Pasang Iklan Di Sini

Friday, April 20, 2012

Pengertian Dana Dalam Kitab Suci Tripitaka


DIBUTUHKAN SEGERA KARYAWAN UNTUK MENJAGA TOKO PRIA / WANITA MINIMAL LULUSAN SMP
KIRIM CV KE ALAMAT EMAIL :
ricky_kurniawan02@yahoo.com
PALING LAMBAT TANGGAL 31 MARET 2015


======================================================
Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram   = Rp. 8.000,-
2. 250 gram   = Rp. 10.000,-
3. 500 gram   = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-

Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a


PENGERTIAN DANA DALAM KITAB SUCI TRI PITAKA
A. Pengantar

Terkadang kita mendengar kata berdana atau menyumbang, bagi sebagian besar orang masih merupakan hal yang terkadang menjengkelkan. Anggapan berdana hanyalah hal yang sia-sia, tidak ada manfaatnya sama sekali serta merupakan bentuk kerugian belaka, membuat orang yang akan berdana berpikir seribu kali dan berdana tidak iklas. Dan kekurang-pengertian tentang berdabna membuat kita ragu, tidak terarah dalam berdana sehingga tidak meberikan manfaat yang optimal.

Semua mahluk ingin hidup bahagia, untuk itu kita harus banyak berbuat baik. Cara pertama kita berbuat baik adalah berdana. Berdana dengan pengertian yang benar, yaitu, mengerti bahwa berdana itu merupakan perbuatan baik, akan lebih memberikan makna daripada berdana tanpa pengertian yang benar.

Orang yang berdana dengan pengertian benar, bahwa perbuatannya tersebut akan memberikan manfaat yang besar dan dapat membantu dalam membersihkan batin mereka, akan lebih bermanfaat bagi mereka dan lebih memacu untuk berbuat baik sebanyak mungkin dalam kehidupan ini.

Sebetulnya berdana merupakan kebajikan yang paling mudah dilaksanakan oleh siapa juga, baik seorang yang super sibuk, atau bahkan seorang penjahat sekalipun kalau mau bisa melakukannya. Kebajikan bukan untuk orang tertentu saja, akan tetapi bagi siapa pun juga yang mau melakukan perbuatan baik.

Berdana adalah suatu pemberian, baik materi, uang, tenaga, perlindungan, rasa aman, pikiran ataupun nasehat kepada seseorang atau organesasi yang membutuhkan secara suka rela tanpa paksaan dan tidak mengharap imbalan. Berdana adalah berkorban. Dalam agama Buddha berdana bukanlah suatu hal yang harus atau diwajibkan, tetapi berdana merupakan dasar dari kesadaran dan pengertian si pemberi itu sendiri. Dana dapatlah diartikan sebagai pemberian sedekah, yang mengingatkan kita pada pemberian kepada orang miskin atau orang yang berada pada keadaan yang patut untuk dibantu. Namun dalam ajaran agama Buddha, dana mempunyai arti yang lebih kepada si miskin maupun si kaya, baik sokongan atau persembahan.



B. Macam – MacamDana

Dana dapat di golongkan dengan berbagai macam yaitu, (1)Amise dana adalah dana yang diberikan dalam bentuk materi, seperti uang, makanan, pakaian, obat-obatan dan lainya. Amise dana adalah perbuatan baik untuk membantu mereka yang membutuhkan seperti korban bencana alam, kelapar, kebakaran, dan lainya. (2) Dhammadana adalah perbuatan baik atau pengorbanan yang di berikan dengan memberikan penerangan, khotbah, ceramah atau mengajar Dhamma kepada seseorang atau orang banyak. Dana Dhamma ini adalah amal kebajikan yang paling tinggi dan besar manfaatnya. (3) Mahatidana adalah bentuk pengorbanan yang besar untuk memperjuangan kebenaran, misalnya para pahlawan rela berkorban dan memberikan amal bakti kepada bangsa dan negaranya, dengan mengorbankan jiwa dan raganya. (4) Attidan adalah seperti pengorbanan yang dilakaukan oleh seorang Bodhisatva, misalnya Sidharta Gotama, beliau iklas mengorbankan dan rela meningalkan kesenangan duniawi, meninggalkan semua yang dicintainya, karena ia mencari jalan untuk membebaskan umat manusia yang menderita. Sang Buddha telah memberikan amal baktinya kepada umat manusia dengan membabarkan dhamma-nya tanpa mengenal lelah dan tanpa pamrih untuk kebahagiaan semua mahluk.



C. Manfaat Berdana


Dengan berdana berarti kita menanam kebajikan yang pasti menumbuhkan kebahagiaan. Sang Buddha bersabda “gemar berdana, memiliki sila yang baik, dapat mengendalikan diri adalah timbunan harta yang terbaik. Inilah harta yang disimpan paling sempurna. Tidak mungkin hilang, tidak ada yang bisa mencuri atau pun mengambilnya, serta walaupun kita meninggal kelak harta ini tetap kita bawa”. Kalau kita meninggal yang kita bawa hanyalah kamma-kamma kita saja, harta yang lainnya tertinggal.

Di zaman dulu ada seorang umat Buddha yang cantik, dermawan, kaya raya bernama Visakha. Suatu hari ia sedang mengipasi mertuanya yang sedang makan mewah. Ketika itu juga lewat seorang bhikkhu yang sedang pindapata dan berhenti di depan rumah mertuanya untuk menerima dana makanan.

Mertuanya tidak suka berdana. Visakha merasa tidak enak, lalu berkata, “maafkan Bhante, hari ini tidak ada dana makanan, karena mertua saya sedang makan sisa-sisa makanan”. Mertuanya marah besar, “makanan yang mewah dengan piring emas begini dikatakan makanan sisa, maka mertuanya sangat marah menantu yang tidak baik.

Visakha disidangkan dan para sesepuh dipanggil. Visakha membuat pembelaan, “mertua saya bias saja kaya raya dan makmur, itu disebabkan karena perbuatan baiknya pada masa yang lampau. Saya percaya pada hokum kamma. Kalau pada kehidupan yang lampau ia tidak suka melakukan kebajikan, tidak pernah melakukan kebajikan, tidak mungkin ia sekarang menjadi kaya raya. Tetapi sekarang mertua saya tidak mau melakukan perbuatan kebajikan yang baru, berarti ia makan makanan sisa dari kebajikan dimasa yang lampau. Kalau sisa perbuatan baik di masa lalu telah habis ia akan menderita. Maka saya katakana ia makan makanan sisa-sisa saja dimasa lalunya.

