DIBUTUHKAN SEGERA KARYAWAN UNTUK MENJAGA TOKO PRIA / WANITA MINIMAL LULUSAN SMP
KIRIM CV KE ALAMAT EMAIL :
ricky_kurniawan02@yahoo.com
PALING LAMBAT TANGGAL 31 MARET 2015
================================================
Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram = Rp. 8.000,-
2. 250 gram = Rp. 10.000,-
3. 500 gram = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-
Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a
KIRIM CV KE ALAMAT EMAIL :
ricky_kurniawan02@yahoo.com
================================================
Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram = Rp. 8.000,-
2. 250 gram = Rp. 10.000,-
3. 500 gram = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-
Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a
EMPAT
APPAMANNA
( Keadaan yang Tidak Berbatas )
“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa”
Salam Damai dan Cinta Kasih … ,
Dihalaman ini kami akan menyajikan uraian dari ajaran Sang Guru Agung, Guru para Deva dan Manussa, ialah Sang Buddha Gotama, mengenai Empat Appamanna ( Empat (4) Keadaan yang tidak Berbatas ). Uraian ini kami ambil dari buku “Kammatthana ; Objek-objek Perenungan dalam Meditasi ” , yang diketik dan disusun ulang oleh Bhikkhu Guttadhammo, dan diterbitkan oleh Vihara Tanah Putih Semarang, pada moment Vesakha Puja, 2006.
Empat Appamanna ini juga dikenal dengan istilah “BRAHMA-VIHARA”. Brahma-vihara termasuk dalam empat-puluh (40) pokok Kammatthana dan menempati kedudukan yang penting dalam agama Buddha untuk pengembangan empat sikap batin yang luhur, yaitu : 1). Metta ( Cinta-kasih ) ; 2). Karuna ( Kasih-sayang ) ; 3). Mudita ( Simpati ) ; dan, 4). Upekkha ( Keseimbangan-batin ).
Dalam empat-puluh (40) pokok-pokok Kammatthana yang terdapat dalam Visuddhimagga, empat (4) pokok Kammatthana ini disebut dengan judul empat (4) Brahma-Vihara.
Dalam visuddhimagga mereka dianggap sebagai empat (4) pokok meditasi yang terpisah, tetapi dalam Dhammasangani ( Hal.53-55 ) mereka dihubungkan bersama-sama dengan Jhana-Jhana.
Metta ( Skt. = Maitri ; Mitra ) , Karuna, dan, Mudita, dihubungkan dengan Jhana pertama (I), kedua (II), dan ketiga (III), sedangkan Upekkha dihubungkan dengan Jhana keempat (IV) dan kelima (V). Jhana-jhana ini dikhususkan sebagai “BRAHMA VIHARA JHANA”.
Kitab suci tidak menekankan mereka sebagai latihan-latihan lengkap yang langsung menuju ke Nbbana seperti empat Satipatthana, tujuh (7) Bhojjanga dan delapan rangkaian jalan. Tidak juga seperti “Bodhipakkhiya-dhamma”. Empat (4) Brahma-vihara selalu tetap bersifat keduniawian (lokiya), karena mereka mempunyai makhluk-makhluk dunia yang berkondisi ( Satta-sankhara ) sebagai objek-objek dasar mereka. Dan lagi, mereka adalah perasaan-perasaan yang tinggi dari siswa yang lebih mengungkapakan sikap dan perilakunya kepada dunia luar daripada pencapaian-pencapaian yang mengatasi keduniawian.
Empat (4) Brahma-vihara dilaksanakan baik sebagai suatu latihan tambahan pada Bodhipakkhiya-dhamma, maupun sebagai pokok-pokok meditasi yang terpisah. Apabila dikembangkan pada tingkat Jhana mereka disebut “Cetovimutti”, “Kebebasan batin” ( Mettacetovimuti , dll ), masing-masing menunjukkan kedalaman-samadhi yang diperoleh dengan pengaruh mereka dalam “Appana” atau “Jhana”. Dalam keadaan ini mereka berhubungan dengan jalan ke Nibbana yang menyertai Bhojjanga dan Magga. Apabila mereka tidak dikembangkan dengan suatu pengertian untuk memperoleh pandangan terang, maka mereka hanya akan membawa kelahiran kembali kealam dunia “BRAHMA”.
Di dalam kitab-kitab Pali, metode dan tujuan dari empat (4) rangkaian latihan ini diterangkan dalam suatu rumusan dengan corak yang khusus dengan nama “Brahma-Vihara”, “Cattaro Brahma Vihara” (Majjhima Nikaya.II.76 dan Digha Nikaya.I.250, Samyutta Nikaya.V.115, II.130, IV.300, dll ). Mereka juga disebut dengan “Appamana”, “Cattaro Appamannayo” ( Digha Nikaya.III.223, dll ).
Sesuatu yang harus diingat ialah bahwa Brahma Vihara bila dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara akan membawa ketenangan dan kedamaian dalam masyarakat karena sifatnya yang tidak terbatas oleh suku, bangsa, kelompok, dan a g a m a .
Pengertian “BRAHMA-VIHARA”
Istilah “Brahma-vihara” diterjemahkan dengan bermacam-macam istilah, seperti “Kediaman Brahma”, “Kediaman Agung”, “Kondisi-kondisi Agung”, “Perasaan Hati atau Kedamaian Mulia”, “Perasaan Hati Dewa”, dan, “Appamanna” ; “Tidak-Terhingga” atau “Tidak-Terbatas”.
Di dalam hubungan ini, kata “BRAHMA” menurut keterangan yang diberikan oleh Buddhagosa Thera, harus dipahami dalam pengertian “AGUNG”, “MULIA”, atau “TERTINGGI” dalam arti tanpa cacat, bersih, dan murni. Di dalam suatu keterangan lebih jauh, Beliau menambahkan keadaan-keadaan ini adalah yang terbaik, dengan dasar bahwa mereka adalah kelakuan yang “Sesuai” dan “Yang-Sempurna” dari satu makhluk kepada makhluk-makhluk lainnya.
Definisi ini dengan ringkas diungkapakn dalam kalimat “ BRAHMAM ETAM VIHARAM IDHA MAHU “; disini dikatakan bahwa cara kehidupan ini adalah Brahma, Agung, atau Mulia ( Metta Sutta,A.V.151,Sn.Syair 151 ).
“Brahmam” disini digunakan dalam arti “Agung” atau “Baik” tanpa suatu petunjuk kepada Dewa-dewa yang memakai nama itu. Terdapat juga kalimat-kalimat lain seperti “Brahma-ppatto”, “telah mencapai keadaan Brahma” (A.II.184) dan “Brahma-bhuto” ; “Keadaan atau telah menjadi Brahma” (S.II.206 ) dimana istilah “Brahma” dipergunakan untuk mengartikan keadaan yang “Agung” atau “Tinggi”.
Disamping itu termasuk juga dalam pengertian “Brahma”, adalah makhluk – suatu makhluk dalam alam Brahma. Dewa-dewa Brahma hidup dibawah pengaruh pikiran-pikiran yang murni ini. Oleh sebab itu, mereka yang telah mengembangkan kehidupan yang luhur ini hidup seperti para Brahma. Mereka disebut “Brahma-Vihara”.
Kata “Vihara” , disini menyatakan suatu cara kehidupan batin atau keagamaan seprti di dalam kalimat-kalimat “Dibbha-vihara”, “Cara Kehidupan Dewa atau / ; Cara Kehidupan Agung”, “Ariya-Vihara”, “Cara Kehidupan Mulia” ( D.III.220 ). Singkatnya, Vihara berarti “Sikap-Batin”.
Walaupun tidak di dukung oleh kitab-kitab suci India sebelum atau bersamaan dengan kitab Ti-Pitaka (Pali), ada kemungkinan bahwa istilah Brahma Vihara dan latihan yang diperkenalkannya mempunyai suatu latihan yang kurang penting dan sedikit saja. Pengembangan Metta ( Sanskerta : Maitri ) dan tiga sifat-sifat lainnya sebagai suatu bagian penting dari Yoga, terdapat di dalam Yoga Sutra ( I.33 ) Patanjali dari mazhab belakangan, yang tujuan pokok dari praktek adalah kemajuan Yogi dalam pencapaian kesucian batin ( Cittaprasadanam ).
Walaupun demikian, menurut kitab-kitab suci Buddhis, praktek ini dianggap telah berlaku suatu cita-cita petapa, jauh sebelum adanya Sang Buddha Gotama. Komentar Jataka menyatakan di dalam banyak sekali kalimat-kalimat yang menyatakan bahwa empat (4) Brahma-Vihara telah dipraktekkan oleh petapa zaman dahulu, dan mereka tetap dipertahankan sepanjang sejarah yang panjang dalam tugas sebagai Bodhisatta. Sebenarnya, pada mula-mulanya dikatakan bahwa Brahma-Vihara telah dicetuskan oleh Boddhisatta Makhadeva yang kemudian menjadi Buddha Gotama.
Dalam Makhadeva Sutta (M.83), disebutkan bahwa Makhadeva, seorang raja kuno dari Mithila, mempraktekkan empat (4) Brahma-Vihara dan sebagai akibatnya dilahirkan kembali di alam dunia Brahma. Sutta itu juga menyatakan bahwa Sang Buddha, sewaktu Beliau masih seorang Boddhisatta yang terlahir sebagai raja Makhadeva dan beliaulah yang mencetuskan praktek yang agung itu ( Kalyanam-vattam ) yang kemudian diikuti oleh serangkaian raja-raja kuno, keturunan-keturunannya. Tetapi praktek itu di katakana hanya membawa kepada kelahiran kembali di alam dunia Brahma.
Apakah praktek Brahma-Vihara tidak merosot dengan berlalunya waktu selama masa ajaran Brahmana ? Bila kita lihat metoda-metida yang terdapat di dalam Nikaya-nikaya terlihat bahwa hamper semua metode yang sebenarnya telah dilupakan. Di dalam Tevijja Sutta ( D.130 ) dua orang Brahmana, Vasettha dan Brahadvaja, berdebat mengenai jalan-benar yang membawa “PENUNGGALAN DENGAN BRAHMA”, setuju untuk bertanya kepada Sang Buddha karena mereka tak mampu sampai pada suatu kesimpulan yang memuaskan. Pada akhir dari suatu pembicaraan yang panjang, Vasettha berkata kepada Sang Buddha :
“ Saya telah mendengar bahwa Yang Mulia Gotama mengajarkan cara untuk mengadakan penunggalan dengan para Brahma dan alangkah baiknya apabila Yang Mulia berkenan untuk menunjukkan kepada kami jalan yang menuju kepada keadaan itu. “
Kemudian, Sang Buddha mengajarkan kepada mereka pelaksanaan Brahma-Vihara sebagai jalan yang benar untuk mencapai “PENUNGGALAN DENGAN PARA DEWA BRAHMA” ( Brahmasahavyataya-Maggo ).
Pokok pembicaraan mereka bukanlah teori Brahmana tertinggi yang berhubungan dengan penunggalan dengan Brahma menurut konsepsi Veda. Tak ada hubungannya antara ( pribadi Brahma di dalam Sutta ini dengan Brahma tunggal yang dinyatakan sebagai “Kebenaran-Mutlak” dalam Upanishad ). Para Brahmana dalam sutta ini digambarkan sebagai berusaha mencapai dunia Brahma dengan cara pengorbanan dan metode lain yang diajarkan oleh para guru Veda lama yang disebutkan sebagai “Tittiriya”, “Chandoka”, dan lain-lain, yang tak mempunyai pengetahuan tentang Brahma atau jalan benar untuk mencapai mereka.
Dari sudut pandang Buddha, para brahma berarti “makhluk-makhluk lebih tinggi yang dilahirkan di dalam Rupa-Loka karena hasil meditasi, dan tak ada suatu konsepsi tentang suatu Brahma “tunggal” “. Jalan menuju ke dunia itu, seperti yang dijelaskan di dalam Sutta ini, adalah murni Buddhis dan terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut :
Ø Keyakinan ( SADDHA ) yang dihasilkan dari kesucian Sila.
