====================================================
Dijual biji jagung Popcorn ukuran:
1. 200 gram = Rp. 8.000,-
2. 250 gram = Rp. 10.000,-
3. 500 gram = Rp. 20.000,-
4. 1000 gram = Rp. 40.000,-
Bagi yang berminat hubungi : 089652569795 / pin bb: 7dfe719a
Kisah
Angulimala, Pembunuh Berkalung Jari Manusia
Semasa hidup Sang Buddha, kota Savatthi merupakan ibukota kerajaan Kosala yang diperintah oleh Raja Pasenadi Kosala. Beliau, putra Maha Raja Kosala, terkenal sebagai seorang raja yang amat pandai, yang memperoleh pendidikan di kota Takkasila.
Setelah menggantikan ayahnya menjadi
raja, beliau berhasil memimpin negaranya menjadi makmur, sehingga amat dicintai
oleh para menteri dan rakyatnya. Salah seorang menterinya yang bernama Gagga
Brahmana, pandai sekali dalam ilmu perbintangan, karena itu ia mendapat
kedudukan sebagai peramal.
Gagga Brahmana mempunyai seorang
istri bernama Mantani Brahmani. Pada suatu malam, istrinya yang telah
mengandung selama sepuluh bulan ini melahirkan seorang putra. Tepat saat sang
putra lahir, bulan sedang beredar melintasi sekelompok bintang yang disebut “bintang
pencuri” (Cora Nakkhatta), dan pada saat itu pula semua senjata di kota
Savatthi mengeluarkan sinar. Demikian juga dengan pedang sang raja yang
disimpannya di samping tempat tidurnya.
Gagga Brahmana keluar dari rumahnya,
melihat bintang timur dan mengetahui bahwa putranya lahir tepat pada waktu
muncul sekelompok “bintang pencuri“ (Cora Nakkhatta). Keesokkan harinya
ia pergi menghadap sang raja dan bertanya : “Apakah kemarin malam Baginda dapat
tidur atau tidak?” Raja menjawab : “Guru, bagaimana malam itu aku dapat tidur
nyenyak dengan semua senjata bersinar? Apakah mungkin akan terjadi bahaya
terhadap kerajaan atau pada hidupku?”
Gagga Brahmana berkata : “Baginda,
jangan takut. Bersinarnya senjata itu adalah karena kelahiran putraku, bukan
karena sebab-sebab lain.” Raja bertanya : “Apakah kelak ia akan menjadi pencuri
biasa atau pencuri pengganggu kerajaan?” Dengan maksud mengambil hati sang raja
agar beliau tidak memerintahkan untuk membunuh bayi itu, Gagga Brahmana
menjawab : “Hanya menjadi pencuri biasa, Baginda.” Raja berkata : “Kalau
hanya pencuri biasa, tak apalah. Ia bagaikan padi Sali ditengah-tengah
sawah yang luasnya ribuan hektar.” Selanjutnya raja menganjurkan agar bayi itu
dirawat baik-baik.
Pada waktu akan memberikan nama sang
bayi, Gagga Brahmana merenungkan peristiwa yang terjadi pada saat bayi
dilahirkan dan tentang senjata-senjata yang tidak membahayakan siapa pun, maka
bayi itu dinamakannya “Ahimsaka”, artinya “tidak merugikan”. Selanjutnya ia
dirawat dengan baik, setelah menjadi dewasa ia disekolahkan di kota Takkasila.
Kota Takkasila yang terletak di
pinggir kota Bratavasa, merupakan tempat berkumpulnya para cerdik pandai dan
menjadi pusat pendidikan pada masa itu. Siapa pun yang ingin belajar untuk
memperoleh pengetahuan sesuai dengan yang diinginkan, baik raja-raja,
menteri-menteri, para pegawai, orang kaya maupun pedagang-pedagang dari negara
lain; walaupun tempatnya jauh, mereka akan mengirimkan putra-putranya untuk
belajar di kota ini.
Ada dua cara untuk memperoleh
pendidikan di kota ini, yaitu membayar sendiri dan tinggal bersama dengan guru.
Mereka yang tinggal bersama guru harus bekerja. Misalnya mengumpulkan kayu
bakar, menimba air, memasak dan sebagainya. Ahimsaka bersekolah dengan cara
tinggal bersama guru, yaitu bekerja untuk memdapatkan biaya sekolah.
