hari ini, Bu, makanan yang sangat enak.”

Ibu, Bapak & Saudara mengharapkan respons, tanggapan seperti itu dari orang yang menerima hadiah satu dos besar roti yang sangat enak.

Ibu, Bapak & Saudara tidak mendapatkan itu. “Aku tidak dihargai” – pada saat itu penderitaan muncul, sekalipun Ibu, Bapak & Saudara tidak berbuat buruk dan sering berbuat baik.



Ibu, Bapak & Saudara,

Contoh yang kedua, mungkin lebih jelas. Ibu, Bapak & Saudara pergi ke mal; sekarang ada supermal, hipermal. Ini memerlukan pengendalian diri yang kuat; kalau orang pergi ke mal, niatnya tidak beli, juga nanti akhirnya beli. Ibu, Bapak & Saudara melihat sebuah barang yang bagus, “O, bagus juga ini untuk dibeli.” Harganya tidak murah, tidak hanya sekadar ratusan ribu, jutaan, puluhan juta rupiah.

Pada saat Ibu, Bapak & Saudara mengagumi benda itu, ada orang berjalan, karena slebor, karena pakaiannya kedodoran, menyerempet benda itu dan jatuh, … prang, pecah.

Ibu, Bapak & Saudara bersedih, “Aduh, hmmm … sayang sekali, orang itu sembrono." Dan buru-buru Ibu, Bapak & Saudara menyingkir, jangan sampai ikut dituduh memecahkan benda itu. Biar orang itu yang menanggung, membayar harga barang yang pecah itu.

Tetapi, kalau benda ini jadi Ibu beli, Bapak atau Saudara beli—saya harus menyebutkan lengkap supaya tidak terkesan yang tukang shopping itu ibu-ibu saja—sangat mahal, berharga, langka, dan uang yang dikeluarkan cukup banyak, sekian belas juta, dan benda itu kemudian dibawa pulang dengan hati-hati sampai di rumah.

Setelah sampai di rumah beberapa hari, karena beberapa hal, benda ini juga jatuh … prang, pecah. “Aduh…”, penderitaan luar biasa; dan kejahatan bisa muncul: caci maki, sumpah serapah, apalagi kalau yang memecahkan itu pembantu atau karyawan. Kalau yang memecahkan dirinya sendiri, penderitaannya sangat hebat …




Mengapa? Penderitaannya lebih besar dibandingkan pada waktu benda yang sama pecah ketika masih di toko? Pada waktu masih di toko, belum ada hubungan antara Anda dengan benda itu.

Setelah Anda membeli dan membawa ke rumah, sekarang ada hubungan, ‘benda itu benda-KU’. Barang yang mahal itu sekarang milik-KU.

Kemelekatan itulah yang membuat kita menderita, bukan persoalan kita sudah tidak berbuat jahat yang membuat kita tidak menderita.

Dan kemelekatan yang terbesar bukan kemelekatan kepada bendanya, melainkan kemelekatan kepada AKU. Aku sudah memiliki benda itu; sekarang benda itu hancur, maka robeklah aku-KU. Itulah sumber penderitaan itu,



Ibu, Bapak & Saudara.

Penderitaan tidak bisa dilenyapkan dengan tidak berbuat buruk dan banyak berbuat baik, banyak berbuat amal saja. Selama masih ada kelengketan, kelekatan kepada benda-benda, kepada hawa nafsu, dan terutama kepada AKU, penderitaan tidak akan berakhir. Kesenangan, kenyamanan, kebahagiaan karena berbuat bajik hanya menutupi penderitaan, tidak menyelesaikan penderitaan.

Ada seseorang yang sudah berjasa besar, kepada yayasan, kepada organisasi sosial, kepada vihara, kepada tempat ibadah yang lain. Pada waktu upacara besar seperti ini, ia datang terlambat. Kursi yang di depan sudah penuh. Orang ini terpaksa duduk di belakang.

Apakah ada kejahatan yang dilakukan? O, tidak. Dia donatur yang luar biasa. Dia beramal, dia membantu; hanya dia datang terlambat. Kursi yang di depan penuh, dia duduk di belakang. Dia sangat menderita, Saudara. Acara selesai, dia telepon panitia, “Kenapa saya didudukkan di belakang? Panitia harus tulis surat minta maaf kepada saya.” – “Apakah benar, Bhante?” – Benar, Saudara. Ini bukan cerita buatan, bukan fitnah, bukan gosip. [tawa & tepuk tangan]

Ibu, Bapak & Saudara,

Dari kisah nyata ini Saudara bisa melihat, tidak ada keburukan yang dilakukan oleh ibu atau bapak ini; kebajikan, sumbangan, amal yang diberikan, tetapi dia sangat melekat kepada akunya, dia tidak bebas dari penderitaan yang dibuat sendiri.

