WARISKAN
DHAMMA , BUKAN HARTA
Sabbadanam dhammadanam
jinati
Pemberian Dhamma
mengalahkan segala pemberian
(Dhammapada
XXIV.354)
Pada umumnya orang-orang memiliki
keturunan sebagai penerus agar silsilah keluarga tidak terputus. Kalaupun tidak
memiliki keturunan, orang-orang kadang mengadopsi anak orang lain dan dijadikan
layaknya anak kandung. Salah satu tujuan mempunyai keturunan adalah apabila
kelak mereka meninggal akan ada pewaris. Pewaris akan diwarisi berbagai hal
seperti kebiasaan-kebiasaan atau tradisi keluarga, dan yang tidak ketinggalan
adalah mewariskan harta kekayaan (materi). Namun demikian, tidak semua warisan
diwariskan setelah meninggalnya seseorang, ketika seseorang masih hidup pun
warisan sudah diwariskan kepada penerusnya.
Hanya
Mewariskan Harta Sangat Berbahaya
Mewariskan kebiasaan atau tradisi yang
baik tentu bermanfaat. Mewariskan harta pun hal yang baik. Tetapi akan lebih
baik lagi apabila orangtua dapat mewariskan nasihat-nasihat atau
pedoman-pedoman yang bisa dijadikan pegangan oleh anak-anaknya kelak. Janganlah
orangtua hanya berpikir mewariskan harta
materi saja, sebab hal itu akan sangat membahayakan masa depan anak-anak atau
penerus.
Sebagai contoh, semasa Sang Buddha,
terdapat suatu keluarga yang memiliki harta kekayaan berlimpah, warisan dari
orang tua dan leluhur-leluhurnya. Dengan harta yang sangat banyak itu, yang
tidak akan habis walaupun digunakan sampai tujuh generasi berikutnya, mereka
berpikir, anaknya yang semata wayang tidak perlu dibekali pengetahuan dan
keterampilan karena hal itu hanya akan membuat anaknya kesepian, kelelahan
karena harus bersusah payah dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dengan harta yang
banyak itu, mereka memastikan bahwa, anaknya dapat hidup bahagia sampai akhir
hayatnya. Namun, setelah kepergian kedua orangtuanya, anak ini tidak tahu
bagaimana cara menggunakan hartanya dengan bijak. Ia menggunakan hartanya untuk
berfoya-foya, dihamburkan untuk bersenang-senang bersama sahabat-sahabatnya.
Sebelu ia meninggal, hartanya sudah habis, rumahnya pun djual dan menjadi
gelandangan. Bahkan di kemudian hari, ia menjadi komplotan perampok. Karena
tidak pernah diajarkan berbagai pengetahuan maupun keterampilan, dalam urusan
merampok pun dia tidak paham, sehingga dengan mudah penduduk menangkapnya dan
dibawa kehadapan raja untuk diadili. Akhirnya ia dijatuhi hukuman pancung
(Dhammapada Atthakatha).
Lebih
Berharga dari Harta
Lebih penting dari harta materi yang
perlu diwariskan kepada keturunan adalah
ilmu pengetahuan. Jika memiliki bekal ilmu pengetahuan, seseorang masih dapat
bertahan hidup meskipun tidak memiliki harta yang melimpah. Pekerjaan dapat
dicari untuk mendapatkan penghasilan. Jika seseorang tidak memiliki
pengetahuan, tntu kehidupan akan sulit, lebih-lebih tidak memiliki harta
warisan juga. Bisa saja orang akan menjadi pengemis atau gelandangan. Di
samping pengetahuan, ada hal yang disebut keterampilan. Dalam KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia), pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, kepandaian
atau bisa disebut teori. Sedangkan keterampilan adalah kecakapan untuk
menyelesaikan tugas. Terlihat bahwa antara pengetahuan berbeda dengan
keterampilan, tetapi dua hal ini pada umumnya dapat dianggap sama. Seseorang
yang memiliki keterampilan berawal dari memiliki pengetahuan. Meski demikian
tidak semua yang memiliki pengetahuan diiringi dengan memiliki keterampilan.
