SEHAT LUAR DAN DALAM
Arogya parama laba, Santutthi paramam dhanam
Vissasa parama nati, Nibbanam parmaam sukham'ti.
Kesehatan adalah keuntungan terbesar. Merasa puas adalah kekayaan paling berharga.
Dipercaya adalah sanak keluarga yang terbaik. Nibbana adalah kebahagiaan yang tertinggi
(Dhammapada syair 204)
Sakit adalah hal yang sukar diterima oleh semua mahluk hidup dan tidak ada pengecualian selain orang-orang yang memiliki kebijaksanaan. Dalam hal yang sederhana hingga ke hal yang sulit sekalipun, rasa sakit itu seakan-akan membuat menderita. Kesehatan dari jasmani dan batin itulah yang sukar diperoleh, namun juga tidak sulit untuk didapat. Hidup sebagai manusia tidak semudah yang dibayangkan, bahagia, gembira setiap waktu dan bebas dari penderitaan fisik maupun batin.
Dalam Dhamma dijelaskan, hidup ini tidak pasti dan selalu berubah oleh karena itu kesehatan jasmani dan batin itu penting untuk kita jaga dan kita rawat. Maka dari itu sebelum sakit atau penderitaan itu terkondisi dan muncul kita harus berusaha mencegah sejak dini, alangkah lebih baik mencegah sakit itu datang daripada sudah sakit baru berobat, artinya adalah lebih baik mencegah daripada berobat. Andaikan saja kita sudah sakit, lekaslah kita segera berobat sebelum sakit itu semakin parah.
Dalam Anguttara Nikaya, Sang Buddha memberikan lima uraian atau hal - hal yang akan menjamin kesehatan batin dan jasmani, mengkondisikan timbulnya suatu kebahagiaan dalam hidup ini. Kelima uraian tersebut adalah :
1) Sappayakari yaitu kita mengetahui cara menyenangkan atau menenangkan batin, membuat batin senantiasa santai, rileks , tidak tegang. Demikian pula dengan keadaan batin yang tidak seimbang, selalu membuat ketegangan. Ada tiga penyakit batin yang berbahaya yaitu; Pertama adalah serakah, keinginan yang tidak bisa dibendung selalu melekat dengan hal-hal yang membuat penderitaan itu muncul. Kedua adalah kebencian yang terus membara, terus bergejolak, merasa tidak nyaman dengan hidupnya, ketika hal yang tidak menyenangkan muncul timbul amarah yang tidak terhingga. Sebagai contoh, ketika dicacimaki, dihina, difitnah, dijelek-jelekkan di depan orang banyak, inilah, itulah, dan seterusnya. Batin yang belum siap menerima akan selalu berontak, marah , dan hal buruk pun muncul dalam batin. Ketiga, adalah ego atau keakuan, muncul karena ada ancaman mental dari dalam. Ketiga penyakit tersebut harus kita sembuhkan, kita jaga diri kita dengan cara bermeditasi, dan mawas diri dengan benar, hingga akhirnya penyakit batin akan berkurang dan sembuh.
2) Sappaye Mattannuta yaitu mengetahui cara memilih atau menyaring keinginan , tidak semua keinginan harus dituruti. Ada dua jenis keinginan yang membedakan antara keinginan yang baik dan keinginan yang tidak baik. Tanha adalah keinginan yang bersifat negatif, selalu kurang , dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperoleh. Sedangkan Chanda adalah keinginan yang baik dan positif dalam langkah dan tindakan dalam memilih suatu keinginan, pada saat kita punya keinginan yang harus kita dapat. Jika kita tidak mendapat apa yang kita inginkan, maka tidaklah timbul hal-hal yang negatif, marah dengan orang lain, iri hati, dan tidak melampiaskan amarah. Akan tetapi merasa puas dengan apa yang dimiliki santutthi, jika kita memiliki sedikit keinginan maka sedikit pula masalah yang ada dalam hidup ini, puas dan cukup selalu bersyukur.
3) Parinatabhojji adalah kita mengetahui makanan atau minuman yang cocok atau sesuai dengan badan kita. Jika memiliki suatu penyakit yang dikatakan penyakit membahayakan, maka kita harus ingat dengan pola makan, menjaga supaya penyakit yang ada tidak semakin parah. Bagi yang belum terjangkit penyakit adalah suatu renungan untuk selalu mengkonsumsi makanan yang sehat. Tujuan makan sejatinya bukan untuk kesenangan tetapi untuk menjaga berlangsungnya tubuh ini, dimana penyakit jasmani ini akan menimbulkan penderitaan baru yang bisa merusak suasana gembira. Kegembiraan akan hilang jika penderitaa yang tidak diharapkan datang secara tiba-tiba.