Sang Buddha bersabda; “ siapa yang suka berdana dia akan disukai dan dicintai”. Inilah manfaat yang langsung dan nyata di nikmati pada kehidupan sekarang ini. Wajah molek, suara merdu, mempunyai kekuasaan, kaya atau terlahir di alam surga atau brahma, semua itu diperoleh kalau seseorang suka berbuat baik, termasuk berdana. Kamma tidak bias dihilangkan atau dihapus begitu saja, kamma pasti menghasilkan akibat. Namun kamma burukpun bisa memberikan akibatnya juga.

Sebagai contonya, segemggam garam yang dimasukan ke dalam semangkok air telah membuat air semangkok itu menjadi berubah rasanya asin. Tak dapat diminum. Berbeda dengan segenggam garam yang dimasukan ke dalam segentong air, maka air itu tidak terasa begitu asin. Jadi kalau kita banyak berbuat, kalau ada kamma buruk kta masuk, kita tidak akan merasa sakit atau menderita yang besar. Namun kalau kita jarang melakukan kebajikan, kalau kamma buruk lagi berbuah tentunya akan merasa sangat menderita sekali. Bila batin kita bersih, kita tak akan mungkin melakukan kejahatan. Berarti kita tak mungkin memetik kamma buruk, maka manfaat yang paling utama adalah mengikis kekotoran batin.

Sudah sifat yang alami kita hidup untuk selalu melepas dan berpisah. Melawan bearti menyiksa diri sendiri. Kitalah yang mestinya untuk selalu menyesuaikan diri dengan sifat alam. Kita menarik nafas saja untuk dilepaskan. Kalau hanya ingin menarik nafas saja tentunya kita akan tersiksa. Pasti pernah kita merasakan kehilangan, berpisah, dengan apa yang sangat kita sukai, atau di cintai, bahkan kalau kita mati pun baik itu harta, kedudukan, semua akan terlepas dari kita. Kalau tidak rela akibatnya sudah pasti penderitaan dan kesedihan, serta stress bahkan bisa menjadi gila atau lebih jauh kalau kita terlalu terikat dan tolol. Karena ditinggalkan orang yang sangat dicintai, kita tentunya mencoba menyusul keliang kubur, bunuh diri.

Dana juga dapat bermanfaat sesuai dengan macamnya, (1) Amisa-dana berarti dana materi yang temasuk uang, makanan, dan lainya. Buah pahalanya kemakmuran, kesejahteraan materi dan kemurahan rejeki. (2) Abhaya-dana merupakan dana maaf, memberikan rasa aman, damai, membebaskan rasa bersalah, cemas, takut, membantu mahluk lain sehingga bebas dari bahaya atau pembunuhan. Memberikan pahala membuat hidup ini bebas dari rasa takut, was-was dan gelisah, sehingga hidup ini pun terasa aman dan sejahtera. (3) Dhamma-dana dalam bentuk sumbangan atau pemberian pengetahuan tentang dhamma. Dengan jalan menasehati, berkhotbah, meluruskan pandangan yang salah, mencetak buku-buku dhamma, yang merupakan kamma baik yang akan menghasikan timbulnya kebijaksanaan dan pengetahuan.

Kalau kita suka berdana, melepaskan, maka kalau ada problematika, masalah kehidupan, rasa benci, kejengkelan, kesedihan, juga bakal mudah untuk kita lepaskan. Hidup menjadi ringan, tentram, dan melegakan serta damai. Inilah harapan semua orang.



D. Dana Menurut Kitab Suci Tri Pitaka

Sesuatu yang memang tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran Sang Buddha bukan hal yang harus dihafalkan, jelaslah dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa kita mengerti makna yang terkandung didalamnya kita pun tak dapat tahu tentang ajaran tersebut. Dan kita sendiri yang akan berusaha.

Sebagai umat Buddha hendaknya memiliki pengertian terhadap dana, bukan merasa takut. Dimana berdana merupakan proses dasar dalam berbuat jasa atau kebajikan. Jika kita ingin memperoleh pahala yang baik, dari perbuatan berdana tentunya perlu diketahui bagaimana cara untuk melakukannya dengan benar. Karena itulah kita harus memiliki bekal pengetahuan atau petunjuk untuk meyakinkan bahwa kita mengerti apa yang patut dan tidak patut dilakukan, berkenaan dengan hal itu.

Untuk berdana mula-mula kita menyiapkan sesuatu yang akan didanakan, yang harus diperoleh dengan cara yang benar sehingga dana tersebut bersih dan suci secara moral. Tentunya terdapat berbagai obyek yang pantas untuk didanakan, yang dijelaskan dalam Kitab Suci Tipitaka (Sutta Pitaka atau kumpulan khitbah Sang Buddha, Vinaya Pitaka atau kumpulan peraturan-peratuan dan Abhidhamma Pitaka atau kumpulan ajaran Sang Buddha yang lebih tinggi dan sangat rumit). Untuk lebih jelasnya dana dapat dipelajari berdasarkan kitab suci agama Buddha.



E. Dana Dalam Kitab Suci Sutta Pitaka

Dalam Sutta Pitaka dana dapat dibedakan menjadi sepuluh macam yaitu; makanan, pakaian atau jubah, kendaraan atau fasilitas transportasi, bunga, dupa, wangi-wangian, keset atau tikar, bahan-bahn untuk alas, obat-obatan, dan lampu atau penerangan.Kesepuluh jenis dari persembahan tersebut dapat dipersembahkan kepada sesama manusia dan binatang pada umumnya. Tetapi binatang mereaka hanya dapat menerima beberapa jenis dari dana tersebut.

Sebagai contoh apabila kita memiliki beras, tetapi kita tidak dapat memberikannya kepada kerbau, karena kerbau tidak makan beras. Sebaliknya kita akan mempersembahkan barang-barang tersebut kepada manusia, seperti orang yang cacat, tuna netra, tuna runggu, cacat mental, fakir miskin, yatim piatu, korban bencana alam, banjir topan, paceklik, peperangan, dan lainnya. Kesepuluh jenis barang ini dapat di danakan atau disumbangkan kepada mereka yang mengalami kesulitan sebagai amal atau dermawan secara umum dengan maksud untuk meringankan beban penderitaan orang lain atau mahluk lain dan untuk mendapatkan atau menumbuhkan kebahagiaan yang lebih besar.



F. Dana Dalam Kitab Suci Vinaya Pitaka

Di dalam Vinaya Pitaka, dana terdiri dari empat macam yang dipersembahkan kepada para Bhikkhu Sangha dan Samaneraatau samanerika, yang disebutkan adalah Nisaya atau empat macam kebutuhan pokok ynag dibutuhkan di dalam kehidupan sebagai viharawan dantentunya tergantung akan empat kebutuhan tersebut, diantaranya; (1) Civara atau jubah. (2) Pindapatta atau makanan dan minuman. (3) Senasana atau fasilitas tempat tinggal. (4) Bhesajja atau obat-obatan dan peralatan medis lainya.