Ø Siswa menjaga pintu-pintu indriyanya
Ø Ia sadar dan memiliki pengertian-terang ( vipassananana )
Ø Kepuasan ( Santthuti ) dan kesederhanaan hidup
Ø Bebas dari lima rintangan-rintangan batin ( Panca-Nivarana )
Ø Kegembiraan dan kedamaian yang timbul sebagai akibat dari kesucian batin
Ø Konsentrasi Pikiran ( Samadhi )
Ø Praktek Brahma-Vihara yang melingkupi seluruh dunia dengan rasa persahabatan, kasih saying, simpati dan keseimbangan.
Rumusan dari praktek Brahma Vihara ini adalah berlangsung sebagai berikut ini :
“ Ia berdiam diri, menggenangi satu penjuru dunia dengan pikiran persahabatan, demikian pula penjuru-penjuru kedua, ketiga, keempat, diatas, di bawah, di sekeliling, dimana-mana, ia berdiam diri memenuhi selurh dunia dengan semua makhluk-makhluk hidup, semua seperti dirinya sendiri dengan pikiran persahabatannya, mencakup jauh, berkembang besar, tidak terukur, bebas dari kebencian, bebas dari rasa permusuhan… .”
Demikianlah pelaksanaan “Metta-Cetovimutti” dalam Rupavacara Samadhi yang merupakan jalan ( Ayampi-Maggo ) untuk mengadakan persatuan dengan para Brahma ( Brahmana Sahavyataya ).
Demikian pula dengan rumusan yang sama seperti “Metta-Cetovimutti” dilaksanakan Karuna ( Kasih-Sayang / Welas-Asih ), Mudita ( Simpati ), dan Upekkha ( Keseimbangan-batin ), yaitu : Siswa memenuhi seluruh dunia dengan pikiran kasih saying, simpati dan keseimbangan. Rumusan yang sama seperti Metta-Cetovimutti itu masing-masing menjadi suatu jalan untuk menccapai Brahma-Sahavyataya ( penunggalan dengan Brahma ) ( Cf.D.I.250,M.II.207,S.IV.321 ).
JALAN MENUJU ALAM “BRAHMA”
Latihan Brahma-vihara, adalah sebuah latihan sebagai “Jalan” menuju alam para Brahma. Bila masing-masing : metta ( cinta-kasih ), karuna ( welas-asih / kasih-sayang ), mudita ( simpati ), dan upekkha ( keseimbangan batin ) dikembangkan sampai pada keadaan “Cetovimutti” yang tanpa batas tersebut akan mengatasi keadaan yang terbatas ( kammavacara ) yang berkaitan erat dengan Kammaloka ( alam-kenafsuan / alam-keindriyaan ). Kemudian kita akan mencapai keadaan “Appamana” ( tidak-terbatas ) yang berkaitan dengan “Rupaloka” ( Rupavacara ).
Corak mendalam dari latihan ini dinyatakan dalam rumusan dengan istilah-istilah “Vipulena” ( luas ), “Mahaggatena” ( berkembang besar ) dan Appamanena ( tidak-terbatas ). Karena dengan tiga sifat-sifat ini, empat (4) Brahma-vihara menjadi tidak terbatas dan Jhana yang mereka timbulkan memuncak di alam Brahma. Dengan demikian mengatasi praktek dari aliran-aliran pertapaan lain yang terbatas. Atthakattha mengatakan :
“Seperti sejumlah besar air menggenangi sebuah teluk kecil mencapai Brahma, keadaan tinggi, mengatasi kammaloka “. ( D.A.hal.406 )
Di dalam Haliddavasana Sutta (S.V.115) disebutkan beberapa Bhikkhu dari Haliddasavana, sebuah kota suku bangsa Koliya, mengunjungi sebuah vihara dari “Petapa-petapa yang berpandangan lain” ( Anntitthiya Paribbajaka ). Petapa-petapa itu mengatakan kepada para Bhikkhu :
“ Kawan-kawan, Samana Gotama mengajarkan praktek Metta, Karuna, Mudita dan Upekkha pada siswa-siswa-Nya. Kita juga mengajarkan ajaran yang sama kepada murid-murid kita.
Apakah perbedaan berkenaan dengan ajaran-ajaran dan hukum-hukum antara kita dengan petapa Gotama ? “
Para Bhikkhu itu tadi kemudian menyampaikan pernyataan para petapa tersebut kepada Sang Buddha dan Sang Buddha menjawab demikian :
“ O, para Bhikkhu, apabila para petapa dari pandangan-pandangan lain mengatakan demikian, mereka seharusnya ditanya demikian : “ Tetapi , kawan-kawan, dengan cara apa Metta harus dikembangkan ? Membawa kearah manakah ? Apakah hasil-hasil akhirnya ? Demikian pula halnya dengan Karuna, Mudita, dan Upekkha.
Setelah ditanya demikian, para petapa dari pandangan-pandangan lain itu tidak akan dapat menerangkan lebih jauh, dan mereka akan merasa kebingungan. Mengapa demikian ? Karena hal itu di luar jangkauan mereka.”
Sang Buddha sendiri menerangkan pertanyaan-pertanyaan ini kepada para Bhikkhu, dan berkata :
“ Disini para Bhikkhu mengembangkan unsure penerangan ( Bhojjanga ), yaitu kesadaran ( Sati ) yang disertai dengan Metta ( Cinta-kasih ), yang berdasarkan pada kesunyian, pada kebebasan dari nafsu-nafsu, pada pemadaman, yang cenderung pada kebebasan dan Nibbana. Apabila ia memupuk keinginan : “Semoga saya hidup dengan keseimbangan, sadar dan memiliki pengertian terang”, Ia berdiam diri disana, ia mencapai kebebasan yang disebut Subhavimokkha. O…, para Bhikkhu, penggunaan Metta Cetivimutti adalah Subha ( pencerapan indah sekalipun di dalam hal-hal yang menjijikkan ). Disana timbullah pandangan terang bagi yang masih belum merealisasikan kebebasan yang lebih tinggi. “
Demikian Metta ( cinta-kasih ) diterangkan dengan Bhojjhanga-bhojjhanga lainnya dan menyusul Karuna, Mudita dan Upekkha. Perbedaan mereka adalah ;
1. Karuna mempunyai hasil akhir dalam “Ruang-tanpa-batas”,
2. Mudita berhasil akhir dalam “Kesadaran-Tanpa-Batas”,dan,
3. Upekkha berhasil akhir dalam “Kekosongan”.
Di dalam system Buddhis, Brahma-vihara menghantar kepada Nibbana sebagai tujuan terakhir yang tertinggi, tetapi apabila mereka tidak dikembangkan sampai pada keadaan itu, maka hasil yang langsung adalah pencapaian kealam Brahma. Maka berkenaan dengan Metta, kita temukan kalimat :
“ Apabila ia tidak dapat mencapai keadaan yang lebih tinggi ( tingkat Arahat ), ia dilahirkan kembali di dalam Alam Brahma. “ ( A.V.342 ).
Orang yang mengembangkan Brahma-vihara sampai kepada Jhana hidup di dunia ini seperti kehidupan para Brahma. Karena itu, Buddhaghosa Thera menerangkan mereka sebagai :
“ Brahma ete vihata, settha ete vihara”,
Artinya :
“Brahma atau mulia adalah cara-cara penghidupan ini. “
Empat (4) sifat-sifat Brahma-vihara timbul di dalam suatu lapangan kesadaran tidak terbatas meliputi seluruh dunia yang luas, karena itu, merekea disebut “tidak-terbatas”.
Mereka juga disebut “tidak-terbatas” di dalam arti lingkungannya, termasuk segala macam makhluk-makhluk dan kondisi-kondisi makhluk. Oleh karena itu tidak mengenal batas. Sekalipun apabila meditasi hanya ditujukan pada suatu makhluk tunggal, siswa harus mengembangkan mereka tanpa membatasi kuantitas atau kualitas. Jadi, tanpa meletakkan batas, ia harus memelihara pikiran-pikiran baik, kebajikan-kebajikan dan lain-lain dengan sepenuh hati dan memancarkan mereka selebar mungkin. Mengambil ketidakterbatasan ini sebagai prinsip keadaan-keadaan batin ini, Abhidhamma menyebut mereka sebagai : “APPAMANNA” ( Tidak-berbatas ).
I. METTA ( Sanskrit : Maitri )
Menurut definisinya, Metta secara harafiah berarti “Rasa-Persahabatan” dan menunjukkan keadaan seorang sahabat ( Mittassa bhavo metta ). Itu berarti cinta kasih seperti persaudaraan, cinta kasih yang tidak terbatas, atau perasaan-perasaan bersahabat, bebas dari nafsu-nafsu kemelekatan.
Metta mempunyai corak kemurahan hati, atau mendorong kemauan baik. Berfungsi terutama untuk kebaikan-kebaikan orang lain, dan perwujudannya adalah hati yang penuh cinta kasih dan menyingkirkan kebencian. Sebab terdekatnya adalah memandang orang lain sama dengan dirinya sendiri. Melenyapkan itikad jahat adalah penggunaannya. Mementingkan diri sendiri atau cinta dengan rasa ke-aku-an , atau cinta kasih disertai hawa nafsu adalah penyimpangannya.
Apabila metta diterjemahkan dengan “Cinta”, itu harus dipahami dalam arti “Rasa-persahabatan”, karena cinta dalam arti yang umum adalah sama dengan istilah dalam bahasa Pali, “Raga”, juga bisa disamakan dengan kata “Lobha”, yang berarti nafsu atau nafsu kemelekatan yang jelas berlawanan dengan “Metta”.
Kata lain yang dipakai di dalam kitab-kitab suci untuk mengungkapkan keadaan batin yang luhur, “Metta” ini ; adalah “Avyapada” atau, “Avyapada Sankhappa”, tanpa kebencian, pikiran persahabatan atau pikiran benar, atau pikiran ( Sankhappa ) yang bebas dari kemauan jahat. Pikiran ini berhubungan dengan yang pertama dari tiga aspek Samma-sankhappa, unsure kedua dari Ariya-Atthangika-Magga ( Jalan Mulia Beruas Delapan ). Dalam hubungan inilah, Metta membawa pada seluruh pengakhiran dari “Dosa” ( Kebencian ), atau keadaan batin yang cenderung pada permusuhan.
Metta adalah ungkapan positif dari “A-dosa”, atau tanpa kebencian, dan merupakan lawan dari kemarahan, atau permusuhan yang dengan cara lain tidak dapat diusir. Maka Dhammapada ( syair kelima ) mengatakan :
“ Kebencian tidak akan berakhir bila dibalas dengan kebencian. Kebencian akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih. “
Karena itu, Metta adalah sesuatu yang mutlak untuk membersihkan batin dari kebencian dan merupakan salah satu dari sepuluh (10) Paramitha yang merupakan dasar cita-cita Bodhisatta untuk mencapai pencerahan-sempurna ( Bodhi ).
KARUNA
“Karuna”, artinya adalah “welas-asih”, yaitu perasaan-hati ( Anukampa ) yang cenderung untuk menghilangkan penderitaan makhluk-makhluk lain.
Karuna adalah kebajikan yang diperluas kepada makhluk-makhluk lain, mengharapkan agar mereka bertambah bahagia dengan melindungi mereka dari gangguan-gangguan.Coraknya adalah meringankan penderitaan dan kesengsaraan makhluk-makhluk lain, atau menahan kesakitan sendiri demik kebahagiaan mereka. Belas kasihan melihat penderitaan makhluk-makhluk lain adalah intisarinya. Perwujudannya adalah pikiran damai dan tidak mencelakakan. Menahan diri untuk tidak menyakiti adalah ekspresinya. Melihat tidak berdayanya mereka yang menderita adalah sebab terdekatnya. Menghilangkan kekejaman adalah penggunaannya, kegagalan adalah kekacauan atau menimbulkan rasa sedih.