Ahimsaka amat takut kepada gurunya,
ia rajin bekerja dan belajar; bersemangat melayani dan membantu gurunya;
berperilaku sopan, berbicara lemah lembut dan ramah. Ia dinilai terbaik
diantara murid-murid lainnya, sehingga ia amat disayangi oleh gurunya. Melihat
hal ini murid-murid lain menyadari bahwa sejak Ahimsaka berada di sini mereka
menjadi tersisihkan. Maka mereka berunding untuk memfitnah dan menjatuhkannya.
Karena perasaan iri yang selalu
membakar hati, maka mereka bersama-sama memikirkan cara untuk menjatuhkan
Ahimsaka. Akhirnya mereka menemukan suatu cara yang keji dan mereka membagi
diri menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menghadap guru dan mengatakan
bahwa Ahimsaka bermaksud jahat kepada sang guru. Ketika mereka mengatakan hal
itu, sang guru menjadi marah kepada mereka sehingga mereka lari meninggalkan
kediaman guru.
Kelompok kedua menghadap guru dengan
maksud yang sama pula. Akan tetapi, sang guru masih belum percaya. Kelompok
ketiga datang dan mengatakan hal yang sama dengan menambah ceritanya agar
dipercaya, sambil berkata : “Bila guru tidak percaya, kita mengharap guru mau
merenungkannya. Nanti guru akan mengetahuinya sendiri.” Sang guru merasa
ragu-ragu dan berpendapat : “Mungkin mereka itu benar, karena telah beberapa
kelompok murid datang dan mengatakan hal yang sama, mungkin mereka tidak
bermaksud jahat.” Akhirnya, guru itu memutuskan untuk membunuh Ahimsaka.
Selanjutnya guru itu berpikir :
“Apabila aku sendiri yang membunuh Ahimsaka, maka orang-orang akan mengatakan,
karena marah murid yang belajar di tempatku agar menjadi pandai telah kubunuh,
akibatnya, dikemudian hari tentu tidak ada lagi orang yang mau menjadi muridku.
Keuntungan serta kehormatanku akan menjadi lenyap. Sebaiknya aku meminjam
tangan orang lain, yaitu menipunya dengan berkata : “Sebelum mendapatkan
pelajaran lebih lanjut, engkau harus membunuh 1000 (seribu) orang untuk
menambah pengetahuanmu.” Sebelum Ahimsaka dapat membunuh seribu orang, pasti
ada orang lain yang dapat melawan dan membunuhnya.”
Setelah guru itu berpikir demikian,
ia memanggil Ahimsaka dan menjelaskan hal itu kepadanya. Ahimsaka menjawab :
“Guru, keluargaku selalu menjalankan peraturan tidak melukai orang lain,
bagaimana aku sendiri dapat berbuat demikian?” Dengan tegas gurunya menjawab :
“Bila kau tidak mau melakukannya, bagaimana kau dapat menambah pengetahuanmu
dengan baik? Apabila perbuatanitu tidak dilaksanakan, maka pengetahuanmu tidak
dapat maju.”
Setelah mendengar perintah itu,
Ahimsaka yang amat patuh kepada gurunya membuat keputusan sebagai berikut :
“Aku harus pergi dan melaksanakan pekerjaan itu baik-baik.” Ia menyiapkan
pakaian dan lima macam senjata; senjata-senjata itu ada yang diikatkan di
pinggang dan ada yang dipegang. Kemudian ia memberi hormat pada gurunya dan
pergi ke hutan. Ia menunggu di jalan masuk ke hutan, di tengah-tengah hutan dan
di jalan keluar dari hutan; siapa pun yang dilihatnya terus dihitung jumlahnya,
tetapi ia hanya menghitung mereka dalam hati saja.
Ahimsaka adalah orang bijaksana dan
pandai. Sebenarnya ia memiliki daya ingat yang kuat; namun, setelah ia banyak
membunuh manusia daya ingatannya menjadi kabur sehingga ia lupa sama sekali
berapa jumlah orang yang telah dibunuhnya. Untuk mengingat kembali berapa
banyak orang yang telah dibunuhnya, terpaksa ia memotong jari-jari tangan orang
yang telah dibunuhnya itu. Jari-jari itu dikumpulkannya di suatu tempat, tetapi
jari-jari itu pun hilang. Akhirnya ia membuat untaian kalung yang terdiri dari
jari-jari agar dapat dibawa kemana-mana. Karena itu, ia memperoleh nama baru
‘Angulimala’ artinya orang yang memakai untaian kalung jari.
