DIBUTUHKAN SEGERA KARYAWAN UNTUK MENJAGA TOKO DI DAERAH DEPOK , PRIA / WANITA MINIMAL LULUSAN SMP
KIRIM CV KE ALAMAT EMAIL :
ricky_kurniawan02@yahoo.com
PALING LAMBAT TANGGAL 31 MARET 2015
KIRIM CV KE ALAMAT EMAIL :
ricky_kurniawan02@yahoo.com
================================================
Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram = Rp. 8.000,-
2. 250 gram = Rp. 10.000,-
3. 500 gram = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-
Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a
================================================
Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram = Rp. 8.000,-
2. 250 gram = Rp. 10.000,-
3. 500 gram = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-
Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a
Toleransi dalam Agama Buddha
OPINI | 06 February 2010 | 17:33Dibaca: 1957 Komentar: 5 Nihil
Di dunia ini kita mengenal berbagai agama dari agama yang masih primitif (animisme dan dinamisme) sampai dengan agama-agama besar dunia. Di antara agama-agama tersebut, agama Buddha adalah salah satunya. Oleh sebab itu, agama Buddha menyadari keberadaan keyakinan dan agama lain serta berusaha hidup rukun, damai, dan harmonis dengan keyakinan lain tersebut melalui toleransinya yang besar terhadap ajaran lain tersebut. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Buddha Gautama hidup dulu di India sampai saat ini di mana agama Buddha menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Jangan Terpancing Emosi….
Pertapa Yang Merendahkan Ajaran Buddha
Suatu ketika Buddha bersama lima ratus orang siswa-Nya dari satu kota ke kota lain. Mengikuti di belakang rombongan Sang Buddha, dua orang pertapa pengembara, yaitu seorang guru dan muridnya. Walaupun keduanya guru dan murid, kedua berbeda pandangan terhadap ajaran Buddha; selama perjalanan sang guru menghina dan merendahkan ajaran Buddha, sedangkan muridnya berusaha memuji dengan berbagai cara. Perdebatan keduanya berlangsung selama perjalanan hingga akhirnya rombongan Buddha mendapatkan tempat persinggahan untuk beristirahat.
Saat itu para bhikkhu membicarakan tentang kejadian ini dan bagaimana Buddha diam saja walaupun jelas-jelas keduanya yang berdebat tentang ajaran Beliau berada persis di belakang rombongan tersebut. Ketika Buddha mengetahui pembicaraan tersebut, Beliau berkata:
“Para bhikkhu, jika seseorang menghina-Ku, Dhamma (ajaran Buddha), atau Sangha (perkumpulan para bhikkhu), kalian tidak boleh marah, tersinggung, atau terganggu akan hal itu. Jika kalian marah atau tidak senang akan penghinaan itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Karena jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah yang mereka katakan itu benar atau salah?”
“Tidak, Bhagava,” jawab para bhikkhu.
“Jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, maka kalian harus menjelaskan apa yang tidak benar sebagai tidak benar, dengan mengatakan: ‘Itu tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami, itu tidak ada pada kami’.”
“Jika orang lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian tidak boleh gembira, bahagia, atau senang akan hal itu. Jika kalian gembira, bahagia, atau senang akan pujian itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian harus mengakui kebenaran sebagai kebenaran, dengan mengatakan: ‘Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami’.”(Brahmajala Sutta)
Dengan demikian, Buddha mengajarkan agar para pengikut-Nya tidak terbawa emosi positif atau negatif saat seseorang memuji ataupun merendahkan ajaran Beliau, melainkan menjelaskan mana yang benar dan mana yang tidak benar atas pandangan terhadap ajaran Buddha tersebut sehingga dapat membebaskan agama Buddha dari pandangan salah orang-orang yang tidak tahu atas ajarannya.