Selain keempat jenis dana ini maka sebaliknya adalah merupakan kebutuhan tambahan yang diperlukan oleh Bhikkhu sangha dan para samanera atau samaneri. Sebagai umat Buddha seharusnya mengerti apa yang patut dan yang seharus dilakukan untuk mendukung kehidupan suci khususnya kebutuhan bagi para samana (biarawan). Banyak umat yang tidak mengerti dan memahami dalam berdana secara benar dalam menyokong kebutuhan Bhikkhu Sangha, yaitu dengan cara;

1.Cara mempersembahkan jubah. Jubah merupakan kebutuhan bagi para Bhikkhu yang pertama. Jubah adalah kain kuning yang dikenakan oleh para Bhikkhu sangha dan samanera atau samanerika, yang terdiri dari jubah luar, jubah dalam serta perlengkapan lainya seperti sarungmandi, selimut, handuk, dan sapu tangan.


2.Mempersembahkan makanan dan minuman kepada bhikkhu sangha, hal ini perlu diketahui bahwa makanan dan minuman adalah yang patut dan memperhatikan wyang akan mempersembahkan, dengan demikian akan memberikan manfaat bagi si pemberi dana dan juga bhikkhu yang menerimanya.

3.Mempersembahkan fasilitas atau tempat tinggal, seperti kuti, atau tempat tinggal para bhikkhu, ruang pembabaran dhamma, ruang belajar, ruang makan bersama, ruang uposatha atau ruang baktisala serta kamar mandi dan fasilitas vihara yang lainya.

4.Mempersembahkan dana berupa obat-obatan, merupakan bentuk persembahan untuk membantu menyembuhkan penyakit dan meringankan penderitaan para bhikkhu atau umat yang sedang sakit misalnya. Jalan manapun yang ditempuh untuk membebaskan penderitaan mahluk lain atau orang lain akan memperoleh pahala kebajikan dari perbuatan yang telah dilakukannya.



G. Dana Dalam Kitab Suci Abhidhamma Pitaka

Di dalam Abhidhamma, dana dapatlah digolongkan menjadi enam kelompok menurut dasar indera kita yaitu; (1) Dana dari persepsi penglihatan mata atau obyek yang terlihat, apabila seseorang melihat sesuatu yang indah dan bermaksud untuk di danakannya. (2) Dana dari persepsi pendengaran atau telinga, ketika mendengarkan orang lain bercakap akan pergi berdana, latihan meditasi di suatru vihara ataupun ditempat-tempat keagaman lainnya maka bermaksud untuk berbuat demikian. (3) Dana dari persepsi penciuman melalui hidung atau obyek yang berbau harum, jika seseorang mencium sesuatu yang harum, misalnya bunga-bunga dan wewangian lainnya, kemudian ia merasa senang untuk mebawanya dan dipersembahkan kepada patung Buddha. (4) Dana dari persepsi rasa atau lidah, biasanya berbentuk makanan yang nikmat dan lezat dan bermaksud untuk mempersembahkannya kepada bhikkhu sangha atau samanera dan juga kepada umat awam laninya, dengan tujuan untuk berbuat kebaikan atau jasa bagi dirinya untuk memberikan bantuan kepada orang lain. (5) Dana dari sentuhan fisik atau obyek berwujud lainya, misalnya pakaian, alat duduk atau tidur, akomodasi serta fasilitas lainya, dan berniat untuk berbuat jasa dengan mempersembahkannya kepada bhikkhu sangha atu para samanera, atau membagikannya kepada orang lain. (6) Dana dari sentuhan batin atau obyek pemikiran batin, hal ini berarti memberikan sentuhan emosional kepada kelima kelompok tersebut dan kemudian merasa bahagia dan bermaksud untuk selalu berbuat jasa dengan benda-benda atau hal-hal tersebut dengan mempersembahkannya kepada para bhikkhu dan samanera, juga kepada umat awam lainya.



H. Cara Berdana Yang Benar

Dana yang kita persembahkan atau kita danakan akan dapat bermanfaat kalau berdana dengan terarah, baik dan benar. Untuk itu ada tiga cara yang benar yang harus diperhatikan dalam berdana yaitu:

I. Cetana atau niat atau kehendak dan pikiran yang mendahului sebelum berbuat jasa tersebut. Niat seseorang untuk berdana ada bermacam-macam. Ada yang muncul karena kematangan batin melihat kesulitan orang lain, bisa karena pengertian dhamma yang dimiliki tentang hukum karma, atau niat untuk mengurangi kekotoran bathin (keserakahan, dan kebencian) niat berdana bisa juga muncul karena ingin dipuji, menjadi kaya, ataupun malah karena keterpaksaan. Kalau niat kita tulus maka ditengah dan dibawah juga akan diperoleh tujuan baik tentunya tanpa pamrih, tetapi sebagai manusia biasa masih belum mencapai kesucian, wajar saja apabila memiliki rasa pamrih, tentunya memiliki pamrih yang baik. Dalam berdana pikiran kita harus iklas baik sebelum dan sesudah mapun proses berdana itu selesai. Dari ketiga sat ini yang paling penting adalah setelah berdana. Kita harus melakukannya suatu perbuatan baik itu dengan perasan yang senang dan iklas. Ini akan lebih baik apabila pada waktu berdana tidak mendasari dengan pikiran yang iklas sebelum, saat berbuat mapun sesudah berdana.

II.Vatthu. Barang yang di danakan hendaknya di dapat dengan cara yang tidak melanggar norma-norma agama maupun badan hukum pemerintah lainya.

III. Puggala. Penerima dna hendaknya orang yang mempunyai moral yang baik. Sang Buddha pernah ditanya “Apakah benar Sang Buddha mengajarkan bahwa berdana kepada orang yangtidak bermoral itu tidak ada gunannya ?”Sang Buddha menjawab “Aku tidak pernah mengajarkan bahwa berdana itu tidak ada gunanya. Meskipun memberikan dana makanan kepada seekor anjing pun itu merupakan perbuatan baik dan bermanfaat. Tetapi jika dibandingkan berdana kepada orang yang mempunyai moral yang baik, jasa atau pahalanya akan jauh lebih besar daripada kepada orang yang tidak bermoral. Inilah yang kuajarkan”.

Dana kepada bhikkhu, guru, orang tua disebut Puja Dana. Dana sebagai persembahan, penghormatan. Tidak sama nilainya dengan berdana kepada orang yang miskin, bawahan kita. Ini disebut Anugaha Dana. Berdana sebagai hadiah, anugrah. Makin suci orang yang menerima dana, makin besarlah jasa yang diperolehnya. Itulah tiga hal yang harus diperhatikan dalam melakukan berdana.