Sebagai tempat tinggalnya,
Angulimala berdiam dalam hutan. Ia selalu berpindah-pindah ke seluruh bagian
hutan itu. Akibatnya, para pencari kayu bakar menjadi takut, mereka tidak
berani masuk ke dalam hutan. Karena tidak melihat seorang pun yang masuk ke
dalam hutan, maka pada malam hari Angulimala keluar dari dalam hutan pergi ke
desa-desa. Ia mendatangi rumah-rumah penduduk, menendang pintunya sampai roboh,
memasuki rumah dan membunuh penghuninya yang sedang tidur; sedangkan penghuni
lainnya melarikan diri. Setelah dibunuh, orang itu pun jarinya dipotong dan
dibawanya pergi. Karena adanya kejadian ini penduduk desa mengungsi dari desa
ke desa lain yang lebih besar dan akhirnya sampai ke ibukota. Para penduduk
meninggalkan rumah, membawa sanak keluarga serta harta bendanya, dan mereka
tinggal di pinggiran kota Savatthi. Selanjutnya mereka pergi ke alun-alun untuk
menyampaikan penderitaan yang telah mereka alami pada sang raja.
Gagga Brahmana mendengar berita
tentang kejahatan Angulimala dan penderitaan yang dialami oleh penduduk. Ia
menyadari bahwa hal ini ada hubungannya dengan putranya. Ia memberitahu kepada
istrinya, Mantani Brahmani, bahwa ada seorang penjahat bernama Angulimala. Ia
bukan lain adalah Ahimsaka, putranya sendiri. Tentu saja raja akan
menangkapnya. “Apakah yang dapat kita lakukan?” Mantani Brahmana menjawab :
“Ada jalan keluar, yaitu, kamu pergi mencari Ahimsaka dan membawanya kemari
untuk tinggal bersama kita. Hal ini jangan sampai diketahui oleh orang lain
karena nanti ia akan ditangkap.” Gagga Brahmana menolak, karena putranya tidak
dapat mengenalnya lagi dan ia takut nanti akan dibunuh olehnya.
Secara naluri, seorang ibu tidak
rela apabila melihat anaknya menderita. Demikian pula halnya dengan Mantani
Brahmani, ibu Angulimala. Karena cinta kasih yang amat dalam, ia menyadari
bahwa satu-satunya orang yang harus menolong anaknya agar terhindar dari mara
bahaya adalah dirinya sendiri. Gagga Brahmana menolak untuk mencari Angulimala,
maka dengan berani Mantani Brahmani menyatakan bahwa bila Gagga Brahmana tidak
mau pergi, ia sendiri yang akan pergi dan walaupun usianya telah lanjut, ia
pergi untuk mencari anaknya ke berbagai tempat.
Pada waktu itu Angulimala berada di
dalam hutan; ia pergi mengunjungi satu desa ke lain desa yang lebih jauh, yang
masih berada dalam wilayah kerajaan Kosala. Badannya berotot kuat, hitam dan
dikotori dengan noda-noda darah manusia. Janggut dan kumisnya tumbuh tidak
terawat seperti penjahat yang hidup dalam hutan. Ia tidak lagi mempedulikan
keindahan, kebersihan, dan kesenangan-kesenangan lain. Hanya satu yang
diinginkannya yaitu membunuh manusia sebanyak seribu orang sesuai dengan
perintah gurunya. Sekarang ia harus mencari orang yang keseribu untuk
dibunuhnya.
Pada waktu itu Sang Buddha sedang
berdiam di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, yang dibangun oelh seorang
hartawan yang bernama Anathapindika. Bersamaan dengan ibunya, Mantani Brahmani,
yang sedang pergi mencarinya, pada hari itu pula Angulimala sedang mencari
korban yang keseribu untuk dibunuhnya. Pada hari itu Sang Buddha sedang
bersamadhi dalam Gandhakuti untuk melihat makhluk-makhluk yang dapat ditolong.
Melalui mata batin, Beliau mengetahui bahwa penjahat Angulimala sedang mencari
korban yang keseribu untuk dibunuh dan diambil jarinya. Kemudian Sang Buddha
berpikir : “Apabila aku cepat-cepat menyusulnya, maka Angulimala akan selamat.
Dalam hutan itu ia akan mendengarkan ajaranku sehingga ia dapat menginsyafi perbuatan
yang salah dan perbuatan yang benar. Ia akan memohon untuk ditahbiskan sebagai
bhikkhu dan akan memperoleh enam kekuatan batin luar biasa Abhinna.