Namun hanya berbekal pengetahuan dan keterampilan saja belumlah cukup. Ada sesuatu
yang lebih bernilai, yaitu tata krama. Tata krama menyangkut perilaku jasmani
dan tutur kata. Tata karma dalam KBBI diartikan sebagai adat sopan santun ;
basa basi. Kata lain untuk tata karma adalah tata susila, yang berarti adat
sopan santun ; etika. Dalam Dhamma, tata karma atau tata susila ini disebut
dengan istilah “sila” (kemoralan). Orang yang memiliki pengetahuan atau
keterampilan belum tentu memiliki kemoralan.
Banyak orang berpikir , dengan memiliki
pengetahuan yang luas, bahkan disertai jabatan yang tinggi, mereka layak
dihormati. Tetapi jika mereka memiliki perilaku yang tidak terpuji,
penghormatan bukanlah menjadi hak mereka. Sebaliknya orang yang memiliki
sedikit pegetahuan, bahkan tidak menyandang status apapun, tetapi memiliki
sopan santun ; perilaku dan tutur kata yang baik, akan menjadi teladan bagi
yang lainnya. Orang-orang seperti itulah sebenarnya yang layak mendapat
penghormatan. Oleh karena itu, orang-orang bijak lebih memuji orang yang
memiliki tata karma atau sila dibandingkan dengan orang yang hanya memiliki
pengetahuan. Dalam Anguttara Nikaya IV.6
dinyatakan :
“Jika seseorang memiliki sedikit
pengetahuan, dan sembrono dengan silanya, orang-orang akan mencelanya dalam dua
hal, karena kurangnya sila dan kurangnya pengetahuan.”
“Tetapi walaupun seseorang memiliki
sedikit pengetahuan, namun berhati-hati dengan silanya, orang-orang akan memuji
karena silanya, seolah-olah ia berpengatahuan juga.”
“Jika seseorang memiliki banyak
pengetahuan, namun sembrono dengan silanya, orang-orang akan mencela karena
silanya, seolah-olah ia tidak memiliki pengetahuan.”
“Tetapi jika seseorang memiliki banyak
pengetahuan, dan berhati-hati dengan silanya, orang-orang akan memujinya karena
dua hal, karena sila dan pengetahuannya.”
Memiliki banyak pengetahuan adalah hal
yang baik, tetapi apabila pengetahuan itu tidak diimbangi dengan tata susila,
itu bisa menjadi bahaya. Maka sila diperlukan sebagai rem agar tidak terjadi
hal-hal diluar ranah tata karma atau tata susila. “Memiliki banyak pengetahuan
dan keterampilan, terlatih baik dalam tata susila, bertutur kata dengan baik,
itula berkah utama.” (Mangala Sutta).
Warisan
yang Paling Berharga
Segala jenis harta benda, apapun
bentuknya, yang menurut anggapan kita merupakan sesuatu yang berharga, bernilai
tinggi. Semua itu hanyalah materi yang bersifat fana, tidak bisa bertahan selamanya.
Suatu saat materi-materi itu akan pergi, hilang, lenyap meninggalkan kita, atau
kita sendiri yang akan pergi meninggalkan mereka. Ada harta yang nilainya melampaui
harta benda. Harta ini dikatakan sebagai harta mulia karena apabila kita
memilikinya, kita secara otomatis menjadi orang yang mulia. HArta mulia terdiri
dari : keyakinan, kemoralan, malu ebrbuat jahat, takut akibat perbuatan jahat,
pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan (AN VII.6). Tujuh harta mulia itulah
yang hendaknya orangtua dapat wariskan kepada keturunan atau penerusnya karena
pasti akan membawa pada kebahagiaan, tidak seperti harta materi yang jika
disalahgunakan, bisa membawa pada kesengsaraan.
Untuk dapat mewariskan harta benda,
seseorang haruslah memilikinya terlebih dahulu. Demikian juga dalam mewariskan
harta mulia, seseorang seyogianya memilikinya terlebih dahulu. Itu idealnya.
Siapapun akan lebih mudah meniru dari apa yang dilihat, tidak sekedar dari apa
yang didengar saja. Begitu pula dengan anak-anak akan lebih cepat dan mudah
mewarisi dari contoh atau teladan daripada melalui nasihat semata.
Sumber
: Berita Dhammacakka No. 1110 tanggal 18 Oktober 2015
Ceramah
Dhamma oleh Bhikkhu Sakkhadhammo