I. Kesimpulan

Bahwa dana merupakan perbuatan yang baik yang hendak dilakaukan oleh masyarakat Buddhis. Dengan berdana akan memperoleh kebahagiaan didalam kehidupan sekarang maupun kehidupan yang akan dating. Didalam melakukan berdana hendaknya diseretai dengan pikiran, kehendak atau cetana yang baik, tulus iklas, bermurah hati, penuh pikiran cinta kasih dan kasih saying sehingga akan memperoleh suatu akibat yang baik pula. Seperti seorang petani yangmenaman padi, ditanam ditempat yang subur, akan memngakibatkan buah yang baik.

Berdana kepada Sangha memang merupakan suatu kebajikan yang sangat tinggi namun tidaklah mudah untuk dilaksanakan sebagai misalnya jika seseorang bermaksud berdana kepada Sangha, dapatkah keyakinan dirinya sebagai pemberi dana tetap tidak berpengaruh kendatipun yang hadir mewakili Sangha adalah hanya seorang Samanera/samaneri atau bhikkhu/bhikkhuni. Apabila hal ini dapat membuat perubahan niat dan pikiran seseorang untuk berdana, maka itu tidak dapat lagi disebut berdana kepada Sangha. Karena dalam keadaan bagaimanpun, apakah yang mewakili Sangha itu para bhikkhu yang telah mencapai kesucian atau bhikkhu yang silanya kurang baik, pahala berdana kepada Sangha akan tetap sama dan jauh melampai berdana kepada bhikkhu berdasarkan diri pribadi.



Reffrensi

Drs. Teja S.M. Rasyid, 1994,Materi Pokok Kitab Suci Vinaya Pitaka II, Dirjed Bimas Hindu dan Buddha dan Universitas Terbuka, Jakarta.

Bhikkhu Bodhi, 2000, Mengapa Berdana, Wisma Sambodhi, Klaten

Phra Ajahn Plien Panyapatipo, 1991, Cara Yang Benar Dalam Berdana, Mutiara Dhamma, Bali.

Majalah Jalan Tengah edisi 9 Febuari 1991, Vihara Dhammacakka Jaya, Jakarta.

Yan Saccakiriyaputta, 1993, Kunci Rahasia Kehidupan, Dhamma-Dana, Singaraja.



MAKNA MASA VASSA, KATHINA DAN SIRIPADA PUJA

Oleh Bhikkhu Vajhiradhammo

Yassa danena silena,Sangyamena damena ca, Niddhi sunihito hoti, Itthiya purisassa va.

Gemar berdana dan memiliki moral yang baik, dapat menahan nafsu serta mempunyai pengendalian diri, adalah timbunan harta yang terbaik bagi seorang wanita maupun pria. (Nidhikhanda Sutta, 6)





A. Pendahuluan.
Hari Kathina dirayakan tiga bulan tiga bulan sesudah hari Asadha, perayaan ini diselengarakan para umat Buddha sebagai ungkapan perasaan Kathannukatavedi atau menyadari perbuatan yang telah dilakukan oleh para bhikkhu Sangha. Berdana lebih mulia lagi disertai dengan melakukan kebajikan. Apalagi berdana itu dipersembahkan dengan pikiran yang bersih akan mendapatkan kebahagiaan batin yang luar biasa. Untuk itu diperlukan latihan, tidak bias sehari dua hari.
Cara untuk mempertahankan atau mengembangkan agar batin bersih adalah dengan merenungkan kebajikan atau Dhamma Sang Buddha. Dapat memacakan paritta-paritta suci seperti Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati. Jangan terlalu banyak kalau perlu Buddhanussati saja. Dan apabila direnungkan akan menghasilkan ketenangan yang lama kelamaan membuat pikiran kita menjadi tenang, damai, dan tidak ada masalah Kehidupan manusia tidak lepas dari hubungan antar sesamanya, ia masih membutuhkan bantuan atau dukungan dan dorongan dari pihak lainnya. Demikian pula umat mempunyai hubungan yang sangat erat terhadap para bhikkhu, salah satu adalah menyokong kebutuhannya (Sigalovada Sutta, Digha Nikaya III, 31).
Apakah kebutuhan para Bhikkhu sangha itu ? Mengenai hal tersebut ada empat macam kebutuhan pokok yaitu : pakaian (jubah), makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan, itu adalah kebutuhan pokok. Oleh karena itu para umat Buddha menyokonya dengan berdana, seperti halnya pada hari Kathina. Setelah masa Vassa (berdiam di satu masa vassa atau musim hujan selama tiga bulan lamanya). Setelah selesai ada hari yang disebut pavarana mengundang para bhikkhu untuk menahkiri Vassa dengan mengadakan pavarana bersama-sama yaitu saling mengundang bhikkhu lain untuk memberikan nasehat atau memberikan maaf, barang kali ada kesalahan. Kemudian ada hari yang disebut hari Kathina didalam ajaran Sang Buddha.
Berdana kepada siapa ? Sang Buddha pernah dituduh oleh seorang, apakah benar Sang Bhagava mengajarkan bahwa berdana kepada orang yang tidak mempunyai moral itu tidak berguna ?Sang Buddha menjawab, “ Aku tidak pernah mengajarkan bahwa berdana itu tidak ada gunanya. Meskipun orang membuang sisa-sisa makanan dari panci atau mangkok kedalam sebuah tambak atau telaga dan mengharap agar para mahluk dapat memperoleh makanan, perbuatan ini pun merupakan sumber dari kebaikan, apalagi dana yang diberikan kepada sesama manusia” inilah yang Sang Tathagatta ajarkan (Anggutara Nikaya III, 57). “Sang Buddha menyatakan berdana kepada adalah lebih besar jasanya” .Di dalam Velumakkha Sutta disebutkan bahwa “berdana kepada orang yang bermoral lebih besar jasanya akan lebih tinggi dari pada orang yang tidak memiliki moral, kepada Sotapana adalah lebih besar daripada orang yang bermoral, kepada Sakadagami lebih besar dari seratus Sotapana, kepada seorang Anagami lebih besar dari seratus Sakadagami. Kepada Arahat lebih besar dari seratus dari Anagami. Kepada Pacekkha Buddha lebih besar seratu dari seorang Samasammbuddha adalah lebih besar dari seratus berdana kepada Pacekkha Buddha. Berdana kepada Sangha lebih besar jasanya dari berdana kepada seorang Sammasambuddha. Dana kepada Sangha tak pernah sia-sia, sekalipun sampai seratus tahun lamanya”.