Karuna berhubungan dengan “Avihimsa-sankhappa”, pikiran yang tanpa-kekerasan ( tidak-menyakiti ), yang merupakan aspekk dari pikiran benar ( Samma-sankhappa ) , salah satu unsure dari Ariya-Atthangika-Magga ( Jalan Ariya Beruas Delapan ), dan juga merupakan salah satu dari sifat-sifat dan pencapaian-pencapaian Agung ( Maha Karunasamapatti ) dari Sang Buddha.
MUDITA
Mudita diterjemahkan dengan “Simpatik”, “Kegembiraan yang simpatik”, atau “Kegembiraan”.
Mudita mencakup kegembiraan atas kebahagiaan atau kesejahteraan orang-orang lain. Bebas dari iri hati adalah intisarinya. Perwujudannya adalah penghancuran rasa tidak senang, melihat kondisi kesejahteraan makhluk-makhluk lain adalah sebab dekatnya. Penggunaannya adalah pelenyapan iri hati. Keserakahannya adalah lawannya.
UPEKKHA
“Upekkha”, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai ‘keseimbangan-batin’, atau “Tenang”, berarti suatu keadaan batin yang diseimbangkan sehingga melalui keadaan itu seseorang mampu merenungkan segala sesuatu tanpa memihak dengan menempatkan diri di tengah-tengah, dan mempertahankan pikiran agar tidak terganggu oleh rasa senang atau benci, tidak terpengaruh oleh kegembiraan maupun kesedihan.
Upekkha mempunyai corak tidak memihak, berat sebelah, dan intisarinya atau fungsinya memandang semua makhluk adalah sama. Lenyapnya rasa benci maupun kemelekatan adalah perwujudannya. Sebab terdekatnya adalah pencerapan tentang warisan Kamma. Karena semua makhluk terikat pada hukum kamma dan dengan pengaruhnya mereka menjadi bahagia atau tidak bahagia. Pelenyapannya, baik rasa tidak senang maupun rasa memihak adalah penggunaannya. Lawannya atau tidak timbulnya Upekkha adalah rasa kebengisan dan rasa acuh tak acuh yang bodoh.
Bentuk sesungguhnya dari Brahma Vihara, Upekkha muncul dalam bentuk Jhana keempat dan kelima yang dapat dicapai setelah mengatasi jhana ketiga yang berhubungan dengan Metta, Karuna, dan Mudita.
Mereka yang mempraktekkan salah satu dari empat (4) Brahma-Vihara ini akan mengalami kebahagiaan yang timbul dari pandangan terang dan pasti akan mencapai suatu kehidupan yang berbahagia. Tujuan dari empat meditasi ini adalah untuk menghancurkan itikad jahat, kekejaman, iri hati, dan kenafsuan secara berturut-turut. Dalam Anguttara Nikaya III, halaman 291, dikatakan :
“ Kawan-kawan, Metta cetovimutti adalah kebebasan dari kekejaman…Mudita adalah kebebasan dari iri hati dan tidak senang atas kelebihan orang lain…, Upekkha Cetovimutti adalah kebebasan dari hawa nafsu. “
Dari uraian diatas terlihat bahwa empat Brahma-vihara dihubungkan dengan istilah “Cetovimutthi”, “Kebebasan-batin”. Cetovimutti digunakan pada Samadhi yang telah mencapai Jhana, di dalam arti “Kebebasan-batin” dari kekacauan-kekacauan pikiran. Jadi apabila digabungkan dengan istilah cetovimutthi, seperti Metta-cetovimutti, Karuna-cetovimutti, dan lain-lain, mereka menunjukkan pada Appana-samadhi atau Jhana yang dapat dicapai dengan mereka. Apabila tidak berhubungan dengan cetovimutti, mereka semata-mata berarti keadaan batin yang mencapai Upacara-samadhi yang diperoleh dengan mereka ( Sumanggala Vilasini, hal.406 ). Dalam keadaan Upacara atau Appana ini mereka menjadi jalan untuk kebebasan dari kemauan jahat, kekejaman, dan lain-lain, seperti Nissarana, “Kebebasan-Mutlak”.
Dalam tingkat latihan permulaan, seorang siswa harus merenungkan kedua kondisi yang berlawanan tersebut dan kondisi-kondisi yang sesuai dengan empat (4) Brahma Vihara. Masing-masing dari mereka mempunyai dua musuh, satu musuh dekat dan yang satu musuh jauh.
Musuh langsung ( dekat ) dari Metta adalah ‘cinta kasih yang diwarnai oleh kenafsuan’ yang memandang objek dengan membeda-bedakan dan berusaha untuk memuaskan nafsu yang egoistic. Hal ini sama seperti seorang musuh yang bersembunyi di dekat sasarannya yang dengan cepat menemukan jalan mendekatinya. Oleh karena itu, Metta harus dijaga dengan baik dari cinta yang berhubungan dengan nafsu-kemelekatan, nafsu keindriyaan. Musuh tidak langsung ( jauh ) dari Metta adalah kemauan jahat ( vyapada )yang sifatnya bagaikan seorang musuh yang mengintai dari kejauhan. Karena itu, sewaktu Metta sedang kita kembangkan; ia harus secara terus menerus melindungi dari serbuan kemauan jahat.
Demikian juga dengan Karuna, musuh dekatnya adalah kesedihan yang berhubungan dengan nafsu keduniawian ( Gehasita ), karena merenungkan kesukaran semua makhluk dalam usaha mereka melawan kamma buruk. Kekejaman, yang wajar sebagai keadaan yang berlawanan adalah musuh jauh Karuna. Karena itu, Karuna harus dikembangkan dengan pencegahan yang tepat terhadap serbuan kekejaman ( Vihimsa ).
Kegembiraan yang bersifat keduniawian adalah musuh terdekat dari Mudita, karena melihat individu-individu yang keadaannya terbatas masih menikmati kesejahteraan keduniawian. Sebagai keadaan yang berlawanan dari Mudita, rasa tidak senang atau iri hati adalah musuh jauhnya. Oleh sebab itu, dalam mengembangkan Mudita ( rasa simpati ) harus menjaganya dari serbuan rasa tidak senang.
Upekkha, umumnya dipahami sebagai “Brahma Vihara Upekkha” dan “Gehasita Upekkha”. Seseorang yang tidak terlatih , hidup duniawi yang sewaktu melihat sebuah objek menjadi terilusi ( tertipu ) karena ia belum dapat mengatasi keterbatasannya dan tidak dapat melihat bahaya dari hal-hal yang berkondisi. Bagi orang biasa ini timbullah perasaan acuh tak acuh demikian terhadap wujud yang ia belum mampu mengatasi kemelekatan pada bentuk yang diketahuinya melalui penginderaan. Sikap batin ini disebut “Gehasita Upekkha”, Upekkha yang tidak dilandasi oleh Panna, pengetahuan dan kemampuan yang tidak dapat membedakan, khayalan atau kenyataan ( Cf.M.I.364 ). Keadaan yang demikian ini, yang tidak dapat membedakan antara baik dan buruk adalah musuh dari Upekkha. Lawan dari Upekkha, baik nafsu maupun kebencian adalah musuh-musuh jauhnya. Oleh sebab itu, pengembangan Upekkha harus dilakukan dengan penjagaan yang tepat terhadap mereka.
Praktek Brahma-vihara dapat dibagi menjadi tiga tingkat : “Kemauan untuk berbuat” ( Kattukamyata Chanda ) adalah permulaan, pembersihan batin dari rintangan-rintangan adalah pertengahan, dan Appana Samadhi, pencapaian Jhana adalah yang terakhir.
Tidak seperti bentuk-bentuk meditasi lain, empat rangkaian ini pada masing-masing unsure dilakukanperluasan terus-menerus, perasaan-perasaan yang bersangkutan dari perseorangan kemasyarakatan, atau dari satu makhluk ke banyak makhluk dan kemudian ke seluruh penjuru dunia, lalu ke penjuru alam-alam lain, ke semua kehidupan. Diawali dari objek-objek luar, lalu memperluas pengaruh metta kita sampai kita menjadi satu dengan seluruh alam semesta dan mengatasi semua batas antar individu.
Sesungguhnya perluasan ini terjadi pada keadaan Upacara-Samadhi, atau juga pada saat pencapaian Appana-Samadhi ( Jhana ).
Sesuai dengan hubungan kausal, Upekkha Brahma Vihara tidak akan muncul sampai Jhana ketiga telah diperoleh dengan Metta, Karuna dan Mudita. Karena Upekkha adalah akar Jhana keempat yang timbul dari Jhana ketiga, dan sebagai suatu Brahma-vihara adalah hasil langsung yang dicapai dari tiga Jhana-Jhana lainnya.
Upekkha, muncul sebagai suatu factor Samadhi di dalam Jhana keempat menurut system empat Jhana dan di dalam kelima Jhana menurut system lima Jhana, karena itu, tanpa Jhana ketiga yang dicapai dengan Metta, Karuna dan Mudita, pencapaian Jhana keempat tidak mungkin. Karena itulah , siswa yang baru saja mulai latihan Brahma Vihara janganlah mengambil Upekkha sebagai Kammatthana mereka, karena Upekkha hanya dimaksudkan bagi mereka yang telah mencapai Jhana ketiga.
Berbagai objek meditasi dipilih sesuai dengan watak ( carita ) sang siswa. Dari keempat ini, Metta adalah jalan kesucian bagi ia yang watak utamanya adalah kebencian ( dosa ), kemauan jahat ( vyapada ). Karuna, sesuai bagi seseorang yang penuh dengan pikiran-pikiran merugikan orang lain / makhluk lain, penuh kekejaman ( vihimsa ). Mudita, sesuai bagi mereka yang memiliki perasaan-perasaan tidak senang dan iri hati, dan Upekkha adalah bagi mereka yang berwatak kenafsuan. Untuk alasan ini, cara penyusunan empat Brahma-vihara dikatakan sangat tepat. Dan juga, mereka adalah cara yang sesuai untuk keadaan-keadaan yang berlawanan dengan mereka. Juga, empat rangkaian ini bertujuan untuk merangsang sifat-sifat positif keagamaan siswa, seperti diperlihatkan dalam kemauan baik, kasih saying, kebajikan,kegembiraan, dan keseimbangan dalam mengorbankan diri demi kebahagiaan makhluk lain.
Kita dapat membayangkan seorang ibu dalam tugas-tugasnya terhadap empat orang anak, yangs adalah satu seorang bayi, satunya lagi sakit-sakitan, satu seorang remaja yang masih nakal, dan keempat adalah seseorang yang telah dapat mengatur urusan-urusannya sendiri. Ibu tersebut menginginkan pertumbuhan anaknya yang paling muda, aktif untuk menyembuhkan putranya yang sakit, bergembira atas kesejahteraan pemuda, menginginkan kemajuannya, dan tidak merasa khawatir tentang anaknya yang telah dapat mengatur urusan-urusannya sendiri. Maka demikian pula siswa yang mengembangkan keadaan-keadaan yang tidak terbatas. Pertama-tama ia harus mempraktekkan Metta, memancari semua makhluk dengan kemauan baik, Karuna bagi mereka yang menderita, Mudita bagi mereka yang berbahagia dan kemudian apabila ia telah mencapai tahap yang lebih maju lagi, ia harus menuju Upekkha : Keseimbangan batin.
METODE PRAKTEK BRAHMA VIHARA
METTA ( Sanskerta : Maitri )
1. Metode Menurut Kitab Suci
Samadhi pada dasarnya adalah “Jalan” untuk mencapai “Pencerahan-Sejati”, dijalani untuk mencapai kesempuraan diri. Pelaksanaan empat (4) Brahma-Vihara adalah cetusan dari sifat-sifat positif itu dan keluhuran, kesucian yang sempurna dan kelembutan hati yang secara berangsur-angsur terwujud di dalam diri siswa keagamaan setelah ia melanjutkan latihan.
