TERGELINCIR DALAM BATIN
YANG RAPUH
Atapino samvegino bhavatha,
saddhaya silena ca viriyena ca
Samadhina dhammavinicchayena ca,
sampannavijjacarana patissata
Pahassatha dukkhamidam anappakam,
asso yatha bhadro kasanivittho.
Seseorang yang
menyesali kekeliruannya, penuh semangat, penuh bakti, selalu disiplin, selalu
tekun dengan ketenangan batin. Meneliti pengalaman hidup sebelumnya, memiliki
kesadaran yang terlatih baik, melalui mawas diri, akhirnya ia dapat melepaskan
diri dari penderitaan yang tidak ringan ini seperti seekor kuda yang terlatih
dengan pukulan cemeti.
(Danda Vagga, Syair
Dhammapada 144)
Pernahkah anda melakukan kesalahan ?
Jujur, bahwa kita pernah melakukan kesalahan. Dari kesalahan yang kecil sampai
kesalahan yang besar. Pernah juga ada yang bertanya, “Mengapa ada orang yang
secara ilmu agama piawai tetapi masih melakukan kesalahan ?” Berbicara mengenai
kesalahan tentu tidak dapat dipisahkan dari batin yang kita nodai sendiri.
Batin yang ternodai inilah yang sebenernya sumber dari kejahatan yang kita lakukan.
Sekarang yang akan saya tanyakan; “Bagaimanakah cara kita untuk menghindari
kesalahan?”
Perasaan bersalah sebenernya
suatu bentuk perasaan yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan karena
mengetahui atau mempercayai bahwa seseorang telah melakukan suatu kesalahan.
Kata bersalah dalam bahasa asing disebut
dengan kata “guilt” berasal
dari kata Anglo-Saxon “gylt” yang
berarti “menyerang”. Dalam beberapa agama, perasaan bersalah digunakan sebagai
alat untuk mengendalikan perilaku orang dan sebagian hukuman yang pantas bagi
perilaku bersalah. Setiap perilaku salah tentu kita ingin menghindari kesalahan
tersebut, namun kesalahan ini tetap dilakukan.
Manusia seringkali tergelincir
dalam kehidupan yang tidak benar, batin yang ternodai cenderung lebih kuat
dibandingkan dengan kewaspadaan atau kehati-hatian karakter di dalam diri kita.
Manusia yang lengah akan mudah dalam melakukan kesalahan, namun manusia
yang sudah sangat berhati-hati dalam kehidupan ini tetapi karena batin yang
masih ternodai akan lebih kuat dan akibatnya kesalahan pun tidak bisa
dihindari. Seringkali kita hanya bisa melihat kesalahan orang lain dan jarang
sekali melihat kesalahan diri sendiri. Sebagai contoh, ketika orang lain salah
yang ada di benak kita hanya pikiran negative tanpa kita pernah berpikir, “Kenapa
orang itu melakukan kesalahan”. Jika pikiran semacam itu yang ada pada diri
kita. Kesalahan bisa dilakukan oleh siapa saja bahkan diri kita juga bisa
melakukan kesalahan. Setiap manusia tentu berharap agar hidupnya selalu lurus
dan tidak melakukan kesalahan. Alhasil yang terkadang muncul manusia seringkali
tergelincir. Selama pikiran kita masih ternodai oleh noda batin, maka kesalahan
akan selalu terus dilakukan.
Jika manusia tidak berhati-hati,
maka mudah tergelincir dan akan jatuh dalam keterpurukan. Lalu, bagaimanakah
cara kita untuk terhindar dari kesalahan? Dalam Psikologi Buddhist, rasa
bersalah merupakan suatu akibat dari perbuatan di massa lalu bukan berfokus
pada saat ini dan sekarang. Walaupun demikian, Guru Buddha berkata bahwa
perasaan malu (hiri) dan menghargai
diri sendiri (ottappa) terkadang
dapat membantu sebagai faktor pengendalian diri (A.I, 51) bagi seseorang yang belum mengembangkan kematangan
kualitas spiritual, rasa malu (terhadap pendapat orang lain) dan menghargai
diri sendiri (berkaitan dengan pendapat seseorang tentang dirinya) dapat
memberikan suatu motivasi tambahan untuk menghindari yang salah dan melakukan
yang baik.
Kesalahan tidak luput dari batin
yang masih ternodai di dalam diri kita.