Buddha Tidak Berminat Mencari Pengikut
Pada kesempatan lain, seorang umat awam Buddha hendak mengunjungi Sang Buddha, namun saat itu waktunya tidak tepat karena masih terlalu pagi dan biasanya Buddha sedang bermeditasi pada waktu demikian. Oleh sebab itu, orang tersebut mengunjungi tempat pertapaan pengikut ajaran lain dan ia terlibat percakapan serius di mana para pertapa tersebut mengatakan hal-hal yang tidak baik terhadap Sang Buddha. Ketika Buddha mengetahui hal ini, Beliau mengunjungi tempat pertapaan tersebut dan melalui serangkaian tanya jawab antara kedua pihak, Buddha berhasil melenyapkan pandangan salah para pertapa ajaran lain tersebut. Namun demikian, pada akhir kotbah para pertapa tersebut tidak menjadi pengikut Buddha.
Saat itu Buddha berkata: “Nigrodha, engkau mungkin berpikir: ‘Petapa Gautama mengatakan hal ini untuk mendapatkan murid.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah ia yang menjadi gurumu tetap menjadi gurumu. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin kami meninggalkan peraturan-peraturan kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah peraturanmu tetap berlaku seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin kami meninggalkan gaya hidup kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah gaya hidupmu tetap seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin kami mengukuhkan kami dalam melakukan hal-hal yang menurut ajaran kami adalah salah, dan yang dianggap demikian oleh kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap salah tetap dianggap demikian. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin menarik kami dari hal-hal yang menurut ajaran kami adalah baik, dan yang dianggap demikian oleh kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap baik tetap dianggap demikian. Nigrodha, Aku tidak berbicara karena alasan-alasan ini.”
“Ada, Nigrodha, hal-hal tidak baik yang belum ditinggalkan, ternoda, mendukung kelahiran kembali, menakutkan, menghasilkan akibat menyakitkan di masa depan, berhubungan dengan kelahiran, kerusakan, dan kematian. Adalah untuk meninggalkan hal-hal ini, maka Aku mengajarkan Dhamma. Jika engkau mempraktikkan dengan benar, hal-hal ternoda ini akan ditinggalkan, dan hal-hal yang murni akan tumbuh dan berkembang dan engkau akan mencapai dan berdiam dalam kesempurnaan kebijaksanaan sepenuhnya, dalam kehidupan ini, dengan pandangan terang dan pencapaianmu sendiri.” (Udumbarika-Sihanada Sutta)
Jadi, jelas bahwa Buddha mengajar bukan untuk mendapatkan pengikut atau pun mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan untuk menunjukkan jalan melenyapkan permasalahan kehidupan (dalam istilah Buddhis disebut penderitaan atau dukkha) tanpa seseorang harus terikat dengan menganut agama Buddha. Contohnya, ajaran Buddha tentang meditasi ketenangan batin dapat dijalankan oleh siapa saja, dari agama mana pun dan bangsa mana pun, tanpa perlu menjadi umat Buddha (telah terdapat banyak bukti bahwa meditasi bisa meningkatkan kualitas hidup seseorang, terutama dalam hal kesehatan).
Hormati Guru Agamamu yang Sebelumnya
Pada abad ke 6 SM di India berkembang berbagai ajaran agama selain agama Hindu yang bersumber dari kitab Veda. Selain agama Buddha, terdapat juga agama Jainisme yang diajarkan oleh Jaina Mahavira (disebut juga Nigantha Nataputta dalam kitab-kitab Buddhis) yang hidup sezaman dengan Buddha Gautama. Walaupun agama Buddha sudah hampir punah di tanah kelahirannya, agama Jainisme masih mengakar kuat dan memiliki banyak pengikut di India saat ini.