Apalagi kalau dia tahu, karena panitia sudah mengatakan, “Bapak/Romo nanti duduk di depan; kursinya sudah ditulis nama—saya mau ambil contoh, menggunakan Romo Ponijan saja [tawa]—kemudian Romo Ponijan ini datang terlambat; dia lihat-lihat, longak-longok, kursi di depan sudah penuh semua; kursi yang sudah ditulis nama, Mr./DR. Ponijan, sudah diduduki orang lain; … penderitaan, Saudara, luar biasa. [tawa]

Apakah dia orang jahat? Tidak. Apakah dia orang baik? Ya. Dia banyak beramal, berdana, menyumbang, menyokong, menyumbangkan pikiran, ide-ide, membantu, tetapi dia membuat penderitaan untuk dirinya sendiri. Tidak hanya melekat kepada kursi, tetapi melekat kepada keakuannya sendiri.

Coba, kalau Romo Ponijan ini orang yang sangat dikenal, orang baik, kedudukannya tinggi, pandai, kursinya di depan ditempati orang lain, beliau duduk di belakang. Orang-orang tahu, “Oh, Romo kok ada di sini?” – “Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa. Saya juga manusia biasa, saya di sini dengan Saudara.” – Aduuuh, … namanya akan diangkat naik.

Tetapi, meskipun Romo Ponijan melakukan kebajikan, jasanya besar, kalau kebakaran jenggot karena tidak bisa duduk di depan, namanya akan dijatuhkan. Itu hukum masyarakat, Saudara.

Kalau dia menerima duduk di belakang, humble, rendah hati, “Biar, biar, saya juga manusia biasa seperti Saudara, saya duduk di sini, nyaman,” – Ooo, manusia-manusia lain, teman-teman lain mengatakan, “Ooo, Pak Ponijan hebat.”



Kemudian, lain waktu Romo Ponijan datang; ia sudah diberi tahu, tempat duduknya di depan, dan akan dijaga oleh panitia, tidak boleh diduduki orang lain, supaya nanti kalau dia datang terlambat, tempat duduknya tidak diduduki orang lain; dia datang terlambat, dan dia sengaja memilih tempat duduk di belakang.

Panitia tahu, panitia menarik-narik, “Ayo, ayo, Romo di depan, tidak ada yang menduduki.” – “Tidak apa-apa, saya di belakang saja,” dalam hati “Supaya saya kelihatan rendah hati, biar dihormati orang banyak,” [tawa & tepuk tangan] – itu keakuan juga.

Keakuan adalah sumber, kalau keakuan lahir—di mana lahirnya keakuan, di pikiran kita—penderitaan mulai. Kalau keakuan tidak lahir, penderitaan tidak dimulai, tidak muncul penderitaan.

Romo Ponijan datang terlambat, mengambil tempat duduk di belakang, tanpa keakuan, “Ya, di depan sudah penuh, saya di belakang,” – tidak ada beban, tidak kebakaran jenggot, tidak ada aku yang lahir—“Aku disingkirkan, aku didudukkan di belakang, kursiku diserakahi orang lain”—tidak ada keakuan yang lahir, tidak ada penderitaan.

Pada waktu acara yang kedua dia datang, kemudian panitia menerima dia, mendudukkan Romo Ponijan di depan, dia terima dengan wajar; dia tidak bersitegang dengan panitia, “Aku di belakang saja, aku mau rendah hati,” tidak; dia terima di depan tanpa lahirnya keakuan. Kalau keakuan tidak lahir, penderitaan tidak mengikuti. Pada saat aku lahir, penderitaan mulai.



Oleh karena itu, Ibu, Bapak & Saudara,

dengan kalimat yang singkat, tidak berbuat buruk sangat terpuji karena keburukan itu juga anak-cucu keakuan. Berbuat kebajikan sangat, sangat terpuji; tetapi tidak cukup, kalau akar penderitaan tidak dicabut. Akar penderitaan adalah upādāna, attachment; dan kelekatan yang paling besar adalah kelekatan pada keakuan kita.

Contoh yang terakhir:

saya membawa benda yang sangat berharga sekali, khususnya untuk umat Buddha. Umat Buddha biasanya kan tergila-gila dengan relik. Ini, benar atau tidak dianggap saja gigi Guru Agung kita. Kita melihat, “Aduh, luar biasa.” – lalu saya lanjutkan pernyataan ini, “Ini akan saya hadiahkan ke Vihara Sakyamuni,”

“Aduh, relik milik-KU” – keakuan mulai muncul, penderitaan mulai.

Tetapi, di dalam ini ada yang besar ada yang kecil. Yang kecil nanti

karena banyak jasanya, karena pemimpin, meskipun kecil tetapi pemimpin besar—

saya akan hadiahkan kepada Sudiarta, “Aduuuh … aku dapat” [tawa]

aku lahir, penderitaan mulai. Kemelekatan mulai, penderitaan menjadi lebih besar…

Bukan, Saudara, ini bukan relik, ini obat senggruk (inhaler). … [tawa & tepuk tangan]



Ibu, Bapak & Saudara,

Sekarang persoalannya, bagaimana membuang keakuan. Dalam bahasa yang kasar, wong keakuan itu tidak nyata, tidak riil. Keakuan itu kan buatan pikiran kita sendiri. Kalau kita sedang asyik, melihat sesuatu yang indah sekali, relik yang langka, dengan kaca pembesar, keakuan tidak muncul.