Tetapi, bila aku tidak pergi ke sana, maka Angulimala akan bertemu dengan
ibunya yang sedang mencarinya. Oleh karena kesadaran yang telah kabur akibat
penderitaan yang dialaminya, tidur, makan, dan lama hidup dalam hutan, maka ia
tidak akan ingat ibunya lagi. Jika ia sampai membunuh ibunya, tidak mungkin ia
dapat mengendalikan dirinya lagi. Baiklah, aku akan menolong Angulimala agar ia
selamat.”
Dengan membawa mangkuk (patta)
dan jubahnya, pada pagi hari itu Sang Buddha pergi ke desa untuk menerima dana
makanan (pindapatta). Setelah memperoleh cukup makanan, Beliau pulang
dan bersantap. Setelah itu Sang Buddha memberitahukan kepada para bhikkhu bahwa
Beliau akan pergi ke desa untuk menolong orang yang dapat ditolong. Dalam
perjalanan ini Beliau tidak membawa bhikkhu-bhikkhu lain. Beliau pergi seorang
diri melewati jalan yang sering dipergunakan oleh Angulimala untuk menjagal
korban-korbannya.
Di sepanjang jalan yang dilaluinya,
Sang Buddha bertemu dengan para petani, pengembala sapi dan pengembala kambing
yang wajahnya membayangkan ketakutan. Mereka cepat-cepat menghampiri Beliau;
ada yang dengan berbisik dan ada yang dengan nafas terengah-engah berkata
demikian : “O Samana, Bhikkhu Yang Mulia, janganlah melanjutkan perjalanan-Mu,
penjahat Angulimala berada di sana. Ia adalah orang yang kejam, tangannya
berlumuran darah, seorang pembunuh. Orang-orang yang telah dibunuh terus di
potong jari-jari tangannya untuk dibuat untaian kalung. Siapa pun yang melewati
jalan ini akan dibunuhnya. Kami harap Yang Mulia melewati jalan lain saja.”
Sang Bhagava menyampaikan rasa
terima kasih-Nya kepada orang-orang yang telah berbuat baik itu, namun Beliau
tidak menolak atau menuruti kata-kata mereka. Beliau tetap melanjutkan
perjalanan-Nya dengan tenang. Di sepanjang jalan yang dilalui-Nya,
kadang-kadang beliau bertemu dengan para petani, penggembala sapi dan
penggembala kambing lain yang juga melarang Beliau untuk melanjutkan
perjalanan-Nya. Sekali pun berkali-kali Sang Buddha mendapat larangan dan
petunjuk-petunjuk, namun Beliau tetap tidak membatalkan perjalanan yang sedang
ditempuh-Nya.
Dari kejauhan Angulimala dapat
melihat Sang Buddha sedang mendatangi ke arahnya. Ia terkejut dan merasa heran
sekali. Biasanya, walau pun berjumlah tiga puluh atau empat puluh orang pun
tidak berani lewat di jalan ini karena takut dibunuh. Tetapi, sekarang mengapa
sekali pun bhikkhu ini hanya seorang diri berani lewat di jalan ini? Apakah ia
datang untuk mengalahkan akau atau untuk membunuh diriku? Kalau begitu aku akan
membunuh-Nya lebih dahulu. Setelah berpikir demikian Angulimala menyiapkan
pedangnya sambil menunggu Sang Buddha mendekat dan melewatinya. Kemudian dengan
diam-diam ia mengikuti Beliau dari belakang.
Sang Buddha yang memiliki kesaktian
luar biasa, menciptakan sungai yang lebar dengan gelombang dahsyat untuk
menghalangi Angulimala. Angulimala dapat melihat Sang Buddha, Pelindung Dunia (loka
natha), hanya berjalan dengan perlahan-lahan dan tenang. Ketika Angulimala
yang bermaksud membunuh Sang Buddha melihat ada sungai besar di hadapannya,
dengan sekuat tenaga ia berusaha berenang melawan gelombang yang tak
putus-putus menghantam dirinya. Akhirnya ia berhasi sampai di seberang walaupun
badannya terasa lelah. Ia merangkak, berdiri dan kembali mengejar Sang Buddha.