B. Terjadinya Vassa

Pada zaman dahulu dari negara tidak bepergian selama musim hujan, misalnya pedangan ternak yang merngadakan perjalanan yang jauhuntuk menjual ternaknya, mereka harus menetap selama musim hujan pada suatu tempat karena jalan-jalan berlumpur dan tanah menjadi gembur sehingga tidakmudah untuk melakukan perjalan.

Bhikkhu pada awalnya adalah penerang sempurna dari pertapa Gautama yang sangat sedikit dan bila musim hujan tiba mereka akan selalu berhenti untuk tidak melakukan perjalanan dan masing-masing mengambil tempat tinggal sendiri-sendiri untuk menempatkan tradisi ini sepanjang tahun dalam musim hujan tidak dibuat oleh Sang Buddha. Tetapi ketika jumlah pertapa atau Bhikkhu bertambah banyak, beliau membuat tradisi bagi para bhikkhu harus bertempat tinggal selama musim hujan tiba dan tidak bebergian kemana-mana selama tiga bulan lamanya, maka di namakan hal itu menetap untuk musim hujan. Dengan berbagai permasalhan yang muncul pada saat itu bahwa pad musim hujan banyak tumbuh-tumbuhan yang mulai bersemi dan binatang kecil banyak yang bermunculan. Mengakibatkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam oleh para petani pada musim hujan banyak yang rusak terinjak-injak oleh para serombongan bhikkhu yang selalu mengadakn perjalanan.

Melihat peristiwa tersebut banyak masyarakat yang mengkritiknya dengan mengatakan “mengapa para bhikkhu Sakyaputta selalu mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas, dan hujan sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda, rerumputan dan mengakibatkan binatang-binatang yang kecil mati terinjak ?. Tetapi para petapa yang tidak baik dalam melaksanakan vinaya, mereka menetap selama musim hujan.

Mendegar keluhan masyarakat tersebut, beberapa orang bhikkhu menghadap Samng Buddha dan melaporkan kejadian tersebut. Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal dan bersabda, “Para bhikkhu, saya izinkan kalian untuk melaksanakan masa vassa”.Mereka kemudian menayakan hal itu kepada Sang Buddha kapan dimulai masa vassa itu dan berapa banyak masa periodenya ?

Menurut penangalan lunar yang mengadakan di mulainya musim hujan dinamakan vassupaniyika. Di dalam Vinaya pali, ada dua waktu yang ditetapkan untuk vassa, yaitu purimika-vassupaniyika (waktu pertama untuk memasuki vassa) dan waktu atau periode kedua adalah pacchima-vassupaniyika (hari memasuki vassa periode terahkir). Untuk memasuki masa vassa ditetapkan pada bulan purnama yang telah lewat satu hari menurut ilmu perbintangan Asadha, yaitu hari pertama bulan pudar pada kedelapan dan hari untuk memasuki periode terahir vassa ditetapkan pada bulan purnama sebulan kemudian, yaitu hari pertama dari bulan menyusut bulan sembilan dalam ilmu perbintangan Asadha.

Bagi para bhikkhu yang memasuki vassa harus mempunyai tempat tinggal berteduh yang ada pintu dan dapat dibuka dan ditutup untuk melindungi diri mereka. Bhikkhu dilarng untuk menghuni tempat-tempat yang tidak sesuai untuk bertempat tinggal, misalnya : tempat untuk penyimpanan mayat, di bawah sebuah paying, tenda kain dibawah kuti, di dalam bejana, di bawah pohon yang besar, dalam pohon yang berlubang atau di tanggul sebuah pohon yang besar.

Mengenai upacara untuk memasuki vassa, dalam Kitab Pali hanyalah dikatakan bagi seorang bhikkhu harus memutuskan atau bertekad untuk hidup di vihara selama tiga bulan. Selama masa vassa bagi para bhikkhu harus berlatih dengan tenang dan dilarang untuk membuat peraturan yang tidak sesuai dengan dhamma. Selaui itu ada peraturan yang harus dilaksanakan dan dijalankan oleh para bhikkhu selama masa vassa yaitu : tidak meninggalkan tempat tinggal selama lebih tujuh hari yang disebut sattaha karaniya (tujuh hari untuk apa yang harus dikerjakan) atau sattha pendek. Jika tidak, maka vassa bhikkhu itu tidak berlaku lagi.Seorang bhikkhu diperbolehkan meninggalkan tempat apabila mempunyai tujuan untuk mengunjungi ayah, ibu atau bhikkhu-bhikkhu lain yang sakit, mencegah seorang bhikkhu yang lainya untuk lepas jubah dan ia dating untuk menasehatinya agar tetap bertahan dalam latihannya, mencari bahan-bahan untuk membangun vihara yang hancu dan yang terahir memberikan keyakian terhadap umat yang ingin meningkatkan kusala-kamma.

Selain kepentingan tersebut bagi para bhikkhu diperbolehkan untuk pergi apabila ada hal-hal yang tidak layak untuk bertahan ditempat itu dalam menjalankan masa vassanya. Dimana para bhikkhu yang tidak dapat tinggal lebih lama dan harus pergi maka masa vassa mereka rusak akan tetapi mereka tidak jatuh dalam apatti (kesalahan) apabila tempat ia tinggal selama masa vassa ada bahaya. Dalam kitab suci pali bahaya tersebut adalah para bhikkhu diganggu oleh binatang buas, perampok, atau hantu-hantu. Pondok-pondok mereka terbakar, atau hanyut oleh bencana alam, sulitnya untuk mendapatkan dana makanan, ada para wanita yang menganggunya, terjadinya suatu perpecahan dalam sangha dimana bhikkhu berusaha untuk mendamaikannya. Tiga bulan masa vassa seorang bhikkhu di ahkiri dengan pavarana, para bhikkhu berkesedian untuk dikeritik dan setelah itu selesai dilanjutkan dengan upacara Kathina pun telah tiba.



C. Masa Vassa Para Bhikkhu

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan masa vassa ini, dalam Kitab Suci Tipitika bagian Vinaya Pitika, Mahavagga Vassupaniyikakkhandhaka, Sang Buddha bersabda, :

“Anujanami Bhikkhave vassane vassam upagantum dwe

Ma bhikkhave vassupaniyikaya purimika pacchimika

Aparajju-gataya asalhiya purimika upagantabha”

Artinya : Secara jelas ringkas bahwa masa vassa haruslah dilaksanakan oleh para Bhikkhu. Selama masa vassa itu terdapatlah hari yang pertama untuk memulai dan terdapat hari penutup guna mengahkirinya.