Begitu ada pernyataan, “Ini nanti milikmu, kok,” … nah, keakuan muncul. Karena ada rangsangan, ada kondisi, ada suara yang kita dengar, ada pernyataan, bahasa yang kita mengerti, keakuan muncul, penderitaan mulai.

Sama halnya dengan kalau Anda, Ibu, Bapak & Saudara, disakiti. Ibu, Bapak & Saudara meneliti, meneliti, memeriksa, “Saya ini berada di pihak yang benar”, ia benar-benar menyakitkan, memfitnah. “Aku tersinggung; kebenaran dan keadilan harus ditegakkan.” – Tetapi, bagaimana kalau sebaliknya, Ibu, Bapak & Saudara? Orang lain sungguh-sungguh benar, dan Ibu, Bapak atau Saudara sungguh-sungguh salah. Apakah kebenaran & keadilan juga harus ditegakkan? –“Yah, Bhante, kita anggap dia Arahat sajalah; tidak usah menuntut saya, keakuan.”




Ibu, Bapak & Saudara,

Keakuan tidak bisa dilenyapkan hanya karena kita tidak ingin keakuan.

“Ooo, ya, Bhante; malam hari ini saya sudah cerah, jelas sekali: penderitaan yang bermacam-macam, dari yang paling kecil sampai yang kompleks, itu akarnya dari keakuan. Jelas, Bhante, jelas; aku sudah emoh keakuan. Gilo aku, jerih aku, jeleh aku.”

Hanya dengan tidak ingin keakuan, keakuan tidak bisa lenyap. Nemplek saja; karena kelengketan, attachment, kelekatan kita pada keakuan itu sangat kuat.

“Bhante, kalau orang belajar anatta, sunyata, tidak ada aku, itu hanya perpaduan yang terus berubah; aku yang abadi, yang sejati itu tidak ada, semua bergerak setiap saat, tidak ada yang berhenti, tidak ada inti, apakah itu tidak cukup?” – Sangat tidak cukup!

Pengetahuan metafisis, pengetahuan intelektual metafisis, tidak bisa menghancurkan keakuan. Berapa juta tokoh Buddhis yang tidak mengerti anatta, hampir semua umat Buddha mengerti anatta, tapi, oooh, akunya gede-gede. “Apakah bisa dilihat, Bhante?” – Tidak usah ditanyakan, Saudara bisa merasakan sendiri.

Kami selesai berbicara di suatu tempat; selesai itu, kami diantar pulang naik kendaraan; orang Jawa bilang, nguntapke; nguntapke itu mengantarkan sampai di kendaraan. “Ya, anumodana, terima kasih.”

Tiba-tiba ada seorang tokoh yang mengatakan, “Bhante, saya ini bekerja mati-matian, Bhante, mempertahankan vihara ini. Pengurus yang lampau, pendiri yang lampau sudah tidak ada, tinggal saya. Saya ini tekun, tekun ini mati-matian saya mempertahankan vihara ini, Bhante.”




Eee, tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba kok keakuannya muncul orang ini.

Ibu, Bapak & Saudara, Saya tidak enak akan mengatakan begini,

“Wah, Bu, mbok akunya itu dikecilkan,” tidak enak saya.

Jadi saya menggunakan kalimat yang lain, “Pak, Bu, cobalah melatih vipassana.”

Jadi, nanti kalau Bhikkhu Pannavaro menganjurkan Anda melatih vipassana, tahu sendiri, Saudara, apa maksudnya. [tawa & tepuk tangan]

Tetapi orang itu tidak mengerti, orang itu tidak mengerti:

“O ya, Bhante, kalau ada latihan vipassana, saya ini yang bekerja keras, Bhante, mengkoordinir semuanya ini.”

Waduh, ya sudah … ampunilah Maha Dewa … dia tidak mengerti apa yang saya maksud. [tawa]

Ibu, Bapak & Saudara,

Bagaimana mengurangi keakuan, merontokkan keakuan? Dengan menyadari, dengan memperhatikan, mengawasi. Jadi, kalau keakuan Saudara muncul,

“Aku sudah selesai menjalankan kewajibanku sebagai ketua panitia,

aku sudah selesai memenuhi janji,

aku sudah selesai menulis buku,




aku sudah selesai membayar lunas uang masuk anakku yang mau masuk perguruan tinggi, sebagai ayah aku merasa lega” –

tidak dikeluarkan, tidak diucapkan, tetapi muncul dalam pikiran. Waspada!

“Diberantas, Bhante? – Tidak usah.

“Lho, katanya aku berbahaya, kok tidak boleh diberantas?”

Amat-amati saja, ketahui saja, “Oh, pikiran muncul.” Selesai.