Dari sifat-sifat Metta ini, kebajikan yang tidak terikat atau rasa persahabatan dalam dirinya sendiri menekankan sifat positif dari pengorbanan diri dan bantuan bersahabat dari siswa yang tidak terbatas pada satu bagian atau bentuk kehidupan, tetapi diperluas keseluruh alam semesta yang meliputi semua makhluk, dari yang tertinggi sampai yang terendah, dan dari yang terbesar sampai pada bentuk kehidupan yang terkecil.
Metta, sebagaimana telah dicontohkan oleh Sang Buddha dan pengikut-pengikutnya serta diterangkan di dalam Kitab-kitab suci, bukanlah suatu pernyataan perasaan yang tidak terlihat, tetapi mempertahankan, kebiasaan sikap batin memberi bantuan, kemauan baik dan persahabatan yang menjelma dalam perbuatan-perbuatan, kata-kata, dan pikiran. Dalam ajaran Sang Buddha, keadaan-luhur ini ( metta ) menduduki posisi yang sangat penting.
Latihan Metta, dalam pengertian psikologis, adalah sikap moral yang cenderung pada perkembangan pikiran-pikiran berkemauan baik. Seorang siswa yang melatih metta, harus melatih metta bersama dengan bentuk-bentuk meditasi lainnya, karena diperlukan mutlak bagi seseorang yang berusaha untuk membersihkan batinnya dari kemarahan dan rasa permusuhan. Lebih dari itu, ia akan mengetahui bahwa hal itu adalah suatu bantuan yang penting dalam meditasi, membawa kesuksesan langsung dan memberikan cara perlindungan dari rintangan-rintangan luar yang mungkin harus dihadapinya.
Dalam Maha Rahulovada Sutta ( M.I.424 ) Sang Buddha menasehati putranya, Rahula Thera, untuk mempraktekkan Metta, dengan dasar, apabila metta itu dikembangkan, segala bentuk kemarahan akan lenyap. Dalam Meghiya Sutta ( A.IV.354 ), Metta itu dianjurkan kepada Meghiya Thera yang pada mulanya gagal untuk mencapai kesuksesan meditasi, karena terus menerus timbulnya pikiran-pikiran jahat. Setelah mengusir pikiran-pikiran jahat-Nya dengan bantuan dari Metta yang dikembangkan-Nya, ia mencapai kesucian tingkat Arahat.
Beberapa metode-metode mempraktekkan Metta, sebagai suatu bentuk meditasi yang terpisah, telah diterangkan dalam Tipitaka Pali dalam bermacam-macam hubungan. Di dalam menerangkan pokok meditasi ini kita harus lebih banyak memberikan pertimbangan, khususnya tentang empat (4) metode-metode yang terdapat di dalam Sutta Pitaka.
Dari empat (4) ini, rumusan mengenai empat (4) rangkaian latihan Brahma Vihara yang sering sekali muncul dalam Nikaya-Nikaya yang dapat diketemukan dalam Tevijja Sutta berhubungan secara mendasar dengan metode “ Disapharana “. Metode ini terdiri dari memancari seluruh dunia dengan Metta, diperluas kesemua jurusan, dan berhubungan dengan tingkat-tingkat Jhana. Kita kutipkan rumusan ini bersama-sama dengan versi Pali-nya untuk menunjukkan coraknya yang mendalam :
“ So mettasashagatena cetasa, ekam disam pharitva viharati. Tatha dutiyam, tatha tatiyam, tatha catuttham, itu uddham adho, tiriyam, sabbadhi, sabbattataya, sabbavantam lokam mettasahagatena cetasa, vipulena, mahaggatena, appamanena, averena, abyapajjena pharitva viharati”.
Artinya :
“ Ia berdiam mencari satu penjuru dengan batinnya yang mengandung rasa persahabatan. Demikian pula, kedua, ketiga, keempat, demikian di atas, di bawah, di sekeliling, dimana-mana, semua seperti dirinya sendiri, seluruh dunia yang luas, ia memancari dunia dengan batin yang mengandung rasa persahabatan, berlimpah-limpah, berkembang besar, tidak terukur, bebas dari rasa permusuhan, bebas dari kemauan jahat. “
Rumusan ini diajukan oleh Buddhaghosa Thera dalam Visuddhimagga yang dibedakannya sebagai “Vikibbana”. Istilah ini juga muncul yang berhubungan dengan Iddhividha ( kesaktian ) sebagai “Vikubbana-iddho”, yang berarti : “ melatih bermacam-macam bentuk kekuatan batin.”Buddhaghosa Thera menggunakannya secara harfiah berarti : “Mempraktekkan ( pemancaran ) dalam banyak cara atau bentuk. “ Rumusan ini menunjukkan penempatan suatu keadaan pikiran baik yang tidak terbatas, yang berkembang pada tingkat Jhana. Karena itu rumusan ini menunjukkan sikap kebiasaan batin dari mereka yang telah mencapai Jhana dengan praktek Metta. Rumusan ini untuk Karuna, Mudita, dan Upekkha dapat diperoleh dengan diulang dan diganti, satu demi satu, dengan Karuna, Mudita dan Upekkha.
Sebagai pernyataan cara kehidupan khusus yang harus dijalankan oleh siswa keagamaan, rumusan ini dengan tegas menekankan sikap batinnya dalam hubungannya dengan dunia luar, terutama dalam keadaan Jhana. Lebih lanjut menggambarkan pandangan dari seorang yang tidak menyiksa dirinya sendiri atau pun melukai makhluk lain, tetapi “Hidup puas, tenang, dan bebas, menikmati kebahagiaan ketenangan, dia adalah Brahma ( Brahma Bhutena Attana )”. (M.I.349,II.159 ).
Konteks khusus dari rumusan itu sesuai dengan Upali Sutta ( M.I.378 ) yang menyatakan bahwa mereka yang telah mencapai Jhana dan kekuatan-kekuatan batin, tetapi masih belum mengembangkan Metta dapat menghancurkan makhluk-makhluk lain hanya dengan pikiran, hanya semata-mata karena godaan amarah. Dikatakan bahwa di zaman dahulu hutan-hutan yang bernama Dandaka, Kalinga, Mejjha dan Matanga, menjadi hutan-hutan karena kemarahan dari beberapa orang petapa-petapa kuno ( Pubbaka isayo ). Tetapi siswa Sang Buddha, seperti rumusan mengatakan, berdiam memancari seluruh alam semesta dengan Metta yang tidak terbatas, bebas dari kemarahan dan permusuhan.
Terdapat sebuah Sutta ( Kotbah ) Sang Buddha yang sangat terkenal, yang berhubungan dengan latihan Metta ( cinta-kasih ) ini, yaitu “KARANIYA METTA SUTTA”. Karaniya Metta Sutta menerangkan cara bagaimana metta seharusnya dipraktekkan, baik sebagai perlindungan untuk diri sendiri maupun sebagai kammatthana ( pokok-landasan-pemusatan-perhatian ). Dalam Sutta ini ditekankan sebagai suatu tugas pokok seorang siswa yang mengikuti system latihan keagamaan yang mencari kebahagiaan dan kedamaian.
Sutta ini adalah salah satu dari khotbah-khotbah yang amat penting yang dipilih untuk dibacakan pada suatu acara Puja-Bhakti dan pembacaan Paritta yang biasanya diadakan pada waktu-waktu Mangala atau pada saat-saat terserang oleh penyakit epidemic atau pada saat seorang menderita sakit.Sutta ini sangat penting bagi seorang Yogi-Buddhis, dan sudah berfungsi menjadi mantra, diberikan dalam bahasa Pali dengan terjemahan bahasa Indonesia. Berikut adalah isi dari Karaniya metta sutta tersebut :
“ INILAH YANG PATUT DIKERJAKAN
OLEH IA YANG TANGKAS DALAM HAL YANG BERGUNA
YANG MENGANTAR KE JALAN KEDAMAIAN
SEBAGAI ORANG YANG CAKAP, JUJUR ( Perbuatan lurus melalui ucapan ataupun jasmani ),
TULUS ( Perbuatan lurus melalui pikiran ( tidak munafik ) )
MUDAH DINASEHATI, LEMAH-LEMBUT, TIDAK SOMBONG
MERASA PUAS ATAS YANG DIMILIKI, MUDAH DIRAWAT,
TIDAK REPOT, BERSAHAJA HIDUPNYA,
BERINDRIA TENANG, PENUH PERTIMBANGAN,
SOPAN, TAK MELEKAT PADA KELUARGA-KELUARGA
TIDAK BERBUAT KESALAHAN WALAUPUN KECIL
YANG DAPAT DICELA OLEH PARA BIJAKSANA,
SENANTIASA BERSIAGA DENGAN UJARAN CINTA KASIH :
“ SEMOGA SEMUA MAKHLUK BERBAHAGIA DAN TENTERAM
SEMOGA SEMUA MAKHLUK HIDUP BAHAGIA “
MAKHLUK HIDUP APAPUN YANG ADA
YANG GOYAH (yang gampang tergoyah oleh keinginan dan ketakutan),
DAN YANG KOKOH ( yang terkendali keinginan dan ketakutannya )
TANPA KECUALI,
YANG PANJANG ATAU YANG BESAR,
YANG SEDANG, PENDEK, KECIL, KURUS, ATAUPUN YANG GEMUK,
YANG TAMPAK ATAU PUN YANG TAK TAMPAK,
YANG BERADA JAUH ATAU PUN DEKAT,
YANG TELAH MENJADI ATAU PUN YANG BELUM MENJADI,
SEMOGA MEREKA SEMUA HIDUP BAHAGIA,
TAK SEPATUTNYA YANG SATU MENIPU YANG LAINNYA,
TIDAK MENGHINA SIAPA PUN DIMANA JUGA,
DAN, TAK SELAYAKNYA KARENA MARAH DAN BENCI
MENGHARAP YANG LAIN CELAKA.
SEBAGAIMANA SEORANG IBU MEMPERTARUHKAN JIWANYA
MELINDUNGI PUTRA TUNGGALNYA,
DEMIKIANLAH TERHADAP SEMUA MAKHLUK
KEMBANGKAN PIKIRAN CINTA KASIH TANPA BATAS.
CINTA KASIH TERHADAP MAKHLUK DI SEGENAP ALAM
KEMBANGKANLAH TANPA BATAS DALAM BATIN
BAIK KE ARAH ATAS ( alam ‘arupa’ ), BAWAH ( ‘alam-nafsu’ ),
DAN DIANTARANYA ( ‘alam-rupa’ )
TIDAK SEMPIT, TANPA KEDENGKIAN, TANPA PERMUSUHAN
SELAGI BERDIRI, BERJALAN ATAU DUDUK,
ATAUPUN BERBARING, SEMASIH TIDAK TERLELAP,
SEPATUTNYA IA MEMUSATKAN PERHATIAN INI
YANG DISEBUT SEBAGAI : ‘BERDIAM DALAM BRAHMA’.
IA YANG MENGEMBANGKAN METTA ( cinta-kasih ),
TAK BERPANDANGAN SALAH ( menganggap nama ( jiwa ) dan rupa ( tubuh ) sebagai ‘aku’, dan mengangap ada ‘aku’ yang-abadi ),
TEGUH DALAM SILA DAN BERPENGETAHUAN SEMPURNA,
DAN MELENYAPKAN KESENANGAN NAFSU INDRIA
( pencapaian sakadagami ),
TAK AKAN LAHIR DALAM RAHIM LAGI ( Pencapaian anagami ). “
Dalam kitab Yogavacara ( hal.3 ) disebutkan bahwa Metta Sutta harus dibacakan dalam bahasa Pali sebagai bagian mantra yang harus mendahului semua latihan-latihan di dalam meditasi. Ayat-ayat dari Sutta ini dianggap telah disusun demikian sehingga kata-katanya sendiri mempunyai suatu kekuatan bunyi yang tenang, dan selalu dibacakan dengan suatu nada tertentu.