Selanjutnya Sang Buddha mengubah
jalan menjadi hutan lebat yang penuh dengan ponoh-pohon berduri, dang dengan
mudah Beliau berjalan memasuki hutan itu. Tetapi ketika Angulimala yang sedang
mengejar Sang Buddha tiba di tepi ‘hutan ciptaan’ melihat Beliau keluar dari
hutan ciptaan itu, maka Angulimala cepat menyusul Beliau melalui hutan itu
tanpa memikirkan kesukaran yang akan dihadapinya. Ia hanya bertujuan untuk
membunuh Sang Buddha saja.
Setelah berhasil keluar dari hutan
itu Angulimala dihadapkan lagi dengan sungat yang lebar, sehingga terpaksa
dengan susah payah ia berenang menyeberangi sungai itu. Sang Buddha menciptakan
rintangan-rintangan di daratan maupun di air sepanjang dua kilometer dengan
tujuan agar Angulimala menjadi tabah. Sejak melakukan pembunuhan sehingga
hampir seribu orang, Angulimala yang berhati keras itu tidak pernah mengalami
penderitaan seperti yang dialaminya pada hari ini. Sekarang ia mendapat
rintangan yang hebat, keringat dan air liurnya keluar sehingga bibirnya menjadi
kering, tenaganya habis dan ia amat lelah karena harus melintasi hutan dan
sungai yang lebar untuk mengejar Sang Buddha.
Angulimala berpendapat bahwa ia
tidak dapat menyusul Sang Buddha hanya dengan berjalan perlahar-lahan saja.
Kemudian ia berusaha berjalan cepat dan bahkan akhirnya berlari. Tetapi ia
tetap saja tidak dapat mengejar Sang Buddha yang hanya berjalan perlahan-lahan.
Ia merasa heran dan aneh. Sambil berlari ia berpikir : “Aneh, biasanya aku
dapat mengejar gajah, kuda atau pun kereta, tetapi bhikkhu yang hanya berjalan
perlahan-lahan ini tidak dapat kukejar walau pun aku telah berusaha berlari
secepat mungkin. Mengapa aku tidak dapat menyusulnya? Lebih baik kupangil ia
berhenti agar dapat kutanyakan mengapa hal ini terjadi. Dengan demikian aku
akan mengerti tentang hal itu.”
Setelah berpikir demikian Angulimala
berhenti berlari dan ia berteriak senyaring-nyaringnya : “Bhikkhu, berhentilah!
Bhikkhuk, berhentilah!” Terdengar jawaban : “Aku telah berhenti, Angulimala.
Dirimu sendiri yang belum berhenti. Berhentilah engkau.” Angulimala berpikir :
“Bhikkhu Sakyaputta ini adalah orang yang bertekad tidak akan berbohong, tetapi
mengapa ia berkata : ‘Aku telah berhenti, Angulimala. Dirimu sendiri yang belum
berhenti. Berhentilah engkau,’ sekali pun ia masih berjalan? Kalau begitu aku
akan menanyakan hal ini kepada-Nya.”
Maka ia bertanya : “Bhikkhu, selagi
berjalan Kau berkata, ‘Aku telah berhenti’ sedangkan dalam kenyataan Kau masih
tetap berjalan. Bila demikian, apa yang Kau maksud dengan ‘Aku telah berhenti’
dan dirimu sendiri yang belum berhenti’ itu?” Sang Bhagava menjawab : “O
Angulimala, Aku telah berhenti merugikan makhluk-makhluk lain dan
senjata-senjata telah Ku buang untuk selama-lamanya. Tetapi kau sendiri belum
memikirkan makhluk-makhluk lain, bahkan merugikan dan membunuh mereka. Sebab
itulah Kukatakan bahwa ‘Aku telah berhenti’ dan ‘Dirimu sendiri yang belum
berhenti’.”
Setelah Sang Buddha berkata
demikian, Angulimala menjadi sadar terhadap apa yang telah ia lakukan.
Sebenarnya Angulimala adalah orang yang bijaksana serta mengetahui apa yang
baik dan apa yang buruk. Tetapi sekarang ia menjadi orang yang jahat dan kejam
karena pikirannya selalu diarahkan untuk membunuh. Untuk melaksanankan hal itu
ia keluar masuk hutan yang lebat, makan dan tidurnya tidak teratur, ia tidak
dapat menikmati kebahagiaan karena selalu menderita lahir dan batin, hidupnya
jauh dari Dhamma. Pada saat ini ia dapat mendengar kata-kata Sang Buddha yang
tepat mengena di hati sanubarinya. Seketika itu juga ia merasa damai dan
bahagia. Wajahnya menjadi cerah bagaikan orang yang baru saja istirahat setelah
melakukan perjalanan jauh dan selesai mandi di sebuah sungai yang jernih
airnya.