Selesai, Saudara. Itulah sati, itulah awareness. Tidak usah dianalisis,

“Kok aku saya muncul, dari mana tiba-tiba aku ini kok muncul;

aku sudah kenal Agama Buddha dua puluh tahun, aku-ku kok masih gede-gede, tidak usah.

Aku malu, aku ini harus dihantam, aku harus dimengerti, dengan anatta, tidak benar, aku ini salah,”

lha, nanti pikirannya ribut sendiri, perang sendiri di dalam pikiran, ramai di dalam pikirannya, bertengkar sendiri.

“Jadi bagaimana, Bhante?” – Dilihati saja, “Oh, aku muncul.” Selesai.

Tidak perlu doa, tidak perlu paritta, tidak perlu menyebut Buddha, Dhamma, Sangha, tidak perlu ingat Triratna, tidak perlu ingat anatta.

Mungkin seseorang tidak mengerti anatta sekalipun, tetapi kalau keakuannya muncul, dia ngonangi-ngonangi berarti mengetahui—akunya muncul, dia mengetahui, akunya muncul, dia menyadari, akunya muncul, dia menyadari. Itulah cara dukkha-nirodha, lenyapnya penderitaan, dengan mencabut akar penderitaan, kelengketan pada keakuan.




Ibu, Bapak & Saudara,

Di lain kesempatan, Guru Agung kita menjelaskan secara singkat dengan kalimat yang lain. Kalau di depan beliau menjelaskan, dulu, awal Guru Agung kita memberikan khotbah, sampai kemudian akan menutup mata, hanya dukkha, penderitaan dan lenyapnya penderitaan yang beliau ajarkan, tidak ada lain.

Dalam kalimat yang lain, Guru Agung kita juga menyebutkan, “Seyyathāpi, bhikkhave, mahāsamuddo ekaraso loṇaraso, evam-eva kho, bhikkhave, ayaṃ dhamma-vinayo ekaraso vimuttiraso.”[Vinaya Pitaka 2.235]

Sang Buddha mengatakan, “Para bhikkhu, mahasamudra, mahasamuddo, mempunyai ekaraso, rasa yang satu, loṇaraso, asin, rasa garam; demikian juga, ayaṃ dhamma-vinayo, demikian juga ajaran yang kuajarkan ini, ekaraso, mempunyai rasa yang satu, vimuttiraso, rasa kebebasan.”

Itulah, Ibu, Bapak & Saudara, yang diwariskan oleh Guru Agung kita, yang dipelihara, disimpan oleh Sangha, dan kemudian kami mewariskan kepada Ibu, Bapak & Saudara.

Tidak mudah, tidak mudah. Apalagi kalau ingin menunjuk keakuan, aduh, tidak mudah, Saudara.

Sering seseorang yang ditunjuk keakuannya, bukan keakuannya menjadi berkurang, malah keakuannya berkobar-kobar. Sabar, sabar … jururawat-jururawat, mantri-mantri ini harus sabar. Sabar … ini diberi obat yang mujarab, malah marah.




Ibu, Bapak & Saudara,

Saya ingin menutup dengan satu cerita lagi. Seorang psikiater menjadi bhikkhu, gurunya adalah Lama Zopa Rinpoche. Ia adalah seorang New Zealand atau Australia. Pada suatu saat ia ditugaskan di suatu daerah. Daerah ini sulit sekali. Dari dimusuhi, tidak di-welcome, dia menjalin hubungan, menunjukkan simpati, ketulusan, sampai masyarakat di sana menerima bhikkhu ini. Setelah selang beberapa lama, tidak singkat, beberapa tahun, dia menulis otobiografinya, dia berhasil membangun sebuah vihara. Aduh, alangkah puasnya. Prestasi yang sangat besar, Saudara. Bayangkan, orang yang dimusuhi, dicurigai, sampai berhasil diterima oleh masyarakat itu dan membangun vihara yang besar.

Beberapa hari sebelum peresmian, Lama Zopa Rinpoche meminta bhikkhu itu pindah, ke negara lain. Pada saat peresmian, yang berdiri di podium memberikan sambutan bhikkhu lain. Kalau Saudara-Saudara dibegitukan, kira-kira bagaimana, Saudara? Mungkin Saudara akan menulis surat pembaca [tawa],

“Bhante ini, bhante itu, Bhante Pannavaro sewenang-wenang, tidak adil, tidak tahu jasa, tidak menghargai perjuangan muridnya, guru yang buruk!”

Apakah bhikkhu yang dipindahkan itu juga begitu? Ya, di dalam hati. Tetapi itulah, Saudara, cara seorang guru mengajar. Beberapa bulan kemudian, ia sangat bersujud kepada gurunya. “Kalau saya tidak dipindahkan, betapa besar ego/aku saya akan melambung, mungkin melebihi besarnya sang guru dan dunia ini.

Lalu apa yang didapatkan dengan praktik Dhamma? Kalau bukan memperkecil keakuan, malah memperbesar keakuan. Memperbesar keakuan berarti memperbesar penderitaan. Justru ajaran Guru Agung kita, dukkha-nirodha, melenyapkan penderitaan..”