Masing-masing dari api keserakahan, kebencian dan kegelapan batin yang akan
terus mendorong dan membakar manusia setiap saat. Tidak heran jika ada orang
besar dan terhormat bisa melakukan kesalahan, kenapa? Karena api yang ada di
dalam diri seseorang tersebut belum bersih total sehingga membuat setiap orang
mudah tergelincir. Mengapa ini terjadi? Semua yang terjadi karena manusia masih
kurang dalam latihan. Manusia sering melupakankebutuhan batiniha, padahal
kebutuhan ini sangat penting untuk membuat batin ini menjadi awas.
Setiap manusia seringkali
terjebak pada kenikmatan dan kebahagiaan sesaat (duniawi) dan menganggapnya
sebagai suatu kebahagiaan yang tinggi. Bukan berarti Dhamma mengajaka kita
untuk menghindari materi. Materi merupakan kebutuhan dan penunjang kehidupan
ini. Materi merupakan alat untuk menuju tercapainya kebahagiaan, baik itu
kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan batiniah. Ketika materi bisa dinikmati,
maka akan muncul kebahagiaan batiniah.
Di dalam diri setiap orang tentu
kesalahan disebut sebagai perasaan yang tidak menyenangi orang lain jika ia
berbuat salah. Perasaan tersebut dikatakan sbeagai anittharammana. Ketika perasaan tidak menyukai atau menyenangi
orang tersebut, akan menimbulkan ketidakpuasan yang disebut sebagai perasaan
tidak bahagia (Domanassa). Setiap
orang yang memiliki kesalahan maka perasaan yang timbul bukan perasaan bahagia
(somanassa). Ketika batin yang rapuh
dari perasaan bahagia (somanassa)
yang ada di dalam dirinya akan muncul perasaan yang tidak disukai karena
kurangnya pengendalian dalam dirinya. Makanya di dalam Dhamma dikatakan ,
mereka yang memiliki kekayaan batin akan selalu tenang (passaddhi) dan seimbang
dan netral (upekkha).
Seperti yang tertulis di dalam Anguttara Nikaya 82:1 mengenai batin
yang rapuh disebabkan oelh kelengahan dan akan menimbulkan bahaya yang besar
akibat batin kita yang lengah. Bahaya yang besar dari kelengahan salah satunya
diakibatkan karena kurangnya kewaspadaan. Kewaspadaan yang dimaksud ialah
ketika kita mengalami suatu kesalahan bisa disebabkan oleh adanya kemalasan di
dalam diri kita sehingga kurangnya suatu kegigihan, adanya hasrat atau
keinginan yang kuat padahal dianjurkan sedikit keinginan akan bahagia. Adanya
ketidakpuasan terhadap apa yang kita miliki, kurangnya pengamatan, dan
pemahaman terhadap kebaikan orang lain terhadap kita, dan tidak adanya
kecocokan dalam pertemanna sehingga menjadi musuh dalam keseharian kita.
Pengertian semacam ini harus dimunculkan agar kebutuhan batiniha setiap orang
tidak terus dilupakan. Jika dilupakan maka setiap manusia di dunia ini akan
selalu tergelincir dalam khidupan ini dan kesalahan akan mudah untuk terus
dilakukan. Meskipun adanya dorongan yang kuat dalam kehidupan kita yang kita
ketahui sebagai keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.
Ketiga api inilah yang akan membawa
manusia terperosot ke dalam jurang penderitaan mental. Agar batin kita tidak
mudah rapuh, cobalah dan berusahalan terus untuk tidak melupakan kebutuhan
batiniah, dan teruslah berjuang untuk membawa batin agar tetap awas.
Kualitas manusia ditentukan oleh
perilakunya. Perilaku manusia akan menjadi beragam dan sepadan dengan latihan
yang dilakukan. Semakin kuat manusia dalam mempraktikkan Dhamma maka ia akan
memiliki kualitas batin yang semakin kuat. Sebaliknya jika dalam praktik Dhamma
seseorang tidak kuat maka kualitas batin orag tersebut akan semakin merosot dan
memburuk. Seseorang yang mantap dalam latihannya maka pikirannya tidak akan
kotor, ucapan buruk tidak akan terlontarkan, dan jasmaninya pun akan tetap terkendali baik di pagi hari,
siang maupun malam hari. Seseorang tidak ada yang bersalah jika dalam
kesehariannya melakukan kebaikan dan memulainya terlebih dahulu untuk membuat
orang lain bahagia.
Ceramah Dhamma oleh : Bhikkhu
Gunaseno , hari Minggu tanggal 10 Januari 2016
Sumber : Berita Dhammacakka No.
1122 tanggal 10 Januari 2016
No comments:
Post a Comment