4) Kalacari yaitu kita mengetahui cara mempergunakna waktu dengan sebaik mungkin Jangan biarkan waktu mengatur kita tetapi kita sendirilah yang mengatur waktu itu, dengan tujuan membawa manfaat untuk diri sendiri maupun orang lain. Beberapa contoh penggunaan waktu;
a. Waktu untuk diri sendiri digunakan untuk kepentingan pribadi seperti makan, istirahat, dan lain-lain.
b. Waktu untuk keluarga adalah saat kebersamana dengan orangtua, anak , istri, suami, mertua dan semua keluarga yang menjadi kerabat.
c. Waktu untuk sosial atau bermasyarakat dengan lingkungan, semua saling menolong dan membantu satu sama lainnya. Sebagai contoh bergotong royong, kerja bakti dan menjaga hubungan yang baik.
d. Waktu untuk spiritual, datang ke vihara melakukan kebajikan, melaksanakan sila, samadhi, panna dengan baik.
5) Brahmacari yaitu kita mengetahui cara mengendalikan nafsu indria yang muncul dan menyelimuti keinginan untuk terus mengejar dan mendapatkan.
a. Pada saat mencium bau yang tidak sedap yang tidak diinginkan , maka tugas kita untuk bisa mengendalikan, dan jika bau yang sedap muncul ingat hanya sekadar membau.
b. Mendengar suara yang tidak merdu juga pengendalian, demikian pula suara yang membuai hati.
c. Lidah yang merasakan rasa yang tidak enak juga belajar mengendalikannya, begitu pula dengan rasa yang enak.
d. Pada saat mata kontak dengan objek tidak menyenangkan kita belajar mengendalikan, sama halnya dengan yang menyenangkan sekalipun.
e. Kulit bersentuhan dengan yang menyenangkan ataupun yang tidak adalah kita masih belajar mengendalikan.
f. Bentuk-bentuk pikrian kita yang menyenangkan dan tidak menyenangkan itulah yang sesaat membuat terlena dan pada akhirnya muncul derita baru.
Keenam indria inilah yang harus kita kendalikan , agar tidak muncul derita baru, dan perasaan yang tidak nyaman akan berkurang.
Kelima uraian tersebut terdapat dalam Anguttara Nikaya yang dibabarkan oleh Sang Buddha, sangat bermanfaat tentunya untuk hidup dalam kesehatan batin dan jasmani. Kesehatan itu sangat mahal jika kita nilai dengan mata uang, akan tetapi mata uang itu belum tentu bisa membeli sebuah kesehatan dari dalam dan luar.
Ceramah oleh : Bhikhu Silayatano , hari Minggu tanggal 24 Januari 2016
Sumber : Berita Dhammacakka No. 1124
Bagi Kalian yang ingin mendapatkan uang dari blog kalian, klik di sini Menjadi Publisher
Pasang Iklan Di Sini
Sunday, January 31, 2016
Friday, January 15, 2016
TERGELINCIR DALAM BATIN YANG RAPUH
TERGELINCIR DALAM BATIN
YANG RAPUH
Atapino samvegino bhavatha,
saddhaya silena ca viriyena ca
Samadhina dhammavinicchayena ca,
sampannavijjacarana patissata
Pahassatha dukkhamidam anappakam,
asso yatha bhadro kasanivittho.
Seseorang yang
menyesali kekeliruannya, penuh semangat, penuh bakti, selalu disiplin, selalu
tekun dengan ketenangan batin. Meneliti pengalaman hidup sebelumnya, memiliki
kesadaran yang terlatih baik, melalui mawas diri, akhirnya ia dapat melepaskan
diri dari penderitaan yang tidak ringan ini seperti seekor kuda yang terlatih
dengan pukulan cemeti.
(Danda Vagga, Syair
Dhammapada 144)
Pernahkah anda melakukan kesalahan ?
Jujur, bahwa kita pernah melakukan kesalahan. Dari kesalahan yang kecil sampai
kesalahan yang besar. Pernah juga ada yang bertanya, “Mengapa ada orang yang
secara ilmu agama piawai tetapi masih melakukan kesalahan ?” Berbicara mengenai
kesalahan tentu tidak dapat dipisahkan dari batin yang kita nodai sendiri.