Saya anjurkan para pemimpin, para Bhante yang ada di Bali mencoba seperti ini; coba, coba. Nanti kalau di sana, Gilimanuk sana, ada vihara yang diresmikan, tiga hari sebelum peresmian, orang-orang yang berdana, berjasa, singkirkan, panitia diganti, coba. [tawa & tepuk tangan]

Menghancurkan keakuan, menghancurkan penderitaan. Keakuan lahir, penderitaan lahir. Kebebasan adalah ekaraso, “Ayam dhamma-vinayo ekaraso vimuttiraso. Ajaranku ini mempunyai rasa yang satu, yang dangkal maupun yang dalam, ekaraso vimuttiraso, rasa kebebasan.” Terima kasih.




PENANYA (Toni):

Selamat malam, Namo Buddhaya. Yang saya hormati, Yang Mulia Bhikkhu, Bhante, kemudian selamat malam untuk Bapak Gede Prama. Pertanyaan saya berkaitan dengan kesedihan, kebahagiaan & kebebasan pada malam hari ini,

Saya seorang pekerja, juga pengusaha, saya tentunya ingin membuat suatu target mengenai kesuksesan usaha. Nah, di sini saya memiliki suatu kekuatiran akan kemelekatan terhadap target yang saya tetapkan.

Pertanyaan saya: apakah bila kita memiliki kesiapan mental, bahwa apa pun risiko yang kita terima atas konsekuensi kita membuat suatu target, kalau kita mampu maka kita akan mendatangkan kestabilan mental kita, dan kita akan tetap berbahagia. Sekian.



SRI PAÑÑAVARO:

Sdr Toni, saya akan memberi jawaban ini, jawaban untuk dua hal.

Yang pertama adalah terutama untuk Ibu, Bapak & Saudara yang berumah tangga. Apakah tidak boleh mempunyai target, entah di dunia usaha, sebagai pegawai, sebagai karyawan dsb. Mengapa tidak boleh?

Dalam bahasa Pali disebut sampajañña. Sampajañña artinya mempunyai pertimbangan yang lengkap, tidak sembrono. Karena tujuan-tujuan yang baik sekalipun, kalau ditetapkan dengan sembrono, tujuan yang baik itu akan menjadi sumber masalah, sumber penderitaan. Oleh karena itu, sebelum kita menentukan tujuan, membuat keputusan, membuat target, punyailah pertimbangan yang jelas, tidak sembrono, tidak ikut-ikutan.

Ada empat hal, tetapi secara garis besar ada tiga yang penting untuk Ibu, Bapak & Saudara. Saya senang dengan topik ini, dan sering kali, selain diuraikan, juga saya tulis. Tujuan, atau keputusan itu, atau target itu, yang pertama: tujuan atau target atau keputusan yang benar, sesuai dengan Dhamma, tidak merugikan orang lain, tidak merugikan dirinya sendiri, bermanfaat. Tetapi harus diingat, pertimbangan benar, baik, berguna saja tidak cukup.



Yang kedua adalah sappāya sampajañña, tujuan yang sudah dipertimbangkan bahwa tujuan itu memang baik, benar, berguna, pertimbangan yang kedua adalah tujuan atau target itu harus sesuai dengan takaran kita. Kita tidak bisa menakar persis kemampuan kita, kemampuan saya, tetapi saya bisa memperkirakan, kalau target seperti ini saya mampu atau tidak. Meskipun itu baik, berguna, kalau itu di luar kemampuan saya—bahasa masyarakat mengatakan, orang ini sangat ambisius—keserakahan ikut campur, karena keputusannya, targetnya tidak diputuskan, ditetapkan dengan wisdom, dengan kebijaksanaan.

Sampajañña adalah paññā in action. Kebijaksanaan itu dalam pelaksanaan sehari-hari—memutuskan pergi atau tidak, ikut seminar atau tidak, ikut menyumbang atau tidak, kontrak rumah lagi atau tidak, atau tidak kontrak rumah lagi melainkan membangun rumah kecil-kecilan, bekerja di sini atau pindah ke tempat lain dsb—itu semua membutuhkan keputusan, keputusan yang benar. Keputusan yang benar adalah keputusan yang tidak buruk, tidak merugikan dirinya, tidak merugikan orang lain, dan yang sesuai dengan takaran kemampuan kita. Kalau semua cita-cita, atau keputusan, atau rencana itu di luar kemampuan kita, keserakahan akan ikut berbicara. Dengan halus sekali keserakahan itu masuk, dan itu akan menghancurkan kita. Kita melakukan sesuatu yang sesungguhnya di luar kemampuan kita, tetapi kita paksakan. Karena apa? Karena keinginan yang meluap-luap.