Pada waktu Angulimala berdiri, ia
merasa heran karena perasaannya menjadi ringan. Ia dapat menyelami dan mengerti
sepenuhnya akan kata-kata Sang Buddha yang singkat itu. Seketika itu juga
timbulah pengertian dan kesadaran terhadap Dhamma, tentang sebab akibat yang
dihasilkan oleh kejahatan dan kebenaran dan terlintaslah dalam pikirannya hal
seperti ini : “Mungkin bhikkhu ini adalah Samana Gotama, Pangeran Siddhatta,
Putra Mahamaya.” Setelah ia memperhatikan bentuk tubuh Sang Buddha yang halus
dan indah, melihat mata Beliau yang memancarkan cinta kasih dan welas asih,
Angulimala menjadi yakin bahwa sekarang ini Sang Buddha datang untuk menolong
dirinya.
Kemudian Angulimala melemparkan
senjata-senjatanya. Ia bersujud dihadapan Sang Buddha dan berkata : “Lama
sekali aku baru mendapatkan pertolongan dari Yang Mulia. Setelah mendengar
sabda Yang Mulia, maka mulai saat ini dan seterusnya aku akan menghindari
segala perbuatan jahatku.” Setelah itu Angulimala mendekati dan bersujud di kaki
Beliau, mohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Kemudian Sang Buddha
memberikan pentahbisan (upasampada) dengan kata-kata : “Ehi Bhikkhu”
“Marilah, bhikkhu” kepada Angulimala, dan membawanya kembali ke vihara Jetavana
di kota Savatthi.
Bertepatan pada waktu Sang Buddha
membawa bhikkhu Angulimala ke kota Savatthi, di istana, Raja Pasenadi Kosala
sedang kesal hatinya memikirkan berita-berita tentang kekejaman dan kebuasan
Angulimala. Setelah raja mendapat laporan dari penduduk yang ditimpa kemalangan
akibat ulah Angulimala, maka beliau memutuskan untuk pergi sendiri menangkap
Angulimala. Sebab, pada zaman itu kepala negara harus bertempur sendiri bersama
dengan tentara-tentaranya di medan perang atau untuk menangkap penjahat yang
amat berbahaya.
Raja Pasenadi Kosala amat percaya
dan setia sekali pada Sang Bhagava, sehingga sebelum pergi menangkap penjahat
Angulimala, lebih dahulu ia pergi ke vihara Jetavana menghadap Sang Bhagava
dengan pikiran bahwa Sang Bhagava bukan hanya merupakan orang yang dapat menolong
untuk kepentingan masa yang akan datang saja, namun juga dapat memberikan
pertolongan pada masa sekarang ini. Raja berpikir : “Dalam kepergian kali ini,
bila aku selamat Sang Bhagava tentu akan berdiam diri, namun jika kepergianku
kali ini tidak selamat, Sang Bhagava tentu akan memberikan kata-kata nasehat
yang berharga.”
Ketika mendekati vihara Jetavana,
raja menghentikan keretanya di ujung jalan. Kemudian raja turun dari kereta
perang dan berjalan kaki menghadap Sang Bhagava. Setelah dekat, raja memberi
hormat pada Beliau dan mengambil tempat duduk yang sepantasnya. Demikian pula
dengan tentara-tentara yang mengikuti sang raja memberi hormat pada Sang
Bhagava.
Pada saat itu Sang Bhagava sedang
duduk di tengah-tengah umat. Ketika melihat sang raja telah melepaskan
senjata-senjata dari tubuhnya, memberi hormat dan duduk di tempat duduk yang
pantas, maka Sang Bhagava bertanya : “Baginda, apakah raja Seniya Bimbisara
dari Magadha; Pangeran Licchavi dari kota Vesali marah dengan Baginda, atau
raja-raja lain memusuhi Baginda?” Raja Pasenadi Kosala menjawab : “Bhante,
tidak ada seorang raja pun yang bermaksud jahat, namun dalam kerajaanku ada
seorang penjahat bernama Angulimala. Ia amat kejam, tangannya berlumuran darah,
suka membunuh, merugikan penduduk. Ia tidak memiliki cinta kasih atau belas
kasihan terhadap siapa pun. Ia mengakibatkan desa-desa menjadi mati, kota-kota
menjadi sunyi dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang; memotong
jari-jari tangannya untuk dijadikan untaian kalung. Kita bermaksud akan
menangkapnya.”