Masa vassa menurut tradisi pada musim penhujan bagi para bhikkhu harus berdiam diri disuatu tempat dan mentaati aturan-aturan vassa. Massa vassa ini berlangsung selama 90 hari dimulai sehari sesudah purnama-sidhi bulan kedelapan (Asalhamasa) dan diahkiri pada purnamasidhi bulan kesebelas (Assajujamasa), menurut system perhitungan sekarang jatuh pada bulan oktober.

Menurut tahun kabisat, dimana terdapat bulan Asalha ganda, maka dengan sendirinya masa vassa dimulai sehari sesudah purnamasidhi bulan Asadha yang kedua dan bukan yang pertama. Hari Asadha kala purnama-sidhi adalah patokan, untuk memulai masa vassa. Masa vassa dimulainya bila memasuki konstelasi Asadha, namun pada tahun kabisat haruslah dimulai 30 hari kemudian. Malam menjelang hari penutupan masa vassa yaitu dikala purnama-sidhi bulan assayuja, yang diselenggarakan pavarana dan upacara persembahan yang secara umum dengan hari Kathina. Upacara Kathina akan berlangsung mulai hari pertama bulan menyusut (tanggal 16) bulan Assyuja sampai purnama-sidhi, namun ini hakekatnya akan berlangsung selama satu bulan untuk memberi kesempatan pada umat guna mempersembahkan dana kepada Sangha.

Sebelum hari Asadha, para bhikkhu sangha sudah mulai berikran untuk memasuki masa vassa dalam berdiam diri selama tiga bulam di vihara yang mereka tempati. Meskipun hari bepergian menginap selama tujuh hari berturu-turut, maka masa vassa menjadi gugur dan dianggap tidak ada vassa. Masa kebhikkhuan seorang bhikkhu dari tradisi Theravada, tergantungberapa lama dalam menjalani masa vassa itu dengan baik.Bisa saja bagi seorang bhikkhu yang sudah menjadi bhikkhu selama 10 tahun namun baru menjalani lima vassa.




D. Upacara Pavarana

Di Vihara dapat dilaksanakan upacara Kathina secara benar apabila di vihara tersebut terdapat paling sedikitnya ada empat bhikkhu yang menjalani masa vassa selama 90 hari secara sempurna, tidak termasuk samanera. Bagi para bhikkhu yang telah melaksanakan masa vassa tersebut sebelumnya melakukan Parisudhi (pensucian batin), dengan cara mengakui kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Sesudah itu mereka bersama melakukan pembacaan patimokha atau pembacaan peraturan - peraturan bagi para bhikkhu.

Upacara yang terpenting dalam memutuskan rantai masa vassa adalah upacara Pavarana yang diselengarakan oleh para bhikkhu yang ber-vassa di tempat itu, dengan cara mereka menyatakan kesiapan dan kesediaannya pada hari terahkir vassa tersebut untuk menerima kritikan, saran dan nasehat serta umpan balik dari para bhikkhu yang senior guna kemajuan batin yang lebih untuk mereka didalam latihannya.

Pavarana yang berasal dari umat adalah sebagai peryataan kepada bhikkhu tertentu terhadap kesediaannya menjadi seponsor dan membantu kebutuhannya untuk suatu jangka waktu tertentu ataupun untuk waktu yang tak terbatas.



E. Sejarah Kathina

Sekilas tentang istilah Kathina berasal dari sebilah bambu atau kayu yang dibuat kerangka dimana kain yang akan dijahit dikembangkan terlebih dahulu. Bhikkhu yang tidak trampil untuk menjahit, melakukan dengan cara demikian. Sang Buddha mengizinkan perpanjangan waktu untuk membuat jubah. Biasanya waktu dalam pembuatan jubah hanya pada waktu terahkir bulan dari masa vassa atau musim hujan dibulan kathika. Jika jubah lagi dikerjakan, maka batas itu diperpanjang sepanjang musim dingin. Terlebih lagi dalam pembuatan jubah bhikkhu merupakan peristiwa yang bersejarah.

Bagi para bhikkhu yang akan melaksanakan kathina harus melaksanakan vassa selama tiga bulan penuh lamanya di satu vihara (avasa) dengan lima atau lebih bhikkhu lainya. Kain yang diserahkan kepada sangha cukup membuat ticivara dan sangha setuju dalam satu hari juga menginformasikan kepada bhikkhu yang diberikan kepada Sangha untuk menyatakan terima kasih atau anumodhana. Kain tersebut tidak diperkenankan kain yang bukan miliknya, misalnya kain pinjaman, atau yang diperoleh dengan tidak benar, tentunya kain yang digunakan itu adalah kain yang didapat secara wajar. Kain itu harus segera dibuat jubah, tidak boleh disimpan semalam. Kain yang telah disimpan satu malam tidak boleh di gunakan untuk kain kathina.

Sangha yang memberikan jubah yang harus paling tidak lima bhikkhu dan tidak boleh kurang dari lima bhikkhu karena salah satu ditunjuk untuk menerima kain kathina dan menjahitnya menjadi jubah dan empat lagi membentuk Sangha. Atthakatha Acariya yang menyusun menjelaskan bahwa kain kathina harus diberikan kepada Sangha kepada bhikkhu yang memakai jubah yang lusuk (tua) jika banyak bhikkhu yang demikian, maka kain Kathina diberikan kepada Bhikkhu yang memiliki vassa yang lebih tinggi. Apabila bhikkhu sama masa vassanya, maka kain kathina diberikan kepada bhikkhu maha purissa.



F. Upacara Kathina

Serangkain Kathina telah hadir dihadapan kita sebagai rasa syukur dan terima kasih para umat kepada para bhikkhu yang telah selesai menjalani masa vassa, maka dipersembahkannya pada bhikkhu sangha sebuah kain untuk dipotong dan dijahit menjadi jubah, yang disebut jubah Kathina (Kathina-Chivara). Upacara khusus tersebut dinamakan Kathina-pinkama. Dalam prosedurnya menurut Vinayaadalah sebagai berikut.

1.Adalah hak Sangha untuk menentukan apakah upacara Kathina dilaksanakan atau tidak.

2.Bila dikehendaki, maka dipilihnya seorang bhikkhu untuk menerima persembahan kain untuk dibuat jubah dari umat.

3.Kain putih yang dipersembahkan dalam prosedur formalitas pada hari Kathina, oleh bhikkhu Sangha diserahkan oleh bhikkhu maka terpilihlah untuk diukur, dipotong dan dijahit sesuai vinaya dan menjadi jubah. Proses ini dibantu oleh Bhikkhu lainya, sesudah selesai, jubah putih tersebut dicucu, dicelup warna kuning dan dikeringkan. Semua prosedur itu harus dilakukan dalam satu hari, dari pagi hingga petang.