Yang ketiga, kalau keputusan, kalau target itu memang suatu tujuan, suatu target yang baik, yang benar, yang berguna—baik, benar dan berguna ini satu kriteria, bukan tiga—yang kedua, sesuai dengan takaran, sappāya sampajañña, setelah sesuai dengan takaran, memang kita mampu—untuk kredit rumah setiap bulan kita harus membayar, misalnya, dua juta, mampu, karena gaji saya setiap bulan kurang lebih lima atau enam juta, maka kalau saya kredit rumah setiap bulan dua juta, mampu, dengan dua anak dan sebagainya. Tetapi kalau gajinya hanya dua juta per bulan, kemudian dia ingin membeli televisi yang seharga 50 juta, misalnya, dan itu harus cash, atau mungkin harus kredit, dan kreditnya itu tiap bulan cukup besar, tujuan untuk membeli televisi yang besar itu bukan kejahatan, tetapi di luar kemampuan, dan kalau di luar kemampuan, maka itu adalah lobha. Lobha akan memancing timbulnya bermacam-macam perilaku yang buruk.




Tetapi kalau itu sesuai dengan kemampuan kita, dengan kapasitas kita, maka yang ketiga adalah gocara sampajañña, konsisten. Kalau ngangsur rumah mampu, ya itu saja. Jangan ngangsur rumah iya, ngangsur mobil iya, ngangsur televisi iya, ngangsur motor iya, nanti semua angsuran tidak terbayar, dan semuanya terbengkalai. Karena apa? Tidak konsisten. Kalau memang Saudara sudah meletakkan target, dan target itu baik, sesuai dengan kemampuan, konsistenlah. Kalau Anda tertarik dengan yang lain, lain, lain, meskipun yang lain-lain itu bukan kejahatan, keserakahan akan berbicara. Dan kalau di luar target, di luar kemampuan kita, melebihi kapasitas kita, dan kemudian tidak tercapai, timbullah kejengkelan, kemarahan, kebencian.

Ini adalah jawaban yang pertama. Jadi, tidak ada yang melarang Anda mempunyai target. Ambillah target, tujuan atau keputusan pada tujuan atau target sesuatu yang baik, bukan yang buruk; itu yang pertama, disebut sātthaka sampajañña. Yang kedua sappāya sampajañña, sesuai dengan kapasitas kita, dengan kemampuan kita, dengan takaran kita. Yang ketiga gocara sampajañña, konsisten; setelah diputuskan, konsisten. Kalau Anda tidak konsisten, Anda akan menghancurkan target Anda sendiri.

“Kalau memang target itu bisa terpenuhi, Bhante, apakah itu tidak menimbulkan, tidak mendatangkan stabilitas mental—istilah Sdr Toni—bukankah itu ketenteraman, bukankah itu kebahagiaan?” – Ya, sementara! Tidak ada stabilitas mental, tidak ada ketenteraman, tidak ada kebahagiaan, yang Anda inginkan, yang kemudian Anda capai untuk selamanya. Mengapa? Karena ada ‘aku’, yang sudah mencapai.

Pencapaian? Ya. Tetapi sadarilah, kalau keakuan muncul, sadarilah. Sadari saja, tidak usah dimusuhi.

Tadi dikatakan, dalam istilah Tibet disebut rigpa. Kalau emosi yang negatif muncul, emosi yang positif muncul, keakuan muncul, kesombongan muncul, tidak usah dimusuhi, tidak usah diusir, tidak usah dianggap ini dosa, jelek, kotor, buruk, jorok; sadari saja, sadari saja, sadari saja. Maka dia akan kehilangan kekuatan untuk menghancurkan kita, akan kehilangan kekuatan untuk menghancurkan.

Saya kira itu kalimat yang lebih baik—tidak usah ditambah dengan “kita”. Menghancurkan siapa? Menghancurkan konsep ‘aku’. Selama Anda masih mempunyai konsep ‘aku’, Anda akan merasa hancur, merasa gagal, merasa tidak tercapai, merasa dan sebagainya.




Ibu, Bapak & Saudara,

Yang kedua, perlunya pertimbangan yang jelas, supaya target tidak menjadi ajang keserakahan, menuntut pemuasan. Sudah saya singgung sedikit, apa pun yang muncul, apakah itu sukses besar di luar target, sesuai target, atau tidak sesuai target, kalau tidak sesuai, akan muncul kecewa, muncul rasa tidak senang, muncul rasa gagal, “Aku tidak mampu, aku gagal, aku kecewa.”

Kalau sesuai dengan target, muncul “Aku puas, aku bahagia, aku berhasil.”

Nah, aku, aku, aku itu harus disadari.

Kalau dibiarkan—toh ini bukan jahat;

‘aku gagal’ memang aku gagal, ‘aku berhasil’ memang aku berhasil—kita biarkan saja,

tidak apa kalau memang Saudara tidak menginginkan kebebasan.

Tetapi kalau Saudara menginginkan kebebasan, mencabut penderitaan sampai ke akar-akarnya, supaya penderitaan tidak muncul, maka keakuan itu harus disadari.