Batin yang ternodai inilah yang sebenernya sumber dari kejahatan yang kita lakukan.
Sekarang yang akan saya tanyakan; “Bagaimanakah cara kita untuk menghindari
kesalahan?”
Perasaan bersalah sebenernya
suatu bentuk perasaan yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan karena
mengetahui atau mempercayai bahwa seseorang telah melakukan suatu kesalahan.
Kata bersalah dalam bahasa asing disebut
dengan kata “guilt” berasal
dari kata Anglo-Saxon “gylt” yang
berarti “menyerang”. Dalam beberapa agama, perasaan bersalah digunakan sebagai
alat untuk mengendalikan perilaku orang dan sebagian hukuman yang pantas bagi
perilaku bersalah. Setiap perilaku salah tentu kita ingin menghindari kesalahan
tersebut, namun kesalahan ini tetap dilakukan.
Manusia seringkali tergelincir
dalam kehidupan yang tidak benar, batin yang ternodai cenderung lebih kuat
dibandingkan dengan kewaspadaan atau kehati-hatian karakter di dalam diri kita.
Manusia yang lengah akan mudah dalam melakukan kesalahan, namun manusia
yang sudah sangat berhati-hati dalam kehidupan ini tetapi karena batin yang
masih ternodai akan lebih kuat dan akibatnya kesalahan pun tidak bisa
dihindari. Seringkali kita hanya bisa melihat kesalahan orang lain dan jarang
sekali melihat kesalahan diri sendiri. Sebagai contoh, ketika orang lain salah
yang ada di benak kita hanya pikiran negative tanpa kita pernah berpikir, “Kenapa
orang itu melakukan kesalahan”. Jika pikiran semacam itu yang ada pada diri
kita. Kesalahan bisa dilakukan oleh siapa saja bahkan diri kita juga bisa
melakukan kesalahan. Setiap manusia tentu berharap agar hidupnya selalu lurus
dan tidak melakukan kesalahan. Alhasil yang terkadang muncul manusia seringkali
tergelincir. Selama pikiran kita masih ternodai oleh noda batin, maka kesalahan
akan selalu terus dilakukan.
Jika manusia tidak berhati-hati,
maka mudah tergelincir dan akan jatuh dalam keterpurukan. Lalu, bagaimanakah
cara kita untuk terhindar dari kesalahan? Dalam Psikologi Buddhist, rasa
bersalah merupakan suatu akibat dari perbuatan di massa lalu bukan berfokus
pada saat ini dan sekarang. Walaupun demikian, Guru Buddha berkata bahwa
perasaan malu (hiri) dan menghargai
diri sendiri (ottappa) terkadang
dapat membantu sebagai faktor pengendalian diri (A.I, 51) bagi seseorang yang belum mengembangkan kematangan
kualitas spiritual, rasa malu (terhadap pendapat orang lain) dan menghargai
diri sendiri (berkaitan dengan pendapat seseorang tentang dirinya) dapat
memberikan suatu motivasi tambahan untuk menghindari yang salah dan melakukan
yang baik.
Kesalahan tidak luput dari batin
yang masih ternodai di dalam diri kita.
Masing-masing dari api keserakahan, kebencian dan kegelapan batin yang akan
terus mendorong dan membakar manusia setiap saat. Tidak heran jika ada orang
besar dan terhormat bisa melakukan kesalahan, kenapa? Karena api yang ada di
dalam diri seseorang tersebut belum bersih total sehingga membuat setiap orang
mudah tergelincir. Mengapa ini terjadi? Semua yang terjadi karena manusia masih
kurang dalam latihan. Manusia sering melupakankebutuhan batiniha, padahal
kebutuhan ini sangat penting untuk membuat batin ini menjadi awas.
Setiap manusia seringkali
terjebak pada kenikmatan dan kebahagiaan sesaat (duniawi) dan menganggapnya
sebagai suatu kebahagiaan yang tinggi. Bukan berarti Dhamma mengajaka kita
untuk menghindari materi. Materi merupakan kebutuhan dan penunjang kehidupan
ini. Materi merupakan alat untuk menuju tercapainya kebahagiaan, baik itu
kebahagiaan duniawi maupun kebahagiaan batiniah. Ketika materi bisa dinikmati,
maka akan muncul kebahagiaan batiniah.