Seorang pengikut awam Nigantha Nataputta yang terkemuka bernama Upali terkenal akan kepandaiannya dalam berdebat. Ia diutus oleh gurunya untuk mengalahkan Buddha dalam perdebatan tentang manakah yang menghasilkan akibat yang lebih besar perbuatan melalui pikiran, tubuh, atau ucapan. Buddha mengajarkan bahwa perbuatan melalui pikiranlah yang menghasilkan akibat yang lebih besar, sedangkan Nigantha mengajarkan bahwa perbuatan melalui tubuh yang menghasilkan akibat yang lebih besar. Pada akhir perdebatan tersebut, Upali mengakui kebenaran ajaran Buddha dan bermaksud untuk menjadi pengikut Beliau. Namun Sang Buddha berkata:
“Perumah tangga, pikirkanlah kembali sebelum kamu berbuat, orang-orang terkemuka seperti dirimu seharusnya berpikir secara hati-hati sebelum bertindak.”
Upali menjawab, “Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava tadi. Jika para pertapa lain mendapatkan murid seperti saya, mereka akan membawaku berkeliling kota Nalanda dengan mengatakan: ‘Upali sang perumah tangga telah menjadi pengikut kami.’ Namun di sini Sang Bhagava mengatakan: ‘Perumah tangga, pikirkan kembali sebelum kamu berbuat… dst.’ Sekarang saya menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk kedua kalinya. Semoga saya diingat sebagai umat awam yang telah mengambil perlindungan sejak hari ini hingga kehidupanku berakhir.”
“Perumah tangga, telah lama sekali keluargamu menjadi penyokong utama bagi para Nigantha. Aku menganjurkan agar dana makanan tetap diberikan kepada para Nigantha yang datang.”
“Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava ini: ‘Perumah tangga, telah lama sekali keluargamu menjadi penyokong utama bagi para Nigantha…. dst.’ Yang Mulia, saya telah mendengar tentang Anda: ‘Pemberian dana harus diberikan kepada-Ku saja, tidak kepada orang lain. Pemberian dana harus diberikan kepada para siswa-Ku saja, tidak kepada para siswa ajaran lain. Pemberian dana yang diberikan kepada para siswa-Ku akan memiliki buah yang besar, tetapi tidak pemberian kepada orang lain.’ Namun di sini Sang Bhagava menyarankan saya agar memberikan dana kepada para Nigantha. Kami mengetahui kapan waktunya untuk melakukan hal tersebut. Sekarang saya berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk ketiga kalinya….” (Upali Sutta)
Terlihat bahwa Buddha menganjurkan agar para pengikut-Nya yang berasal dari keyakinan lain setelah menjadi pengikut Beliau harus tetap menghormati para guru agamanya yang terdahulu dengan menerima mereka dengan baik jika datang ke rumah untuk meminta dana makanan (meminta dana makanan dengan mendatangi rumah ke rumah adalah kebiasaan para pertapa India sejak zaman dahulu dan saat ini masih dilakukan para bhikkhu Buddhis).
Terdapat Kebenaran di Luar Ajaran Buddha
Siddharttha Gautama meninggalkan kehidupan mewah di istana pada usia 29 tahun. Setelah menyadari kesia-siaan pertapaan penyiksaan diri yang Ia lakukan selama 6 tahun, ia mencapai Pencerahan di bawah pohon Bodhi dengan mempraktekkan meditasi pandangan terang. Selama 45 tahun kemudian Ia dikenal sebagai Buddha dan mengembara ke berbagai daerah di sekitar lembah sungai Gangga untuk mengajar banyak orang. Titik terakhir perjalanan Beliau adalah sebuah kota kecil bernama Kusinara. Saat itu seorang pertapa pengembara bernama Subhadda mendekati Buddha yang sedang menjelang ajal-Nya dan bertanya mengenai kebenaran berbagai ajaran agama yang ada saat itu. Tanpa mengatakan bahwa ajaran Beliau-lah yang paling benar, Buddha menjawab:
“Cukup, Subhadda, jangan pikirkan apakah mereka semua, atau tidak seorang pun, atau sebagian dari mereka telah menembus kebenaran. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan dan perhatikan baik-baik….”