Oleh karena itulah, kalau Saudara mulai duduk bermeditasi, disadari kadang-kadang secara jelas atau tidak disadari dengan jelas, timbul keinginan yang halus sekali, “Aku ingin tenang, aku ingin hening, aku ingin mencapai sesuatu, aku ingin bisa mencapai ñāṇa,”




Buang itu, Ibu, Bapak & Saudara. Itu adalah keinginan, keinginan yang muncul dari konsep ‘aku’.

“Aku ingin tenang, aku ingin hening, aku ingin tenteram, aku ingin tenang, aku ingin mencapai ñāṇa, aku ingin bebas dari penderitaan,”

Itu pun harus dibuang. Karena keinginan, keinginan, keinginan itu akan menimbulkan keakuan yang baru.

“Tetapi bagaimana cara yang benar, Bhante, kalau kita bermeditasi?”

Meditasi menyadari apa yang bisa disadari, selesai!

Pada saat Anda menyadari napas, sadarilah napas, baik di hidung, baik di perut.

Pada saat pikiran muncul, sadari; pada saat perasaan muncul, sadari.

Yang paling penting, Ibu, Bapak & Saudara, harus dimengerti dalam keseharian, kalau Ibu, Bapak & Saudara terlalu asyik bermeditasi setiap pagi atau setiap malam, menimbulkan keheningan, ketenteraman, kenyamanan, keheningan yang mendalam, itu akan menjadi ketagihan yang baru.

Lebih penting daripada memperhatikan napas kita, memperhatikan naik-turunnya perut kita, sebetulnya adalah menggunakan kesadaran, keawasan untuk mengawasi pikiran kita yang muncul sepanjang hari, dari kita membuka mata sampai kita tidur kembali.



Utamanya pikiran ‘aku’, ‘aku’, ‘aku’, ‘aku’…

“Dilawan, Bhante?” – Tidak!

“Diusir, Bhante?” – Sekali lagi, tidak!

“Direnung-renungkan, Bhante, ‘o, aku ini harus dibuang? - Tidak

"Pikiran aku juga harus dibuang?” – Tidak perlu!

Tidak perlu mengundang konsep, mengundang pengertian yang macam-macam; sadari saja.

“Tidak dikembangkan?” – Jelas tidak!

“Dihancurkan, dilawan?” – Jelas tidak!



Disadari saja! Jangan luput.

Ada satu kalimat yang amat bagus: Anda tidak perlu takut kalau pikiran aku,

pikiran jorok, pikiran kotor, pikiran serakah, ingatan buruk, ingatan baik, cita-cita baik, keinginan buruk, keinginan mulia, keinginan suci, keinginan tidak baik muncul,

jangan merasa tidak senang; kalau itu muncul, jangan marah, jangan merasa bersalah,

“Kok kenapa pikiran ini muncul terus; aku menjadi umat Buddha sudah lama, sepuluh tahun, dua puluh tahun lebih, mengapa pikiran yang buruk, yang jorok, yang tidak baik, hawa nafsu muncul terus, keakuan muncul terus.” – Jangan merasa kecil hati, jangan merasa kecewa.

Yang penting adalah, kita akan merasa rugi, atau merasa gagal, kalau itu muncul kita tidak aware,

kalau itu muncul kita tidak menyadari, apalagi membiarkan berkembang-biak.

“Tetapi sulit, Bhante, sulit kita menyadari.”




Memang sulit menyadari terus-menerus, tetapi berusahalah menyadari sebanyak mungkin, sejak kita bangun pagi sampai kita tidur kembali.

Keakuan tidak perlu diuarkan lewat mulut, tetapi keakuan yang muncul dalam pikiran itu harus disadari, tidak tenggelam dalam kenikmatan duduk bermeditasi menikmati ketenangan.

Tidak hanya tenggelam memerhatikan napas lewat hidung atau lewat perut, kemudian timbul ketenangan, keheningan, kekhusyukan. Tidak, tidak!

Yang sangat penting, lebih penting daripada memerhatikan jasmani kita, langkah kaki kita, napas kita, perut kita, adalah memperhatikan pada saat perasaan muncul.

Senang muncul diperhatikan, tidak senang muncul diperhatikan,

jenuh muncul diperhatikan, bosan muncul diperhatikan,

pikiran muncul juga diperhatikan.




Tidak dilawan, Ibu, Bapak & Saudara. Perhatikan saja!

Ada senang muncul, tidak ditolak, perhatikan;

ada rasa kecewa muncul, pikiran kecewa muncul, diperhatikan.

“Aku merasa puas karena program ini berhasil dengan baik,” perhatikan.

Timbul ingatan yang lampau, kejahatan yang pernah dilakukan, yang kotor, yang jorok muncul, merasa “Ooo. tidak senang,” perhatikan saja,

perhatikan saja. Jangan diladeni, tetapi juga jangan dilawan. Itulah vipassana,

dan itulah vipassana dalam keseharian. Bukan hanya sepuluh hari di vihara.

Bahkan ada orang yang bangga, “Eh, kamu ikut retret vipassana berapa kali? Dua kali?