4.Jubah-jubah tersebut setelah selesai dikerjakan siap untuk dibagi oleh Sangha, dalam suatu upacara, pada seorang yang berhak menerimanya. Hak para bhikkhu yang bervasa di vihara tersebut atas jubah Kathina.

5.Pada malam harinya, bhikkhu yang terpilih dengan mengenakan jubah Kathina menempati dampar dan kemudian berkhotbah dan berterima kasih apa umat atas dukungannya pada Sangha.

Dalam upacara ini sangat penting dengan tujuan untuk kemanunggalan antara Sangha dan umat sebagai pendukunya dalam menjalani kehidupan ke-bhikkhuan (Pisungsung). Disamping itu dalam upacara Kathina ini mendorong seorang bhikkhu yang baik dan taat dalm sila dan Vinaya serta bagi umat untuk taat dan patuh kepada sila, yant telah disabdakan oleh Sang Buddha “Engkaulah yang harus meningatkan dan memeriksa diri sendiri, Oh para bhikkhu bila dapat menjaga dirimu dengan baik dan selalu sadar maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan”



G. Sanghadana

Di suatu vihara apabila tidak memenuhi syarat diselengarakan upacara Kathina, maka umat dapat menyelenggarakan Sanghadana atau chivaradana. Sanghadana adalah segala bentuk dana (uang atau barang-barang kebutuhan pokok bagi para bhikkhu) yang dipersembahkan pada Sangha melalui seorang atau beberapa bhikkhu, sedangkan chivaradana adalah persembahan berupa jubah bhikkhu. Apabila persembahan dana dipersembahkan kepada Sangha, maka umat dengan tegas menyatakan hal itu sebagai Sanghadana. Sang Buddha bersabda, “berdana pada sangha mempunyai nilai-dhamma yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan berdana pada bhikkhu ataupun pada pribadi Sang Buddha sendiri”.

Hal ini berbeda dengan dana persembahan yang khusus diberikan pada seorang atau beberapa bhikkhu penerima dan bukan pada Sangha. Upacara Kathina diselenggarakan dengan ataupun tanpa kehadiran bhikkhu, maka perlu diperhatikan umat adalah :

1.Seluruh dana yang dipersembahkan harus diserahkan pada Sangha tanpa syarat, misalnya dipotong lebih dahulu oleh panitian untuk kegiatan vihara atau pandita.

2.Tidak dibenarkan sebelum berdana, memberikan isyarat pada sangha, bahwa dana yang terkumpul akan dibagi dengan vihara atau panitia.

3.Bhikkhu yang menerima dana atas Sangha wajib untuk menyerahkan secara utuh kepada Sangha dan tidak dibenarkan untuk mengambilnya demi kepentingan sendirinya atau membagikannya pada orang lain, tanpa seizin Sangha.

Atas keputusan Sangha dan yang terkumpul sebagian atau seluruhnya di danakan kembali untuk kepentingan Sangha atau berbagai macam kegiatan dan keperluan lain yang dibutuhkan oleh vihara atau Sangha.



H. Dana Kathina

Sebagai umat Buddha hendaknya memiliki pengertian terhadap dana, bukan merasa takut. Dimana berdana merupakan proses dasar dalam berbuat jasa atau kebajikan. Jika kita ingin memperoleh pahala yang baik, dari perbuatan berdana tentunya perlu diketahui bagaimana cara untuk melakukannya dengan benar. Karena itulah kita harus memiliki bekal pengetahuan atau petunjuk untuk meyakinkan bahwa kita mengerti apa yang patut dan tidak patut dilakukan, berkenaan dengan hal itu.

Dalam Sutta Pitaka dana dapat dibedakan menjadi sepuluh macam yaitu; makanan, pakaian atau jubah, kendaraan atau fasilitas transportasi, bunga, dupa, wangi-wangian, keset atau tikar, bahan-bahn untuk alas, obat-obatan, dan lampu atau penerangan.Kesepuluh jenis dari persembahan tersebut dapat dipersembahkan kepada sesama manusia dan binatang pada umumnya. Tetapi binatang mereaka hanya dapat menerima beberapa jenis dari dana tersebut.

Sebagai contoh apabila kita memiliki beras, tetapi kita tidak dapat memberikannya kepada kerbau, karena kerbau tidak makan beras. Sebaliknya kita akan mempersembahkan barang-barang tersebut kepada manusia, seperti orang yang cacat, tuna netra, tuna runggu, cacat mental, fakir miskin, yatim piatu, korban bencana alam, banjir topan, paceklik, peperangan, dan lainnya. Kesepuluh jenis barang ini dapat di danakan atau disumbangkan kepada mereka yang mengalami kesulitan sebagai amal atau dermawan secara umum dengan maksud untuk meringankan beban penderitaan orang lain atau mahluk lain dan untuk mendapatkan atau menumbuhkan kebahagiaan yang lebih besar.

Di dalam Vinaya Pitaka, dana terdiri dari empat macam yang dipersembahkan kepada para Bhikkhu Sangha dan Samanera, yang disebutkan adalah Nisaya atau empat macam kebutuhan pokok, dalam kehidupan sebagai viharawan tentunya tergantung akan empat kebutuhan tersebut, diantaranya; (1) Civara atau jubah. (2) Pindapatta atau makanan dan minuman. (3) Senasana atau fasilitas tempat tinggal. (4) Bhesajja atau obat-obatan dan peralatan medis lainya.



I. Siripada Puja

Siripada puja merupakan wujud untuk memberikan penghormatan (memuja) tapak kaki Sang Buddha, biasanya dilakukan pada waktu purnama-sidhi di bulan Kathika. Secara ringkas dapat diuraikan secara sekila mengenai tradisi siripada puja.

Pada suatu kesempatan, Sang Buddha mengunjungi Y.A. Punna Mantaniputta di Sunaparanta. Dalam perjalanan itu beliau singgah ditepi sungai Nammada di dekat gunung Saccabandha. Pada saat itu Raja Naga muncul memberikan penghormatan yang luar biasa kepada Sang Buddha untuk meninggalkan tapak kaki mulia (Siripada Valanja) sebagai obyek pemujaan Sang Buddha berkenan dengan permohonan tersebut. Beliau membuat jejak tapak kaki di atas batu keras ditepi sungai Nammada. Karena kekuatan kesaktinan yang luar biasa, meskipun di batu yang keras jejak tapak kaki Sang Buddha tampak jelas, lengkap dengan tanda-tanda istimewa seorang maha sempurna. Tanda utama di anatara tanda-tanda yang terdapat pada kaki Sang Buddha adalah guratan Dhammacakha (roda dhamma) ditengah-tengahnya. Inilah salah satu terdapat 32 tanda istimewa (maha lakhana) yang terdapat pada jasmani seorang Sammasambuddha. Guratan roda Dhamma ini melambangkan sebagai petunjuk “ikutilah jejak mulia Sang Buddha” atau “Ikutilah Dhamma”.