Namun, tujuan utama dari Sutta tentang cinta-kasih ini adalah untuk menerangkan praktek metta dan untuk menggariskan suatu system latihan perenungan tertentu. Lebih dari itu, adalah suatu perluasan yang lebih khusus tentang metode pemancaran metta dan sesuai dengan yang disebutkan dalam Tevijja Sutta.
Dalam Karaniya Metta Sutta, cinta kasih digambarkan dengan kasih-sayang ke-ibu-an dan secara khusus dinamakan “Brahma-Vihara”. Praktek meditasi ini sendiri dapat membawa pada kebebasan dari kelahiran kembali, seperti yang ditekankan dalam kata-kata, “Dengan demikian ia tidak pernah akan dilahirkan dalam rahim lagi.”
Penempatan khusus lainnya dari Metta terdapat dalam Khandha Paritta ( Anguttara Nikaya.II.72 ), yang digunakan sebagai suatu perlindungan melawan gangguan ular-ular. Sutta ini menyatakan bahwa seorang Bhikkhu tertentu dari Savatthi meninggal karena gigitan ular. Sejumlah Bhikkhu memberitahukan kepada Sang Buddha. Beliau berkata :
“ Bhikkhu yang tidak mempraktekkan Metta terhadap empat keluarga Ular. Ada empat keluarga ( Kula ) Ular-ular, yaitu, Viruppakha, Erapattha, Cabyaputta, dan Kanhagotamaka. Apabila ia telah mempraktekkan Metta terhadap empat (4) macam keluarga ular ini, ia tidak akan meninggal digigit ular. Kami menasehatkanmu, O…para Bhikkhu, untuk memancari mereka dengan pikiran-pikiran persahabatan ( Mettena cittena pharitum ) demi penjaga serta perlindungan dirimu sendiri. “
Metode pemancaran sesungguhnya diberikan dalam syair-syair dan harus secara berangsur-angsur diperluas, mulai dari empat keluarga Ular, demikian caranya :
“ Semoga saya bersahabat dengan Virupakkha-virupakkha, semoga saya bersahabat dengan Chabyaputta-chabyaputta, dengan erapatha-erapatha semoga saya mempunyai persahabatan dengan Kanhagotamaka-kanhagotamaka semoga saya mempunyai persahabatan. “
Pemancaran kemudian secara berangsur-angsur diperluas, maku di dalam tingkat-tingkat tertentu, dan meliputi bermacam-macam makhluk yang berbeda, tanpa kaki, mereka yang berkaki dua, berkaki empat dan berkaki banyak.
Setelah itu sang siswa mengharapkan sebagai berikut : “Biarlah mereka yang tak berkaki tidak melukaiku, ataupun mereka yang berkaki dua, biarlah mereka yang berkaki empat tidak melukaiku, ataupun mereka yang berkaki banyak. “
Kemudian dilanjutkan dengan pemancaran yang dikembangkan tidak terbatas terhadap :
“ Sabbe satta sabbe pana
Sabbe bhuta ca kevala
Sabbe bhadrani passantu
Ma kinci papamagama”
“ Semoga semua makhluk, semua makhluk yang hidup, semua yang dilahirkan, dan setiap orang, semoga semuanya dapat melihat kebahagiaan, dan semoga tidak tertimpa kemalangan. “
Bait ini terdiri dari beberapa kata-kata sebenarnya ( yaitu, “ Sabbe satta, sabbe pana, sabbe bhuta…” ) yang muncul dalam rumusan-rumusan untuk meditasi, seperti diberikan di dalam hasil-hasil karya yang belakangan. Kemudian menyusul pemanjatan :
“ Tida terbatas kesucian Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, terbatas makhluk-makhluk merayap seperti Ular, Kalajengking, Lipan, Laba-laba, Bengkarung, Tikus, dan Tikus kecil. Saya telah melakukan penjagaanku, perlindunganku. Biarlah semua makhluk berlalu dengan damai. Hormat pada Bhagava, hormat pada tujuh Sammasambuddha. “
Sutta ini suatu tradisi yang amat lama dan telah berakar dengan kuat. Dalam Khanda-Vatta Jataka ( Jat.145,Vol.11 ) Bodhisatta menasehati para pengikutnya untuk memanjatkan Paritta ini ( yang diberikan dalam bentuk sama ) sebagai suatu perlindungan terhadap ular-ular, karena mereka tinggal di suatu tempat di lembah Himalaya yang banyak sekali terdapat makhluk-makhluk beracun hidup.
Dengan menjalankan nasehat ini, para petapa mencapai usia panjang tidak terganggu, selama masa itu Bodhisatta sendiri, yang dengan mempraktekkan Brahma Vihara dilahirkan kembali di dalam dunia Brahma. Dalam menceritakan pengalaman lampaunya ini Sang Buddha menasehatkan para Bhikkhu untuk menjalankan Paritta yang sama.
Latihan meditasi ini diberikan di dalam Khuddhakavatta-khandhaka dari Cullavagga ( Vinaya.109 ), sebagai suatu peraturan kedisiplinan dan tugas, dan kemudian nama khusus “Khandhaka Paritta” diambil dari hubungan ini.
Dari dua paritta-paritta ini, metode yang dikemukakan dalam Metta Sutta sesuai dengan praktek seperti yang dilaksanakan dalam tingkat Jhana, seperti juga rumusan terdapat dalam Tevijja Sutta, sedangkan yang lain nampaknya merupakan bentuk pemancaran yang lebih sederhana. Akan tetapi, keduanya meliputi bentuk-bentuk pemancaran “Anodhiso”, ( Tidak-Terbatas ), dan “Odhiso” ( terbatas ), yang diterangkan di dalam Patisambhidamagga, seperti yang akan dilihat dibawah. Kedua metode, tidak terbatas dan terbatas, digabungkan dengan “Disapharana”, pemancaran ke seluruh jurusan, diberikan di dalam rumusan empat rangkaian latihan. Mereka mungkin berbeda di dalam kata-katanya, tetapi intinya tetap sama.
Suatu pemancaran metta yang dikembangkan lebih luas yang sesuai dengan rumusan-rumusan ini, disebutkan dalam Metta katha patisambhidamagga ( Vol.11.hal.129-139 ), dimana kita mendapatkan suatu keterangan yang terinci mengenai beberapa metode, disusun dalam urutan menurut bilangan, secara terpisah mereka digabungkan dengan unsure-unsur Bodhipakhiyadhamma. Pertama dikutipkan Mettanisamsa, suatu khotbah yang terdapat dalam Anguttara Nikaya ( Vol.V.342 ) dan memberikan 11 keuntungan dari Metta Bhavana yang akan ditelaah kemudian. Kemudian diuraikan metode-metode pemancaran Metta. Ada tiga metode , yaitu :
1. Anodhiso-pharana : pemancaran tanpa suatu batas
2. Odhiso-pharana : pemancaran dengan suatu batas,
3. Disa-pharana : pemancaran ke segala penjuru
Metode Anodiso dibagi lagi menjadi lima, tiap bagian membentuk suatu rumusan meditasi yang terpisah ; yaitu :
a). Sabbe satta - semua makhluk
b). Sabbe pana-semua makhluk hidup
c). Sabbe bhuta-semua makhluk yang dilahirkan,
d). Sabbe puggala-semua orang atau individu-individu,
e). Sabbe Attabhava-pariyapanna – semua yang telah menjadi individu.
Masing-masing dari lima ini dirangkaikan kata kerja penghubung dari aspirasi, yaitu :
a. Averahontu : semoga ( mereka ) bebas dari permusuhan
b. Abyapajja hontu : semoga ( mereka ) bebas dari kemauan jahat.
c. Anigha hontu : semoga mereka terlepas dari penderitaan,
d. Sukhi attanam pariharantu : semoga ( mereka ) mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri.
Dalam hal yang telah disebutkan diatas, rumusan penuh harus diulang, sebagai demikian : “ Semoga semua makhluk bebas dari permusuhan, bebas dari kemauan jahat, terlepas dari penderitaan atau kesakitan, dan semoga mereka mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri. “
Demikian pula,
“Semoga semua makhluk hidup, semua makhluk yang dilahirkan, semua individu, dan semua yang telah hidup sebagai individu, bebas dari permusuhan, kemauan jahat, terlepas dari penderitaan dan semoga mereka mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri.”
Dengan mengikuti metodi ini siswa menyertakan semua makhluk di dalam pikiran cinta kasihnya dan menggenangi mereka dengannya, tanpa batas “ menyentuh semuanya tanpa perkecualian “, seperti dinyatakan di dalam komentar. Karenanya disebut “Anodiso pharana” ; pemancaran tanpa batas.
Ada tujuh bentuk-bentuk Odiso-Pharana, atau “Metode-terbatas” :
Sabbe itthiyo : semua perempuan,
Sabbe purisa : semua laki-laki,
Sabbe ariya : semua para mulia, atau mereka yang telah merealisasi kesempurnaan,
Sabbe anariya : semua yang bukan ariya, atau mereka yang belum merealisasi kesempurnaan,
Sabbe Deva : semua dewa,
Sabbe manussa : semua manusia
Sabbe vinipatika : mereka semua yang belum bahagia
Masing-masing ini harus dirangkaian dengan empat (4) pengharapan-pengharapan dan diulang secara terpisah atau secara kolektif selama masa meditasi.
Dalam menggunakan metode ini siswa memancarkan Metta dengan membagi makhluk-makhluk menjadi kelompok-kelompok sesuai dengan sifat dan kondisi mereka. Karena itu meditasi ini disebut “Odiso-pharana” , atau “ pemancaran dalam suatu batas atau bagian.”
Ada sepuluh (10) cara pemancaran Metta ke penjuru-penjuru dan pertengahan penjuru yang dimulai dari timur. Mereka meliputi delapan bagian kompas : empat (4) bagian pokok, empat (4) bagian pertengahan dan diatas dan dibawah.
Rumusannya adalah :
“ Semoga semua makhluk di bagian timur bebas dari permusuhan, kemauan jahat, terlepas dari penderitaan dan semoga mereka mempertahankan kebahagiaannya sendiri. “
Dalam cara yang sama :
“ Semoga semua makhluk di Barat, Utara, Selatan, Timur Laut, Barat Daya, Tenggara, di atas dan dibawah bebas dari permusuhan , dll. “
Dalam tiga metode pemancaran Metta ini ada dua-puluh-dua (22) rumusan. Menurut Atthakatha, masing-masing menunjukkan pada Metta yang membawa Jhana.
Dari lima Anodiso-pharana :
“ Semoga semua makhluk bebas dari permusuhan “adalah suatu appana”, “bebas dari kemauan jahat” adalah yang kedua, “terlepas dari penderitaan” adalah yang ketiga, dan “semoga mereka mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri” adalah yang keempat. “
Jadi, di dalam metode pemancaran tidak terbatas, terdapat 20 Jhana, yaitu empat (4) dalam tiap-tiap rumusan. Dalam cara yang sama empat (4) Jhana dalam tiap-tiap tujuh (7) rumusan, memberikan jumlah dua-puluh-delapan (28) yang termasuk dalam metode pemancaran terbatas.
Lima (5) rumusan-rumusan metode Odhiso ( 1-V) juga telah digabungkan dengan sepuluh (10) jursan-jurusan, demikian : “Semoga semua makhluk dibagian Timur bebas dari rasa permusuhan” dan selanjutnya. Dengan cara ini terdapat dua ratus ( 200 ) Jhana , dua puluh (20) pada tiap-tiap jurusan.