“Dalam ajaran dan disiplin mana pun, Subhadda, di mana tidak terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka tidak akan mungkin ditemukan para pertapa yang telah mencapai kesucian pertama (Sotapanna), kesucian kedua (Sakadagami), kesucian ketiga (Anagami), dan kesucian keempat (Arahat). Tetapi dalam ajaran dan disiplin mana pun di mana terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka di sana dapat ditemukan para pertapa yang telah mencapai kesucian pertama, kedua, ketiga, dan keempat.” (Mahaparinibbana Sutta)
Di sini Buddha mengatakan bahwa ajaran mana pun yang mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan ajaran yang dapat menghasilkan orang-orang suci; oleh karena itu, ajaran tersebut adalah ajaran yang benar. Jalan Mulia Berunsur Delapan dalam ajaran Buddha dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu pengembangan perilaku yang bermoral (sila), pembersihan pikiran/batin melalui meditasi (samadhi), dan pengembangan kebijaksanaan (panna/prajna). Menurut agama Buddha, agama mana pun yang mengajarkan ketiga hal ini adalah agama yang benar dan dapat membuat pengikutnya menjadi suci batinnya. Dengan demikian, agama Buddha juga mengakui adanya kebenaran dalam ajaran agama lain.
Sifat Toleransi Raja Asoka
Kurang lebih 200 tahun kemudian seorang raja terbesar sepanjang sejarah India yang bernama Asoka menjadikan agama Buddha sebagai agama negara. Berkat jasanya mengutus para misionaris Buddhis, agama Buddha dapat menyebar ke berbagai wilayah di luar India: ke arah barat menyebar sampai ke wilayah Yunani (walaupun tidak bertahan lama di sana), ke selatan menyebar ke Sri Lanka, ke timur menyebar ke Myanmar, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, ke utara menyebar ke Tibet, Cina, Jepang, dan Korea. Namun demikian, Raja Asoka tetap menghargai dan menghormati berbagai agama lain yang ada saat itu. Dalam beberapa prasastinya tercatat bahwa Raja Asoka walaupun beragama Buddha mendanakan sejumlah gua sebagai tempat pertapaan bagi para pertapa ajaran lain. Di antara sekian banyak prasasti peninggalan Raja Asoka terdapat sebuah prasasti yang mengajarkan toleransi antar umat beragama yang berbunyi sbb:
“Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaliknya agama lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian kita membuat agama kita sendiri berkembang, selain menguntungkan pula agama lain. Jika kita berbuat sebaliknya, kita akan merugikan agama kita sendiri selain merugikan agama lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain, semata-mata terdorong oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan pikiran ‘Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri’, justru ia akan merugikan agamanya sendiri. Karena itu kerukunan dianjurkan dengan pengertian biarlah semua orang mendengar dan menghormati ajaran yang dianut orang lain.” (Rock Edict XII)
Demikianlah agama Buddha dengan sifat toleransi dan pasifisme (paham cinta damai) yang tinggi dapat hidup rukun dan harmonis dengan agama lain di mana pun ia berkembang. Dalam sejarah perkembangannya, agama Buddha tidak pernah menyebabkan pertumpahan darah saat memperkenalkan ajarannya di dalam maupun di luar India. Di Asia Timur khususnya di Cina agama Buddha dapat berbaur dengan keyakinan setempat (agama Kong Hu Cu dan Taoisme) yang kemudian menghasilkan keyakinan baru yang disebut Tri-Dharma (Tiga Ajaran: Buddha, Kong Hu Cu, dan Tao). Di Indonesia sendiri pada masa kerajaan Majapahit kehidupan agama Buddha dan agama Hindu berlangsung rukun dan harmonis seperti yang tersirat dalam ungkapan Jawa Kuno “Bhinneka tunggal ika, tan hana Dharma mangrwa (Berbeda-beda namun tetap satu, tiada Kebenaran yang mendua)” yang tertulis dalam kitab Sutasoma.