Sang Buddha berkata : “Baginda raja,
seandainya Baginda bertemu dengan Angulimala yang telah mencukur rambut dan
jenggotnya; mengenakan
jubah kuning, melepaskan hidup berumah tangga, menjadi bhikkhu yang menempuh
hidup tanpa rumah; menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, pencurian,
ucapan-ucapan yang tidak benar; makan sehari sekali; menjalankan kehidupan
suci; bersusila, sopan santun dan sebagainya; bagaimanakah
pandangan Baginda terhadap Angulimala itu?” Raja menjawab
: “Bhante, jika benar demikian halnya, maka aku akan menghormat beliau,
menyambut beliau dengan baik, mengundang dan memperlakukan beliau dengan baik,
menyediakan empat kebutuhan pokok (jubah, makanan, tempat tinggal dan
obat-obatan) beliau serta melindungi beliau dengan baik. Tetapi bagaimana
seorang yang melanggar sila, berkelakuan jahat seperti Angulimala itu dapat
menjalankan sila?”
Kemudian Sang Bhagava mengangkat tangannya dan menunjuk kepada seorang
bhikkhu yang berbadan tegap yang sedang duduk tidak jauh sambil berkata :
“Baginda raja, itulah Angulimala.” Tentara-tentara yang mengikuti sang raja
yang sedang duduk berbaris, melihat ke arah yang ditunjukan tangan Sang Buddha.
Setelah menyadari bahwa bhikkhu itu adalah Angulimala, serentak mereka semuanya
berlari tanpa memperdulikan keselamatan raja. Mereka menyangka bahwa Angulimala
telah mengetahui maksud kedatangan mereka, dan mendahului datang ke vihara
untuk membunuh mereka. Mereka semua melarikan diri meninggalkan raja seorang
diri yang diliputi perasaan cemas dan khawatir.
Sang Bhagava mengetahui raja merasa cemas, lalu berkata : “Jangan takut,
Baginda; sekarang bahaya-bahaya yang ditimbulkan Angulimala telah tiada.”
Setelah mendengar kata-kata ini raja Pasenadi Kosala menjadi lega, rasa
takutnya hilang. Kemudian raja menghadap Angulimala dan berkata : “Apakah Yang
Mulia Angulimala?” Terdengar suara bhikkhu itu dengan jelas dan keras, namun
penuh kesopanan : “Baginda raja, saya Angulimala.”
Raja bertanya lebih lanjut : “Orang
tua bhante berasal dari suku apa?” Bhikkhu Angulimala menjawab : “Baginda, ayah
saya berasal dari suku Gagga dan ibu saya berasal dari Mantani.” Setelah
mengetahui hal ini, raja bersedia memberikan empat kebutuhan pokok kepada
bhikkhu Angulimala. Oleh karena bhikkhu Angulimala menjalankan tapa (dhutanga),
yaitu : tinggal di hutan, hanya makan makanan hasil pindapatta,
mengenakan jubah kain pembungkus mayat (pamsukula) dan hanya memiliki
seperangkap jubah saja, maka bhikkhu Angulimala berkata : “Baginda, saya sudah
memiliki seperangkap jubah, janganlah mengkhawatirkan keadaan saya.”
Kemudian raja Pasenadi Kosala menghadap Sang Bhagava; setelah menghormat
dan mengambil tempat duduk yang sepantasnya, raja berkata : “Ajaib sekali, Yang
Mulia! Kejadian seperti ini belum pernah terjadi, tetapi sekarang benar-benar
telah terjadi. Yang Mulia telah membimbing seorang yang tidak dapat dibimbing
oleh orang lain; menaklukkan seorang yang tidak dapat ditenangkan oleh orang
lain. Bhikkhu Angulimala tidak dapat dibimbing dengan hukuman ataupun dengan
senjata.” Selanjutnya raja mohon diri kembali ke istana untuk menyelesaikan
urusan-urusan lain. Setelah Sang Buddha berkenan, raja Pasenadi Kosala
meninggalkan tempat duduknya dan memberi hormat dengan berjalan mengitari
Beliau tiga kali, kemudian meninggalkan vihara Jetavana.