Sirpada ini dijag dan dihormati oleh para naga sebagai obyek pemujaan kepada Sang Buddha. Cukup susah untuk dapat melihat Siripada di sungai tersebut karena tertutup oleh arus sungai yang deras. Selain siripada di sungai Nammada dalam kitab-kitab kronik tercatat bahwa masih terdapat 4 siripada di tempat lain yang dipercaya dibuat langsung oleh Sang Buddha.

Pada jaman dahulu pada bulan di bulan kattika masyarakat menunggu saat air sungai pasang karena musim hujan, mempersembahkan puja kepada Siripada di sungai Nammada. Hal ini dikarenakan bagi mereka yang tinggal jauh dari tempat Siripada, sulitnya perjalanan menuju tepi sungai tempat Siripada. Maka mereka mempersembahkan puja dari jauh dengan bantuan arus sungai yang sedang pasang tersebut. Mereka membuat semacam bunga teratai yang harum, dupa dan juga penerangan (lilin/pelita). setelah bulan muncul di langit mereka berbondong-bondong menuju tepi sungai Nammada. Setelah memanjatkan Siripada Puja Gatha, Amisa puja (bunga, dupa dan lilin) ini ribuan berkali-kali membawa udara harum mengikuti arus sungai menuju tempat Siripada.

Sampai sekarang tradisi ini masih dilakukan oleh masyarkat di India, Nepal,Myammar, Thailad dan beberapa tempat di Indonesia. Meskipun jauhdari sungai Nmmada, mereka bias mengapungkan Mamisa puja tersebut di sungai-sungai, danau atau bahkan di kolam-kolam vihara dengan niat yang tulus untuk memuja Sang Buddha. Ini adalah salah satu cara untuk memberikan penghormatan kepada Guru Agung junjungan kita Sang Buddha Gautama.



J. Kesimpulan

Hari Suci Kathina adalah suatu bentuk upacara keagamaan dalam agama buddha yang terpenting. Dimana uamt buddha mendapatkan satu kesempatan untuk membaktikan dirinya kepada Sangha dengan memberi persembahan, seperti jubah, dana makan, obat-obatan, serta keperluan yang lainnya dalam mendukung kehidupan dan kelestarian Sangha serta Buddha Dhamma. Sebab itu kathina juga sebagai hari bakti umat buddha kepada sangha.

Ada beberapa hal yang tidak dapat kita pisahkan dengan hari kathina tersebut, yaitu hari persembahan jubah kepada Sangha setiap setahun sekali, setelah para bhikkhu sangha melakukan latihan diri selama masa vassa selama tiga bulan. Massa vassa adalah suatu bentuk latihan dan penggemblengan diri pribadi bhikkhu untuk berlatih pendalaman dhamma melalui meditasi, memanjatkan paritta-paritta suci, introspeksi diri dan lainya. Serta umat buddha mendapat kesempatan dalam berdana paramita kepada Sangha. Karena dana yang diberika kepada Sangha pada waktu bulan kathina sangat tinggi nilainya, dan merupakan benih kebajikan pada ladang yang subur. Oleh karena itu, marilah kita tanamkan kembali benih yang kita miliki di saat yang istimewa ini dengan berdana kepada Sangha. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar dana yang kita persembahkan ini menjadi dan yang bermanfaat, yaitudana yang dipersembahkan tentunya berasal dari hasil perbuatan yang baik dan di dasari dengan kehendak yang baik sebelum, pada saat, serta setelah berdana sehingga dana yang kita persembahkan kepada yang patut menerimanya, akan membawa banyak manfaat.
Begitu pula hari kathina adalah saat yang tepat untuk mengikuti keteladanan dan kegigihkan seorang manusia dalam perjuangan mencapai kesempurnaan atas usaha sendiri. Siddharta bukanlah seorang manusia yang lahir dari dunia mistik, tetapi beliau adalah manusia yang berjuang membangun dirinya secara utuh demi kemanusiaan dan keberhasilan dan beliau telah berhasil. Sejak peristiwa agung penerangan sempurna itulah dikenal sebagai Buddha Sakyamuni. Perjuangan, pengabdiannya dipersembahkan kepada dunia ini adalah kekuatan keyakinan bagi umat Buddha yang tiada habisnya.

Siripada puja merupakan wujud untuk memberikan penghormatan (memuja) tapak kaki Sang Buddha, biasanya dilakukan pada waktu purnama-sidhi di bulan Kathika. Secara ringkas dapat diuraikan secara sekila mengenai tradisi siripada puja.

Ia yang memberikan semua mahluk hidup dimana saja berada, dengan penuh belas kasihan dan cinta kasih, berikanlah, ia berseru bagaikan guntur yang mengelegar dan bergemuruh membasahi dan mengisi seluruh permukaan bumi. Demikian pula hendaknya ia yang selalu berusaha mengumpulkan kekayaan dengan halal lalu mempersembahkan makanan dan minuman kepada yang membutuhkannya akan membawa kebahagiaan. Semoga dengan kebajikan yang diperbuatnya tumbuh subur dengan baik diladang yang subur, hidup bersusila maka perkembangan dalam hidup ini akan melahirkan di alam yang berbahagia tanpa kesulitan apapun.



Reffrensi :

Buku Panduan Rangkaian Kathina Dana dan Siripada Puja 2547 BE/ 2003, Di Vihara Buddha Prabha, Yogyakarta.

Bhikkhu Bodhi, 2000, Mengapa Berdana, Wisma Sambodhi, Klaten

Buku Pegangan Bhikkhu, 2000, Medan.

Drs. Teja S.M. Rasyid, 1994,Materi Pokok Kitab Suci Vinaya Pitaka II, Dirjed Bimas Hindu dan Buddha dan Universitas Terbuka, Jakarta.

CundaJ. Supandi, 1997, Dhammapada, Karaniya, Jakarta

Herman S. Endro SH. ,1997, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996 – 2026, Yayasan Dharmadiepa Arama, Jakarta.

Phra Ajahn Plien Panyapatipo, 1991, Cara Yang Benar Dalam Berdana, Mutiara Dhamma, Bali.

Nyanaponika Thera dan Bhikkhu Bodhi, 2001, An Anthology of Suttas From The Anguttara Nikaya, Wisma Meditasi dan pelatihan

Majalah Jalan Tengah edisi 9 Febuari 1991, Vihara Dhammacakka Jaya, Jakarta.

Yan Saccakiriyaputta, 1993, Kunci Rahasia Kehidupan, Dhamma-Dana, Singaraja.

No comments:

Post a Comment