Pada zaman modern ini umat Buddha telah membina kerukunan intern dalam agama Buddha sendiri dengan pendirian berbagai organisasi Buddhis internasional non-sektarian seperti World Buddhist Council dan World Fellowship of Buddhist yang berusaha mempersatukan berbagai aliran agama Buddha yang berbeda-beda. Pada abad ke-21 umat Buddha di seluruh dunia sama sekali tidak terpancing emosi ketika patung Buddha raksasa di Bamiyan, Afghanistan dihancurkan. Reaksi umat Buddha yang singkat dan damai serupa juga terjadi saat pendirian Buddha Bar di Indonesia.
Salam Damai Semua.
Semoga Semua Makhluk Hidup Rukun dan Harmonis Satu Sama Lainnya.
Sadhu, Sadhu, Sadhu.
http://filsafat.kompasiana.com/2010/02/06/toleransi-dalam-agama-buddha/
Jangan Terpancing Emosi….
Pertapa Yang Merendahkan Ajaran Buddha
Suatu ketika Buddha bersama lima ratus orang siswa-Nya dari satu kota ke kota lain. Mengikuti di belakang rombongan Sang Buddha, dua orang pertapa pengembara, yaitu seorang guru dan muridnya. Walaupun keduanya guru dan murid, kedua berbeda pandangan terhadap ajaran Buddha; selama perjalanan sang guru menghina dan merendahkan ajaran Buddha, sedangkan muridnya berusaha memuji dengan berbagai cara. Perdebatan keduanya berlangsung selama perjalanan hingga akhirnya rombongan Buddha mendapatkan tempat persinggahan untuk beristirahat.
Saat itu para bhikkhu membicarakan tentang kejadian ini dan bagaimana Buddha diam saja walaupun jelas-jelas keduanya yang berdebat tentang ajaran Beliau berada persis di belakang rombongan tersebut. Ketika Buddha mengetahui pembicaraan tersebut, Beliau berkata:
“Para bhikkhu, jika seseorang menghina-Ku, Dhamma (ajaran Buddha), atau Sangha (perkumpulan para bhikkhu), kalian tidak boleh marah, tersinggung, atau terganggu akan hal itu. Jika kalian marah atau tidak senang akan penghinaan itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Karena jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah yang mereka katakan itu benar atau salah?”
“Tidak, Bhagava,” jawab para bhikkhu.
“Jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, maka kalian harus menjelaskan apa yang tidak benar sebagai tidak benar, dengan mengatakan: ‘Itu tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami, itu tidak ada pada kami’.”
“Jika orang lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian tidak boleh gembira, bahagia, atau senang akan hal itu. Jika kalian gembira, bahagia, atau senang akan pujian itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian harus mengakui kebenaran sebagai kebenaran, dengan mengatakan: ‘Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami’.”(Brahmajala Sutta)
Dengan demikian, Buddha mengajarkan agar para pengikut-Nya tidak terbawa emosi positif atau negatif saat seseorang memuji ataupun merendahkan ajaran Beliau, melainkan menjelaskan mana yang benar dan mana yang tidak benar atas pandangan terhadap ajaran Buddha tersebut sehingga dapat membebaskan agama Buddha dari pandangan salah orang-orang yang tidak tahu atas ajarannya.
Buddha Tidak Berminat Mencari Pengikut
Pada kesempatan lain, seorang umat awam Buddha hendak mengunjungi Sang Buddha, namun saat itu waktunya tidak tepat karena masih terlalu pagi dan biasanya Buddha sedang bermeditasi pada waktu demikian. Oleh sebab itu, orang tersebut mengunjungi tempat pertapaan pengikut ajaran lain dan ia terlibat percakapan serius di mana para pertapa tersebut mengatakan hal-hal yang tidak baik terhadap Sang Buddha. Ketika Buddha mengetahui hal ini, Beliau mengunjungi tempat pertapaan tersebut dan melalui serangkaian tanya jawab antara kedua pihak, Buddha berhasil melenyapkan pandangan salah para pertapa ajaran lain tersebut. Namun demikian, pada akhir kotbah para pertapa tersebut tidak menjadi pengikut Buddha.