Bhikkhu Angulimala tinggal di tempat yang kecil dalam vihara Jetavana. Cara
hidup baru ini berbeda dengan cara hidup lama. Dahulu dengan senjata ia
membunuh orang lain. Sekarang, setelah memperoleh bimbingan dari Sang Buddha,
ia melatih kerendahan hati walau diganggu oleh makhluk kecil sekali pun. Air
yang dipergunakan dan diminum diperikasa dan disaring lebih dahulu, demi
keselamatan binatang-binatang kecil yang hidup dalam air. Ia berhati-hati dalam
segala tindakan dan ucapan-ucapannya; bersikap sopan santun agar tidak
merugikan diri sendiri dan orang lain; melatih pikirannya untuk memberikan
kesejahteraan dan kebahagiaan kepada banyak orang.
Bhikkhu Angulimala bersikap sedang dalam hal makanan; puas dengan makanan yang diperoleh dari hasil pindapata.
Walaupun kadang-kadang hanya memperoleh sedikit makanan atau bahkan tidak
memperoleh hasil sama sekali, namun ia tetap sabar dan tidak gelisah.
Diceritakan bahwa pada suatu hari bhikkhu Angulimala pergi ke kota Savatthi
untuk pindapatta. Di tengah jalan beliau melihat seorang wanita yang
sedang mengandung tua, hampir melahirkan anaknya; yang dengan gembira
memberikan makanan kepada para bhikkhu. Setelah Angulimala mendekat, wanita itu
mengenali bahwa bhikkhu itu adalah Angulimala. Ia merasa terkejut dan takut
sehingga ia lupa pada keadaan dirinya. Ia berlari, tetapi malang, ia terbentur
pagar dan jatuh.
Bhikkhu Angulimala merasa kasihan
pada wanita itu. Namun beliau tidak melihat cara lain untuk dapat menolong
wanita itu, selain bertekad dengan sungguh-sungguh, dan dengan suara yang keras
agar terdengar oleh wanita itu, beliau berkata : “Saudari, semenjak aku
menjalankan kehidupan suci ini, aku tidak pernah dengan sengaja membunuh
makhluk hidup apa pun . berkat kebenaran (ucapan) ini, semoga Anda beserta bayi
dalam kandungan Anda menjadi selamat adanya.” Setelah kata-kata yang
mengandung kebenaran ini selesai diucapkan, wanita itu sadar kembali dan dapat
melahirkan anaknya dengan mudah. Ibu maupun bayinya selamat.
Selanjutnya bhikkhu Angulimala
menjauhkan diri dari bhikkhu-bhikkhu lainnya, hidup menyendiri berlatih Samadhi
dengan sungguh-sungguh. Tak berapa lama kemudian ia berhasil mencapai kesucian
tingkat arahat (tingkat kesucian sempurna). Setelah berhasil mencapai kesucian,
pada keesokan harinya, dengan mengenakan jubah secara rapi, ia membawa mangkuk
(patta) pergi ke kota Savatthi untuk pindapatta. Tiba-tiba
segumpal tanah liat, sebatang kayu, pasir yang bercampur kerikil dan
batu-batuan yang dilemparkan orang-orang untuk mengusir anjing tanpa sengaja
mengenainya, sehingga kepalanya bercucuran darah, mangkuknya pecah serta
jubahnya menjadi robek-robek. Walaupun demikian bhikkhu Angulimala tetap
berjalan dengan tenang, sabar terhadap perasaan sakit yang menyengat itu. Ia
berjalan pulang menghadap Sang Buddha dengan kepala bercucuran darah.
Sang Buddha, Maha Guru, Yang
Melihat, Yang Penuh Kasih Sayang terhadap semua makhluk melihat Angulimala
berjalan dari kejauhan, berkata kepada Yang Mulia Angulimala demikian :
“Brahmana, tahankanlah! Tahankanlah, Brahmana! Sekarang engkau merasakan akibat
perbuatan-perbuatanmu; yang seharusnya dapat menyebabkan dirimu sengsara dalam
alam neraka selama ratusan tahun bahkan selama ribuan tahun.” Akibat luka-luka
yang dideritanya, tak lama kemudian Angulimala meninggal dunia, mencapai
kebebasan sempurna (parinibbana).
Sumber : Kisah Angulimala terjemahan
Y.M T.C.K. Phra Vidhurdhammabhorn
http://krystellahuda.blogspot.com/2012/10/kisah-angulimala.html
No comments:
Post a Comment