Dalam cara yang sama tujuh (7) rumusan-rumusan (VII) digabungkan dengan sepuluh (10) jurusan-jurusan seperti, “Semoga semua wanita di bagian Timur…” dan selanjutnya, memberikan jumlah 280 Jhana, yaitu dua-puluh-delapan (28) pada tiap-tiap jurusan.
Jadi, terdapat 480 Jhana. Seluruhnya terdapat 528 Jhana ( 20,28,200 dan 280 ) yang disebutkan dalam Patisambhidamagga.
Atthakatha menyatakan bahwa Karuna, Mudita, dan Upekkha juga digunakan dengan metoda pemancaran yang sama, dan siswa yang mempraktekkan dengan salah satu cara dari Jhana-Jhana ini, menikmati sebelas (11) berkah yang dinyatakan dalam kalimat-kalimat berikut ini :
“Para bhikkhu, dari pratek Metta-cettovimutta atau kebebasan batin melalui rasa persahabatan dikembangkan, dipupuk, dijadikan suatu kendaraan ( Yanikata ), dijadikan suatu dasar ( Vatthukata ), teguh dalam usaha , dibiasakan, dipancarkan dengan sempurna, maka dapat diharapkan sebelas (11) berkah.
Apakah sebelas (11) berkah itu ?
1. Ia tertidur dengan bahagia
2. Ia bangun dengan bahagia
3. Ia tidak bermimpi hal-hal yang burk
4. Ia dicintai oleh ummat manusia
5. Para Dewa melindunginya
6. Api, racun, pedang tidak dapat mendekat pada dirinya,
7. Batinnya mudah terkonsentrasikan,
8. Wajahnya menjadi bersinar
9. Ia mati dengan batin yang bebas dari kekacauan
10. Batinnya akan bahagia
11. Apabila ia belum mencapai yang lebih tinggi, setelah meninggal ia pasti terlahir di alam Brahma.
( Mettanisamsa Sutta, A.V.342 )
2. Keterangan dari Atthakatha
Buddhaghosa Thera dalam komentarnya terhadap ajaran-ajaran kitab suci memberukan suatu keterangan yang terinci mengenai Brahma-vihara bhavana dan menerangkan metode-metode pelaksanaannya dan menganggap masing-masing sebagai suatu Kammatthana yang terpisah. Keterangannya sebagian besar terdiri atas rincian metode-metode praktek dan instruksi-instruksi permulaan yang diberikan kepada siswa yang baru mulai yang nampaknya berdasarkan pada pengalaman-pengalaman para Thera Yogavacara yang hidup bersama dengannya.
Siswa yang ingin memulai meditasi pada Metta harus mematuhi perintah-perintah berikut :
Pertama, ia harus mengembangkan kesucian ‘Sila’ selama masa permulaan latihannya, dengan mengambil sila-sila yang diberikan dalam kitab-kitab suci sebagai patokan etikanya dan menjadikan dasar perilaku mereka. Setekag bebas dari rintangan-rintangan, baik di luar maupun di dalam, maka ia harus menerima pokok meditasi Kammatthananya dari seorang Guru yang mampu untuk mengajarnya. Mengambil suatu tempat duduk yang telah diatur di suatu tempat sunyi dan memilih saat yang sesuai. Terlebih dahulu ia harus menyiapkann batinnya dengan merenungkan kerugian-kerugian akibat kebencian dan keuntungan-keuntungan dari kesabaran. Setelah ini selesai, ia harus mengingat kata-kata , seperti :
“ Kesabaran adalah nilai pertapaan yang tertinggi ( Khanti Paramam Tapo ), Nibbana adalah Kebahagiaan yang tertinggi ( Nibbanan Paramam Sukham ), demikian dikatakan para Buddha” ( Digha Nikaya.II.49 ), Dhammapada, syair 184.
Dengan cara ini batin akan dibersihkan dari kebencian dan digantikan oleh kesabaran. Kemudian praktek Metta harus mulai dengan suatu pengertian untuk menghancurkan rasa kebencian dan mengembangkan kesabaran.
Tetapi pada permulaan, untuk beberapa alasan psikologis, janganlah siswa memancarkan Metta terhadap empat (4) macam orang sebagai berikut :
1. Seseorang yang tidak dicintai
2. Seseorang kawan yang amat dicintai
3. Seseorang yang dipandang dengan perasaan netral
4. Seorang musuh
Juga dianjurkan bahwa pada pertama kalinya ia seharusnya tidak memancarkan Metta pada mereka yang berlawanan jenis kelamin ataupun pada orang yang telah meninggal dunia.
Alasan-alasan tersebut diatas diterangkan sebagai berikut :
Pada permulaan mungkin siswa mendapatkan kesukaran untuk memancarkan Metta pada orang yang tidak dicintainya. Biasanya perasaan simpatik diberikan pada seseorang yang dicintai. Pada saat yang sama, Metta-bhavana harus diikuti dengan perasaan tidak melekat dan dengan mencoba untuk tetap tidak melekat sewaktu mempraktekkan Metta terhadap seseorang yang amat dicintai. Siswa tidak hanya menjadi lelah tapi perasaan tidak melekatnya dapat terganggu oleh perasaan-perasaan khawatir seandainya kawan karibnya mengalami suatu pengalaman tidak menyenangkan yang paling kecil sekalipun.
Pada permulaannya untuk menunjukkan rasa hormat dan cinta pada seseorang yang dipandang dengan perasaan netral adalah sukar. Kemarahan dapat timbul dalam dirinya yang berpikir terhadap seorang musuh. Ada kemungkinan nafsu dapat timbul dalam dirinya yang mengembangkan Metta secara khusus pada seseorang yang berlawanan sex, seperti terjadi pada seorang laki-laki yang bermeditasi cinta-kasih terhadap istrinya.
Dengan bermeditasi pada seorang yang telah meninggal sang siswa tidak dapat mencapai Jhana atau pun Jhana pendekatan ( Upacara-samadhi ) melalui Metta. Ini terbukti dengan cerita tentang seorang bhikkhu muda yang mempraktekkan Metta pada gurunya yang telah meninggal dan gagal untuk mencapai Jhana sampai ia menunjukkan cinta-kasihnya pada Thera lain yang masih hidup. Untuk alasan-alasan ini meditasi dengan objek Metta janganlah dimulai dengan orang-orang demikian.
Pertama sekali siswa harus mengembangkan Metta dengan memancarkan cinta kasih pada diri sendiri dalam cara ini :
“Aham avero homi, abyapajjo homi, anigho homi, sukhi attanam pariharami”.
Artinya ;
“Semoga saya bebas dari permusuhan, kemauan jahat, dan terlepas dari penderitaan, semoga saya dapat mempertahankan kebahagiaan saya sendiri. “
Rumusan ini digunakan sebagian karena diri sendiri adalah yang paling dicintai dan yang paling mudah diantara semua orang untuk dicintai, sebagian lagi karena cinta kasih harus dikembangkan dalam diri sendiri sebagai suatu alat positif, sebelum itu dapat dipancarkan keseluruh dunia dengan Metta.
Dalam semua metode-metode di dalam kitab suci, tidak ada satupun petunjuk mengenai pengembangan Metta yang ditujukan pada diri sendiri. Hal ini tidaklah bertentangan, karena tujuannya adalah untuk mengungkapkan pemancaran Metta dengan cara Jhana. Disini dibuat pernyataan “cinta diri sendiri” dengan suatu pandangan untuk menjadikan diri sendiri sebagai contoh.
Adalah benar bahwa seseorang dapat mengembangkan cinta-kasih bagi diri sendiri selama seratus tahun dengan mengatakan “ semoga saya berbahagia “ dan lain-lain, ia tidak akan mencapai Jhana. Tetapi ia yang mengembangkan pengharapan “Semoga saya berbahagia” melihat diri sendiri sebagai bukti dan berpikir “seperti saya ingin bahagia, menjadi bebas dari kesengsaraan, maka demikian pula halnya dengan makhluk-makhluk lain. Mereka ingin hal yang sama”. Kemudian pada saat itu timbullah dalam dirinya keinginan agar semua makhluk dapat menikmati kebahagiaan dan berkah-berkah. Dan juga, cara mencari diri sendiri pertama-tama, denagn cinta-kasih dan kemudian memancarkan pada orang-orang lain dinyatakan oleh Sang Buddha sendiri di dalam kata-kata berikut :
“ Mengembara ke semua jurusan dengan pikiran , tak ada suatu yang lebih dicintai daripada diri sendiri. Karena diri sendiri adalah orang yang paling dicintai oleh setiap orang, janganlah orang yang mencintai dirinya melukai makhluk lain.” (Samyutta Nikaya.I.75 )
Karena itu , pertama siswa harus mencari diri sendiri dengan Metta. Dengan mengambil diri sendiri sebagai contoh dan kemudian mengarahkan pikiran pada orang yang dicintai dan dipandang dengan rasa cinta olehnya, atau pantas dihormati olehnya, seperti Gurunya atau seorang Guru atau orang tuanya. Ia mendapatkannya mudah untuk mencari orang-orang demikian dengan Metta, setelah ia memandag bermacam-macam segi, seperti kesucian, kebijaksanaan mereka, dan lain-lain.
Siswa meditasi, dengan mengikutin latihan meditasi, kemudian harus mengarahkan pikiran cinta kasih pada kawan yang paling dicintainya, demikian : “ Semoga ia berbahagia” dan selanjutnya.
Disini ia menemukan kebahagiaan dan kegembiraan, karena mudah untuk mempertahankan kawannya dalam cinta kasih yang sama berkenaan dengan diri sendiri. Namun ,siswa janganlah menjadi puas dengan kesuksesan meditasi cinta kasih yang demikian, tetapi harus mengubah pada suatu tugas yang lebih sukar, yaitu memancarkan metta pada beberapa orang yang ia merasa netral. Padanya juga ia harus meletakkan keseimbangan yang sama seperti dirinya sendiri, mengirimkan padanya rasa cinta kasih murni dengan ukuran yang sama.
Selanjutnya, ia mengarah pada musuhnya, seandainya masih terdapat salah satu dari sesame makhluk yang ia pandang atau rasakan bermusuhan. Disinilah ia menemukan bahwa hal ini adalah tugasnya yang paling sukar, yaitu mencari dengan rasa cinta kasih yang sama pada seorang musuh, karena sewaktu ia menunjukkan pikiran-pikiran cinta-kasihnya terhadap musuhnya ia mungkin teringat kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh orang ini kepada dirinya. Ada kemungkinan kebencian, sebaliknya dari rasa cinta-kasih yang timbul di dalam dirinya.
Jika demikian , maka ia harus melakukan serangkaian meditasi untuk mengusir kebenciannya dengan terus-menerus berdiam dalam cinta-kasih, menunjukkan pada orang ini tanpa suatu perasaan hipokrisi dan tidak mempunyai motif lain di dalam pikirannya. Apabila ia gagal dalam usaha ini, maka dengan terus-menerus ia harus menguncarkan rasa cinta-kasih pada salah seorang dari tiga golongan-golongan sebelumnya, melanjutkan sampai pikirannya menjadi lunak dan tenang. Segera setelah keluar dari meditasi cinta-kasih yang telah dikembangkan demikian, ia harus memelihara pikiran tersebut pada orang yang telah membangkitkan rasa permusuhan. Dengan cara ini semua perasaan tidak senang dapat ditaklukkan, karena usaha mengembangkan cinta-kasih itu sendiri akan melenyapkan ras permusuhan.