Di dalam diri setiap orang tentu
kesalahan disebut sebagai perasaan yang tidak menyenangi orang lain jika ia
berbuat salah. Perasaan tersebut dikatakan sbeagai anittharammana. Ketika perasaan tidak menyukai atau menyenangi
orang tersebut, akan menimbulkan ketidakpuasan yang disebut sebagai perasaan
tidak bahagia (Domanassa). Setiap
orang yang memiliki kesalahan maka perasaan yang timbul bukan perasaan bahagia
(somanassa). Ketika batin yang rapuh
dari perasaan bahagia (somanassa)
yang ada di dalam dirinya akan muncul perasaan yang tidak disukai karena
kurangnya pengendalian dalam dirinya. Makanya di dalam Dhamma dikatakan ,
mereka yang memiliki kekayaan batin akan selalu tenang (passaddhi) dan seimbang
dan netral (upekkha).
Seperti yang tertulis di dalam Anguttara Nikaya 82:1 mengenai batin
yang rapuh disebabkan oelh kelengahan dan akan menimbulkan bahaya yang besar
akibat batin kita yang lengah. Bahaya yang besar dari kelengahan salah satunya
diakibatkan karena kurangnya kewaspadaan. Kewaspadaan yang dimaksud ialah
ketika kita mengalami suatu kesalahan bisa disebabkan oleh adanya kemalasan di
dalam diri kita sehingga kurangnya suatu kegigihan, adanya hasrat atau
keinginan yang kuat padahal dianjurkan sedikit keinginan akan bahagia. Adanya
ketidakpuasan terhadap apa yang kita miliki, kurangnya pengamatan, dan
pemahaman terhadap kebaikan orang lain terhadap kita, dan tidak adanya
kecocokan dalam pertemanna sehingga menjadi musuh dalam keseharian kita.
Pengertian semacam ini harus dimunculkan agar kebutuhan batiniha setiap orang
tidak terus dilupakan. Jika dilupakan maka setiap manusia di dunia ini akan
selalu tergelincir dalam khidupan ini dan kesalahan akan mudah untuk terus
dilakukan. Meskipun adanya dorongan yang kuat dalam kehidupan kita yang kita
ketahui sebagai keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.
Ketiga api inilah yang akan membawa
manusia terperosot ke dalam jurang penderitaan mental. Agar batin kita tidak
mudah rapuh, cobalah dan berusahalan terus untuk tidak melupakan kebutuhan
batiniah, dan teruslah berjuang untuk membawa batin agar tetap awas.
Kualitas manusia ditentukan oleh
perilakunya. Perilaku manusia akan menjadi beragam dan sepadan dengan latihan
yang dilakukan. Semakin kuat manusia dalam mempraktikkan Dhamma maka ia akan
memiliki kualitas batin yang semakin kuat. Sebaliknya jika dalam praktik Dhamma
seseorang tidak kuat maka kualitas batin orag tersebut akan semakin merosot dan
memburuk. Seseorang yang mantap dalam latihannya maka pikirannya tidak akan
kotor, ucapan buruk tidak akan terlontarkan, dan jasmaninya pun akan tetap terkendali baik di pagi hari,
siang maupun malam hari. Seseorang tidak ada yang bersalah jika dalam
kesehariannya melakukan kebaikan dan memulainya terlebih dahulu untuk membuat
orang lain bahagia.
Ceramah Dhamma oleh : Bhikkhu
Gunaseno , hari Minggu tanggal 10 Januari 2016
Sumber : Berita Dhammacakka No.
1122 tanggal 10 Januari 2016
Sunday, January 3, 2016
MANUSIA SAMPAH
MANUSIA SAMPAH
Kayappakopam rakkheyya, kayena
samvuto siya
Kayaduccaritam hitva, kayena
sucaritam care.
Janganlah menggunakan kekerasan fisik, sebagai lanjutan dari ledakan
emosi.
Kendalikan perbuatan melalui badan jasmani, janganlah melakukan
kejahatan dengan badan jasmani, berbuatlah kebajikan dengan badan jasmani.