Saat itu Buddha berkata: “Nigrodha, engkau mungkin berpikir: ‘Petapa Gautama mengatakan hal ini untuk mendapatkan murid.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah ia yang menjadi gurumu tetap menjadi gurumu. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin kami meninggalkan peraturan-peraturan kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah peraturanmu tetap berlaku seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin kami meninggalkan gaya hidup kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah gaya hidupmu tetap seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin kami mengukuhkan kami dalam melakukan hal-hal yang menurut ajaran kami adalah salah, dan yang dianggap demikian oleh kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap salah tetap dianggap demikian. Atau engkau mungkin berpikir: ‘Beliau ingin menarik kami dari hal-hal yang menurut ajaran kami adalah baik, dan yang dianggap demikian oleh kami.’ Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap baik tetap dianggap demikian. Nigrodha, Aku tidak berbicara karena alasan-alasan ini.”
“Ada, Nigrodha, hal-hal tidak baik yang belum ditinggalkan, ternoda, mendukung kelahiran kembali, menakutkan, menghasilkan akibat menyakitkan di masa depan, berhubungan dengan kelahiran, kerusakan, dan kematian. Adalah untuk meninggalkan hal-hal ini, maka Aku mengajarkan Dhamma. Jika engkau mempraktikkan dengan benar, hal-hal ternoda ini akan ditinggalkan, dan hal-hal yang murni akan tumbuh dan berkembang dan engkau akan mencapai dan berdiam dalam kesempurnaan kebijaksanaan sepenuhnya, dalam kehidupan ini, dengan pandangan terang dan pencapaianmu sendiri.” (Udumbarika-Sihanada Sutta)
Jadi, jelas bahwa Buddha mengajar bukan untuk mendapatkan pengikut atau pun mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan untuk menunjukkan jalan melenyapkan permasalahan kehidupan (dalam istilah Buddhis disebut penderitaan atau dukkha) tanpa seseorang harus terikat dengan menganut agama Buddha. Contohnya, ajaran Buddha tentang meditasi ketenangan batin dapat dijalankan oleh siapa saja, dari agama mana pun dan bangsa mana pun, tanpa perlu menjadi umat Buddha (telah terdapat banyak bukti bahwa meditasi bisa meningkatkan kualitas hidup seseorang, terutama dalam hal kesehatan).
Hormati Guru Agamamu yang Sebelumnya
Pada abad ke 6 SM di India berkembang berbagai ajaran agama selain agama Hindu yang bersumber dari kitab Veda. Selain agama Buddha, terdapat juga agama Jainisme yang diajarkan oleh Jaina Mahavira (disebut juga Nigantha Nataputta dalam kitab-kitab Buddhis) yang hidup sezaman dengan Buddha Gautama. Walaupun agama Buddha sudah hampir punah di tanah kelahirannya, agama Jainisme masih mengakar kuat dan memiliki banyak pengikut di India saat ini.
Seorang pengikut awam Nigantha Nataputta yang terkemuka bernama Upali terkenal akan kepandaiannya dalam berdebat. Ia diutus oleh gurunya untuk mengalahkan Buddha dalam perdebatan tentang manakah yang menghasilkan akibat yang lebih besar perbuatan melalui pikiran, tubuh, atau ucapan. Buddha mengajarkan bahwa perbuatan melalui pikiranlah yang menghasilkan akibat yang lebih besar, sedangkan Nigantha mengajarkan bahwa perbuatan melalui tubuh yang menghasilkan akibat yang lebih besar. Pada akhir perdebatan tersebut, Upali mengakui kebenaran ajaran Buddha dan bermaksud untuk menjadi pengikut Beliau. Namun Sang Buddha berkata:
“Perumah tangga, pikirkanlah kembali sebelum kamu berbuat, orang-orang terkemuka seperti dirimu seharusnya berpikir secara hati-hati sebelum bertindak.”