Apabila usaha ini tidak berhasil, maka ia harus berjuang untuk mengusir rasa permusuhan dengan mengingat nasehat-nasehat berikut :
“ O para Bhikkhu, seandainya pencuri-pencuri dan perampok-perampok memotong anggota-anggota tubuh dengan sebuah gergaji, dan sekalipun pada hal itu seorang Bhikkhu membuat batinnya marah, dalam hal itu ia bukanlah seorang pengikut agama-ku”. ( Perumpamaan sebuah gergaji.M.I.129 )
“ Lebih buruk dari keduanya adalah ia yang dibenci membalas dengan membenci, ia yang sewaktu dihina tidak membalas menghina, pastilah pemenang dari pertempuran. Demik kebaikan keduanya, ia mengusahakan menenangkan kemarahannya sendiri sewaktu mengetahui orang lain marah “. ( Samyutta Nikaya.I.222 )
Siswa dengan menunjukkan hal-hal ini dan dengan mengingat kalimat-kalimat tertentu lainnya yang terdapat dalam Anguttara Nikaya,II.95, III.185, IV. 94-96, harus berpikir terhadap dirinya sendiri, demikian :
“ Engkau dengan menjadi marah dan menahan rasa dendam demikian, tidak akan menjadi pengikut agama dari Guru yang penuh kasih saying. Dengan menyimpan rasa kemarahan engkau lebih buruk daripada lawanmu dan tidak akan memenangkan pertempuran yang sukar dimenangkan.”
Apabila, setelah ia berjuang demikian, kebencian lenyap, itu adalah baik dan sempurna. Apabila tidak, maka ia harus memusatkan pikiran pada kesucian-kesucian Sang Buddha, hukum kamma dan tumimbal-lahir, menganalisa ke individu, dan bentuk-bentuk meditasi lain yang membawa ketenangan dan mengusir kebencian.
Dalam latihan ini siswa harus mengingat atau membaca cerita-cerita Jataka,67, terjemahan V.40 ), Bhuridatta jataka ( VI.157 ), Champeyya Jataka ( IV.454 ), Sankhapala ( V.161 , terjemahan V.90 ), dan Matuposaka Jataka ( IV.90 ). Di dalam Jataka-jataka ini ia akan membaca bagaimana Sang Buddhisatta mencari musuh-musuhnya dengan Metta dan dengan demikian ia berhasil mengalahkan kebencian.
Dalam bermeditasi pada Hukum Karma ia harus berpikir dalam cara ini berkenaan dengan diri sendiri :
“ Manusia, apa yang akan kau peroleh dari kemarahan terhadap orang lain ? Apakah kemarahan ini yang merupakan asal dari kebencian ini tidak akan merugikan dirimu sendiri ? Sesungguhnya engkau sendiri pemilik dari kamma-mu sendiri, ahli waris dari kamma-mu sendiri, lahir dari kamma-mu sendiri. Engkau akan terikat oleh perbuatan-perbuatan jahat yang kau lakukan dalam kehidupan ini dan buahnya akan membawa kamu jauh dari Dhamma dan membawa menuju ke penderitaan. “
Dan juga, ia harus memperhatikan sutta-sutta dalam Anamatagga Samyutta dari Samyutta Nikaya yang menyebutkan demikian :
“ O, para Bhikkhu, tidak mudah untuk menemukan makhluk yang belum pernah menjadi Ibu, ayah, saudara laki-laki, saudari perempuan, seorang putra, seorang putrid dalam perputaran kehidupan yang tidak ada akhirnya.” ( Samyutta Nikaya.I.189 )
Karena demikian, terhadap siapa seseorang menyimpan rasa permusuhan, mungkin salah seorang dari sanak keluarga dalam kehidupan yang lalu. Dengan demikian, memperhatikan kemungkinan ini, siswa dapat mengendalikan perasaan jahatnya terhadap makhluk lain.
Terakhir, ia harus merenungkan secara falsafah sebagai berikut :
“ Kawanku yang baik, dengan menjadi marah dengan orang ini, terhadap apa engkau marah ? Apakah kau marah terhadap RAMBUTNYA ? atau KUKU, TULANG-TULANG, DAGING, KULIT, dan lain-lain ? Atau, apakau kau marah terhadap EMPAT UNSUR JASMANINYA seperti TANAH, API, AIR dan UDARA ? Atau, lima-kelompok : JASMANI ( rupa ), PERASAAN, PENCERAPAN, BENTUK-BENTUK PIKIRAN, dan KESADARAN ? Ataukah, marah kepada KEMAMPUAN-KEMAMPUAN INDRIYANYA atau KEGIATAN-KEGIATAN MEREKA ?”
Analisis corak “An-atta” / “tidak-ada-AKU” dari orang yang dipandang sebagai musuhnya akan membawanya pada kenyataan bahwa makhluk yang dipandang sebagai musuh tidak lain dari kombinasi dari berbagai unsure-unsur yang lenyap setiap saat, dan menemukan tidak ada suatu pribadi individu yang kepadanya ia tujukan kemarahannya. Dengan demikian, batinnya akan bebas dari pikiran jahat.
Mungkin akan timbul pertanyaan apabila tidak ada individu sebagai objek kemarahan, apakah benar juga untuk mengatakan bahwa tidak ada orang yang dapat menerima cinta-kasih. Bagaimana orang dapat mengembangkan cinta-kasih terhadap makhluk lain ?
Memang benar, bahwa sesungguhnya tidak ada suatu pribadi yang kekal menjadi objek amarah maupun cinta-kasih. Tetapi nilai psikologis Metta itu terbebas dari kemarahan dan kecenderungan terhadap kebencian. Inti sari atau tujuan dari Metta adalah ketenangan-kebencian ( Vyapada-Upasama ), dan juga disebut kebebasan ( Nissarana ) dari kebencian ( Anguttara Nikaya, III.291 ). Oleh sebab itu, apabila kebencian lenyap karena tidak mendapat suatu tempat dalam hati, maka Metta akan menggantikannya di dalam hati siswa.
Dalam tahap permulaan perlu bagi siswa untuk memiliki suatu objek individu sebagai suatu dasar untuk mengembangkan nilai Metta, bila telah dikembangkan dengan sempurna ia terbiasa memancarkannya ke seluruh dunia tanpa perbedaan.
Dengan berbuat demikian, ia mengikuti proses latihan pemancaran tanpa batas secara berangsur-angsur, mematahkan batas-batas yang menandai empat bagian kehidupan ; 1). Diri sendiri, 2).Seorang kawan yang dicintai, 3). Seorang yang dipandang dengan perasaan netral, 4). Seorang Musuh.
Segera setelah bermeditasi pada empat bagian ini, siswa harus memancarkan metta keseluruh dunia.
Ia yang tidak mempunyai musuh, atau yang dalam keagungan hatinya tidak memiliki suatu pikiran yang berlawanan terhadap orang lain, harus segera mengubah batas setelah bermeditasi pada orang yang netral. Apabila ia mengerti bahwa ketenangan pikiran telah dicapai, tidak hanya pada diri sendiri, tetapi terhadap tiga atau dua macam orang lain, maka batas itu diubah. Kemudian ia dapat mencari setiap orang dengan Metta yang sama dalam nilai dan jumlah. Demikian guru-guru zaman dahulu menyatakan :
“ Apabila ia melihat perbedaan antara dirinya, orang yang dicintai, netral dan orang-orang yang bermusuhan, ia hanyalah seorang pengharap makhluk-makhluk yang baik, ia tidak dapat dikatakan cakap untuk mencapai Metta dengan sekehendak hati. Tetapi apabila Bhikkhu melihat batas-batas ini dan menyingkirkannya dan memenuhi para dewa dan manusia dengan rasa cinta-kasih yang sama dan tidak mengenal batas-batas, maka ia jauh lebih besar dari kedua itu. “
Saat dimana saja memancarkan cinta-kasihnya tanpa memandang semua batas-batas dan lingkungan-lingkungan pada seluruh ummat-manusia dan pada semua bentuk kehidupan, ia mencapai Nimitta dan Upacara-samadhi. Nimitta ini dapat juga parikamma, yang berkenaan dengan latihan permulaan yang harus dipraktekkan dengan pengulangan kata-kata yang ditujukan pada makhluk-makhluk. Atau, Uggaha Nimitta yang berkenaan dengan latihan permulaan yang harus dilaksanakan dengan berulang-ulang, kata-kata berkenaan dengan makhluk-makhluk, atau Uggaha-Nimitta yang berkenaan dengan gambar mental dari makhluk-makhluk. Setelah meditasi pada Uggaha-nimitta menjadi tajam, batin mencapai Upacara yang amat dekat dengan Jhana.
Apabila batas telah terpatahkan, ia mempraktekkan, mengembangkan dan mengulang Nimitta dengan Upacara-samadhi sampai ia dengan bahagia mencapai Jhana, keadaan kesadaran yang lebih tinggi, yang seakan-akan menjadi perwujudan dari inti cinta-kasih itu sendiri.
Sekarang ia telah bebas dari lima nivarana, terutama terbebas dari kebencian dan berhubungan dengan kebebasan batin melalui cinta-kasih ( Metta-cettovimutti ) yang disini disebut sebagai “Patthama-Jhana” karena adalah pencapaian ketenangannya yang pertama.
Dengan keluar dari Jhana dan kembali pada keadaan normal, ia menggenangi seluruh alam-semesta dengan kekuatan cinta-kasihnya, seperti terlihat dalam rumusan :
“ Ia berdiam diri mencari satu penjuru dunia dengan suatu batin yang disertai dengan cinta-kasih…, demikian ia berdiam menggenangi keseluruhan dunia yang lebar dengan cinta-kasih, berlimpah-limpah. Berkembang besar dan tidak terukur, bebas dari rasa permusuhan, bebas dari kemauan jahat. “
Kemudian ia mempraktekkan meditasi Metta secara berulang-ulang dan berangsur-angsur mencapai Jhana kedua, ketiga dari system empat rangkaian mengikuti Suttanta, atau Jhana-jhana kedua, ketiga dan keempat dari system lima rangkaian menurut Abhidhamma. Segera setelah keluar dari salah satu Jhana tertentu, ia terus memancarkan keadaan tidak terbatas ini, keadaan cinta-kasih yang mulia pada setiap bentuk kehidupan. Demikianlah dirinya menyatu dengan seluruh dunia, menghancurkan semua rintangan-rintangan dan batas-batas kepribadian.
Siswa yang telah mengikuti ajaran Sang Buddha mencapai keadaan hati yang agung ini, yang dengannya ia berubah dari kondisi manusia biasa menjadi kondisi seorang “Brahma”, dan sekarang ia pantas untuk menerima sebelas berkah-berkah yang telah diterangkan sebelumnya.
Dengan mengambil ini sebagai dasarnya ( padaka ) untk mediasi lebih lanjut, secara berangsur-angsur ia akan mencapai pada pencapaian yang lebih mulia dan kebebasan terakhir, NIBBANA ( Skt.: Nirvana ).
Namun, masih terdapat metode lain yang menerangkan cara memperluas pancaran cinta-kasih, dari yang terbatas diubah menjadi yang mencakup suatu lapangan kegiatan yang swelalu berkembang lebih luas. Hal ini berhubungan dengan perluasan objek batin dari permulaan sampai pada tingkat tercapainya Jhana, sewaktu meditasi dipergiat dengan teguh. Seperti seorang yang cakap mengenai pertanian menandai daerah yang akan dibajak, demikianlah seharusnya siswa mengembangkan cinta-kash dengan Nimitta satu keluarga, berkata : “Semoga penghuni dari rumah ini bebas dari rasa permusuhan dan kemauan jahat, terlepas dari kesakitan dan bencana serta semoga mereka mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri. “
Dengan menjadikan batin lembut dan kasih-sayang terhadap satu rumah tangga, kemudian siswa harus mengambil Nimitta dua rumah tangga. Kemudian secara berangsur-angsur, tiga, empat, lima, dan selanjutnya sampai ke sepuluh, kemudian sepanjang jalan, satu kampong, satu desa, sebuah kota, sebuah kerajaan, sebuah Negara, satu penjuru dunia dan demikian seluruh system dunia dan selanjutnya, sejauh batas kehidupan harus dijadikan Nimitta dan cinta-kasih harus dikembangkan mencakup baik ummat manusia maupun makhluk-makhluk yang bukan manusia, tinggi, rendah, dan sebagainya.