Ah, baru dua kali; aku sudah sepuluh kali”; itu keakuan yang baru.

Keakuan baru yang timbul karena sudah berkali-kali ikut retret vipassana.




“Tetapi, Bhante, kalau pikiran-pikiran itu timbul, bagaimana? Saya memang tidak sampai mengucapkan.” – Kalau pikiran itu timbul, perhatikan saja:

“Aku merasa bangga karena punya kesempatan sudah lima belas kali ikut retret vipassana”; nah, nah, pikiran-pikiran aku muncul, perhatikan saja. Kalau tidak diperhatikan itu membuat latihan kita gagal.

Kita tidak menolak pikiran, perasaan apa pun, ingatan apa pun, yang buruk, yang jorok, yang jelek, yang kejam, yang suci. Perhatikan saja.

Tadi ada istilah lain: Yang suci, bukan; keinginan yang buruk, juga bukan.

Ingatan yang menyenangkan, bukan; ingatan yang pahit, juga bukan.

Kami mengatakan, kalau timbul ingatan yang buruk, meskipun kita tidak ingin mengingat itu, perhatikan saja.

Kalau timbul ingatan yang menyenangkan, meskipun kita tidak berusaha mengingat kembali, tiba-tiba muncul, perhatikan saja.




Kalau timbul cita-cita ingin menjadi arahat, ingin menjadi suci, perhatikan saja.

Kalau timbul keinginan untuk mencelakai yang lain, untuk menghancurkan yang lain, perhatikan saja.

Pada saat kita memerhatikan, perhatian itu menjadi kuat.

Pada saat kita memerhatikan, yang diperhatikan itu menjadi lemah.

Itulah cara untuk mengakhiri penderitaan.

Karena itu, saya ingin mengutip kalimat yang sangat baik,

Bhante Buddhadasa mengatakan: “Sakit adalah penderitaan, tua adalah penderitaan, mati adalah penderitaan.”




“Bukankah benar, Bhante?”

Benar, kalau ada konsep ‘aku’.

“Aku sekarang kok sakit, pegel linulah, rematiklah, inilah, punggunglah, boyok-lah.”

Pada saat timbul pikiran, “Aku sakit,” pada saat itu Anda menderita.

Kemudian timbul pikiran, “Oh, aku sekarang sudah tua, sudah kepala enam, sudah kepala tujuh, sudah tidak kuat lagi, sudah banyak loyonya.”

Pada saat timbul konsep “Aku, saya tua,” penderitaan mulai.

“Dan sebentar lagi aku akan mati,” penderitaan mulai.



Pada saat ‘aku’ tidak muncul, pada saat konsep “Aku sakit, aku tua, aku mati” tidak muncul,

“Bagaimana, Bhante, jika tidak muncul?” – Perhatikan pada saat aku itu muncul, maka tidak ada penderitaan.

Jadi, sakit tetap jalan, ya; tua tetap jalan, ya; mati tetap terjadi, pasti, tetapi tidak ada penderitaan.

Mengapa tidak ada penderitaan? Karena tidak ada konsep “Aku sakit, aku tua, aku mati.”

“Wah, ya sulit, Bhante, ‘aku sakit, aku tua, aku mati’ itu muncul, muncul, sering muncul.”

Tidak apa, Saudara, perhatikan kalau itu muncul, “O, pikiran ‘aku’ muncul, o pikiran ‘aku’ muncul’,

perhatikan saja. Jangan dibasmi, jangan dilawan, jangan diladeni, perhatikan saja.

Nanti ‘aku’ itu akan jarang muncul.

“Tetapi sakit ya tetap sakit, Bhante?” – Ya.



“Jadi tua akan tetap terus?” – Ya. – “Mati akan tetap terjadi?” – Pasti.

Tetapi tidak ada penderitaan, karena ‘aku yang sakit’ tidak ada,

‘aku yang menjadi tua’ tidak ada,

pikiran ‘aku yang mati’ tidak ada.

Siapa yang menderita? Tidak ada yang menderita.



Dalam bahasa Inggris ada kalimat yang baik, yang sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia,

“Bhante, kalau kami di-cablek, kalau kami jatuh, tibo, babak, berdarah, apakah tidak loro, tidak sakit?”

Ya. Pain, tetapi tidak suffering. Sakit, tetapi tidak menderita.

Karena begitu pikiran muncul “Aku jatuh”, cepat-cepat aku ngonangi, “Eee, aku muncul,” maka aku akan lenyap.

Babak tetap babak, sakit tetap sakit, keluar darah tetap keluar darah, perih tetapi perih, tetapi tidak menderita, karena konsep ‘aku’ kita awasi dengan kesadaran.

Ada kesakitan, ya; ada ketuaan, ya; ada kematian, ya; ada penderitaan, tidak!
Karena tidak ada ‘aku’ yang menderita. Sadarilah kalau keakuan itu muncul.


https://www.facebook.com/BuddhistIndonesia



No comments:

Post a Comment