Upali menjawab, “Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava tadi. Jika para pertapa lain mendapatkan murid seperti saya, mereka akan membawaku berkeliling kota Nalanda dengan mengatakan: ‘Upali sang perumah tangga telah menjadi pengikut kami.’ Namun di sini Sang Bhagava mengatakan: ‘Perumah tangga, pikirkan kembali sebelum kamu berbuat… dst.’ Sekarang saya menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk kedua kalinya. Semoga saya diingat sebagai umat awam yang telah mengambil perlindungan sejak hari ini hingga kehidupanku berakhir.”
“Perumah tangga, telah lama sekali keluargamu menjadi penyokong utama bagi para Nigantha. Aku menganjurkan agar dana makanan tetap diberikan kepada para Nigantha yang datang.”
“Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava ini: ‘Perumah tangga, telah lama sekali keluargamu menjadi penyokong utama bagi para Nigantha…. dst.’ Yang Mulia, saya telah mendengar tentang Anda: ‘Pemberian dana harus diberikan kepada-Ku saja, tidak kepada orang lain. Pemberian dana harus diberikan kepada para siswa-Ku saja, tidak kepada para siswa ajaran lain. Pemberian dana yang diberikan kepada para siswa-Ku akan memiliki buah yang besar, tetapi tidak pemberian kepada orang lain.’ Namun di sini Sang Bhagava menyarankan saya agar memberikan dana kepada para Nigantha. Kami mengetahui kapan waktunya untuk melakukan hal tersebut. Sekarang saya berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk ketiga kalinya….” (Upali Sutta)
Terlihat bahwa Buddha menganjurkan agar para pengikut-Nya yang berasal dari keyakinan lain setelah menjadi pengikut Beliau harus tetap menghormati para guru agamanya yang terdahulu dengan menerima mereka dengan baik jika datang ke rumah untuk meminta dana makanan (meminta dana makanan dengan mendatangi rumah ke rumah adalah kebiasaan para pertapa India sejak zaman dahulu dan saat ini masih dilakukan para bhikkhu Buddhis).
Terdapat Kebenaran di Luar Ajaran Buddha
Siddharttha Gautama meninggalkan kehidupan mewah di istana pada usia 29 tahun. Setelah menyadari kesia-siaan pertapaan penyiksaan diri yang Ia lakukan selama 6 tahun, ia mencapai Pencerahan di bawah pohon Bodhi dengan mempraktekkan meditasi pandangan terang. Selama 45 tahun kemudian Ia dikenal sebagai Buddha dan mengembara ke berbagai daerah di sekitar lembah sungai Gangga untuk mengajar banyak orang. Titik terakhir perjalanan Beliau adalah sebuah kota kecil bernama Kusinara. Saat itu seorang pertapa pengembara bernama Subhadda mendekati Buddha yang sedang menjelang ajal-Nya dan bertanya mengenai kebenaran berbagai ajaran agama yang ada saat itu. Tanpa mengatakan bahwa ajaran Beliau-lah yang paling benar, Buddha menjawab:
“Cukup, Subhadda, jangan pikirkan apakah mereka semua, atau tidak seorang pun, atau sebagian dari mereka telah menembus kebenaran. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan dan perhatikan baik-baik….”
“Dalam ajaran dan disiplin mana pun, Subhadda, di mana tidak terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka tidak akan mungkin ditemukan para pertapa yang telah mencapai kesucian pertama (Sotapanna), kesucian kedua (Sakadagami), kesucian ketiga (Anagami), dan kesucian keempat (Arahat). Tetapi dalam ajaran dan disiplin mana pun di mana terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka di sana dapat ditemukan para pertapa yang telah mencapai kesucian pertama, kedua, ketiga, dan keempat.” (Mahaparinibbana Sutta)
Di sini Buddha mengatakan bahwa ajaran mana pun yang mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan ajaran yang dapat menghasilkan orang-orang suci; oleh karena itu, ajaran tersebut adalah ajaran yang benar. Jalan Mulia Berunsur Delapan dalam ajaran Buddha dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu pengembangan perilaku yang bermoral (sila), pembersihan pikiran/batin melalui meditasi (samadhi), dan pengembangan kebijaksanaan (panna/prajna). Menurut agama Buddha, agama mana pun yang mengajarkan ketiga hal ini adalah agama yang benar dan dapat membuat pengikutnya menjadi suci batinnya. Dengan demikian, agama Buddha juga mengakui adanya kebenaran dalam ajaran agama lain.