Dalam cara yang sama siswa harus memancarkan karuna, mudita, dan upekkha yang mencakup seluruhnya. Keterangan rinci mengenai metode ini diberikan dalam bku Yogavacara.
Rangkuman semua golongan makhluk ini, pada saat sekarang, ummat Buddha mengucapkan syair berikut pada saat akhir dari tugas keagamaan mereka dan sebagai bagian dari latihan mereka dalam meditasi :
“ Bhavaggupadaya avici hettato etthantare satta kayupapanna, rupi arupi ca asana sannino dukkha pamuccantu bhusantu nibbutim “.
Artinya :
“Dari bentuk kehidupan yang tertinggi ( Bhavagga ) sampai pada yang paling rendah ( Avici ), kelompok-kelompok makhluk, apapun yang hidup disana, baik dengan atau tanpa suatu bentuk jasmani, sadar atau tidak sadar, semoga mereka semua bebas dari penderitaan dan menikmati kebahagiaan Nibbana. “
Tetapi, hal ini lebih berhubungan dengan karuna daripada dengan metta, karena itu digabungkan dengan kata “Dukkha-pamuccantu” yang terdapat dalam praktek Karuna.
II . KARUNA BHAVANA
Permulaan latihan Karuna berbeda dengan Metta. Karena karuna berkaitan dengan perasaan kasih-sayang / welas-asih yang timbul ketika melihat penderitaan suatu makhluk, misalnya seseorang yang mengalami kemiskinan dan kesengsaraan atau menderita penyakit dan cacat jasmani. Siswa yang ingin mengembangkan Karuna harus mulai dengan merenungkan pada akibat buruk dari kekejaman dan berkah-berkah dari kasih-sayang.
Pengembangan Karuna janganlah dimulai dengan orang-orang yang dicintai dan orang-orang lain seperti dalam praktek Metta. Karena, orang-orang yang dicintai, netral, atau berlawanan tetap dalam kategori yang sama dan bukan objek-objek batin yang sesuai bagi Karuna dipandang dari sudut psikologis. Demikian juga berkenaan dengan orang-orang berlawanan sex dan mereka yang telah meninggal dunia.
Dalam Vibhanga ( hal.273 ) kita dapatkan :
“ Bagaimana seorang Bhikkhu berdiam dalam mencari satu penjuru dunia dengan batin yang disertai dengan kasih-sayang ? Ketika melihat seorang dalam keadaan-keadaan menyedihkan, atau berpenyakitan, ia harus menunjukkan rasa belas kasihan. Demikian ia mencari semua makhluk dengan rasa belas kasihan. “
Oleh sebab itu, latihan pertama sekali adalah pada saat melihat siapapaun juga dalam kemalangan, kesedihan atau penderitaan, ia harus merasa kasihan dan kasih-sayang, berkata :
“Aduh, orang ini telah mengalami kesengsaraan! Semoga ia bebas dari penderitaan ini”.
Siswa dengan menggunakan Kammatthana ini harus menempatkan karuna di dalam dirinya dengan merasa berbelas-kasih kepada seseorang yang demikian dengan cara ini :
“Betapa banyakpun sekarang orang ini mengalami kebahagiaan, kaya dan menikmati kekayaannya di masa yang akan datang ia akan kehilangan kebahagiaan yang demikian, karena kelakuannya yang buruk dan tidak adanya perbuatan-perbuatan yang baik.”
Dan juga , apabila ia melihat atau mendengar tentang seorang yang telah menemukan beberapa kemalangan atau bentuk bencana apa pun, ia harus mengembangkan kasih-sayang dan menunjukkannya terhadap individu itu.
Setelah mempraktekkan Karuna dalam kata-kata, perbuatan-perbuatan dan pikiran-pikiran, ia harus mengembangkannya terhadap empat jenis orang seperti metode Metta. Akhirnya, dengan melenyapkan semua batas-batas, ia terbiasa memancari seluruh dunia dengan kasih saying yang tidak terbatas sekalipun setelah ia keluar dari dalam keadaan Jhana.
Disini terlihat bahwa pertama-tama Karuna harus ditunjukkan terhadap musuh, kemudian terhadap seorang yang menderita, kemudian terhadap kawan, dan terakhir terhadap diri sendiri. Buddhaghosa Thera, menyatakan bahwa hal ini tidak sesuai dengan naskah yang diberkan dalam Vibhanga, dan menganjurkan memakai urutann yang diberikan dalam Vibhanga.
Lebih lanjut, Karuna juga harus dipraktekkan dalam tiga cara-cara Anodhiso, Odhiso, dan Disapharana secara berturut-turut , dalam lima, tujuh , dan sepuluh bentuk seperti dalam halnya Metta. Apabila dikembangkan demikian, Kareuna akan memberikan siswa sebelas berkah yang sama dengan yang diperoleh dari Metta yang dimulai dengan “ Ia tidur dengan bahagia”, dan lain-lain.
Suatu uraian khusus tentang Karuna diberikan di dalam Patisambhida-magga ( Vol.I.133 ) dalam Bab Tentang “Mahakarunannana”; pengetahuan Karuna yang Agung dari Sang Buddha. Dalam hal ini diterangkan bahwa Sang Buddha merasa belas kasihan kepada dunia, melihatnya menderita di dalam delapan-puluh-sembilan ( 89 ) cara. Karuna adalah suatu sifat agung Sang Buddha sehingga itu selalu dihormati denagn pengetahuannya itu.
III . MUDITA BHAVANA
Siswa yang mempraktekkan mudita juga harus memulainya dengan seseorang yang dicintai, dan kemudian berlangsung pada lainnya. Untuk seorang kawan, hanya karena ia seorang kawan saja, karena ia bukanlah merupakan suatu sebab dekat bagi Mudita, apalag seorang yang netral atau musuh. Seorang yang berlawanan sex ataupun orang yang telah meninggal dunia juga bukan objek-objek yang sesuai bagi meditasi ini. Akan tetapi, seorang kawan yang amat dicintai dapat menjadi sebab terdekat. Karena itu, ia harus dipancari dengan Mudita. Sewaktu mendengar atau melihat seorang kawan yang amat dicintai hidup dengan bahagia dan bergembira, siswa harus mengungkapkan rasa mudita, dengan mengatakan :
“Sungguh berbahagia orang ini. Betapa baiknya ! Betapa luar biasanya! “
Kita dapatkan di dalam vibhanga ( hal.274 ),
“Bagaimana seorang Bhikkhu berdiam dalam mencari satu penjuru dunia dengan batin yang disertai rasa mudita ? Ketika meliha seorang yang amat dicintai dan memperoleh rasa senang, ia akan bergembira, demikian ia mencari semua makhluk dengan rasa Mudita.”
Jadi, setelah membangkitkan Mudita dan melatihnya pada seorang yang amat dicintai, siswa harus secara berangsur-angsur memperluasnya terhadap seorang yang netral dan kemudian kepada seorang musuh. Menempatkan mereka seimbang dengan diri sendiri, ia mengikuti metode pemancaran yang tidak terbatas, dan mengembangkan Jhana Mudita dengan cara Jhana pertama, kedua, dan ketiga atau keempat rangkaian Jhana menurut Abhidhamma. Selanjutnya harus dipahami dengan mengikuti proses yang sama seperti Metta-bhavana.
Nilai dasar latihan ini adalah penghancuran sifat iri hati dan cemburu, bersama-sama dengan akar egoisnya dan perwujudan dari sifat-sifat kegembiraan yang mulia serta mudita atas kebahagiaan orang lain. Hal ini sering sekali diungkapkan dengan “Anumodana”, “pengargaan” atau bergembira atas perbuatan-perbuatan baik dan kesejahteraan orang lain”. Cara ini dipraktekkan oleh ummat Buddha sebagai salah satu dari sepuluh perbuatan baik ( sepuluh (10) Punnakiriyavatthu ).
IV . UPEKKHA BHAVANA
Siswa yang telah mencapai pada tingkat rangakain atau empat rangkaian Jhana-Jhana di dalam Metta dan dua keadaan lainnya, harus keluar dari Jhana ketiga yang telah terbiasa dicapai dan kemudain berjuang untuk mencurahi batinnya dengan Upekkha.
Ia melihat kelemahan dari Metta, Karuna dan Mudita, melihat Upekkha sifat yang lebih dalam serta lebih tenang daripada mereka, karena nilai psikologis dari mitta, karuna dan mudita mempunyai beberapa hubungan dengan raga, unsure batin kemelekatan. Karena itu, Jhana-Jhana yang diperoleh dengan mereka adalah belum benar-benar bebas dari kemungkinan untuk dapat diserbu oleh suatu jenis kegembiraan yang tidak halus yang dapat menghacurkan pencapaian lebih tinggi dari siswa.
Dengan mempertimbangkan ini, ia mempraktekkan Upekkha dengan mengambil objek seseorang yang dalam keadaan normal ia bersikap netral. Dalam Vibhanga ( hal.275 ) disebutkan :
“Ketika melihat seorang yang tidak lebih atau kurang dicintai, ia akan menjadi seimbang, demikian ia mencari semua makhluk dengan Upekkha.”
Setelah melatih Upekkha terhadap seorang seperti yang diterangkan diatas, kemudian siswa harus menggali pada seorang yang amat dicintai, selanjutnya kepada seorang kawan karib, setelah itu kepada musuhnya. Akhirnya, ia mematahkan semua batas dengan menempatkan diri sendiri dan orang lain pada kesamaan, dan secara terus-menerus mengembangkan nimitta.
Apabila ia melakukan ini, timbul di dalam dirinya Jhana keempat (IV) yang menggenangi hatinya dengan sifat Brahmavihara tertinggi, yaitu batin yang tenang dan seimbang dengan sempurna serta mewujudkan suatu semangat kemantapan, kesadaran berada dalam suatu kedudukan di tengah-tengah tidak bergerak, baik oleh kegembiraan maupun kesedihan, kebahagiaan ataupun kesengsaraan.
Upekkha adalah suatu factor umum dari Jhana keempat di dalam setiap bentuk meditas. Tetapi Jhana keempat dalam meditasi Brahma-vihara upekkha tidak timbul di dalam dirinya yang belum mempraktekkan metta, karuna dan mudita sampai mencapai Jhana ketiga, sekalipun ia telah mencapai Jhana dalam bentuk meditasi lain, seperti kasina tanah dan lainnya.
Mengapa demikian ?
Karena, perbedaan di dalam objek-objek. Brahmavihara upekha hanya timbul di dalam diri orang yang telah mencapai Jhana ketiga dalam Brahmavihara mudita, karena persamaan psikologis dalam objek. Metode-metode pemancaran dan pencapaian berkah-berkah harus dimengerti sebagai sama dengan mereka yang sudah diberikan di dalam metta bhavana.
Upekha adalah kesempurnaan terakhir ( Paramitha ) yang dipraktekkan Bodhisatta untuk pencapaian tingkat Buddha. Karenanya, Upekkha adalah suatu “Sifat Menjadikan Buddha” ( Buddhakarakadhamma,Bud.V.165 ). Sifat praktek Bodhisatta dapat dilihat dalam kalimat-kalimat berikut :
“Mereka yang menyebabkan aku menderita dan mereka yang memberikanku kebahagiaan, pada semuanya saya seimbang, kemelekatan atau dendam tidak timbul. Upekkha berkenaan denga kesenangan dan penderitaan, dalam pujian dan celaan, dimana-mana saya seimbang, inilah kesempurnaan Upekkha-ku.”
( Cariyapitaka, hal.102 )
Demikian uraian mengenai “Brahma-Vihara”, semoga bermanfaat bagi perkembangan spiritual kita bersama.
“Sabbe Satta Bhavantu Sukhittata”
( Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia! )
( Diposting Hari Minggu, tanggal 15 Februari 2009 )
No comments:
Post a Comment