(Dhammapada Kodha Vagga: 231)
Pandangan Umum
Manusia sampah adalah manusia yang
perilakunya jauh dari moralitas. Istilah lain adalah orang yang merosot
moralnya. Mereka lebih cenderung selalu melakukan tindakan kejahatan kepada
orang lain. Sifat buruk seperti menebar ketakutan kepada orang lain dikenal
dengan sebutan “Terroris”. Teroris merupakan suatu kumpulan orang yang tidak
bermoral dengan memiliki paham untuk menghancurkan orang lain demi mencapai
tujuan yang diharapkan. Namun, kita hanya akan membahas secara global sifat
buruk yang dimiliki manusia. Terkait dengan isi Dhammapada Kodha Vagga: 231,
tidak sedikit orang apabila marah kekuatan fisik akan menjadi kekuatan untuk
meluaokan emosinya. Hal itupun membuat orang lain menjadi takut, tidak nyaman
bersahabat dengannya.
Pandangan keliru itulah yang sangat
berbahaya apabila tidak diakhiri. Buddha menjelaskan dalam Anguttara Nikaya I: 17; “Bagi seseorang yang berpandangan salah melalui
jasmani, ucapan, dan pikiran. Ketiga hal itu pula akan dilakukan dengan
pandangan, kehendak, hasrat, harapan, serta bentukan. Semua yang muncul adalah
hal yang tidak dikehendaki dan membawa pada keinginan dan penderitaan, karena
pandangan buruk tersebut.”
Pandangan Buddhis tentang Manusia
A.
Empat
kondisi yang sulit diperoleh guna mencapai Dhamma
Guru Agung pernah mengajarkan Dhamma,
bahwa kehidupan manusia yang telah diperoleh saat ini adalah yang terbaik dan
termulia. Sebab empat hal yang teramat jarang telah tercapai sekaligus. Buddha
pernah menjelaskan hal ini dalam kitab komentar Dhammapada 182. Buddha menjelaskan tentang empat hal tersebut
kepada Erakapatta sang Raja Naga,
bahwa mereka yang terlahir menjadi seekor hewan tidak dapat mencapai tingkat
kesucian Sottapatti. Empat kondisi itu
adalah :
1.
Sangat sulit untuk menjadi manusia;
2.
Sangat sulit untuk bertahan hidup;
3.
Sangat sulit untuk mendengarkan Dhamma mulia
untuk merealisasi Nibbana;
4.
Sangat sulit berada dalam Buddha Sasana.
B.
Tipe
Manusia Menurut Dhamma
Manusia berasal dari kata Mano yang memiliki pengertian pikiran,
kesadaran atau dalam hal ini adalah batin dan Ussa memiliki pengertian yang telah maju atau berkembang dan maju.
Manusia dalam pandangan agama Buddha dapat dibedakan menjadi empat tipe:
1.
Manusia binatang
Ciri khasnya manusia ini adalah dipenuhi dengan
kebodohan batin (moha), tidak dapat
membedakan amna yang baik dan buruk, pantas, tidak pantas. Tidak berbakti pada
orangtua, keras hati, sombong, hanya menuruti hawa nafsu keinginan.
2.
Manusia setan
Ciri khasnya manusia ini adalah selalu diliputi oleh
keserakahan (lobha), kikir, tidak
pernah puas, hanya emmikirkan keuntungan diri sendiri, tidak mengenal kebaikan,
senang memuaskan nafsu inderanya saja.
3.
Manusia seutuhnya
Ciri khasnya orang ini adlaah senang membantu orang
lain yang menderita, tidak kikir, memiliki hiri
dan ottapa, hidup yang berpedoman
kepada Dhamma.
4.
Manusia Dewa
Manusia ini selalu suka membantu orang lain yang
menderita , memiliki pengendalian diri (sila),
metta, karuna, mudita, upekkha, panna yang sangat kuat.
C.
Manusia
Sampah
Buddha
menjelaskan tentang manuia sampah dalam Vasala-Sutta;
Sutta Nipata , yaitu kepada Brahmana
Aggika-Baradvaja salah satunya adalah:
(1.) “Siapapun yang marah, niat buruk, berpikiran
jahat, dan iri hati, pandangan salah, tipu muslihat, dialah disebut sampah.”
(2.) “Siapapun yang merusak atau agresif (suka
menyerang) di kota dan didesa dikenal sebagai perusak atau penjahat yang kejam,
dialah disebut sampah.”
(3.) “Siapapun yang tidak menyokong ayah atau
ibunya, yang sudah tua dan lemah, padahal dia hidup dalam keadaan berkecukupan,
dial ah disebut sampah.”
Sumber : Berita Dhammacakka No. 1191
Subscribe to:
Posts (Atom)