Sifat Toleransi Raja Asoka
Kurang lebih 200 tahun kemudian seorang raja terbesar sepanjang sejarah India yang bernama Asoka menjadikan agama Buddha sebagai agama negara. Berkat jasanya mengutus para misionaris Buddhis, agama Buddha dapat menyebar ke berbagai wilayah di luar India: ke arah barat menyebar sampai ke wilayah Yunani (walaupun tidak bertahan lama di sana), ke selatan menyebar ke Sri Lanka, ke timur menyebar ke Myanmar, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, ke utara menyebar ke Tibet, Cina, Jepang, dan Korea. Namun demikian, Raja Asoka tetap menghargai dan menghormati berbagai agama lain yang ada saat itu. Dalam beberapa prasastinya tercatat bahwa Raja Asoka walaupun beragama Buddha mendanakan sejumlah gua sebagai tempat pertapaan bagi para pertapa ajaran lain. Di antara sekian banyak prasasti peninggalan Raja Asoka terdapat sebuah prasasti yang mengajarkan toleransi antar umat beragama yang berbunyi sbb:
“Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaliknya agama lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian kita membuat agama kita sendiri berkembang, selain menguntungkan pula agama lain. Jika kita berbuat sebaliknya, kita akan merugikan agama kita sendiri selain merugikan agama lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain, semata-mata terdorong oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan pikiran ‘Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri’, justru ia akan merugikan agamanya sendiri. Karena itu kerukunan dianjurkan dengan pengertian biarlah semua orang mendengar dan menghormati ajaran yang dianut orang lain.” (Rock Edict XII)
Demikianlah agama Buddha dengan sifat toleransi dan pasifisme (paham cinta damai) yang tinggi dapat hidup rukun dan harmonis dengan agama lain di mana pun ia berkembang. Dalam sejarah perkembangannya, agama Buddha tidak pernah menyebabkan pertumpahan darah saat memperkenalkan ajarannya di dalam maupun di luar India. Di Asia Timur khususnya di Cina agama Buddha dapat berbaur dengan keyakinan setempat (agama Kong Hu Cu dan Taoisme) yang kemudian menghasilkan keyakinan baru yang disebut Tri-Dharma (Tiga Ajaran: Buddha, Kong Hu Cu, dan Tao). Di Indonesia sendiri pada masa kerajaan Majapahit kehidupan agama Buddha dan agama Hindu berlangsung rukun dan harmonis seperti yang tersirat dalam ungkapan Jawa Kuno “Bhinneka tunggal ika, tan hana Dharma mangrwa (Berbeda-beda namun tetap satu, tiada Kebenaran yang mendua)” yang tertulis dalam kitab Sutasoma.
Pada zaman modern ini umat Buddha telah membina kerukunan intern dalam agama Buddha sendiri dengan pendirian berbagai organisasi Buddhis internasional non-sektarian seperti World Buddhist Council dan World Fellowship of Buddhist yang berusaha mempersatukan berbagai aliran agama Buddha yang berbeda-beda. Pada abad ke-21 umat Buddha di seluruh dunia sama sekali tidak terpancing emosi ketika patung Buddha raksasa di Bamiyan, Afghanistan dihancurkan. Reaksi umat Buddha yang singkat dan damai serupa juga terjadi saat pendirian Buddha Bar di Indonesia.
Salam Damai Semua.
Semoga Semua Makhluk Hidup Rukun dan Harmonis Satu Sama Lainnya.
Sadhu, Sadhu, Sadhu.
No comments:
Post a Comment